Oleh: Iverdixon Tinungki
Pendeta J. Wenas, adalah Ketua Bada Pekerja Majelis
Wilayah (BPMW) Manado Utara ke lima. Bertugas sejak 1994 hingga 1999. Di masa pelayanan
Pendeta J. Wenas STh Wilayah Manado Utara II ketambahan 3 Jemaat hingga menjadi 12 Jemaat
dan 3 Bakal Jemaat. Setelah masa akhir tugasnya sebagai Ketua wilayah, 3 bakal
jemaat di atas dengan SK Sinode menjadi Jemaat mandiri yaitu; Jemaat Firdaus
Mayondi, Jemaat Diaspora Buha dan Jemaat Tunggul Isai Tuminting sehingga Jemaat
di Wilayah Manado Utara II kembali berkembang menjadi 15 Jemaat.
Ketika
diwawacarai Penulis pada Rabu, 13 juni 2012 Jam 13.05 Wita, ia mengatakan gejolak
yang timbul pada masa kepemimpinannya yaitu tentang masalah Jemaat Pangiang dan
masalah pemekaran 5 Kolom di Jemaat Nazaret Tuminting yang saat ini menjadi
Jemaat Tunggul Isai dan jemaat Gunung Hermon. Menurut memorinya, khusus untuk
Jemaat Pagiang dulunya merupakan satu kolom dari jemaat GMIM “Torsina” Tumumpa,
atau dengan sebutan Jemaat Kobong, karena mereka adalah bagian dari jemaat GMIM
“Torsina” yang membuka lahan baru di ‘Pangiang’.
Seiring
berjalannya waktu, ada desakan-desakan dari beberapa tokoh jemaat di antaranya Bapak Manoppo, yang meminta agar kolom di
Pangiang boleh memisahkan diri dari jemaat GMIM “Torsina” Tumumpa, untuk
menjadi sebuah jemaat yang mandiri. Ketika itu, Badan Pekerja Majelis Jemaat
GMIM “Torsina” Tumumpa belum menyetujui untuk mendirikan sebuah jemaat atau
kolom. Badan Pekerja Majelis Jemaat mau
supaya dipersiapkan betul, karena di Pangiang hanya ada 15 KK.
BPMJ
mau untuk memilih pelayan khusus kolom harus dari mereka sendiri, tetapi Tata
Gereja GMIM 1999 mengatakan ada peraturan kalau tidak ada di dalam lingkungan
15-25 KK boleh mengambil pelayan khusus dari luar, dan dipilihnya Bapak Manoppo
dan Bapak Drs. Ruben Saerang sebagai Pelsus dalam masa persiapan untuk menjadi
sebuah jemaat yang baru dengan tugas mempersiapkan secara matang baik dari segi
administrasi maupun kelengkapan sebagai jemaat.
Menurut
Pendeta Wenas, dimana Drs. Ruben Saerang sebagai motivator berperan besar dalam
membantu Jemaat “Pangiang” sehingga boleh
menjadi satu jemaat. Ini dari segi kehidupan berjemaat.
Dalam
masa kepemimpinan Pdt. J. Wenas berbagai tindakan inovatif dilakukan untuk memajukan pertumbuhan
jemaat baik dari segi ekonomi maupun dari segi iman kepercayaan kepada Tuhan.
Selama kepemimpinannya sebagai Ketua Wilayah Manado Utara ada beberapa jemaat
yang dipegangnya untuk dipersiapkan menjadi jemaat yang dewasa yaitu Jemaat
GMIM “Kharisma” Buha, jemaat GMIM “Bukit Zaitun” Sumompo.
Welly
Moendoeng, Sekretaris Wilayah Manado Utara II pada masa kepemiminan Pendeta J.
Wenas mengatakan tidak ada masalah yang menonjol yang terjadi selama
kepemimpinan Pendeta J. Wenas.
Ketika
ditemui pada Jumat, 15 Juni 2012 Jam:
08.30 Wita, di rumahnya di Karagria, mantan sekretaris wilayah itu mengatakan,
masalah yang cukup pelik dikurun itu hanya
masalah Jemaat Pangiang. Menurutnya, sebenarnya tidak ada efek negatif
dalam pelayanan di Pangiang kalau tidak ada gejolak yang terjadi.
Pendeta
J Wenas kata Moendoeng, adalah pribadi yang cepat tanggap. Ketika ada masalah
langsung diredam. Ia melakukan kunjungan ke jemaat dan mendatangi
keluarga-keluarga jemaat bahkan majelis serta melakukan pendekatan persuasif
dan personal tidak menunggu rapat wilayah, tetapi langsung turun langsung ke
jemaat.
Khusus
dalam penangan konflik di Jemaat Pangiang,
ia dan Drs. Ruben Saerang bersinergi untuk mendirikan jemaat baru
“Pangiang.
Dari
segi pelayanan, Pendeta Wenas terus menerus melakukan pelayanan tanpa pandang
bulu. Fungsi pengembalaan mejadi fokus penting baginya untuk memajukan kerja
pelayanan. Ia pun sosok yang sangat tertib dan teliti dalam hal administrasi.
Sablah Aer Yang Dipandang Sablah Mata
Sejarawan
Sem Narande mengatakan kalau Gubernur HV. Worang di masa lalu tidak membangun
kompleks perumahan pegawai Kantor gubernur, perumahan pegawai Bank, perumahan
Polisi dan perumahan Angkatan Laut dan KPLP, maka Manado Utara merupakan
kawasan paling marginal di Kota Manado.
Hingga
kini pun aras ini adalah sebuah teritorial pelayanan yang unik. Orang-orang di
kawasan Tengah dan Selatan kota Manado menyebut daerah ini dengan gaya satire
yang cukup miris yaitu “sabalah aer” (sebelah air). Sebutan itu sesungguhnya
bukan menegaskan dimana Wilayah Manado Utara terletak di Utara Daerah Aliran
Sungai (DAS) Tondano alias kuala Jengki. Tapi dimaksudkan sebagai kawasan
orang-orang miskin, sekaligus tempat pembuangan segala hal yang bermakna “buruk”
dari kota Manado. Dalam konsep penataan kota Manado saat ini, daerah Utara ini
merupakan kawasan pemukiman, pergudangan, dan pabrik. Artinya masyarakat di
sini diperhadapkan dengan masalah polusi dari uap bahan-bahan kimia dan asap
pabrik. Khusus untuk Wilayah Manado Utara II, dalam teritorial pelayananya ada
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dari seluruh penjuru kota Manado. Di sini
juga ditempatkan Lembaga Pemasyarakatan Manado (Penjara Manado). Tak sekedar
itu, lokalisasi penderita kusta juga dipusatkan di kawasan ini. Seakan
pandangan sablah mata (Sebelah Mata) terarah tepat ke kawasan ini.
Bila
bicara tentang dampak dari sampah bagi Manusia dan Lingkungan di Kota Manado,
maka kawasan Manado Utara adalah wilayah yang paling dirugikan. Kita sadari bahwa
pencemaran lingkungan akibat sampah dan limbah perindustrian sangat merugikan
manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Potensi bahaya kesehatan
yang dapat ditimbulkan adalah penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari
sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam
berdarah dapat juga meningkat dengan cepat. Penyakit jamur dapat juga menyebar.
Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita. Cacing ini sebelumnya
masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa
makanan dan sampah.
Penguraian
sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair
organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas dalam konsentrasi
tinggi dapat meledak. Tentang bau sampah ini sudah pada tahapan yang sangat
mengganggu kenyamanan hidup. Pada pukul 16.00 wita saat mulai terjadinya
perubahan arah angin menuju laut, maka bauh sampah yang amat menyengat akan terbawah
angin dan menyebar ke radius 4 km hingga pagi hari. Dalam radius itulah
teritorial jemaat-jemaat Manado Utara II. Di tengah bau tak sedap inilah setiap
harinya jemaat-jemaat di sini melakukan peribadatan atau berdoa di tengah malam
dan pagi hari.
Sementara
bahaya kesehatan lainnya mengacam dari pabrik-pabrik busa yang menggunakan
bahan kimia berbahaya. Asap pabrik dan limbah industry minuman. Industri meubel
dengan bahan mengecatan yang berbau tajam. Lingkungan pergudangan besi, tegel,
beras, yang menjadi sarang tikus.
Di sini, polusi
udara dapat terjadi melebihi baku mutu lingkungan. Udara yang telah tercemar
oleh polutan tertentu dapat menyebabkan turunnya mutu udara di lingkungan.
Udara yang telah tercemar dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan manusia
dan makhluk hidup lainnya secara langsung. Tetapi udara yang tercemar juga
dapat berdampak yang cukup luas seperti pemanasan global dan hujan asam. Hujan
asam adalah meningkatnya konsentrasi asam di udara seperti peningkatan jumlah
SO2 (sulfur dioksida) diudara sebagai hasil dari pembuangan
asap kendaraan bermotor dan industri atau hasil pembakaran bahan bakar fosil
yaitu bahan bakar minyak dan batubara.
Di sini aktifitas
penggunaan industri yang padat, kkonsentrasi gas CO dapat mencapai 10 – 15ppm.
Gas CO di dalam paru-paru bereaksi dengan hemoglobin pada sel darah merah yang
dapat menghalangi pengangkutan oksigen ke seluruh bagian tubuh. Dampak yang
ditimbulkan bagi masyarakat di sini adalah:
Pusing/sakit kepala, Rasa mual, Pingsan (ketidak sadaran), Kerusakan jaringan
otak, Sesak nafas, Kematian, Gangguan pada kulit, Gangguan penglihatan (efek
jangka panjang). Iritasi mata, Radang saluran pernafasan, Gangguan pernafasan kronis (bronkitis,
emfisema dan asma).
Acaman dari
pabrik meubel dan pergudangan juga tidak sedikit berupa materi partikulat, atau
partikel-partikel yang berukuran kecil seperti serbuk kayu, serbuk batu, serbuk
pasir, serbuk kapas, serbuk kwarsa, serbuk asbes. Materi partikulat ini banyak
terdapat di daerah ini.Dampak yang ditimbulkan adalah penyakit paru mulai dari
peradangan hingga kangker paru-paru.
Inilah semua yang membentuk mindset masyarakat
Tengah dan Selatan dalam cemohan mereka; “Sabla aer”. Tragis memang! Tapi
inilah padang pelayanan para klerus Tuhan untuk mengubah sable aer menjadi
rumah Tuhan yang penuh pengharapan. Apakah kemiskinan membuat wajah umat di
sini hina di mata Tuhan. Bukankah Tuhan selalu ada di tengah kaum miskin untuk
membuat mereka tak berkekurangan. Tuhan pula yang datang meraba mereka yang
menderita sakit agar tersembuhkan dan mereka yang terpenjara untuk terbebaskan.
Ini
sebabnya tugas-tugas pelanan di wilayah ini bukanlah pekerjaan yang ringan.
Butuh totalitas dan keterlibatan yang sungguh-sungguh untuk masuk ke dalam
pergumulan jemaat.
Ketika
Pendeta J. Wenas, STh menapaki pelayanannya di aras ini, kesadaran totalitas
itulah yang menjadi visi pelayanannya. ia adalah sosok cepat tanggap, tidak
saja tentang pesoalan-persoalan kejemaatan tapi juga masalah-masalah social
ekonomi masyarakat. Untuk mengantisipasi serangan berbagai penyakit akibat
dampak polusi dan pencemaran, dalam era kepemimpinanya ia mengerahkan pengadaan
balai pengobatan di tiap jemaat dengan melibatkan tenaga dokter yang merupakan
anggota jemaat di masing-masing gereja. Program ini diadakan supaya anggota
jemaat bisa melakukan pengobatan secara murah dan baik lewat kartu-kartu
kesehatan yang diprogramkan jemaat. Apalagi saat itu Puskemas Tuminting belum
beroperasi penuh seperti sekarang. Program gereja untuk kesehatan jemaat ini
tercatat sangat membantu menolong mereka yang berkekurangan.
Memasarkan Hasil Pertanian Penderita
Kusta
Desa Pandu sebagai basis lokalisasi penderita
kusta, tentu menjadi persoalan tersendiri yang menuntut perhatian gereja. Melokalisir
para penderita kusta dari berbagai tempat ke kawasan Pandu memang merupakan
kebijakan pemerintah kota. Lantas cukupkah beban penderitaan para penderita
hanya di tanggung oleh mereka sendiri. Bagaimana kehidupan rohani mereka?
Bagaimana keadaan sosial ekonomi mereka? Haruskah gereja menutup mata pada
tugas panggilannya? Bagaimanapun, lokalisasi dalam pandangan ekstrimnya adalah
penjara tanpa dinding dan terali. Tempat orang-orang yang terhukum secara
sosial dan psykologis. Mereka yang hidup dalam lingkungan lokalisasi adalah
orang-orang yang dialienasi dari kehidupan masyarakat umum. Orang-orang luar
enggan menjumpai mereka. Hasil karya dan kerja mereka tidak memiliki harga. Itu
semua deraan yang mereka alami. Sebuah kenyataan yang menuntut semangat
imanensi gereja. Maukah gereja datang merabah detak hati kaum terbuang dan
terhukum ini?
Di
masa pendeta J. Wenas, STh, sebuah gereja dibangun untuk para penderita kusta
yakni jemaat GMIM Efrata Pandu. Tapi cukupkah dengan hanya membangun gereja
bagi mereka yang didera penderitaan penyakit dan diisolasi dari masyarakat umum
itu? Bagi Wenas, pelayanan terbuka ke jemaat Efrata harus dilakukan. Jemaat
GMIM Efrata di perlakukan sama dengan jemaat-jemaat GMIM di Wilayah Manado
Utara II. Bahkan beberapa kali kegiatan tingkat wilayah justru dipusatkan di
Jemaat Efrata. Kunjungan ibadah BIPRA tingkat wilayah juga dilakukan di Efrata,
meski para penderita kusta itu canggung bila melakukan kunjungan ke jemaat lain
bila ada kegiatan ibadah wilayah. Bagi Wenas, gereja harus hadir di tengah
pergumulan jemaat Efrata untuk membawa pengharapan bagi mereka. Bahwa penyakit
kusta bukan kutukan, dan penyakit itu bisa disembuhkan kalau tekun berobat dan
hidup penuh pengharapan dalam kasih Tuhan Yesus Kristus. Hasil dari pelayanan
dan perhatian serius ini tidak sedikit para penderita berangsur sembuh dan bisa
beraktivitas kembali dengan baik dan normal.
Lantas bagaimana penanganan masalah ekonomi
warga jemaat Efrata? Bagaimana memasarkan hasil pertanian mereka? Para pedagang
di pasar-pasar tradisional ketika itu menolak membeli hasil produksi pertanian
dari kawasan lokalisasi ini. Padahal kegiatan pertanian dilokalisasi hanya
dilakukan oleh mereka yang benar-benar telah sembuh. Jadi tidak ada masalah
dengan hasil produksi pertanian mereka. Namun keengganan masyarakat membeli
hasil pertanian mereka menyebabkan tidak
hanya hasil jual yang kecil, tapi harga jual juga sangat rendah. Lagi-lagi
dituntut tolehan gereja untuk menangani masalah ini. Untuk memecahkan kebuntuan tersebut, Pendeta.
J. Wenas mencari solusi dengan melibatkan agen pemasaran atau pembeli sehingga
harga jual hasil pertanian warga Jemaat Efrata boleh meningkat baik. Program
pendampingan gereja ini cukup berhasil. Warga jemaat Efrata bisa menikmati
hasil dari perdagangan panenan mereka. Sebuah tindakan nyata di tengah umat
yang membutuhkan pertolongan ini, benar-benar menjadi kesaksian yang luar biasa
di tengah kehidupan gereja di wilayah ini di kurun itu. Semua inovasi di kurun
kepemimpinan Pendeta Wenas, seperti juga pada periode sebelumnya atau
sesudahnya tak lain menyuguhkan fakta peran gereja, dimana gereja secara
teologis berada seimbang antara
dua kebenaran ilahi yang paling hakiki yakni transendensi dan imanensi. Pada
satu tangan, Allah terhubung dengan dunia secara transenden. Karena itu, Dia
bukan bagian dari dunia dan melebihi alam semesta (Pkh 5:1). Sementara itu di
tangan yang lain, Allah tampil sebagai pribadi yang imanen, yang artinya hadir
di dalam ciptaan-Nya. Dia ada di dalam sejarah manusia, mengatur dan mengontrol
alam semesta dan berada di dalam setiap proses yang berlangsung dalam dunia
ini.
Susunan BPMW Periode 1994-1999
1.
Ketua :
Bpk. Pdt. J. Wenas
2.
Wakil Ketua :
Bpk. Manoppo
3.
Sekretaris :
Bpk. W. Moendoeng
4.
Bendahara :
Ibu Pnt. Lutia-Madellu
5.
Anggota :
Bpk. Pnt. A. tuwonaung
6.
Anggota :
Bpk. Pnt. Kapal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar