OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
Bau kemenyan, goraka, kinsule
(Bataka), dan bunga patuku (melati) dari upacara-upacara paganis masyarakat alifuru
dan para penganut agama suku di kawasan ini,
saat ini tak lagi mampu mengalahkan berbagai wangi parfum produk modern
seperti Estelouder, Axe dengan iklan malaikat jatuh di televisi itu, atau bau
makanan dari jejeran restaurant di pusat kota Manado saat ini.
Mantra-mantra magis telah
menjadi sastra dalam kearifan lokal yang mulai setara dengan keindahan
penulisan status dalam jejaring sosial
internet seperti facebook dan twitter. Opoisme telah ditafsir sebagai
jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan dalam pandangan gereja samawi. Tradisi
masyarakat komunal seperti Mapalus telah berganti individualisme, eksklusifisme
yang lengkap dengan assesoris berhala baru materialisme dan hedonism. Mall-mall
dan pusat perbenlanjaan lain telah menghisap dan membentuk perangai baru dalam kultur
masyarakat kawasan ini, saat ini. Pandangan-pandangan kesederhanaan hidup nyaris
menumui ajalnya dalam kurun waktu empat abad sejarah gereja di sini. Dan ini
menjadi tantangan dan pergumulan gereja kini dan di masa depan. Gereja yang
harus mampu menjaga keesaan umat dalam persekutuan yang kuat dengan Kristus.
Gereja yang terus membangun dalam kebersamaan. Gereja yang terus bersaksi
tentang kabar baik keselamatan. Gereja yang terpanggil dan berada di tengah pergumulan
sosial umat dan masyarakat pada umumnya.
Banyak yang telah berubah
dan mengalami kebaruan dalam kurun waktu empat abad dari awal mula kekristenan
di pesisir ini, hingga masa gereja saat ini. Meski praktek syamanisme masih
saja menjadi alternatif pilihan segelintir orang dari masyarakat suku-suku dalam hal pengobatan dan sebagai fetis menuju raihan
peruntungan dalam bidang ekonomi. Dalam kenyataan-kenyataan inilah aras
pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II berkembang.
Teritorial pelayanan GMIM
Wilayah Manado Utara II saat ini terdiri dari 7 jemaat, masing-masing; Jemaat
Petra Karangria, sebagai Pusat Wilayah. Jemaat ini terdiri dari 21 kolom. Terletak
di tepi pantai teluk Manado. Kawasan pantai itu dulunya adalah area penangkapan
ikan yang menggunakan pukat dampar (Soma). Sebuah kultur perikanan tradisional
masyarakat pesisir Manado yang telah hidup berabad-abad sebagai tuas ekonomi
masyarakat nelayan tradisional yang kini tergerus pasca pemerintah Kota Manado
menggelontorkan kebijakan pembangunan boulevard sepanjang pesisir Manado. Pantai
yang lebar dengan hamparan pasir yang indah kini lenyap bersama lenyapnya mata
pencaharian para nelayan tradisional.
Teritorial pelayanan jemaat
Petra Karangria di sebelah selatan langsung berbatasan dengan Jemaat GMIM
Sindulang yang merupakan batas teritorial wilayah Manado Utara I, di Utara
berbatasan dengan Jemaat Torsina Tumumpa yang merupakan teritorial pelayanan
Manado Utara III. Sebelah barat adalah
perairan teluk Manado, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan jemaat
Nazaret Tuminting yang merupakan salah satu jemaat di Wilayah Manado Utara
II. Area pelayanan Jemaat Petra meliputi
seluruh wilayah kelurahan Karangria, kecamatan Tuminting.
Berbeda dengan jemaat Petra
Karangria sebagai pusat Wilayah Manado Utara II yang terletak di tepi pantai, sementara
Jemaat anggota Wilayah Manado Utara II lainnya yang sambung menyambung adalah
Jemaat Nazaret Tuminting dengan 25 kolom,
Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting, Jemaat Getsemani Sumompo dengan 27 kolom, Jemaat Bukit Zaitun Sumompo, Jemaat Firdaus Mayondi. 6 jemaat ini terletak di area perbukitan di
sekitar pesisir pantai Manado Utara. Bagian selatan berbatasan dengan Jemaat
GMIM Jarden Kampung Islam yang merupakan anggota wilayah Manado Utara I, dan di
Utara berbatasan dengan Jemaat GMIM Ararat sebagai anggota Wilayah Manado Pandu
Tumpa (Mapatu). Sebelah Barat berbatasan dengan Wilayah Manado Utara III, dan
sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Mawako (Manado Wawonasa Kombos).
Tujuh Jemaat anggota Wilayah
ini berada di 4 kelurahan, masing-masing; 1 Jemaat di kelurahan Karangria, 3
jemaat di Kelurahan Tuminting, 2 jemaat di kelurahan Sumompo, 1 Jemaat di
kelurahan Singkil, atau berada di 2 wilayah Kecamatan yaitu 6 Jemaat berada di
wilayah kecamatan Tuminting, dan 1 jemaat di Kecamatan Singkil.
Mayoritas anggota jemaat di
7 jemaat ini adalah masyarakat asal etnik Sangihe Talaud. Kemudian disusul
etnik Bantik dan Minahasa, Tionghoa, serta
etnik campuran lainnya. Mata pencaharian mayoritas masyarakat adalah pekerja
kasar berupa buruh dan tukang, Pegawai pemerintah dan swasta, petani, pedagang,
pengusaha kecil dan menengah.
Dengan mencermati keadaan
masyarakat di teritorial Wilayah saat ini, lantas muncul pertanyaan yang lebih
dalam dan menggelitik, bagaimanakah perkembangan masyarakat di kawasan ini
sebelumnya? Dan bagaimanakah adat istiadat dan kepercayaan mereka?
Tentang masa lalu kawasan
ini, sebuah artikel yang diposkan uBlog berjudul “Manado Dalam Peta dunia” memaparkan
betapa pentingnya kedudukan pesisir Utara Manado dan muara Kali Tondado di
pantai Sindulang sejak abad XVI.
Kapal-kapal Spanyol dan Portugis memasuki kawasan ini sejak tahun 1521,
dalam perjalanan dagang sekaligus penguasaan wilayah sentra-sentra ekonomi.
Musafir Barat itu awalnya
datang untuk kepentingan perdagangan barter berupa beras, dammar, ikan, garam, dan hasil hutan lainnya, tapi
kemudian memacak kekuasaan di daerah yang baru mereka tumukan ini.
Mereka mengambarkan penduduk kawasan ini
adalah kaum “alifuru’ dari pedalaman Minahasa yang tanahnya subur dan pandai
bercocok tanam, serta orang-orang dari kepulauan Singihe Talaud yang animis,
dan pedagang Cina yang telah membaur dan
berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Sebuah penegasan tentang
pentingnya kedudukan dan pengaruh kawasan ini dalam percaturan ekonomi dunia
waktu itu, dilakukan oleh seorang ahli peta dunia Nicolas Desliens pada tahun 1541
yang mencantumkan nama Manado dalam peta dunia. Ia mengambarkan masyarakat yang mendiami pesisir Manado yang pluralistik
selain para pribumi dari Minahasa dan Sangihe Talaud, orang-orang Ternate, juga terjadi asimilasi dengan para pendatang
hingga ditemukan selain orang-orang Cina
dan keturunananya, juga masyarakat turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Manado dengan kedudukan
Bandar di Pantai Sindulang disebut sebagai pusat niaga bagi pedagang Cina yang
memasarkan Kopi ke daratan Cina. Mata pencaharian penduduk setempat ketika itu mayoritas
adalah bertani dan nelayan.
Sultan Hairun dari kesultanan
Ternate telah mengklaim dimana Manado adalah fazal ekonomi kesultanannya sejak
lama bersama-sama dengan beberapa kerajaan di Sangihe Talaud, karena
berlimpahnya kekayaan hasil bumi daerah ini.
Sebelum masuknya Spanyol dan
Portugis, gelombang urbanisasi kekawasan ini diperkirakan cukup pesat dan intensif sejak masa
kerajaan-kerajaan Hindu terutama pada masa kerajaan Majapahit 1364 (Nazaret,
Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,11). Keadaan penduduk terus berkembang pada
abad-abad berikutnya sebagai dampak dari kian ramainya aktivitas perdangan di Manado.
Menurut catatan N.
Graafland, gelombang urbanisasi besar-besaran orang-orang Sangihe Talaud ke
kawasan kewedanaan Manado terjadi hingga awal abad XIX. Perahu Kora-kora dan Tumbilung yang berasal
dari kepulauan Sangihe Talaud terlihat datang dan pergi sepanjang waktu dan
menambat di muara sungai Manado (Muara Kali Tondano). Ada yang juga berlabuh di
dermaga utama kewedanaan Manado yang selesai dibangun tahun 1859 ( N.
Graafland, 1991,16).
Sementara, Shinzo Hayase, Domingo M.
Non, dan Alex J. Ulaen dalam buku mereka yang berjudul “Silsilas/Tarsilas (Genealogies) and Historical Narratives in
Saranggani Bay and Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, and
Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia”, memaparkan dimana sejak
tahun 800-san orang-orang Sangihe Talaud telah mendiami daratan pulau Sulawesi
bagian Utara termasuk pesisir Manado Utara. Bangsa Sangihe di kawasan ini adalah
keturunan dari leluhur orang Sangihe yakni seorang Kulano dari Cotabato
Mindanauw yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Filipina. Ketika itu kawasan Filipina Selatan
adalah tanah-tanah suku bangsa Sangihe.
Selain data-data empiris rasional
yang ditampilkan dalam buku tersebut
tentang orang-orang Sangihe di Sulawesi Utara, juga dikisahkan dalam mite dimana sebuah kerajaan suku bangsa
negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano (raja) diserang oleh suku bangsa
Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansadulage beristeri
Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain
Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memeliki papehe (ikat
pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat
kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang
kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang
membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka
berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian
mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe.
Setelah masa perkabungan berakhir
mereka hidup menetap di hutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu
mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/ Bowontehu. Bowontehu berasal
dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi
Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai
Kulano (Datu/Raja) dan Tenden Sehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage
dan Tenden Sehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang
berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak
perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang
datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodaluduh atau
Mokoduludud Versi Bolmong. Mokodaluduh yang artinya Pangeran dari khayangan.
Mokodaluduh menikah dengan Bania/Baunia yang keluar dari buluh tipis kuning
ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu
dipelihara.
Pada suatu ketika tahun 1000-an
Masehi terjadi pergolakan perang di sana-sini sehingga Mokodaluduh beserta para
pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan. Bentenan
berasal dari kata Bentengang, bahasa sangir yang berarti “angkat bersama,
perjuangan bersama,membawah beban berat oleh beberapa orang". Ditempat ini
mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori utara teluk Tomini,
Laloda dan Mangindanouw. Kemudian Mokodaludhu dan rombongan mengungsi lalu tiba
di Pulisang. Pulisang berasal dari bahasa sangir yaitu kata Pelisang yang
bearti terhindar dari musuh, tidak ketemu musuh. Rombongan membentuk sebuah
formasi barisan pasukan berangkat menuju ke arah sebuah gunung, mereka berjalan
mengintari (belitan) gunung lalu tempat itu diberi nama Gunung Lokong berarti
(mengintari, mengelilingi, mengerumuni, menutupi) sekarang disebut Lokon.
Mokodaluduh dan Baunia serta rombongan tinggal ditempat ini dan Baunia
melahirkan seorang anak laki-laki lalu diberi nama Lokongbanua. Kemudian
Mokodaluduh ingin mencari tempat seperti pasang Bentenan yaitu tempat
berangkatnya perahu-perahu lalu tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou
berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh.
Mokodaluduh
bersama rombongannya membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau
Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai
lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk
kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah
bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk
Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/ bercahaya/
bersinar (suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan
perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa
Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal
dari bahasa sangir Singkile artinya pindah atau menyingkir.
Dari
sisi kewaktuan, mite di atas perlu di telusuri lagi sebab bila melihat data
empiris yang ada dimana periode Kerajaan Bowontehu berlasung dari tahun 1400
sampai dengan 1500, di lajutkan dengan Periode Kerajaan Manado (1500-1678),
sedangkan periode kerajaan – kerajaan Sangihe dan Talaud dimulai pada tahun
1425 sampai dengan pudarnya kerajaan –
kerajaan itu pada tahun 1950 – 1951 dengan munculnya sistem pemerintahan daerah
dalam era Republik Indonesia sesuai Konferensi Meja Bundar yang membawakan
pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Sementara Suku Bantik yang mendiami pesisir
ini, meski saat ini cenderung telah diklaim sebagai salah satu sub suku dari
etnik Minahasa namun menurut Ernst Kausen, Etnik Bantik berasal dari Sangihe
yakni dari Kerajaan Kendahe. Dikisahkan, pada tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangihe
yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin Raja Sahmensi Arang (Syam
Syach Alam), dengan wilayah bagian barat pulau Sangihe, pulau Kaluwurang,
Maluku Utara bahkan hingga sampai ke Mindano Selatan. Kerajaan ini tenggelam
oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit). Sebagian masyarakat
yang selamat terdampar di tempat yang
bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa itu adalah Tanjung Maselihe di dalam
terkubur kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu.
Dari peristiwa tersebut selah
seorang yang selamat adalah seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka
mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru
yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu
wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur
kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao, ke Beo, ke kema, ke
Belang, ke Manaraw, Leok-Buol, sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow.
Bahasa suku Bantik, menurut Ernst
Kausen, termasuk dalam AUSTRONESISCH, MALAYO-POLYNESISCH [1123, † 18; 295.3
Mio] WEST-MALAYO-POLYNESISCH PHILIPPINEN [6, † 0; 600 Tsd] kelompok Sangir (280
T)(D Tahulangdan, Lembeh, Siau, Karikitang, Tamako, Manganitu, Tahuna, Kandar,
Tabukang, Sangil)Talaud (60 T) (D Kaburuang, Lirang, Karakelong, Beo, Awit,
Dapalan,Arangka'a, Essang, Miangas) Ratahan (30 T), (D Ratahan, Bentenan,
Pasan), Bantik (10 T), Tondano (100 T) (D Remboken, Ka'kas),Tonsea (90 T) (D
Kalabat-Atas, Maumbi, Airmadidi, Likupang, Kauditan). Jadi Etnis Bantik
merupakan anak suku Sangir Talaud.
Ini sebabnya gubernur VOC di Maluku,
Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang
Sangir tualah penduduk pribumi yang
pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332. Bahkan Manado disebut bukan
Minahasa, (lihat sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679, hal 61). Minahasa itu
Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung),
sehingga kini orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw (Manado) adalah wilayah toritorial dari
kerajaan Sangihe-Talaud.
Tradisi dan Kepercayaan
Kedatangan bangsa asing ke
kawasan ini dimasa lalu telah mengikwali
terjadinya alkulturasi begitu dasyat dalam sistem nilai budaya dan kepercayaan
orang-orang Minahasa (Bantik) dan Sangihe Talaud yang mayoritas mendiami
pesisir ini.
Telah terpapar dalam senarai
awal dimana sebelum masuknya
pandangan-pandangan agama semitik (Abrahamic Religion), Kristen dan
Islam, masyarakat di sini digambarkan sebagai golongan orang-orang alifuru yang
hidup dalam kepercayaan animisme yang melakukan praktek-prakten syamanisme. Setiap
ladang, pohon-pohon yang rimbun berbuah lebat, laut yang berlimpah ikan,
semuanya mengisahkan cerita magi masyarakatnya. Kemiskinan, kemelaratan,
bencana dan malapetakan adalah tuaian dari benih dosa, kelalaian dan kealpaan.
Dosa dan kealpaan itu harus disucikan lewat upacara ritual magi.
Kepercayaan masyarakat yang
telah berlangsung dalam kurun ribuan tahun sebelum persentuhan dengan
kekristenan itu bahkan hingga kini relatif tetap dilangsungkan baik di Minahasa
dan di Sangihe Talaud.
Para missionery Zendling
Inggeris Codrington menyebut kepercayaan masyarakat itu sebagai budaya magi
dari kepercayaan “Mana” (bahasa Melanesia untuk menyatakan suatu tenaga sakti
penuh rahasia). Masyarakat purba (primitip) dan hingga kini masih meyakini adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia
yang berada dalam seluruh alam, sesuatu yang bisa mengerjakan atau menimbulkan
kebahagiaan maupun pemusnahan. Oleh karena keyakinan ini, segala aspek pikiran
dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan tenaga sakti
dalam alam ini.
Lebih jauh membahas tradisi dan
kepercayaan masyarakat yang mendiami kawasan ini tak lepas dari asal usul mereka. Seperti juga orang-orang
Sangihe Talaud, orang Minahasa berasal
dari utara. Bertalian erat dengan Mongolia, Tiongkok, dan Jepang. Hal itu
didasarkan pada analisis antropologis seperti ciri-ciri fisik, gaya arsitektur,
senjata tradisional, pakaian, sistim religi, serta bahasa.
A.L.C.
Beekman, ahli ilmu bumi ini
berpendapat bahwa secara antropologis warna kulit orang Minahasa lebih terang
dari bangsa Melayu lainnya, bermata hitam dan coklat serta berambut hitam
lurus. Di sudut dalam matanya terdapat apa yang disebutnya Mongolschopil
atau lipit Mongol yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang Jepang.
F.S.
Watuseke, seorang peneliti sekaligus budayawan Minahasa
berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri fisik, jika menelisik gaya
arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga, senjata tradisional [tombak,
parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu, serta penghormatan terhadap
arwah para leluhur, maka semua ini memiliki kesamaan dengan suku-suku
Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di propinsi Yunan dan Tibet
Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku Thai, Vietnam, dan Filipina.
Pdt. Tendean seorang ahli
aksara Cina dan Mongol Kuno. Pada bulan Mei 1997, ia pernah berkunjung ke Watu
Pinawetengan. Dari segi bahasa, ia meneliti dan menemukan satu coretan kuno
yaitu ”Min nan tou” Olehnya,
dalam bahasa Mongol Kuno, coretan ini memiliki arti ’Min’ artinya Raja yang
bisa jadi menunjuk raja Ming, ’Nan’ artinya Pulau, dan ’Tou’ artinya Manusia
atau Orang. Jadi ”MIN NAN TOU”
artinya ”Orang turunan raja Ming dari pulau itu.” Pendapat ini diperkuat oleh C. Manoppo, seorang diplomat yang lama
bertugas di Mongolia. Ia mengatakan bahwa baik nama marga mapun kepercayaan dan
unsur-unsur budaya Minahasa dan Mongolia keduanya memiliki banyak kemiripan, ia
mencontohkan misalnya marga Sondakh, Sandag dan Tendean ada juga di Mongolia.
Mengungkap
konsep metafisis abstrak masyarakat purba dapat ditelisik melalui
simbol, mitos, ritus, syair, sebab dengan semua cara itu pengungkapan mereka
akan hal itu. Syair doa agama asli orang Minahasa seperti dicatat J.G.F Riedel tahun 1870, pernah diteliti oleh J.
Hikson tahun 1889. Berdasarkan
syair doa dan nyanyian agama asli Orang Minahasa menurut penelitian tersebut,
Tuhan bagi orang (tou) Minahasa pra-Kristen disebut Empung.
Tuhan atau Empung ini
diatributkan secara superlatif yaitu Empung Wailan Wangko artinya Tuhan
Maha Mulia dan Besar, Empung Renga-Rengan artinya Tuhan Maha Abadi/ Asal
Keturunan. Corak superlatif-Nya sebagai Satu Yang Maha mengkarakterkan
sifat monoteistiknya karena itu eksistensi diri-Nya adalah
kemahaan-Nya, sekaligus kemahaan-Nya adalah esensi-Nya. Konsekwensinya, Ia
dipahami dapat mempresentasikan diri-Nya dalam corak antroposentrik yaitu
makan-minum seperti manusia sekaligus men-subordinasi-kan diri-Nya kepada si
Lokon telu katua’an.
N. Graafland, awalnya
berpandangan bahwa, ciri monotheistik ini dipengaruhi oleh kekristenan.
Tapi setelah ia mempelajari secara lebih mendalam cara berdoa dan isi doa-doa
asli orang Minahasa di berbagai tempat yang ia kunjungi, ia berkesimpulan bahwa
orang Minahasa sebelum kedatangan kekristenan sudah mengenal satu nama. Dia
menyebutnya ”aku akan ada, dan aku ada” [Ik zal zijn, die ik zijn zal].
Kruyt dan
Schwarz mengatakan bahwa sementara mereka menyembah banyak dewa,
ada satu nama yang sebenarnya bukan nama dalam arti yang biasa, yang mereka
sebut “Empung Wailan Wangko”. Yang di bagian selatan disebut Si ni
mema’ in tana [Yang membuat bumi] atau Si opo ni mema’in tana [dalam
bentuk tunggal] yang juga mereka sembah. Jadi bercorak henoteistik.
J. C.
Neurdenberg, bertolak dari teori evolusionistik, ia mengatakan bahwa
awal dari penyembahan ilah manusia Minahasa bersifat monotheistik, mereka
mengakui adanya Satu Yang Tertinggi [Si Empung], kemudian
berangsur-angsur menjadi ‘polytheistik’ tapi bukan polydemonistik [banyak
Iblis].
Opo
bagi
orang Minahasa adalah
leluhur tapi tidak semua leluhur adalah Opo. Terminolgi Opo
bersinggungan erat dengan persekutuan keluarga serta keturunan. Karena itu, ia
diberi isi dan arti menurut fungsi, peran, dan tanggungjawab sang bapak sebagai
penunjuk jalan, pemelihara, penjaga, pelindung, penolong, pembela, pelaku dan
pemberi teladan hidup sekaligus simbol dari moral bapak, moral pemimpin yang
menuntun dan mengarahkan manusia pada kehidupan yang sejahtera di dunia dan di
alam berikutnya.
Karena
itu, ia bersifat spiritual. Sesuai hakekatnya itu, mereka ia
dihargai, dihormati sebagaimana pada waktu mereka masih hidup, karena mati
dipandang sebagai berpindah tempat saja. Sehingga peran dan fungsi-fungsi,
tanggung jawab dan wewenang, sifat-sifat dan kedudukan/status dan derajat
mereka tetap diakui melekat pada mereka. Karenanya Tou Minahasa tetap
berkorelasi dengannya di dalam seluruh segi kehidupannya. Dalam Zazanian ni
Karema disebutkan ”Niaku tumao kariamio” ’aku akan hidup bersamamu.’
Namun tetap diingat bahwa baik esensi maupun eksistensinya dipahami bersifat
subordinatif dari Empung Wailan Wangko.
Kematian dipandang sebagai pindah
tempat saja dan karena itu kehidupan tetap berlanjut. Kehidupan sesudah kematian
dilihat sebagai tempat yang penuh dengan kesempurnaan, keindahan dan kemewahan,
terlepas dari segala kesulitan. Tempat tujuan mereka disebut Kasendukan.
Mereka yang layak ke sana adalah mereka yang selama hidupnya memenuhi tuntutan
dan ajaran para Opo. Sebaliknya mereka yang hidup tidak taat, mereka tetap
berada di bumi dan berkelana dan kadangkala jiwa mereka dipahami berdiam dalam
satu tempat tertentu dan menakut-nakuti orang yang masih hidup, kadangkala
mereka masuk dalam tubuh binatang tertentu seperti babi atau ular atau juga
pergi ke bawah bumi tapi bukan daam arti reinkarnasi atau dilahirkan kembali.
Salah
satu bentuk ritual orang Minahasa adalah Poso. Poso adalah ritual
perdamaian antara manusia dengan Opo yang dimediasi oleh seorang
Wailan. Poso terjadi ketika manusia bersalah melanggar pantangan
atau larangan yang diberikan oleh Opo. Orang yang melanggar pantangan
atau larangan dari Opo itu biasanya akan menderita sakit, namun sakitnya
tidak dapat dideteksi oleh orang biasanya bahkan pada zaman sekarang oleh ahli
medis sekalipun. Maka untuk dapat mengetahui kejadian sebenarnya sebagai
penyebab dari sakitnya, seseorang dapat meminta tolong seorang Wailan. Melaluinya
si sakit dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Opo, dan akhirnya
ketika diketahui apa yang dikehendaki oleh si Opo dan diketahui pula
secara pasti apa kesalahannya terhadap si Opo itu maka diadakan
perdamaian antara manusia dan Opo melalui Wailan, si sakit
memenuhi apa yang diminta dari si Opo dan penyakitnya sembuh.
Relasi manusia dengan alam semesta,
dipahami dalam konsep bahwa alam semesta sebagai tempat tinggal Opo-Opo
yang dihargai oleh manusia. Penghargaan
terhadap alam adalah penghargaan pula terhadap pribadi Opo-Opo itu.
Misalnya sebuah pohon besar, hutan, atau binatang tertentu tidak akan diganggu
gugat kelestariannya sejauh mereka itu dipandang sebagai tempat bersemayamnya
para leluhur. Maka, musnahnya mereka berarti musnah pula perjumpaan
simbolik antara manusia dan para leluhur.
Paham yang sifatnya teologis-paradoksal
itu, seperti dijelaskan di atas, mendapatkan implikasi kristianinya yaitu
penjelasan paham monoteistik tentang Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah dan
pada konsep Empung Wailan Wangko sebagai ’Satu Yang Maha.’ Konsep inilah
yang kemudian secara inkulturatif diberi makna kristiani yaitu Allah sebagai
tujuan hidup manusia. Maka untuk mencapainya, Tou Minahasa kristen
memerlukan peran eksternal yaitu nilai-nilai kekristenan dan terutama dalam
diri Kristus sendiri sebagai Allah.
Opo-Opo dapat
disejajarkan dengan para kudus yang memiliki kwalitas moral yang baik karena
mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana juga Opo-opo yang
menjadi ideal virtue bagi Tou karena mengikuti kehendak Empung
Wailan Wangko. Mereka layak dihormati karena menampakkan sifat-sifat Allah
namun mereka bukan Allah.
Menganai tradisi
penguburan menggunakan waruga di Minahasa mulai ditinggalkan pada sekitar
pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem penguburan dalam tanah
yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan
diperkenalkan dan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Namun, harus
dicatat bahwa sampai menjelang berakhirnya kepercayaan terhadap roh leluhur dan
makin kuatnya penganut agama Kristen, waruga masih tetap digunakan. Pada
tahapan ini, penggunaan waruga bukan lagi dimaksudkan sebagai bentuk
pengkultusan terhadap roh para arwah leluhur/nenek moyang, tetapi penggunaan
waruga pada saat itu lebih merupakan sebagai bentuk apresiasi orang Minahasa
terhadap budaya lamanya.
Dari
proses perubahan yang telah dikemukakan di bagian terdahulu, jelas bahwa
kepentingan missionaris untuk menyebarkan pesan Injil di daerah Minahasa
merupakan faktor utama penyebab hilangnya tradisi penguburan menggunakan
waruga. Cara yang dipakai untuk melakukan penginjilan kepada masyarakat
Minahasa memang dilakukan secara tidak langsung. Penyebaran Injil dilakukan
melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Missionaris mengajarkan ketrampilan
bertukang, menjahit, dan jenis ketrampilan praktis lain yang sangat dirasakan
kebutuhannya oleh masyarakat ketika itu.
Di
samping itu, missionaris juga mengajar anak-anak untuk mengerti membaca dan
menulis. Peserta didik banyak yang kemudian tinggal di tempat missionaris untuk
dididik, bahkan diberi uang saku dan pakaian. Melalui cara-cara seperti itu,
agama Kristen mulai disebarkan dan ditanamkan kepada generasi muda Minahasa.
Dengan demikian, ketika generasi tua semakin kurang perannya dalam masyarakat,
dan generasi muda yang telah di-kristen-kan menjadi berperan, maka agama
Kristen pun menjadi lebih dominan dibanding dengan kepercayaan asli Minahasa.
Sebagai akibatnya, penguburan dalam waruga juga makin lama tidak lagi
digunakan.
Selain
itu, daerah Minahasa yang sering kali dilanda wabah penyakit menjadi peluang
yang baik bagi para missionaris untuk memasukkan agama Kristen, melalui bidang
kesehatan. Para missionaris dari NZG memperkenalkan pengobatan modern, di
samping pemahaman akan lingkungan yang bersih. Pengobatan yang selama ini
dilakukan secara tradisional, disertai dengan ritual-ritual penyembuhan yang
dipimpin oleh seorang walian, perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan beralih ke
pengobatan modern, karena tingkat keberhasilan penyembuhannya yang tinggi.
Melalui cara seperti ini, kepercayaan terhadap walian menjadi berkurang, dan
beralih menuruti pesan-pesan yang disampaikan oleh missionaris terhadap mereka.
Perubahan
unsur budaya Minahasa juga terwujud dalam bentuk perubahan tradisi penguburan.
Tradisi penguburan menggunakan waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Alifuru
lambat laun berubah dan beralih ke tradisi penguburan dalam tanah yang
dilatarbelakangi konsep kepercayaan dalam agama Kristen. Perubahan seperti itu
memang tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap. Pada awal masuk dan
berkembangnya agama Kristen, waruga masih digunakan. Penguburan dengan waruga
ditinggalkan sama sekali pada awal abad ke-20.
Proses
perubahan bertahap seperti itu tercermin dari perubahan pola hias waruga
menjelang masa akhir penggunaannya. Hiasan-hiasan motif manusia pada waruga
tradisional yang dibuat pada masa sebelum kedatangan pengaruh Eropa cenderung
dihias dengan motif-motif yang mengandung makna magis, termasuk motif manusia
kangkang dengan penonjolan genitalia.
Pada
masa peralihan atau awal masuknya bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, dan
Belanda), waruga dihias dengan motif manusia juga tetapi tidak lagi ditonjolkan
genitalianya. Motif manusia seringkali digambarkan dengan menggunakan penutup
genitalia sederhana atau ditutup daun-daunan. Pada tahap berikutnya, ketika
pengaruh Eropa makin kuat, waruga dihias dengan motif manusia dengan pakaian
Eropa.
Sementara
itu, perkembangan akhir penguburan dengan waruga terjadi ketika pengaruh agama
Kristen semakin kuat, dan tradisi tulisan menjadi bagian dari pengetahuan baru
masyarakat. Tradisi tulisan ini juga menghiasi kubur waruga. Waruga dipahat
dengan tulisan nama, waktu kelahiran dan waktu kematian orang yang meninggal.
Nama-nama itu menunjukkan bahwa orang yang meninggal telah beragama Kristen.
Karena itu, dapat ditunjukkan bahwa perubahan kepercayaan orang Minahasa dari
kepercayaan Alifuru ke agama Kristen tercermin pula dalam budaya materinya,
baik itu berupa perubahan pola hias waruga, maupun perubahan dari tradisi
penguburan menggunakan waruga ke tradisi penguburan dalam tanah.
Sementara, masyarakat
Sangihe Talaud di kawasan pesisir ini, seperti juga masyarakat di tempat asal
mereka sejak masa purba meyakini
pentingnya persekutuan antara kehidupan manusia dengan kekuatan alam semesta.
Dari persekutuan itulah kemudian diambil kesimpulan dalam aspek berpikir dan
bertindak dalam kehidupan keseharian.
Kekuatan semesta itu berasal dari para Opo (roh orang suci atau
orang perkasa yang telah mati), Ompung (roh dewa-dewi lautan) atau
Taghaloang (Tagaroa), Ingang (peri-peri), Ghenggonalangi (Sang
Maha Kekuatan pencipta semesta= Tuhan dalam pengertian agama-agama semitik),
serta roh-roh penyebab petaka, diantaranya : Pehang, Mongang, Lahoe, Kabanasa,
Setang, Ratoen Setang. Sedang roh-roh yang bersifat baik seperti : Saritana,
Ading dan Ghenggona.
Dalam pelaksanaannya di masa
kini ritual-ritual itu sudah dipengaruhi oleh berbagai ajaran etika agama-agama
semitik terutama ajaran trinitas Kristen yang sudah berpengaruh sejak abad ke XVI
dengan masuknya bangsa Eropa 1524 yang ditandai dengan berlabuhnya perahu para
pelaut Spanyol di daratan ini.
Pangaruh ajaran Kristen
dalam syair Sasambo dalam tradisi Sangihe sebagai misal dapat terlihat sebagai
contoh pada sebuah lagung Kakumbaeda yang judulnya “ Mesubah” (menyembah) yang
dalam satu lariknya mengatakan : Ia mesubah su Ghenggona Ruata Amang
Kasuluang (aku bersujud kepada Allah Bapa pencipta semesta). Bagian dari
larik ini mengambarkan bahwa Kakumbaeda (syair pengantar tidur anak) ini sudah
berisikan ajaran Kekristenan, atau terjadinya singkretisme budaya. Syair
Mesubah dalam jenis lagung Kakumbaede ini lengkapnya mengisahkan ikwal mula
terciptanya kepulauan Sangihe Talaud yang berasal dari percikan keringat
Malaikat yang kasihan dan ibah melihat Wawu, seorang peremuan, dengan perahunya
yang tersesat di tengah samudera. Dari keringat malaikat itulah pulau-pulau Sangihe
Talaud tercipta. Mengapa singkretisme? Ini disebabkan, meski Sasambo telah
dirasuki ajaran kekristenan seperti masuknya pengertian Tuhan dari perpektif
agama Samawi, tapi pengaruh itu tidak mengubah keyakinan dasar akan kepercayaan
pra-animisme atau yang lebih tepat disebut sebagai dinamisme masa matriachat
dalam Sasambo.
Pengaruh (alkulturasi) ajaran agama-agama-agama semitik seperti
ajaran Islam sangat banyak ditemua pada Sasambo Lagung Sesonda. Hampir semua
lagung Sesonda dikunci dengan larik: Bismillah Bisah. Atau pada larik
yang lain digunakan kata : Kum Paya Kum atau ual pata ual.
Namun bagaimanapun terjadi
proses alkulturasi dengan ajaran-ajaran semitik, Sasambo tetap merupakan ritual
yang dimaksudkan untuk suatu upaya pelibatan kekuatan-kekuatan rahasia dalam
alam untuk menghidarkan manusia dari bencana dan malapetaka yang disebabkan
oleh roh-roh yang murka, atau membujuk roh-roh mekanis dalam alam untuk
mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Masyarakat Sangihe Talaud
meski telah mengalami alkulturasi dalam peri budayanya, tapi tetap memelihara
sistem nilai yang jelas dari budaya aslinya. Kultur Sasahara (kultur laut) dan
Sasalili (kultur darat) yang menjadi jantung dari peri kehidupan keseharian
masyarakat terus terpelihara sebagai sistem nilai yang agung hingga hari ini. Dalam budaya sasahara misalnya : kita diajarkan
untuk tidak menggaruk belanga nasi sampai mengeluarkan bunyi, karena nantinya,
tanaman kita di kebun akan dimakan hama. Padahal, ajaran ini bermakna sifat
menggaruk belanga nasi sampai kedengaran itu kurang sopan jika di dengar tamu
atau tetangga. Atau jangan membiarkan kulit kelapa muda yang setelah kita ambil
dagingnya terbuka begitu saja menghadap ke atas, karena jika sisa daging di
kulit kelapa muda itu dimakan binatang, kita akan sakit. Padahal, larangan itu
dimaksud agar kulit kelapa muda itu harus ditutup menghadap tanah agar jika
datang hujan air tidak tergenang di dalamnya dan menjadi tempat berkembang biak
nyamuk yang kemudian menebar penyakit bagi manusia.
Di laut, dilarang membuang
sampah sembarangan atau mengeluarkan kata-kata sembarangan, karena akan
menimbulkan kemarahan Ompung (dewa Laut). Padahal, ajaran ini mengisyaratkan
ajaran pelestarian alam dan ketenangan dalam pelayaran. Lewat syair-syair Sasambo semua hal ikwal
perikehidupan itu diajarkan.
Namun demikian, banyak orang
Sangihe Talaud saat ini mulai meninggalkan ajaran-ajaran ritual itu karena dianggap berbenturan dengan
ajaran Samawi. Sementara di pihak lain, meski orang Sangihe Talaud sudah hidup dalam keyakinan semitik, dalam
kesehariannya mereka tidak bisa meninggalkan kepercayaan lama yang telah
mengakar dan terbukti ke-ada-annya. Hal ini dapat dibuktikan: Kalau ada bunyi
cecak di depan pintu, orang Sangihe Talaud sangat yakin akan segera ada tamu. Kalau waktu
keluar rumah kemudian cecak berbunyi, maka yang akan keluar rumah membatalkan
niatannya keluar untuk sementara waktu, sebab suara cecak itu diyakini sebagai
peringatan roh dalam alam akan adanya bahaya yang menanti di luar rumah. Maka
upaya menunda perjalanan itu sebagai tindakan menghidar malapetaka itu. Orang Sangihe Talaud sangat senang menanam bunga di depan rumah
karena sari bunga itu menjadi minuman para peri. Dan peri-peri itu akan
menganugerahkan ketentraman dan berkat bagi rumah yang dimaksud. Bagi
kebanyakan orang Sangihe Talaud saat ini, ajaran-ajaran budaya itu tak mungkin
ditinggalkan karena sudah menjadi identitas manusia Sangihe Talaud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar