Oleh: Iverdixon Tinungki
Aras pelayanan Wilayah Manado Utara baru digunakan mendekati masa-masa
akhir dari 22 tahun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel di Bethanie Singkil
Sindulang. Penggantinya adalah Pendeta Dumanauw
Musa Victor Kandijoh. Di tempatkan di Jemaat Singkil Sindulang sejak
1973.
Pendeta Kandijoh Dilahirkan
di Manembo-nembo Tonsea 11 Juni 1926. Istrinya Zus Alwina Rampengan. Ia adalah lulusan
sekolah Theologia di Tomohon; lanjutan dari STOVIL. Disitu ia merasakan sampai
3 orang direktur berganti-ganti yaitu pertama Ds MUNDUNG, kedua Ds R.M
Luntungan dan ketiga Ds. Manuel Sondak. Setelah lulus ia ditempatkan di jemaat
GMIM Bitung dari 1952 sampai 1953. Sesudah itu ke Jemaat Airmadidi (1953-1955),
Jemaat Tatelu (1955-1965), Kemudian 14 tahun bertugas di daerah “asalnya”
Tonsea. Oleh BP Sinode GMIM sudah
dianggap mantap untuk pergi melayani daerah lain, maka dikirimkanlah pendeta
Musa Kandijoh keluar dari Wilayah GMIM dan masuk ke Sulawesi Tengah, Kabupaten
Donggala dan menjadi Ketua Sinode GPDI di sana.
Dalam catatan Sem Narande
dipapar dimana Jemaat Bethanie Singkil Sindulang begitu juga Wilayah Manado
Utara saat itu ikut merasa kabagian “akibat” dari seorang pendeta yang sudah
pernah memimpin satu Sinode lantas kembali memimpin satu Jemaat atau hanya
beberapa Jemaat.
GPDI yang dipimpin Pendeta
Kandijoh meliputi tidak kurang 30 jemaat di waktu itu. Bandingkan saja ketika
di Singkil untuk memimpin Wilayah Manado Utara hanya meliputi 14 Jemaat. Di Donggala selaku ketua Sinode GPDI Pendeta
Musa Kandijoh bertugas sampai tahun 1968, jadi selama 3 tahun. Sesudah itu
ditarik kembali ke Bitung.
Ketika kembali ke Sulawesi
Utara, jabatan Ketua BP Sinode GPDI diserah terimakan pada pendeta Maurits
Lagimpu. Di tahun 1970 ke Jemaat Girian. Setahun kemudian yaitu di tahun 1971
masuklah Musa Kandijoh di bilangan pojok Utara Kota Manado yaitu di Jemaat GMIM
Pniel Tuna dan kemudian ditugaskan ke Jemaat Singkil Sindulang pada tahun 1973.
Waktu di Jemaat Tuna itulah
pada saat pendeta Hendrik Daandel sakit maka untuk mencegah kevacuman pimpinan
wilayah, ia di tunjuk oleh BP Sinode untuk menjabat sementara sebagai ketua
Wilayah. Kenapa bukan pendeta-pendeta lain yang menjadi Konsulen di Jemaat
Bethanie Singkil/Sindulang yang di tunjuk tetapi ia yang berada di Tuna yang
dipilih BP Sinode untuk merangkapnya; tentu BP Sinode GMIM cukup meng-reference pada latar kariernya yang
pernah menjadi ketua Sinode GPDI. Di jemaat Tuna ia sempat mengambil bagian membangun Pastori.
Sejak dipindahkan dari jemaat Tuna, Pendeta Kandijoh hanya bertugas selama 3 tahun sebagai ketua
BPMJ Singkil Sindulang dan sekaligus Ketua Wilayah Manado Utara, hingga pada
tahun 1976 ia ditugaskan ke Jemaat GMIM Paulus
Titiwungen.
Tantangan di Nazaret, Pergolakan di
Torsina
Pergumulan dan tantangan
Gereja menuju jemaat-jemaat yang dewasa di aras pelayan Wilayah Manado Utara
merupakan ornamentasi yang menarik ditelisik pasca masuknya Pendeta Kandijoh ke
wilayah pesisir ini. Belajar pada anasir laut yang senantiasa bergelombang
demikian pula kehidupan jemaat-jemaat di wilayah ini. Setiap kurun waktu seakan
memiliki deburan tersendiri. Hempasan dan terjangan yang senantiasa bermakna
profetis bila diurai menuju pemahaman pembentukan gereja Tuhan yang Esa dan
Kudus. Teritorial pelayanan jemaat-jemaat kian luas dengan pertumbuhan
kolom-kolom yang baru di 14 jemaat yang terbentang dari Singkil Hingga Kombos,
Dari Singkil hingga Meras, Dari Singkil hingga Pandu. Penyiapan pemekaran
jemaat-jemaat otonom yang baru terus berlangsung dan tak terbendung, seakan
“Sido” Tuhan terus dinyalakan pada setiap etape dan kurun waktu di wilayah ini.
