Oleh: Iverdixon Tinungki
Penatua Ferom P. Langkudi, adalah
tokoh fenomenal tak saja dalam sejarah Jemaat GMIM Torsina tapi juga dalam alur
sejarah pelayanan di aras Wilayah Manado Utara II. Ia sosok paduan antara Hamba
Tuhan, Politisi, dan Birokrat. Apakah karena keunikan talenta dalam diri figur
satu ini hingga ia banyak memberi warna dalam corak kepemimpinan dan pergumulan
di aras ini?
Sem Narande dalam “Valdu La
paskah” menyiratkan ketokohan Pnt. Ferom
P Langkudi sebagai “manusia di tengah gelanggang pertarungan”. Di arena politik
ia melakukan lompatan dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) ke Gakari yang
merupakan salah satu Kino dalam Sekber (Sekretariat Besar) Golkar (Golongan
Karya) yang saat ini telah berubah menjadi Partai Golkar. Karier di birokrasi dimulainya dari jabatan
guru bantu, dan berpuncak pada posisi sebagai Kepala Kantor Pembinaan
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Luar Biasa. Di medan pelayanan, diikwalinya
sebagai Penatua di sebuah jemaat kecil hingga menjadi Anggota Badan Pekerja
Sinode GMIM.
Mencermati perjalanan hidup
lelaki dengan tinggi badan 1,70 M, berkulit gelap dan tambun, bersuara bariton
datar yang nyaris sulit tersenyum ini mengimpresikan sebuah pribadi yang
tangguh, prinsipil, dan berani melawan arus. Tentang sikap pribadinya tersebut
sangat terlihat pada sejumlah babak konflik di Jemaat Torsina dimana ia
tercatat 2 kali menjadi Ketua Jemaat GMIM Torsina masa transisi. Bahkan pada
tahun 1990, ia pun menduduki posisi
sebagai Ketua Badan Pekerja Wilayah
Manado Utara II masa transisi pasca kemelut pergantian kepemimpinan Wilayah Manado
Utara II dari Pendeta A. Koloay, STh ke Pendeta M. Hermanus, STh. 1990.
Siapakah sesungguhnya Ketua
BPW masa transisi ini? Dalam biografi singkatnya tertulis; lahir di Manado Tua
12 November 1932. Pendidikan Sekolah Rakyat (SR) diselesaikannya di Manado Tua 1952. Meneruskan ke Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri
di Ulu Siau, lulus tahun 1957. Lantas menyelesaikan pendidikan di SGA Negeri di
Manado tahun 1961. Terakhir menyandang gelar Sarjana Muda Psycokologi dari Universitas Kristen Tomohon (UKIT).
Pada tahun 1957 menjadi Guru
Pembantu di SR GMIM Alungbanua. Tahun 1958 diangkat sebagai Kepala Sekolah SR
GMIM Alungbanua, sekaligus sebagai Penatua Jemaat GMIM Alungbanua. Ia juga
menjadi Ketua Ranting Parkindo. Tahun 1959 menjadi Ketua Anak Cabang Parkindo
Kecamatan Wori. Antara tahun 1965-1969 menjadi anggota BP Sinode GMIM utusan
pulau-pulau. Sempat menjadi Ketua Kino Gakari (Golkar). Bulan April 1970 sampai
Desember 1975 menjadi Kepala Kantor Pembinaan Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Luar Biasa Wilayah Wori.
Lelaki Dalam Gelegak Laut
Di kurun 2 tahun sebelum
GMIM berdiri, Penatua Ferom P. Langkudi lahir di sebuah desa kecil bernama Alungbanua. Desa Alungbanua terletak
di Pulau Manado Tua. Salah satu pulau dari deretan pulau-pulau Indah (Manado Tua, Bunaken, Siladen,
Mantehage) yang bertebar bersama
pulau-pulau karang lainnya di teluk Manado yang langsung berhadapan dengan
lautan Fasifik. Jazirah pulau-pulau kecil dengan keindahan koral dan alam laut
terfantastis di dunia. Di depannya, sebuah bentangan samudera yang luas yang
kadang teduh, kadang bergelombang tapi senantiasa berarus.
Tentang Manado Tua, Ahmad Syubbanuddin
Alwy, seorang penyair Indonesia asal Cirebon dalam sebuah sajaknya memetaforkan pulau ini
sebagai “Dinosaurus” yang lagi tidur. Sebuah gambaran keindahan dan kepurbaan
yang terhampar tepat di depan teluk Manado. Sedang geriap aneka kehidupan dunia
laut di kawasan ini disebutnya sebagai potongan surga yang terpindah dari jazirah
Tigris dan Eufrat ke laut ini.
Dalam sejarahnya, Pulau
Manado Tua di masa lalu disebut sebagai pusat kerajaan Bowontehu yang didirikan
raja Mokoduludugh pada abad ke XIII, atau sekitar 300 tahun sebelum peristiwa
baptisan pertama di pantai Sindulang yang dilakukan Peter Diego De Magelhaes di tahun 1563 (Iverdixon
Tinungki. 2009,9). Kerajaan tua yang
daerah kekuasaannya membentang dari Talaud hingga Kwandang, Gorontalo ini yang
menjadi titik awal menuju terbentuknya kerajaan-kerajaan di pulau-pulau Nusa
Utara di kemudian waktu.
Di tengah kemaharayaan
kultur laut dan filosofi hidup manusia bahari sejak nenek moyang di masa
kerajaan Bowontehu inilah Pnt. Ferom P Langkudi dibesarkan. Sejak kecil ia
telah terbiasa dengan gelegak laut dan tradisinya, yang dikemudian hari
membentuk karakter seorang anak laut yang keras dan berani menatang arus dalam
dirinya.
Di masa Orde Lama dalam
kekuasaan Presiden Soekarno, ketika semua rakyat Indonesia terkotak-kotak dalam
partai politik, Ferom P. Langkudi langsung terjun ke dalam lingkaran Partai
Kristen Indonesia (Parkindo). Saat kekuasaan Orde Lama runtuh, ia melompat ke
Golkar yang menjadi motor Orde Baru lewat jalur kino Gakari. Lompatan itu tentu
tak lepas dari rahim budaya bahari masyarakat Nusa Utara yang mengajari ia
hidup “Pantuhu Maka Sasalintiho”
(Bertindak bijaksana bila mengikuti arus).
Sebagai anak pulau yang
lengkap dengan cerita kemiskinannya, ia terbilang berhasil menyelesaikan
pendidikannya sempai ke perguruan tinggi. Jenjang pendidikan seperti ini di
kurun itu sangat sedikit bisa dicapai orang-orang pribumi apalagi oleh seorang
anak yang berasal dari desa pulau-pulau. Bila melihat tahun kelahirannya pada
1932 (masa penjajahan Belanda) dibanding tahun kelulusannya di Sekolah Rakyat
pada 1952 (Masa Indonesia Merdeka tapi masih diwarnai revolusi), maka terlihat
dimana saat ia lulus di jenjang pendidikan dasar ini telah berusia 20 tahun. Dan
sejak itu ia terus berpacu sampai ke jenjang perguruan tinggi. Ini
menggambarkan sebuah semangat baja seorang anak laut yang tak pernah surut
selangkah dalam mencapai tujuan. Demikian juga saat ia berpacu dalam kariernya
sebagai PNS.
Sikap-sikapnya itu pun
tergambar jelas di tengah kancah pelayanan yang diembannya. Mulai dari
keberadaannya hanya sebagai Penatua di sebuah jemaat kecil pada sebuah desa
pulau yang kemudian bisa meraih posisi sebagai Anggota Badan Pekerja (BP)
Sinode GMIM. Lalu saat ia menetap di Tumumpa dan menjadi anggota Jemaat GMIM
Torsina Tumumpa, ia juga terpilih menjadi Pelayan Khusus (Syamas) Kolom III.
Dari sinilah ia kemudian memberikan warna tersendiri dalam sejarah pelayan baik
di aras Jemaat Torsina, juga di aras Wilayah Manado Utara II.
Diawalinya pada tahun 1968,
saat konflik babak ketiga di Torsina memanas, ketika mayoritas anggota Jemaat
manggambil sikap berseberangan dengan Pendeta Pangemanan yang dinilai kurang
mempertimbangkan pendapat jemaat. Serta munculnya penolakan jemaat atas konsep
kepemimpinan Rasuli yang diterapkan saat itu dimana segala kebijakan pelayanan,
keuangan, dan pengawasan dilakukan oleh Pendeta yang sekaligus Ketua Jemaat, ibadah
Natal hanya bisa dilaksanakan di gereja, dan dilarang dilaksanakan di
kolom-kolom. Pembangunan gedung gereja baru yang awalnya dilakukan oleh sebuah
Tim Panitia Pembangunan diambil alih oleh Pendeta dan BPMJ.
Kebijakan yang terpusat pada
sang rasul itu yakni Pendeta Pangemanan akhirnya membuahkan lahirnya BPMJ
tandingan dipimpin Syamas Ferom P. Langkudi yang mendapatkan dukungan penuh
anggota jemaat.
Pada Februari 1971 Pendeta
Pangemanan ditarik Sinode GMIM dari Torsina dan merupakan masa akhir dari BPMJ
yang dipimpinnya. BPMJ yang dipimpin Ferom P Langkudi mendapatkan pengakuan
Sinode dan menempatkan ia sebagai Ketua BPMJ ke III di Torsina. Hanya dalam
waktu beberapa bulan kemudian, Sinode menugaskan Pendeta Johny Johanes Gerald Sondakh sekaligus menjadi Ketua GPMJ ke IV di
Torsina. Serah terima dilaksanakan pada bulan Juli 1969.
Setelah menjadi Ketua Jemaat
transisi di Torsina pada 1968, Ferom P Langkudi kembali menjadi Ketua BPMJ
Transisi di Torsina Tahun 1975. Jabatan Ketua BPMJ ini hanya diembannya selama
35 hari sejak diserahterimakan dari Pendeta Gerald Sondakh kepadanya, kemudian
5 Oktober 1975, diserahterimakan lagi kepada
Pendeta Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu, STh.
Di aras kepemimpinan
Wilayah, pada 1990 usai periode kepemimpinan Pendeta A. Koloay, Wilayah Manado
Utara II memasuki masa kepemimpinan transisi yang diserahterimakan ke Penatua Ferom
P. Langkudi yang ketika itu sebagai Wakil Ketua BPMW menjabat Ketua BPMW.
Beberapa bulan kemudian,
ketua BPMW transisi Penatua Ferom P. Langkudi menyerahkan kepemimpinan BPMW
definitif kepada Pendeta M Hermanus, STh bersamaan dengan peristiwa
berpindahnya pusat wilayah dari Torsina
Tumumpa ke GMIM Petra Karangria. Kiprah
Ferom P. Langkudi di atas menegaskan betapa penting dan fenomenalnya
ketokohannya di kancah pelayanan di aras Jemaatnya dan aras Wilayah Manado II.
Dimana saya bisa mendapatkan buku biografi ttg pak Ferom bung?
BalasHapus