OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
I.
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penulisan
Menulis sejarah atau hitoriografi suatu jemaat
(Gereja) sebagai “Societies Deo” (Umat Tuhan), bukan saja menjadi salah satu
program sinodal yang harus dilaksanakan oleh semua aras pelayanan GMIM saat ini.
Tapi, merupakan kebutuhan vital guna menjawab minat jemaat
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya akar dan sejarah perkembangan pelayanan
Jemaat itu beserta romantikanya dari kurun awal hingga kurun berikutnya.
Menariknya
pula, penulisan sejarah merupakan hal
penting dan strategis sebagai landasan pijak bagi kajian-kajian pembanding dan
alat ukur dalam menganalisa setiap
gejala atau fenomena guna pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan Gereja
ke depan, terutama ketika GMIM pada semua tingkatan struktur organisasi
mengadakan suatu pembaruan, baik dalam tugas dan fungsi organisasi,
melaksanakan pengakuan dan panggilan gereja dalam mengembalakan dan membina
jemaat dan ketatalayanan, serta hubungan sosial kemasyarakatan lintas
denominasi dan agama.
Sejarah
gereja, selain itu adalah bahan cerminan bagi para pelayan di kurun berikutnya
tentang apa yang pantas dan patut dilakukan, dan apa yang tidak pantas dan
tidak patut dilakukan dalam konteks keteladan sebagai seorang pelayan, dan
strategi apa yang harus ditempuh dalam konteks menjaga keharmonisan perputaran
roda organisasi dalam mendaratkan visi dan misi pelayanan bagi umat. Sebagai
misal, di tengah masyarakat makro, gereja diperhadapkan
dengan tantangan tersendiri yang khas dengan beragam masalah yang
ditimbulkannya. Menyikapi kondisi ini, sungguh bijak apabila gereja seperti
dikatakan Martin Luther, “kita tidak dapat melarang burung-burung
beterbangan di atas kepala kita, tetapi kita dapat menghalau mereka jika ada
yang mau membuat sarang di atas kepala kita.” Dari perspektif ini, dapatlah
dikatakan bahwa gereja tidak dapat menghalangi tantangan atau sumber tantangan
yang menghadang, tetapi gereja dapat dan perlu mengambil sikap untuk menghadapi
serta memberi jawaban terhadap setiap tantangan yang ada.
Lebih
sederhana lagi, sejarah gereja dipandang sebagai suatu pengisahan tentang
perkembangan-perkembangan dan perubahan yang dialami oleh gereja selama di
dunia ini. Yaitu kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk-bentuk
yang dipakai untuk mengabarkan Injil serta pengorganisasiannya (Th. Van den End).
Bila
dianalogikan pohon, gereja awalnya merupakan sebuah tunas kecil, kemudian
tumbuh dengan batang yang besar dengan dahan, cabang dan ranting yang banyak,
tidak sama ukurannya dan bentuknya. Begitu pula halnya dengan gereja-gereja
yang lahir dari jemaat pertama yang berlainan: dalam hal tata gereja, tata
kebaktian, dan ajaran (teologinya). Tetapi semuanya itu berakar dalam tanah
yang sama. Sejak zaman pantekosta berlangsung,
gereja mengalami perubahan yang sangat pesat, baik dari segi jumlah
pengikutnya, tata caranya, organisasinya dan juga ajaran-ajarannya. Bahkan
hingga kini gereja tumbuh di dalam berbagai denominasi dan aliran yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa gereja dalam
sejarahnya, telah mengalami perkembangan yang demikian pesat.
Sebagai
tubuh Kristus di dunia, dalam perkembangannya, gereja bukan hanya bertahan
membangun dirinya dari dalam, juga mempertahankan dirinya dari berbagai musuh
yang secara sistematis berniat menghancurkan gereja terutama dalam menghadapi
ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Fakta sejarah
membuktikan, gereja mampu bertahan dari gejolak-gejolak yang berlangsung secara
internal.
Setiap
masa yang berbeda akan menghasilkan tantangan dan persoalan yang berbeda pula.
Demikian juga di abad ke 21, yang dicirikan sebagai sebuah masa dimana orang
akan semakin pragmatis, rasional dan empiris, gereja akan menghadapi tantangan
tersendiri yang menuntut respon gereja untuk mempersiapkan diri menghadapi
semua itu. Injil yang menjadi sentra pemberitaan gereja tentu akan banyak
mengalami gugatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan pendekatan
rasionalistik. Hal ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi gereja untuk
semakin aktual dan mewujudkan perannya secara nyata, di tengah masyarakat
modern yang justru sedang bergerak ke arah sekular.
Penyesuaian
apa yang dapat dilakukan oleh gereja untuk bisa bertahan dan bertumbuh? Inilah pula
yang merupakan pertanyaan menarik dari esensi penulisan sebuah sejarah gereja.
Dalam konteks penulisan sejarah
Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting yang boleh dibilang baru seumur jagung atau
17 tahun masa pelayanan-- kalau ditilik dari periode perintisan menuju sebuah
jemaat otonom -- (1996-2013), kita pun diperhadapkan dengan realitas dimana gereja ini tumbuh dari carut marut konflik, dan
berhasil menepis konflik, kemudian kini berdiri megah menjadi tempat perwujudan
persekutuan umat Allah. Pergulatan panjang dan dramatis dari kisah berdirinya
jemaat ini tentu tak saja menjadi buah renung tapi sekaligus kabar baik menuju
keselamatan dalam Yesus Kristus Tuhan yang tiba dengan gemilang dan tumbuh
menjadi pohon pelayanan yang berbuah baik,
lebat, dan subur hingga saat ini karena penyertaanNya.
Sebagai
jemaat baru di tengah aras pelayanan GMIM, jemaat Gunung Hermon dalam sejarahnya
sebagai sebuah organisasi pelayanan, telah mampu mewujudkan integritasnya dan tanggap
terhadap perubahan yang demikian cepat yang berlangsung di sekitarnya.
Gereja
sendiri adalah hasil dari perubahan. Sebagai hasil dari perubahan, gereja
memiliki sejarah dan terus berkembang seiring perjalanan waktu. Itu
sebabnya, penulisan sejarah gereja harus dimulai dari detakkan awal dari
momentum-momentum bernilai historis dan perkembangan selanjutnya secara
lingkait.
Bila melihat sejenak
rentetan peristiwa dan perkembangan jemaat ini, pada kurun awal, cikal bakal
berdirinya, Jemaat Gunung Hermon sendiri tak lepas dari sejarah besar jemaat Nazaret Tuminting sebagai induknya.
Tapi uniknya, tak seperti lazimnya pemekaran sebuah jemaat, proses menuju
terbentuknya Jemaat Gunung Hermon justru tercipta dari friksi di seputar rencana pemekaran satu jemaat otonom yang terdiri dari beberapa kolom di
Nazaret pada tahun 1996 yang memicu kemelut sekaligus menciptakan kelokan berliku
dalam penyelesaiannya yang akhirnya berakhir pada terbentuknya dua jemaat Otonom yakni Jemaat
Gunung Hermon dan Jemaat Tunggul Isai.
Bila merefleksi nilai
historiografis peristiwa dramatis yang bermula pada 1996 tersebut hingga
masa-masa pelayanan Jemaat Gunung Hermon saat ini, kita ternyata diperhadapkan
dengan suatu realitas transeden dimana konflik di kurun awal itu laiknya sebuah viadolorosa menuju kemenangan
Kristiani yang berasal dari pertarungan tiada henti hingga terbentuknya suatu
jemaat. Bila muncul pertanyaan siapa yang membentuk jemaat ini? Apakah jemaat
ini terbentuk semata-mata karena perjuangan
33 Kepala Keluarga di kolom 19 dan 18
yang merupakan para pendukung fanatik pembangunan Kanisah di atas bukit
kolom 19 yang menyatakan niat untuk melepaskan diri dari Jemaat Nazaret
Tuminting untuk berdiri sendiri sebagai sebuah jemaat otonom di tengah kemelut
yang berlangsung sejak tahun 1996?
Ataukah terbentuknya jemaat ini atas kehendak Kristus sendiri sebagai Kepala
Gereja? Disinilah sisi pentingnya penulisan sebuah sejarah gereja sebagai bahan
dasar untuk memberikan landasan yang
kuat pada setiap refleksi teologis. Bukankah kehadiran gereja sebagai
pertanggungjawaban iman kepada Allah yang menempatkan warga jemaat ke dalam
dunia sebagai komunitas iman. Gereja sebagai sebuah komunitas iman dapat
dipastikan akan berhadapan dengan tantangan berupa ujian kristis terhadap iman
(critical testing of faith) yang
menuntun kita kepada kenyataan bahwa gereja akhirnya menemukan dan membuktikan
dirinya sebagai “Victorius Church”
(Gereja yang Menang). Bukankah dengan demikian kita bisa dengan optimis mengatakan
bahwa gereja dan kepemimpinan Kristen dapat mewujudkan pengaruhnya sebagai
garam dan terang bagi dunia ini.
Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa oleh rahmat Allah, gereja dan kepemimpinan Kristen dapat
mengungguli tantangan dengan membawa pengaruh positif, karena didasarkan atas
kebenaran: Pertama, gereja dan pemimpin Kristen terpanggil oleh Allah dengan
integritas kepemimpinan yang lengkap untuk memimpin. Kedua, gereja dan pemimpin Kristen diteguhkan oleh Allah dengan
kapasitas kepemimpinan yang tangguh untuk memimpin. Ketiga, gereja dan pemimpin Kristen dijamin oleh Allah dengan
kapabilitas kepemimpinan yang penuh untuk memimpin.
Gereja dan kepemimpinan
Kristen terpanggil oleh Allah dengan integritas kepemimpinan yang lengkap untuk
memimpin. Gereja dan Kepemimpinan
Kristen didasarkan pada sikap pesimistis yang mendasar, yaitu Allah yang oleh
kehendakNya berdaulat telah mendirikan gerejaNya dan menetapkan juga memilih setiap pemimpin
Kristen pada pelayanan untuk memimpin. Gereja dan pemimpin Kristen ialah yang
dipanggil Allah untuk mencapai tujuan-Nya bagi dan melalui kelompok ini.
Panggilan Allah kepada gereja dan seseorang untuk menjadi pemimpin adalah
bersifat mutlak (Yohanes 3:27),
Itu sebabnya, penulisan Gunung
Hermon, 17 Tahun Pelayanan sebagai sebuah catatan sejarah, merupakan upaya merangkum realitas empirik dari peristiwa dan
kejadian-kajadian pada setiap kurun waktu, bukan dimaksudkan untuk mencari
siapa antagonis dan protagonis di tengah aliran sungai sejarah jemaat ini, tapi
dimaksudkan menjadi bahan refleksi dan cerminan di masa depan.
Meski dalam pengabstraksian
berbagai ornamentasi peristiwa yang berlangsung dalam kurun waktu masa
pelayanan jemaat ini kita dipertemukan dengan patahan-patahan menarik dalam
periode demi periode kemelut di Jemaat Gunung Hermon, tapi telisikan kita pada
setiap babakan dan kemelut ini bukan
sebagai upaya mengungkap kekeliruan orang per orang atau kelemahan
organisatoris pada setiap kurun waktu. Tapi sekali lagi, sebagai upaya
menemukan ruang refleksi atas kisah-kisah berharga di masa lalu yang bisa
dijadikan catatan pembelajaran yang indah di kurun pelayanan di kemudian hari.
Belajar dari sejarah gereja mula-mula, hingga melewati masa seribu tahun awal
dan di masa seribu tahun kedua tak lepas dari friksi dan kemelut. Di kurun itu,
rentetan peristiwa telah menampilkan sejumlah kisah tragis yang dialami gereja.
Ribuan hamba Tuhan mati sebagai martir menuju tegaknya Gereja Tuhan di bumi.
Di Gunung Hermon, kita melihat
bagaimana sebuah jemaat telah menempu alur sejarahnya sendiri melintasi lebih 17
tahun pelayanan menebar kabar baik bagi umatNya
hingga bertemu sinar pagi penuh harapan keselamatan dalam kasih Yesus
Kristus Tuhan. Memang tak ada alur sejarah yang bergerak lurus, selalu punya
kelokan dan kecuramannya. Gereja ini telah tumbuh dari serentetan persoalan dan
kemelut , dan semua peristiwa itu ikut
memberikan corak tersendiri dalam ornamentasi pembetukan gereja dan jemaat di
kemudian waktu di aras pelayanan jemaat ini.
Setelah
melewati fase masa cikal bakal berdirinya jemaat hingga terbentuknya suatu
jemaat otonom, bab-bab selanjutnya lebih banyak memapar fragmentasi-fragmentasi
pelayanan dalam interen jemaat itu atau dalam tubuh organisasi Badan Pekerja
Majelis Jemaat (BPMJ), setiap fase dan peristiwa menjadi tuas yang kuat dalam perputaran system
berorganisasi menuju jemaat dan gereja
yang dewasa mengarifi zaman.
Seperti
juga keadaan jemaat-jemaat lain di aras Wilayah Manado Utara II, jumlah anggota
jemaat dan kolom di Gunung Hermon terus tumbuh seiring dimensi perkembangan
pertumbuhan penduduk. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi BPMJ dan
anggota jemaat dalam penyiapan rumah peribadatan yang representatif, yang
mencerminkan citra zaman di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berat
dan penuh pergumulan.
Tugas
dan panggilan gereja di jemaat ini pada
setiap kurun waktu dan kurun kepemimpinan tak saja ikut pula menampilkan
dinamika di tengah usaha penjabaran dan pencapaian esensi religiusnya, tapi
telah bergerak pula ke padang-padang pengejawantahan esensi filantrofismenya.
Dalam artian gereja yang bertugas membangun hubungan mesra antara manusia
dengan Tuhan, dan relasi sosial antar manusia dengan manusia. Panggilan ini
disebut sebagai integritas gereja.
Dalam
kurun 5 periode kepemimpinan, gereja ini telah menunjukkan integritasnya itu
dalam pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Dalam
serentetan kurun waktu terlihat bagaimana formulasi policy yang berpadu dengan
sikap kerendahan hati yang sejati yang dipancarkan gereja dan jemaat yang terus tumbuh dan
bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan dengan sabar perkembangan demi
perkembangan diayomi oleh FirmanNya dalam keyakinan bahwa Ia dapat membimbing
gereja dan jemaat ke suatu kesadaran bersama yang kokoh.
Ketika
buku ini mulai ditulis, kita bisa melihat realitas keseharian jemaat ini dimana
adanya kesadaran yang hidup
terus-menerus dalam mempertahankan jati diri sebagai gereja, dimana di satu
pihak gereja adalah suatu umat yang ‘kudus’ yang di panggil dari dunia untuk
menjadi milik Allah. Tapi di lain pihak gereja adalah suatu umat yang ‘duniawi’
yaitu orang-orang yang diutus kembali ke dalam dunia untuk bersaksi dan
melayani.
Lantas
apakah di kurun waktu ke depan jemaat GMIM Gunung Hermon mempu mempertahankan jati diri tersebut hingga
tidak terpuruk dan terisolasi dari dunia? Lagi-lagi pertanyaan yang menuntut
refleksi terus-menerus, sebab gereja yang hanya menitik beratkan pada aspek
kekudusannya dan undur dari urusan dunia segera terlontar dan terisolasi dari
dunia. Tapi gereja pun jangan sampai keliru menyesuaikan diri pada tolok ukur
dan nilai-nilai yang dianut oleh dunia dan dengan demikian terkena polusi.
Kemisionarisan
gereja harus muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam
masyarakat. Sebab, suatu eklesiologi yang timpang akan menghasilkan misi yang
timpang juga. Ini sebanya penulisan sejarah aras-aras pelayanan gereja menjadi
penting guna menampilkan yang lampau untuk menjadi bahan refleksi kini dan ke
depan.
Maka ketika penulisan buku ini dimulai pada
Januari 2013 terasa dan disadari, bukanlah upaya yang
mudah untuk menulis dan mengungkap detil catatan sejarah perkembangan
organisasi Jemaat ini di lintasan waktu 17 tahun (1996-2013) yang awalnya hanya
terdiri dari 17 Kepala Keluarga kemudian
berkembang menjadi 33 KK di masa eksodus ke jemaat Getsemani Sumompo, dan
beberapa keluarga di Kolom 18, kini berkembang menjadi 3 kolom.
Penyusunan
Gunung Hermon, 17 Tahun Pelayanan:
sebuah catatan sejarah ini menyangkut
eksistensi suatu organisasi atau suatu lembaga yang di dalamnya
berlangsung kehidupan jemaat dari kurun
lampau ke kurun waktu kini mesti
diabstraksikan secara permanen dalam sebuah buku catatan sejarah yang
manfaatnya multi dimensi bagi lintas generasi.
Karena luas dan lebarnya data akan
dikumpulkan dari setiap kurun waktu,
penguraian penulisan ini mengalami berbagai kesulitan disebabkan
sedikitnya buku-buku referensi, arsib sejarah, dan data pada informan kunci
sebagai pelaku sejarah.
Di tengah kesadaran adanya
kesulitan itu, Badan Pekerja Majelis Jemaat Gunung Hermon Tuminting membentuk TIM Penyusun Sejarah Jemaat Gunung Hermon yang terdiri dari Marfel
Malamtiga, Adrianus Katilik, Maria Areros. Tim Penyusun kemudian menunjuk
seorang penulis sekaligus sebagai editor yakni Iverdixon Tinungki guna
kerampungan penulisan buku catatan sejarah Jemaat Gunung Hermon ini.
Dengan pemahaman tak ada
yang mustahil bagi Tuhan, seperti juga aliran sejarah yang terus menampilkan
perubahan dan kebaruan di mana Jemaat dan Gereja terus tumbuh dan berkembang,
penulisan catatan sejarah ini dikerjakan.
Karena
tuntunan Tuhan Yesus Kristus sebagai kepala Gereja, meskipun diperhadapkan
dengan sejumlah kendala, penulisan edisi pertama Gunung Hermon, 17 Tahun
Pelayanan: Sebuah Catatan Sejarah ini
akhirnya dapat terlaksana.
Dalam
buku ini dipaparkan sejumlah anasir sejarah dari masa rintisan di tahun 1996 hingga
saat terbentuknya Kanisah Kedua (1999) di atas bukit, dan rangkaian peristiwa yang ditarik sejak terbentuknya Jemaat
GMIM Gunung Hermon secara otonom pada 12 Maret 2000, dan dilanjutkan dengan
penelitian yang bertumpuh pada aspek terbatas yaitu: Urutan kepemimpinan Jemaat menurut
tahapan dan periodisasi kepemimpinan.
Dengan
merefleksi aspek historis dan teologis dari anasir pertumbuhan dan perkembangan
gereja dan sistim pelayanan dari kurun waktu di atas, sebagaimana diisyaratkan kitab
Kejadian 12:1-3 dan 1 Petrus 2:9, maka
buku catatan sejarah Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting diberi judul: “GUNUNG HERMON, 17
TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah”.
I.2. Ruang Lingkup Permasalahan
Mempertimbangkan luas dan lebarnya kehidupan dan perkembangan
organisasi pelayanan di aras Jemaat
Gunung Hermon dalam kurun waktu awal
hingga saat ini, serta sempitnya waktu yang diberikan, anggaran yang terbatas,
terbatasnya pula sumber daya peneliti dan penulis, maka penelitian catatan sejarah Jemaat Gunung Hermon ini perlu adanya
pembatasan.
Penelitian dilaksanakan
meliputi : Cikal bakal Jemaat, terbentuknya Jemaat, dan rangkaian kepemimpinan Jemaat,
serta catatan reflektif tentang tugas dan tantangan gereja kini dan di masa
depan.
Dengan demikian ke depan
diharapkan perbaikan-perbaikan atau penambahan data hingga terwujudnya
penulisan buku sejarah GMIM Jemaat Gunung Hermon Tuminting yang lebih lengkap.
I.3. Batasan Konsep
I.3.1. Jemaat, BPMJ dan Gereja
Struktur Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM) menurut Tata Gereja 2007 ditata dalam tiga aras yakni
Jemaat, Wilayah dan Sinode. Struktur tersebut mengacu pada sistem presbiterial
sinodal berdasarkan pemerintahan Tuhan
Allah dalam Yesus Kristus. (GMIM. Tata Gereja, 2007, 5).
Dari struktur di atas , dapat dilihat dimana pengertian Jemaat dalam
Tata Gereja GMIM adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus
Kristus yang menyatakan dirinya sebagai anggota GMIM di suatu tempat tertentu
dan patuh pada Tata Gereja GMIM. Sementara Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) adalah kelengkapan pelayanan sebagai wadah berhimpun Pelayan Khusus di
Jemaat yang memiliki tanggung jawab organisatoris dan berwujud dalam Sidang
Mejelis jemaat.
Pengertian dari kata Jemaat
berasal dari kata Yunani eklesia bermakna: Mereka yang dipanggil. Sedang Gereja berasal dari kata Kuriokon yang
berarti rumah Tuhan.
Dalam perkembangan
selanjutnya kata Jemaat dan Gereja hampir tidak memiliki batas yang tegas. Kosa
kata Portugis Ireja berasal dari kata eklesia yang berarti Jemaat, karena
menunjuk pada orang yang dipanggil oleh Yesus, bukan pada kata kuriokon yang sebenarnya menunjuk pada
wujud bangunan atau rumah Tuhan.
Kata Inggris church juga
berasal dari kata eklesia, dan di Belanda kerk. Kata eklesia juga berarti
jemaat atau gereja bermula dari peristiwa Yesus memanggil para murid.
Murid-murid itulah Jemaat dan Gereja Injili yang pertama (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,5).
Pada peristiwa kenaikan
Tuhan Yesus ke surga, Roh Kudus tercurah pada hari pentakosta ke atas
murid-muridNya dan menjadi rasul artinya: Mereka yang diutus. Rasul-rasul
diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah
Gereja Kristen (Thomas Van Den End,1997,2).
Rasul Paulus mengatakan
bahwa Gereja adalah “Tubuh Kristus” (I Korintus 12: 12, Efesus 4: 5 dan sebagainya). Wujud Gereja ialah pertama-tama : Pesekutuan dengan
Kristus, dan melakukan tugas dan amanatNya. Oleh karenanya Gereja Kristen
yang tidak ada rasa persekutuan dengan
manusia lain dan tidak melakukan amanat, tidak berhak disebut Gereja.
Kata persekutuan dengan
Kristus berarti pula persekutuan dengan manusia lain. Yesus berjanji akan hadir
di tengah-tengah dua atau tiga orang yang berhimpun atas namaNya. Adanya kehadiran
Kristus di tengah-tengah interaksi antar anggota Jemaat dalam persekutuan,
itulah yang disebut Gereja.
Maka dalam penulisan buku
ini penggunaan kata Jemaat atau Gereja memiliki pengertian yang sama. Pemahaman
ini mengacu pada definisi Gereja yang seperti dimaksud Marthin Luther, dan
dipakai dalam Tata Gereja GMIM yaitu:
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang seyakinan. Jadi kata Gereja
dan Jemaat memilik makna yang sama.
I.4.Tujuan dan Manfaat Penulisan
I.4.1. Tujuan
-
Penulisan GUNUNG HERMON, 17 TAHUN
PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah edisi pertama ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
tentang rangkaian – rangkaian pertumbuhan organisasi pelayanan jemaat mulai dari masa cikal bakal
terbentuknya pelayanan jemaat, serta
perkembangannya hingga saat ini.
-
Untuk mendapatkan data guna penetapan Hari
Ulang Tahun Jemaat Gunung Hermon
-
Untuk memenuhi permintaan Sinode GMIM tentang
penulisan Sejarah Jemaat Gunung Hermon .
1.4.2. Manfaat
-
Meski dalam aspek yang terbatas, penulisan GUNUNG
HERMON, 17 TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah ini
telah menggambarkan secara utuh perkembangan Jemaat Gunung Hermon dari masa sebelum tahun 1996 sampai dengan
tahun 2013.
-
Manjadi bahan referensi dan objek evaluasi
untuk kepentingan yang beragam.
-
Menjadi motivasi untuk penulisan yang lebih
lengkap.
-
Merekomendasi Hari Ulang Tahun Jemaat Gunung
Hermon melalui seminar.
-
Motivasi bagi generasi berikutnya untuk
bersikap kritis dan mau mengintrospeksi
kehidupan dalam berjemaat dan
memberi masukan pada kesemarakan pelayanan
dan penyebaran Injil Yesus Kristus kepada semua orang di segala tempat,
dan bangsa.
I.5. Metode Penelitian
Motode penelitian yang
digunakan adalah penelitian lapangan dengan sitem pengumpulan data sebagai
berikut:
-
Wawancara bebas dan terpimpin.
-
Partisipasi.
-
Daftar pertanyaan.
-
Penelusuran
bukti-bukti otentik secara formal maupun non formal.
Untuk melengkapi data yang
diperoleh dalam penelitian lapangan, dilakukan pula penelitian kepustakaan
yaitu mempelajari buku-buku dan karangan ilmiah yang ditulis para sarjana
maupun oleh pengarang lainnya yang ada hubungannya dengan objek penelitian.
salam pagi Sobat..
BalasHapussemoga kuncup menjadi bunga, wangi hidup berketulusan..
Jabat-erat!