Di Jemaat Bethanie Singkil
Sindulang sebagai poros utama pelayanan aras Wilayah, jumlah kolom telah
membengkak menjadi 26 kolom. Penyiapan pemekaran 2 jemaat otonom sedang
disiapkan melalui pembangunan kanisah-kanisah baru. Di Nazaret, jemaat yang
terletak di rimba pesisir Manado Utara yang awalnya hanya terdiri dari 3 kolom
pada 1933, pada masa Ketua BPW Pendeta Kandijoh telah berkembang menjadi 7
kolom. Bahkan Nazaret telah melepaskan 1 kolomnya di kawasan onderneming
Tumumpa menjadi Jemaat Torsina yang otonom. Ketika diresmikan menjadi jemaat
Otonom pada 1949, Torsina telah dimekakarkan menjadi 4 kolom dan terus
berkembang menjadi 8 kolom pada masa Pendeta Kandijoh sebagai Ketua Wilayah.
Perlu digaris bawahi dimana, jumlah anggota Kepala Keluarga dalam sebuah kolom
ketika itu bisa mencapai 60 KK lebih. Berbeda tentu dengan aturan Sinode GMIM
yang saat ini membatasi jumlah KK dalam sebuah kolom hanya dikisaran 30 KK.
Namun di tengah kemajuan dan
perkembangan area pelayanan saat itu,
berbagai persoalan di tubuh organisasi pelayanan di jemaat-jemaat ikut pula
berkembang. Friksi demi friksi dalam Badan Pimpinan Majelis Jemaat (BPMJ) di
tengah organisasi yang tengah berkembang itu menjadi tantangan yang baru di era
kepemimpinan baru ini. Inilah realitas ladang pengabdian Pendeta Kandijoh pasca
akhir tugas pendenta Daandel.
Ketika Pendeta Kandijoh tiba
di Benthanie Singkil Sindulang pada 1973, pada tahun yang sama Pendeta M.L.
Wangkai yang sudah 11 tahun menjadi Ketua Jemaat GMIM Nazaret Tuminting
mengundurkan diri dari posisinya di Nazaret akibat friksi di tubuh BPMJ Nazaret
yang tidak sejalan lagi dengan kepemimpinan Pendeta Wangkai, yang dinilai mulai
lalai dalam menunaikan tugas-tugasnya.
Di lain sisi, sebagaimana
dipapar dalam Buku Sejarah Jemaat Nazaret, dimana anggota jemaat telah
mengalami kejenuhan dengan kepemimpinan Pendeta Wangkai yang dinilai lebih
banyak mengkonsentrasikan pekerjaannya pada kebun bunga Anggrek miliknya dari
pada memperhatikan pelayanan jemaat.
Kendati begitu, dalam
catatan Sejarah Nazaret, Pendeta ML. Wangkai disebut sebagai pendeta pertama di
jemaat itu pasca kepemimpinan Jemaat di pegang oleh para Guru-guru Jemaat.
Kurun kepemimpinannya juga dinilai berhasil membangun jemaat tersebut, bahkan
pelayanannya di aras wilayah dinilai berhasil.
Puncak dari dinamika
berjemaat di Nazaret, adalah tindakan penutupan gereja pada saat jadwal pelayan
oleh Pendeta M.L. Wangkai. Situasi pun memanas dari dua kubu yang berfriksi
yakni pihak pendukung pendeta dan kelompok yang antipati terhadap pendeta. Situasi
panas di Nazaret pun harus dicarikan jalan keluar oleh DPW Manado Utara yang
dikendalikan Pendeta Kandijoh.
Akhirnya Pendeta M.L.
Wangkai mengundurkan diri dari jabatannya akibat tekanan yang kuat dari dalam
jemaat yang dipimpinnya, dan posisi Ketua Jemaat oleh Sidang Majelis yang
didampingi DPW, diisi oleh Wakil Ketua BPMJ waktu itu yaitu Penatua Jacob
Himpong. Pengisian lowong oleh Pnt. J. Himpong hingga masa periode kepemimpinan
berakhir tersebut oleh DPW dimaksudkan
untuk menetralisir situasi panas di jemaat tersebut. Masa transisi kepemimpinan
di Nazaret akhirnya berakhir pada 1974, dan posisi ketua jemaat digantikan
oleh Penatua Drs. E. Lahope.
Lain tantangan di Nazaret,
lain pula pergolakan di Torsina. Belum lama berselang konflik antara BPMJ
dengan Ketua DPW Pendeta Daandel yang sudah dipapar sebelumnya, berujung pada
perpecahan di Torsina dan beralihnya sebagian Majelis dan anggota jemaat ke
GMPU (Gereja Masehi Protestan Umum).
Lalu babakan kedua perpecahan menuju terbentuknya Gereja KGPM Tumumpa.
Kemudian disusul persoalan adanya dua
BPMJ di Torsina pada masa kepemimpinan Pendeta Pangemanan sebagai bagian dari
kisah pelayanan di kurun kepemimpinan Pendeta Daandel sebagai Kepala Paroki
Singkil Sindulang. Tiga peristiwa itu benar-benar merobek keutuhan jemaat,
hingga kondisi Jemaat terpecah dan tak berhasil diselesaikan di aras Jemaat, Paroki
dan Sinode, tapi melebar ke rana hukum yang juga tak mendapatkan penyelesaian. Meski
diujung waktu yang lain, Tuhan selalu punya cara tersendiri menyelesaikan
setiap persoalan dan pergumulan suatu jemaat menjadi gereja yang esa, utuh dan
kuat sebagaimana fakta sejarah jemaat itu saat ini.
Kembali ke pasca peralihan
kepemimpinan Wilayah dari Pendeta Daandel ke Pendeta Kandijoh (1973), jemaat Torsina
terkejut lagi akibat kebijakan pergantian Pendeta di jemaat tersebut oleh
Sinode GMIM. Pendeta Gerald Sondakh yang masuk sejak 16 Agustus 1971 menggantikan Pendeta
Pangemanan, kini akan digantikan oleh pendeta yang baru. Kebijakan Sinode
tersebut kontan disambut reaksi keras dari dalam jemaat. Keadaan jemaat yang
terus bergolak ini seakan tak mendapatkan ketenangan akibat pergantian
kepemimpinan yang terus-menerus oleh pihak Sinode. Sinode, sebagaimana
dikisahkan dalam catatan Sem Narande, dinilai sewenang-wenang dan tidak
memperhatikan keutuhan dan kepentingan jemaat.
Di lain sisi, jemaat Torsina
baru merasakan sesaat ketenangan dari kemelut berjemaat yang mengakibatkan
tercabik-cabiknya keutuhan jemaat itu dengan adanya 2 BPMJ yang nyaris berujung
pada konflik fisik. Pasca kepemimpinan Pendeta Sondakh suasana damai baru
tercipta. Di tangan pendeta Sondakh pun Jemaat Torsina sedang diperhadapkan
oleh program pembangunan gedung gereja permanen pertama yang peletakan batu
dasarnya dilakukan pada 12 Juni 1972.
Kebijakan penarikan pendeta
Sondakh oleh BP Sinode GMIM yang terkesan mendadak itu pun membuyarkan
konsentrasi jemaat dalam membangun gereja. Gelombang protes yang di arahkan ke
Sinode pun berlangsung dengan cara mengirimkan delegasi jemaat Torsina ke
Sinode. Persoalan Jemaat Torsina ini lagi-lagi menjadi konsentrasi utama yang
harus dihadapi DPW Manado Utara Yang dipimpin Pendeta Kandijoh.
Akibat protes keras yang
dilancarkan jemaat dan BPMJ Torsina, keberadaan Pendeta Sondakh pun
terkatung-katung. Pertama, penempatannya ke Jemaat Tuna gagal dilaksanakan.
Kedua, penempatannya ke Jemaat Malalayang juga gagal akibat gelombang protes
tersebut. Ketiga, penempatannya ke Amurang pun gagal, karena jemaat Torsina
tetap mempertahankan kepemimpinannya di BPMJ Torsina.
Puncak reaksi terhadap
kebijakan Sinode tersebut, pada rapat BPMJ Torsina tanggal 5 Agustus 1975 yang
ikut dihadiri Ketua BPW Manado Utara Pendeta Kandijoh, Sidang majelis
memutuskan: Pertama, Kepemimpinan organisasi di jemaat Torsina di pegang oleh
Majelis. Kedua, Pendeta cukup berstatus pelayan.
Kebijakan di atas ditempu
jemaat Torsina sebagai upaya menghadapi kesewenangan dari pihak Sinode dalam
penempatan pendeta yang tanpa memperhitungkan kondisi jemaat. Artinya pendeta
bisa saja ditempatkan semaunya sinode, tapi pendeta hanya berstatus pelayan
bukan ketua jemaat. Sebab bila pendeta berposisi sebagai ketua jemaat atau
pimpinan organisasi jemaat, maka bila pergantian pendeta tanpa memperhitungkan
kondisi jemaat akan mengganggu keutuhan berjemaat. Dan hal tersebut terbukti
ketika Pendeta Sumolang Dapu di tempatkan di Torsina, acara serah terima
jabatan Ketua Jemaat Torsina dari Pendeta Gerald Sondakh diserahterimakan
kepada Penatua Ferom P. Langkudi yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua
Badan Pekerja Majelis Jemaat, bukan kepada Pendeta Sumolang Dapu.
Menghadapi sikap Jemaat
Torsina tersebut, Ketua BPW Manado Utara pun melakukan sejumlah pertemuan,
kunjungan dan dialog terbuka tak resmi dengan BPMJ, membujuk mereka agar tidak
mengeluarkan kebijakan yang bertabrakan dengan kebijakan Sinode. Di lain sisi Ketua BPW menilai isi pikiran
dan gagasan yang ditelorkan jemaat Torsina itu sangat prinsipil dan mendasar.
Hanya saja dalam posisi BPW, ia mengkhawatirkan terjadinya tabrakan dengan
sinode. Akhirnya pada 5 Oktober 1975,
jabatan Ketua BPMJ Torsina kembali diserahterimakan dari Penatua Ferom P. Langkudi
kepada Pendeta Sumolang Dapu.
Dalam penyelesaian masalah
kepemimpinan di Jemaat Torsina, sangat terlihat peran dan fungsi pendeta
Kandijoh selaku Ketua Badan Pimpinan Wilayah (BPW) Manado Utara. Kepemimpinan
wilayah sebagai perpanjangan tangan Sinode di aras Wilayah mempu menjadi
jembatan bagi penyelesaian persoalan di aras pelayanannya.
Menjala Para Penjala
Sem Narande dalam bukunya “Valdu
La Paskah” membeberkan anasir yang indah atas keberhasilan tugas pelayanan yang
diemban pendeta Kandijoh selama menjadi Ketua BPMJ Bethanie Singkil Sindulang
sekaligus Ketua Wilayah Manado Utara dengan menerapkan tiga konsep yaitu: a).
Pelayanan. b). Keuangan. c). Pengangkatan sidi bagi orang-orang tua.
Ia memberlakukan metode
sentralisasi dalam hal pelayanan dan
keuangan untuk memudahkan kontrol atas hasil dan efektifitasnya. Sejak
kepemimpinanya sistim sentralisasi keuangan di jemaat-jemaat berjalan baik
dengan penetapan hanya ada 1 orang bendahara jemaat, demikian juga dengan
sentralisasi pelayanan hingga ke kelom-kolom.
Sosok pendeta yang terkenal bersifat tegas ini juga berhasil
meluncurkan program pengangkatan sidi atas orang-orang tua di jemaat dan wilayah
yang dipimpinnya dengan pendekatan khusus yaitu menugaskan para penatua dan
syamas ke rumah-rumah para orang tua untuk mengajar calon sidi jemaat. Pendekatan
khusus untuk mengajar calon sidi jemaat ini harus dilakukan mengingat ketika
itu tidak sedikit orang-orang tua yang belum menjadi sidi jemaat karena
kesibukan mereka sebagai nelayan yang harus melaut pada malam hari.
Orang-orang tua di
jemaat-jemaat yang terletak di pesisir Manado Utara berprofesi nelayan hampir
tidak punya waktu untuk mengikuti pendidikan sidi (katesasi) yang dilakukan di
gereja masing-masing yang rata-rata dilakukan pada malam hari. Dengan kebijakan
mengdrop para penatua dan syamas untuk mengajar di rumah para orang tua itu
pada saat-saat senggang dengan pola pengajaran yang santai, akhirnya membuahkan
hasil dimana para orang-orang tua di kawasan pesisir pun akhirnya bisa
diteguhkan sebagai anggota sidi jemaat dan berhak mengikuti sakramen perjamuan
kudus. Program khusus ini oleh banyak pihak disebut sebagai upaya menjala para
penjala ikan menjadi umat Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar