Oleh: Iverdixon Tinungki
Pendeta Ny. Lientje Mientje
Sumolang Dapu adalah Ketua Badan Pimpinan Wilayah Manado Utara II yang pertama
yang resmi mengemban tugas sejak tanggal 1 September 1982 sebagaimana
ditetapkan dalam Beslit Nomor 126 tertanggal 6 Agustus 1982 oleh Badan Pekerja
Sinode GMIM.
Lahir pada 17 September 1941
di Tincep Sonder. Sekolah Dasar diselesaikannya di Tincep. Sekolah Menengah Pertama
di El Fattah Manado, lalu ke SGA Rex Mundi Manado sampai kelas II, kemudian
pindah ke Akademi Theologia Kuranga Tomohon untuk 6 tahun. Lulus pada tahun
1963 dan langsung ditempatkan di jemaat Sonder. Bertugas di Sonder selama 7
tahun selain sebagai Ketua Jemaat, juga Ketua Wilayah Sonder (1963-1970).
Sebagai pendeta yang masih muda dan berstatus nona, ia
terbilang berhasil membangun jemaat yang dipimpinnya dan memekarkan Jemaat GMIM
Sonder menjadi 4 jemaat baru yang tersebar di empat desa di kurun itu. Dari
buah kerjanya tersebut, oleh Keputusan
Badan Pimpinan Sonode GMIM, kanisah-kanisah yang dibangun di kurun
kepemimpinannya ditetapkan menjadi gereja-gereja otonom.
Keberhasilan di Sonder mengantar Pendeta Nona Lientje
Sumolang Dapu STh ke padang tugas yang
baru yang lebih berat dan menantang. Pada tahun 1970, ia ditugaskan ke Jakarta
selama 4 tahun (1970-1974) sebagai pendeta Tentara (Rawatan Rohani Protestan
Angkatan Darat) dengan pangkat Letnan. Tugasnya melayani anggota TNI Angkatan
Darat di Jakarta Raya.
Selain menjadi pendeta
tentara di Angkatan Darat, ia juga
diserahi tugas sebagai konsulen jemaat-jemaat di Jakarta Raya. Pada saat
penugasan di kota metropolitan ini, ia bertemu dengan calon suaminya Freddy Sumolang, pria asal
Sonder kelahiran 21 April 1937 lulusan IKIP Bandung yang menjadi asisten dosen
untuk ilmu-ilmu eksakta di IKIP Rawamangun.
Mereka menikah pada 1973,
dan tahun 1974 kembali ke Manado. Oleh
BP Sinode GMIM Pendeta Sumolang Dapu kemudian ditempatkan menjadi Ketua BPMJ
GMIM Torsina Tumumpa.
Kurun 14 tahun pengabdian sebagai pendeta baik di Sonder
dan di Jakarta merupakan bekal yang kuat bagi Pendeta Tentara Ny. Lientje
Mientje Sumolang Dapu dalam menghadapi Jemaat Torsina yang terus disaput goncangan
bertumpuk masalah.
Strategi Menyatukan Yang Porakporanda
5 Oktober 1975 Pendeta Ny.
Lientje Mientje Sumolang Dapu menerima tugas yang baru di Jemaat GMIM Torsina
Tumumpa. Ia mengantikan Pendeta Gerald Sondakh. Namun serah terima tugas itu tidak langsung
dilakukan dari Pendeta Sondak kepadanya, tapi dari Ketua Jemaat transisi yakni
Penatua Ferom Langkudi yang waktu itu Wakil Ketua BPMJ Torsina yang merangkap
sebagai pejabat Ketua BPMJ sementara.
Mengapa demikian? Saat serah
terima berlangsung, Pendeta Sondakh sudah 35 hari berada di pos pelayanannya
yang baru. Jadi sebelum meninggalkan Torsina, Pendeta Sondakh telah melakukan
serah terima tugas ke pejabat sementara yakni Pnt. Ferom Langkudi.
Mengapa harus ada
kepemimpinan transisi di Torsina ketika itu? Pada bab-bab sebelumnya kita telah
melihat serentetan konflik yang menyulut perpecahan di jemaat yang kini menjadi
pusat wilayah itu, hingga pada masa tibanya periode pelayanan Pendeta Sumolang
Dapu hal tersebut menjadi prioritas yang harus dicermati dan ditangani.
Seperti menyusun setiap
butiran pasir menjadi menara pelayanan, begitulah prioritas awal Pendeta
Sumolang Dapu di Torsina. Menyatukan anggota jemaat yang cerai berai akibat
konflik berkepanjangan dari waktu ke waktu. Ia harus menggeser isu di tengah jemaat dari masalah-masalah
organisasi dan kepemimpin yang kisruh ke isu pembangunan gedung gereja baru
yang sempat terbengkalai akibat konflik yang berkepanjangan dalam tubuh majelis
dan anggota jemaatnya.
Saat tiba di Torsina, ia
langsung disambut dengan suara-suara keras dan kritikan tajam sebagai dampak
dari ekor masalah pasca pergantian kepemimpian Pendeta Sondakh ke dirinya yang
awalnya tak dikehendaki. Menghadapi reaksi jemaat itu, ia memilih jurus diam
dan menutup mulut namun terus menunjukkan kerja keras, dan terus masuk ke dalam kancah jemaat guna membenahi
dan menyatukannya. Sementara konsentrasi jemaat dalam membangun gereja baru
yang sempat pudar dan terbengkalai akibat masalah pergantian Pendeta Sondakh, di
pacunya lagi. Aksi diasm sambil terus
melakukan pembehan itu akhirnya berhasil menyatukan jemaat yang porakporanda
itu. Semangat membangun tumbuh kembali. Jemaat menerima kepemimpinanya sebagai
tangan halus yang telah berhasil menisik sobekan-sobekan dari konflik kurun
sebelumnya menjadi jemaat yang utuh.
Pada tanggal 16 April 1977
Menteri Perdagangan DR. Radius Prawiro datang mengresmikan gedung Gereja GMIM Torsina yang baru. Dan pada 17
April 1977 Ketua BP Sinode DS Luntungan menahbiskan Gedung gereja tersebut.
Sem Narande, secara detil
menarasikan proses pembangunan gedung Gereja Torsina tahap 1 itu, seakan menara
pelayanan yang terus tumbuh dalam bimbingan Kristus, tak terbendung meski dilibas
badai persoalan berjemaat.
Sungguh dramatis memang
menggerakkan semangat membangun di tengah jemaat yang nyaris
porak-poranda. Tingkat ekonomi anggota
jemaat yang manyoritas berpendapatan kecil, yakni keluarga-keluarga dengan
penghasilan yang hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Mereka adalah para
nelayan tradisional yang meraup hidup dari hasil tangkapan ikan di teluk Manado
dengan perahu-perahu Londe kecil di malam hari, yang harus berhadapan dengan
hadangan cuaca yang berubah-ubah seiring perubahan pola arus dan angin yang
menyaput dari laut bebas Fasifik. Mereka adalah para buruh bangunan, buruh
kebun, para pemanjat kelapa serta pekerja kasar di gudang-gudang beras, bahan
campuran, gudang besi, buruh pelabuhan. Pedagang kecil di pasar tradisional
Tuminting. Pemilik warung-warung kecil. Petani palawija di kebun-kebun dari
tanah pinjaman. Para tukang jahit dan pemangkas rambut. Hanya sedikit mereka yang bekerja sebagai
pegawai negeri, swasta, dan militer. Lantas untuk membangun rumah Tuhan dalam
kondisi serba terbatas dan terhimpit masalah oraganisasi pasca 2 babakan
perpecahan dalam jemaat itu bagaimana? Dari mana pasir dan batu didatangkan.
Bagimana mendapatkan dana untuk pembelian semen, atap Zink, dan kayu? Bagaimana
upah pekerja? Gereja dengan 9 kolom ini mampukah mewujudkan bangunan gereja
permanen yang kini menjadi pusat Wilayah?
Di sini, di tengah
pergulatan ini, kita kembali melihat bagaimana campur tangan Tuhan yang ajaib
menyertai gerejaNya. Yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Tuhan.
Tuhan menghimpun jemaatnya untuk bersatu di hadiratNya dalam kerja pembangunan
itu secara gotong royong. Dengan semangat bergelora, dari anak-anak sampai
kakek-kakek mereka pergi mencari batu dasar dan batu kerikil hingga ke kali
Buliling yang jaraknya beberapa kilometer. Anggota jemaat dari 9 kolom yang
terdiri dari kaum-kaum sederhana itu kemudian membentuk armada semut yang
terdiri dari perahu-perahu nelayan dan perahu tambangan untuk mengngkut batu
tersebut lewat jalur Kali Bailang lalu masuk ke perairan tuluk Manado hingga
tiba di Pantai Tumumpa. Hal ini harus dilakukan karena tidak tersedianya akses
jalan darat yang cukup dilalui kendaraan pengangkut. Mereka juga termasuk
ibu-ibu beramai-ramai mengangkut pasir dari kali Bailang dan pantai. Ramuan
kayu di tebang di hutan-hutan dan kebun milik anggota jemaat tetangga seperti
Bailang, Molas, Meras. Batu bata datang lewat berbagai sumbangan warga, serta
diupayakan pengadaan lewat pembuatan batu bata oleh anggota jemaat. Lalu
bagaimana mengadakan atap Zink? 9 kolom menyepakati pengadaan atap itu lewat
sumbangan dari Kolom. Jemaat-jemaat kolom menggelar berbagai kegiatan
pengumpulan dana hingga terhimpun 538 lembar Zink termasuk Zink Plat. Dari mana
semen dan biaya lainnya dalam pelaksanaan pembangunan? Aksi jual Taart, Nasi
Jaha dan RW dilakukan. Kegiatan lomba kesenian digelar untuk penggalangan dana.
Tenaga tukang bekerja secara sukarela tanpa upah. Sambil bekerja, bersaksi,
bernyanyi Tuhan dipermuliakan. Dalam kerja penuh kebersamaan bangunan gereja
akhirnya berhasil diwujudkan. Dan menara pelayanan itu tegak berdiri menjadi
saksi, dimana Tuhan senantiasa menyertai jemaatnya, sebagaimana disitir
perjajian baru: “Aku akan menyertai kamu hingga kesudahan alam”.
Sejak peletakan batu pertama
pada 12 Juni 1972 pada masa kepemimpinan Pendeta Sondakh, lalu terhenti sejenak
menjelang pergantian kepemimpinan jemaat ke Pendeta Sumolang Dapu, kemudian
dipacu lagi hingga masa peresmian pada 1977. Pembangunan itu berlangsung selama 4 tahun 9 bulan dengan
menghabiskan anggaran sebesar Rp 12.960.000.
Kemudian pada Januari 1978
terjadi pemekaran kolom hingga menjadi 11 kolom. Seiring pemekaran tersebut
terjadi pergantian struktur BPMJ yang
baru yaitu BPMJ periode kepemimpinan
Pendeta Sumolang Dapu tahun 1978-1982.
Kebijakan pemekaran kolom
tersebut ternyata lagi-lagi meletupkan konflik baru akibat persoalan pemetaan
kolom. Konflik tersebut berujung pada perpindahan sejumlah anggota jemaat Kolom
11 bersama pelsusnya ke Gesba. Perpindahan ke Gesba ini merupakan exodus ke III
dalam sejarah jemaat GMIM Torsina.
Di kurun kepemimpinan inilah
Pendeta Sumolang Dapu kemudian menerima tugas sebagai Ketua Wilayah Manado
Utara II sebagai hasil dari pemekaran Wilayah Manado Utara menjadi Wilayah
Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar