Oleh: Iverdixon Tinungki
Penetapan Wilayah Manado
Utara II secara resmi sebagai sebuah aras dalam pelayan GMIM dilakukan lewat Surat
Keputusan Badan Pekerja Sinode Nomor 83 tgl. 6 Agustus 1982 yang ditanda
tangani Ketua BP Sinode Pendeta DR. W. A. Roeroe dan Sekretaris Umum (Sekum)
Pendeta K. H. Rondo S.Th.
Dalam Surat Keputusan Badan Pekerja
Sinode tersebut, Wilayah Manado Utara II disebut sebagai Wilayah Tumumpa dengan
kedudukan Kantor Wilayah di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa (Kutipan Beslit BP Sinode. No. 126).
Sedang penetapan penugasan
Pendeta Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu selaku pejabat Ketua Wilayah Manado
Utara II yang pertama melalui Beslit Nomor: 126 tanggal 6 Agustus 1982 yang
resmi berlaku terhitung sejak 1 September 1982.
Penetapan wilayah dan
pimpinan wilayah di atas merupakan sebuah etape baru dalam kelokan sejarah aras
pelayan di pesisir ini setelah melintas selama 419 tahun sejak masa baptisan
pertama di tepi pantai Sindulang, atau 48 tahun setelah GMIM berdiri. Terang
kabar baik Injil Kristus Tuhan itu tak henti mencari ruang untuk diterangi.
Seperti roti yang dipecah-pecahkan pada pesta perjamuan akhir sebagai isyarat
dimana tugas kerasulan itu harus diemban melewati setiap kurun waktu, dan
akhirnya menemui kelokannya di sini, di kawasan utara tepi laut Manado yang
senjanya selalu elok. Sebuah peristiwa pemekaran wilayah yang menjadi penanda siklus
baru akan dimulai di sebuah aras pelayanan menuju kelokan dan abadnya sendiri.
Bagaimana sebenarnya alur sejarah pemekaran
wilayah ini? Bermula dari penugasan persiapan pemekaran Wilayah Manado Utara
menjadi dua wilayah yang menurut
beberapa sumber pelaku sejarah, dilakukan melalui Nota Dinas
yang dikeluarkan dan ditandatangani Ketua Sinode GMIM Pdt. DR. W. A. Roeroe
pada tahun 1981 yang ditujukan kepada Ketua Wilayah Manado Utara Pendeta
Sambuaga Dumais. Mengingat
wacana pemekaran Wilayah Manado Utara sudah terangkat sejak 30 September 1981
pada saat pelaksanaan peringatan HUT GMIM ke 47 tahun.
Di Sinode GMIM, Pendeta Prof. Dr. W.A. Roeroe tercatat terpilih dalam
dua periode kepemimpinan menjadi Ketua. Pertama, terpilih pada tahun 1979
hingga 1990 sebagai Ketua Badan Pimpinan
(BP) Sinode ke 9. Kedua, terpilih pada tahun1995-2000 sebagai Ketua BP Sinode
ke 11.
Dalam konteks Nota Dinas
dalam rangka perintah persiapan pemekaran Wilayah Manado Utara menjadi 2
wilayah di atas, dikeluarkannya pada masa kepemimpinannya yang ke 9 (1982) di BP Sonode GMIM.
Persiapan pemekaran wilayah
ini menurut Ketua BPW Manado Utara II ke 8 Pendeta Dj. L. Bato STh, sebenarnya sudah dimintakan BP Sinode setahun sebelumnya, yaitu dimulai pada 30
September 1981 sebagai respons atas
keluhan Pendeta Sambuaga Dumais tentang teritorial pelayanannya yang terlalu
luas sebagai Ketua Wilayah.
Mengapa ada keluhan terhadap
luasnya area wilayah pelayanan? Pantaskah seorang hamba Tuhan yang terutus dan
terpilih mengeluhkan keberadaan medan pelayanannya? Bila para pendahulunya
tidak mengeluhkannya, mengapa kini harus dikeluhkan? Jawabannya, keluhan Pendeta Sambuaga Dumais memang dapat
dipahami sebagai upaya efektifitas pelayan di teritorial pelayanannya.
Memang bila dibanding dengan
sebelumnya, teritorial Wilayah Manado Utara sebelum dimekarkan menjadi 2
wilayah masih sama dengan teritorial di kurun tahun 1903 pada saat kepemimpinan
Kepala Paroki Singkil pertama Pendeta Hendrik Sinaulan ditempatkan. Maka usulan
pemekaran itu adalah wajar bila melihat perkembangan selang 79 tahun kemudian
dimana jumlah jemaat-jemaat telah bertambah seiring kian kompleksnya
masalah-masalah pelayanan di aras ini. Signifikansi perkembangan jemaat-jemaat
dapat dilihat dari perbandingan anggota jemaat GMIM di kurun tahun 1903 baru di
kisaran 80.000 orang. Sedangkan dalam 79 tahun sejak masa Paroki Pertama
berdiri atau 46 tahun sejak GMIM bersinode
anggota jemaat GMIM telah melonjak tajam mencapai 650.000 orang lebih,
dengan 150.000 KK, menyebar dalam 40
Wilayah, terbagi dalam 540 Jemaat.
Bila Paroki Singkil pada
tahun 1903 hanya terdiri dari 1 jemaat dan berkembang menjadi 4 jemaat pada 20
tahun kemudian masih di masa kepemimpinan Kepala Paroki Pertama Pendeta
Sinaulan, maka kita melihat perkembangan pesat pada masa kepemimpinan Pendeta
Sambuaga Dumais yang telah terdiri dari 15 jemaat, di tambah dengan beberapa
jemaat baru yang masih dalam tahapan persiapan pemekaran.
Bisa juga dilihat pada
paparan Bab berikutnya, dimana pada tahun 2012 atau dikurun 30 tahun pasca
peristiwa pemekaran menjadi 2 wilayah, tampak kenyataan dimana aras ini bahkan
telah dimekarkan menjadi 5 wilayah pelayanan.
Ini sebabnya, ketika keluhan
yang bermakna usulan untuk pemekaran Wilayah Manado Utara menjadi dua wilayah dari Pendeta Sambuaga Dumais yang
dikemukakannya pada 30 September 1981 dalam Sidang Sinode, langsung mendapatkan
respons positif. BP Sinode ketika itu langsung memerintahkan dilakukan pemetaan
jemaat serta persiapan-persiapan menuju pemekaran kepada Pendeta Dumais
Sambuaga selaku Ketua BPW Manado Utara. Mendekati setahun, karena kesibukannya
Pendeta Sambuaga Dumais belum juga mengirimkan laporan persiapan pemekaran dan
pemetaan jemaat ke BP Sinode sehingga pemekaran itu tertunda.
Tentang pemekaran yang
tertunda dari 1981 ke 1982, dikatakan Pendeta Dj. L. Bato, disebabkan tidak ada laporan persiapan serta pemetaan jemaat oleh Ketua Wilayah Pendeta Sambuaga Dumais ke
Sinode ketika itu sebagaimana yang diamanatkan Nota Dinas
Ketua BP Sinode.
Ini sebabnya setahun kemudian, masalah pemekaran Wilayah Manado Utara kemudian
dibicarakan dalam Sidang Badan Pekerja Sinode tanggal 18 Juni 1982 di Tomohon.
Kemudian dimantapkan lagi pada Sidang Badan Pekerja Harian Sinode tanggal 24
Juli 1982. Lalu kembali dibawa ke dalam Sidang Badan Pekerja Sinode tanggal 28
Juli 1982 yang mengeluarkan ketetapan pemekaran dan rekomendasi penerbitan Surat Keputusan penetapan resmi 2
wilayah baru di Manado Utara.
Pada tanggal 6 Agustus 1982
Badan Pekerja Sinode GMIM mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 83 tertanggal 6
Agustus 1982 yang menetapkan berdirinya Wilayah Tumumpa (Wilayah Manado Utara
II) sekaligus menetapkan Kantor Wilayah berkedudukan di Jemaat GMIM Torsina
Tumumpa. Pada tanggal yang sama, BP
Sinode juga menerbitkan Beslit Penugasan Nomor 126 kepada Pendeta Ny. Lientje
Mientje Sumolang Dapu selaku pejabat Ketua Wilayah Tumumpa yang resmi berlaku
terhitung sejak 1 September 1982.
Pemekaran wilayah tersebut menjadikan posisi
Jemaat Torsina Tumumpa sebagai pusat Wilayah yang baru. Wilayah Manado Utara II
yang berpusat di GMIM Torsina Tumumpa pada saat dimekarkan terdiri dari 10 Jemaat masing-masing:
1. Jemaat
Petra Karangria Ketua BPMJ Pendeta H. Aling
2. Jemaat
Nazaret Tuminting Ketua BPMJ Drs Engelhart Lahope
3. Jemaat
Torsina Tumumpa Ketua BPMJ Pendeta Ny. L. M. Sumolang Dapu
4. Jemaat
Imanuel Bailang Ketua BPMJ Drs. Hans Rendeo
5. Jemaat
Batu Saiki, Ketua BPMJ Amos Hamel
6. Jemaat
Molas Ketua BPMJ Ventje Mendangkey
7. Jemaat
Meras Ketua BPMJ Erens Donio
8. Jemaat
Buha Ketua BPMJ Elly Pahenon
9. Jemaat
Bengkol Ketua BPMJ John Pandelaki
10. Jemaat
Pandu Ketua BPMJ Herman Patimbano.
Untuk Wilayah pemekaran ini,
Badan Pimpinan Wilayah Manado Utara II dipercayakan oleh BP Sinode GMIM kepada Pendeta
Ny. Sumolang Dapu, STh. Sementara Jemaat Bethanie Singkil Sindulang tetap
menjadi pusat Wilayah Manado Utara I dengan Ketua Wilayah yang masih
dikendalikan Pendeta Ny. Sambuaga Dumais, STh. Lagi-lagi nuansa kepemimpinan
dari kalangan kaum perempuan mencoraki kurun awal dari dua wilayah pemekaran ini.
Dibanding teritorial wilayah
Manado Utara II yang terdiri dari 10 jemaat, teritorial Wilayah Manado Utara I
di kurun awal tersebut meliputi 5 Jemaat
masing-masing:
1.
Jemaat Kombos Ketua Jemaatnya J. Masawet
2.
Jemaat Karame Ketuanya M. Sondang
3.
Jemaat Tuna Ketuanya Pendeta Joffie Lontoh
4.
Jemaat Bukit Moria Ketuanya Ny. Anneke
Makikui Gundong
5.
Jemaat
Bethanie Singkil Ketuanya Pendeta Ny. W. Anthoneta Sambuaga Dumais.
Perkembangan selanjutnya, pasca
pemekaran (1982-2012), pusat Wilayah Manado Utara II yang sebelumnya di Jemaat GMIM
Torsina Tumumpa dari tahun 1982 hingga 1990, dipindahkan ke Jemaat GMIM Petra
Karangria 1990 hingga saat ini.
Lantas bagaimanakah tantangan
tugas-tugas kepemimpian di aras wilayah serta perkembangan jemaat-jemaat di
kurun 30 tahun pelayanan Wilayah Manado
Utara II? Siapa-siapa saja yang terutus mencoraki kepemimpinan di aras ini? Bagaimanakah
pemekaran wilayah selanjutnya? Jawaban terindah adalah, “Yesus Kristus Tuhan
sebagai Kepala Gereja senantiasa berada di tengah jemaat-jemaat dan aras
pelayananNya”. Babakan demi babakan,
peristiwa demi peristiwa dapat dilalui dalam kurun 30 tahun kepemimpian tak
sekadar bermakna historis tapi juga teologis. Seperti musim yang selalu punya siklus
dan romantikanya sendiri. Dan dalam kurun 30 tahun Wilayah Manado Utara II
dipimpin 8 Ketua Badan Pekerja Wilayah masing-masing:
1. Pendeta Ny. Lientje Sumolang Dapu, STh
1982
2.
Pendeta A. Koloay, STh 1990
3.
Penatua F. Langkudi 1990
4.
Pendeta M. Hermanus, STh 1990-1994
5.
Pendeta J. Wenas, STh 1994-1999
6.
Pendeta JJ Lontoh, STh 1999-2005
7.
Pendeta Ny. G. Rais Tumiir, STh 2005-2009
8.
Pendeta Dj. L. Bato STh, 2009- ……..
Periode BPW di Tumumpa
Selama 8 tahun Jemaat GMIM
Torsina Tumumpa sebagai pusat Wilayah Manado Utara II, berlangsung dari tahun
1982-1990. Melewati 2 periode kepemimpinan definitif dan 1 kali kepemimpinan
transisi.
Sebelum teropongan menukik
pada bedahan perkembangan jemaat-jemaat serta ornamentasi kepemimpinan di kurun
8 tahun tersebut, muncul pertanyaan mengapa harus Jemaat
Torsina Tumumpa yang menjadi pusat wilayah pasca pemekaran? Haruskah pusat
wilayah senantiasa berada di jemaat yang letaknya dekat deburan dan hempasan ombak sebagaimana sejarah kekristenan di kawasan ini
yang benar-benar burmula di tepi pantai pada 4 abad silam (1563)? Ataukah
jemaat GMIM Torsina dipandang sebagai jemaat yang dewasa karena mampu melewati
3 babakan badai besar perpecahan? Atau mungkinkah karena adanya asupan kekuatan politik dari
tokoh-tokoh kunci dalam jemaat tersebut yang menjadi instrumen non
teologis historis yang ikut memberi irama hingga Torsina menjadi Pusat Wilayah
Manado Utara?
Pertanyaan di atas sempat
mencuat di kisaran tahun 1982 pasca peresmian Manado Utara II sebagai Wilayah,
terutama di kalangan Pemuda dan di kalangan BIPRA pada umumnya menjelang
pemilihan Pengurus BIPRA Tingkat Wilayah. Bila ditelisik secara historis, Jemaat
GMIM Torsina adalah jemaat yang belakangan berdiri dibanding jemaat-jemaat
besar lainnya di aras pelayanan yang baru dimekarkan ini. Mengapa bukan di
Nazaret? Mengapa Bukan di Petra? Mengapa Bukan di Sion Bailang, Mengapa bukan
di Maranatha Bengkol?
Beberapa sumber, mengakui adanya lobi bernuansa politis hingga
Torsina di tetapkan menjadi pusat wilayah, karena di jemaat tersebut merupakan
gudangnya tokoh-tokoh politik dan para praktisi politik di kurun itu. Namun
bila ditilik dari kondisi kepemimpinan jemaat-jemaat ketika itu, dimana dari 10
jemaat sebagai anggota Wilayah, hanya 2 jemaat yang ketua BPMJ-nya dari
kalangan Pendeta yakni Jemaat GMIM Torsina Tumumpa yang dipimpin Pendeta
Sumolang Dapu, dan Jemaat GMIM Petra Karangria yang dipimpin Pendeta H. Aling.
Sementara 8 jemaat lainnya dipimpin oleh para pelayan non pendeta yaitu para
Penatua.
Mengingat aturan dalam Tata
gereja GMIM yang mengatur kepemimpinan aras wilayah harus dipegang seorang
pendeta, dengan mempertimbangkan realitas hanya ada dua jemaat yang dipimpin
pendeta, maka adalah tepat kebijakan BP Sinode yang menetapkan Pendeta Sumolang Dapu sebagai Ketua
Wilayah sekaligus penetapan Torsina sebagai pusat wilayah. Selain itu, adanya
pertimbangan dimana Pendeta H. Aling selaku Ketua BPMJ Petra Karangria ketika
itu disibukan oleh urusan bisnis perusahaannya. Selain berprofesi sebagai
pendeta, H. Aling adalah seorang kontraktor. Tentang kesibukan profesinya
sebagai pemborong itu Pendeta H. Aling
mendapatkan kritikan tajam oleh anggota jemaatnya sendiri, karena sering lalai
dalam tugas-tugas pelayanannya.
Di kurun 8 tahun Wilayah
Manado Utara II berpusat di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, terjadi dua kali
pergantian kepemimpinan wilayah. Dimana periode kepemimpinan Pendeta Sumolang
Dapu sebagai Ketua Wilayah Manado Utara II pertama diserah terimakan kepada
Pendeta A. Koloay, STh sebagai Ketua BPW kedua yang definitif. Usai periode
kepemimpinan Pendeta A. Koloay tahun 1990, Wilayah Manado Utara II memasuki
masa kepemimpinan transisi yang diserahterimakan ke Penatua F. Langkudi yang
ketika itu sebagai Wakil Ketua BPW menjabat Ketua BPW.
Beberapa bulan kemudian,
ketua BPW transisi Penatua F. Langkudi menyerahkan kepemimpinan BPW definitif
kepada Pendeta M Hermanus, STh, yang saat itu merupakan Ketua BPMJ GMIM Petra
Karangria. Serah terima kepemimpinan BPW
tersebut sekaligus menjadi momentum peralihan pusat wilayah dari Torsina
Tumumpa ke GMIM Petra Karangria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar