OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
I.
AWAL MULA 1996-2000
II.1. Berawal
Dari Nazaret
Sebagai sebuah ketetapan
yang tak dapat diubah, demikian terbentuknya Gunung Hermon dan alur sejarahnya.
Mungkin banyak orang tak pernah berfikir pada suatu ketika di bukit itu akan
ada suatu menara lonceng yang setia mendeting memanggil umat Tuhan beribadah di
rumahNya yang kudus. Kini, sudah 17 tahun gereja GMIM Gunung Hermon sejak dirintis
pada 1996 hingga berdiri tegak di puncak bukit dengan kisah pelayanan
tersendiri.
Awalnya hanya sebuah Kanisah yang dibangun dari ramuan kayu pada
tahun 1997. Bangunan sederhana, sesederhana Salib Kristus di Golgota. Bangunan
yang menuai cibir dan sengketa umat ketika itu. Ada pula yang datang mau
meruntuhkannya. Menebang tiang-tiang
penyanggahnya, merobek atap-atapnya, dan mendorongnya hingga runtuh ke atas
tanah. Bukankah keinginan meruntuhkan itu seperti pula niat banyak orang mau
meruntuhkan makna tiang palang penebusan Sang Juru Selamat. Bukankah Kristus
hadir ke dunia untuk keselamatan UmatNya? Demikian juga kehadiran gereja sebagai
sebuah ketetapan yang tak bisa diubah sebagai petanda kehadiran dan
keterbentukan societies deo itu sendiri.
Di
atas bangunan Kanisah pertama yang runtuh itu, dua tahun kemudian kembali dibangunan
Kanisah yang sama sederhananya. Kanisah yang terletak di perbukitan Lingkungan
IV Kelurahan Tuminting itu seakan mau bercerita sisi terindah sebuah kisah
kehadiran Gereja bagi Umat Tuhan. Sebuah kehadiran yang tak bisa diubah
meskipun oleh carut-marut persoalan. Kanisah itu kini telah berganti bangunan
permanen dengan tataan arsitektur modern dalam tahapan penyelesaian.
Sebuah
jemaat telah melintasi 17 tahun pelayanan sejak masa perintisannya. Mereka yang
dengan sikap kerendahan hati sejati,
yang dipancarkan gereja dan jemaatnya
itu terus tumbuh dan bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan dengan sabar
perkembangan demi perkembangan diayomi oleh FirmanNya dalam keyakinan bahwa Kristus
dapat membimbing gereja dan jemaat ke suatu kesadaran bersama yang kokoh.
Sebuah jemaat yang terbentuk dari sederet konflik yang kini menjadi pelajaran
berharga, juga di kumudian waktu.
Cikal bakal berdirinya
jemaat ini tentu tak lepas dari sejarah besar Jemaat induknya Nazaret
Tuminting. Sebuah jemaat yang sejarahnya lebih tua dari organisasi Sonode GMIM.
Bahkan Nazaret disebut sebagai salah satu jemaat yang ikut menyepakati
berdirinya GMIM itu sendiri pada 1934.
Sejarah Jemaat Nazaret, dan
buku Sejarah Wilayah Manado Utara II secara detail mengungkap dimana lintasan panjang jemaat Nazaret Tuminting itu
bermula pada pertengahan abad XIX. Tuminting ketika itu adalah kawasan rimba
berawa dengan kali kecil yang dialiri mata air hidup yang berhulu di
kaki-kaki bukit dan bermuara di pantai
kampung Bitung Kecil (Keluarahan Karangria).
Pohon-pohon kayu Mas mendominasi pemandangan rawa yang menggenangi cekukan
lembah. Di baliknya, hutan lebat dan areal perkebunan palawija rakyat mengisi
bukit-bukitnya yang membentang hingga ke kawasan Mayondi.
“Kawasan ini merupakan
tanah-tanah adat Suku Bantik yang subur. Saat Bandar Manado di bangun pada
tahun 1850, kebutuhan kayu dipasok dari areal hutan ini karena letaknya cukup
dekat dengan Bandar. Para pekerja penebangan kayu dan tenaga tukang ketika itu
adalah para pendatang dari Sangihe Talaud. Mereka diantaranya kemudian menjadi
pemukim pertama di lembah yang banyak ditumbuhi kayu-kayu Mas ini, yang pada
tahun 1916 mulai dihuni 20 kepala keluarga. Orang-orang Nusa Utara itu adalah
keluarga-keluarga Kristen hasil misi pengginjilan para Misionaris Tukang dari
Jerman di kepulauan Sangihe Talaud yang diutus gereja Protestan Belanda Indische Staats Kerk lewat organisasi misionaris Eropa
(Nederlansche Zending Genoodschaap). Misi pelayanan para misionaris Eropa di
Sangihe Talaud tidak saja membawa kekristenan tapi juga mendidik masyarakat
akan teknik pertukangan, arsitektur modern, cara bercocok tanam, serta
memperkenalkan dunia pendidikan modern. Ini sebabnya, sejak pertengahan abad
XIX, untuk kebutuhan pembangunan kawasan kewedanaan Manado banyak mendatangkan para pekerja
pertukangan dari Sangihe Talaud. Karena belum ada Gereja resmi berdiri di
kawasan ini, para perantau itu mendirikan kerukunan Kristen bernama ‘Hosana
Ambang Susah’ terbentuk sekitar pertengahan abad XIX, sebagai organisasi
diakonis dan pelayanan ibadah saat orang mati. Organisasi ini tak saja melayani
ibadat pemakaman masyarakat di tengah rimba Tuminting tapi juga orang-orang
Nusa Utara yang mendiami kawasan Gunung Potong Singkil dan Sumompo. Dari
organisi inilah cikal bakal terbentuknya Gereja Nazaret Tuminting di kemudian
waktu”. (Kabar Baik dari Pesisir, Sejarah Wilayah Manado Utara II. Iverdixon
Tinungki).
Pada 17 Maret 1933, jemaat
Protestan Tuminting akhirnya terbentuk dari buah kerja keras perintis jemaat
Paulus Kawangung dan orang-orang tua lainnya di kampung Tuminting. Pada saat
sinode GMIM dibentuk pada tahun 1934, jemaat Protestan Tuminting mengirim utusan
pada pembentukan Sinode GMIM dan
menyatakan bergabung dengan GMIM.
Dalam usia 79 tahun, Jemaat
Nazaret Tumiting tak saja mengalami
perkembangan dan kemajuan yang manarik ditelisik, tapi juga menjadi tonggak
bagi berdirinya jemaat-jemaat lain di kawasan wilayah Pelayanan Manado Utara.
Jemaat Nazaret Tumiting
sendiri berikwal hanya dengan 20 kepala keluarga yang melakukan ibadah dari
rumah ke rumah, kemudian berkembang dengan berdirinya suatu jemaat otonom
dengan bangunan gereja darurat pertama di tahun 1935. Pembangunan gedung gereja
darurat pertama itu merupakan hasil kesepakatan dari rapat kampung Tuminting
yang diadakan pada tahun 1932. Gedung gereja darurat pertama itu bertahan
selama 21 tahun. Kemudian diganti selama dua kali periode pembangunan masih
dalam bentuk darurat hingga masa berdirinya bangunan gedung gereja semi
permanen di tahun 1961.
Pada tahun 1942 masa
kepemimpinan Guru Jemaat Pertama Estefanus Takonselang, Jemaat Nazaret
Tuminting di bagi menjadi 3 kolom (Jaga) pelayanan yakni; Kolom Tuminting,
Kolom Tumumpa, Kolom Sumompo. Kemudian pada tahun 1946 Kolom yang ada di Tumumpa dimekarkan menjadi
Jemaat Torsina Tumumpa yang otonom.
Pada tahun 1962, saat
kepemimpinan Pedenta M. L. Wangkai Jemaat Tuminting yang awalnya hanya bernama
Jemaat GMIM Tuminting diberikan nama Nazaret sehingga menjadi Jemaat GMIM
Nazaret Tuminting.
Dalam periode kepemimpinan
Pedeta Wangkai Jemaat Nazaret yang
sebelumnya telah berkembang menjadi 3 kolom kembali pasca pemisahan Jemaat
Torsina Tumumpa menjadi otonom, dimekarkan menjadi 7 kolom yang beranggotakan
401 Kepala Keluarga yang terdiri dari 6 kolom di Tuminting dan 1 kolom di
Sumompo.
Pada tahun 1984 pada masa
kepemimpinan Ketua BPMJ Pnt. Drs. E. Lahope terjadi lagi pemekaran menjadi 14
kolom di Tuminting, sementara kolom di Sumompo dimekarkan menjadi jemaat otonom
yakni Jemaat GMIM Getsemani Sumompo. Pada tahun yang sama, jemaat Nazaret
Tuminting berhasil bangunan gedung Gereja permanen tahap 1 yang diresmikan
Gubernur Sulut H. V. Worang.
Teritorial pelayan Jemaat
Nazaret Tuminting hingga tahun 1986 masih meliputi anggota jemaat yang tinggal
di kawasan Kilo Lima Sumompo. Pada 1990
jumlah kolom kembali berkembang menjadi 23 kolom, yakni 19 kolom di Tuminting
dan 4 kolom di Kilo Lima.
Pada 20 September 1995 kolom-kolom
yang ada di Kilo Lima dimekarkan menjadi Jemaat GMIM Bukit Zaitun Sumompo.
Pasca masa rintisan
dikisaran awal tahun 1996, akhirnya 1 kolom dari Jemaat Nazaret yaitu kolom 19 yang oleh suatu kemelut
pertentangan pendapat tentang pendirian Kanisah di atas bukit dilepas menjadi
Cikal Bakal berdirinya Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting.
Dari sisi kedudukan dan
tempat, Jemaat Gunung Hermon ini dari namanya mengesankan sebuah bukit atau
puncak , dan memang terletak di atas bukit yang memagari kawasan Tuminting. Di
lembah bagian selatan Jemaat ini berbatasan dengan Jemaat Tunggul Isai. Sejak
tahun 1996, kawasan lembah selatan ini terus mengalami kepadatan jumlah
penduduk. Bangunan-bangunan pergudangan dan pabrik menghimpit areal pemukiman.
Kalau dulu satu-satunya akses ke jemaat ini adalah melalui tangga di tebing
selatan dalam kondisi yang relatif curam dan tinggi, kini sebuh jalan aspal
telah dibangun di bagian ujung dari sisi bukit yang bermula di tikungan jalan
Dua Saudara. Pembangunan jalan ini tentu menjadi jawaban terhadap kekhawatiran
masa lalu yang menjadi akar persoalan hingga dalam sejarahnya jemaat ini
terdepak dari pelayanan Jemaat Induknya Nazaret. Tak ada lagi kesulitan
aksesibilitas ke atas lokasi gereja ini,
karena sudah ada jalan yang baik yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
Di sebelah Utara, adalah
kawasan pelayanan jemaat Getsemani Sumompo. Jemaat yang sempat menjadi
tumpangan sementara dimasa 33 Kepala Keluarga di Kanisah atas bukit memisahkan
diri dari pelayanan Jemaat Nazaret Tuminting. Di sebelah Barat, kompleks
Lembaga Pemasyarakatan Manado (LP Manado). Di dalam LP Manado itu ada sebuah
gereja bagi para Narapidana. Di sebelah timur adalah kawasan perumahan dan pekuburan
tua.
II.2. Sebidang
Tanah, Sebidang Sengketa
Sudah 17 tahun berlalu, tapi
kisah yang melatari berdirinya Kanisah di atas bukit Tuminting Lingkungan IV yang
kini menjelma menjadi Jemaat GMIM Gunung Hermon, seperti baru kemarin terjadi. Kanisah
pertama yang runtuh, lalu dibangun kembali, kini pun telah berganti baru. Setengah anggota kolom 19 dan beberapa
anggota Kolom 18 Jemaat Nazaret Tuminting yang dulu terpaksa memisahkan diri
dari pelayanan Jemaat Nazaret dan menjadi 1 kolom saat digabungkan ke dalam
pelayanan Jemaat GMIM Getsemani Sumompo, pun telah berkembang menjadi 3 kolom
di Gunung Hermon masa kini. Sebanyak 5 ketua jemaat telah mewarnai periode
kepemimpinan di jemaat itu. Jemaat yang terbentuk dari kemelut saat pemekaran 4 kolom di Jemaat Nazaret
Tuminting untuk menjadi sebuah jemaat Otonom, tapi berujung pada terbentuknya dua
jemaat otonom.
Bagaimakah kisah awal
menarik itu? Bila dimetaforkan, “bagaikan sebidang tanah buat sebidang
sengketa” begitulah mula jemaat ini terbentuk.
Diawali pada tahun 1996 atau di penghujung masa pelayanan Pendeta Ny. D.
Montolalu-Pelleng, STh selaku Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) Nazaret
Tuminting. Ketika itu, para tua-tua
Jemaat Nazaret Tuminting yang dipelopori antara lain Pnt. Rafles Sidangoli,
Pnt. Arnold Tuwonaung, Ir. Hanny Sompie. Pnt. Marhaen Esmorit Mulalinda, Pnt.
Hoker Kamea,SH, Letkol Pol Petrus Rualemba,SH mewacanakan pemekaran 4 kolom di
Nazaret yakni: Kolom 16,17,18,19 untuk menjadi jemaat otonom. Wacana itu
sesungguhnya sebagai respons atas surat edaran dari Sinode GMIM, mengenai pengembangan jemaat GMIM lewat pendirian
Kanisah bagi jemaat yang jauh dari lokasi gereja induk. Maka pada tanggal 5
Februari 1996 diadakanlah rapat sidi jemaat di gedung gereja Jemaat Nazaret guna
menampung berbagai aspirasi dan pemikiran di seputar wacana pemekaran tersebut.
Pada saat itu beberapa warga di kolom yang diwacanakan untuk dimekarkan di antaranya Matheos Sasambi dan Pnt. Welly Areros
memberikan usulan kongkrit mengenai lokasi tanah untuk lahan Kanisah
yakni yang terletak di atas bukit kolom 19. Menurut mereka, lokasih lahan untuk
Kanisah itu sangat pas karena selain terletak di perbatasan Jemaat Nazaret, juga strategis bagi pengembangan jemaat di kemudian hari agar bisa
menjangkau kawasan Sinfoni Sumompo yang
merupakan kawasan pemukiman baru yang dan sedang mengalami pertumbuhan penduduk
yang begitu pesat.
Menindak lanjuti hasil rapat
sidi jemaat itu, BPMJ Nazaret Tuminting kemudian melakukan peninjauan ke lokasi
tanah yang diusulkan yang terletak di
atas bukit kolom 19. Guna mendapatkan
persetujuan pengadaan lahan untuk lokasi Kanisah tersebut, BPMJ kemudian membawa
rencana tersebut dalam Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting. Dalam sidang,
ternyata terjadi perdebatan sengit yang dipicu perbedaan pendapat antar Pelsus
(Pelayan Khusus) mengenai lokasi tanah kanisah di atas bukit itu. Sebagian Pelsus
tidak menyetujui lokasi di atas bukit dengan alasan, lokasi itu terlalu tinggi
dan tidak ada akses jalan yang representatif untuk menjangkau lokasi tersebut.
Mereka mengusulkan lahan tanah terletak di lembah di sekitar jemaat kolom 16. Sebagian
lagi tetap bertahan agar Kanisah di bangun di lahan tanah di atas bukit. Rapat pleno ketika itu berakhir tanpa membuahkan hasil.
Guna mencari kata sepakat, digelarlah lagi Rapat Sidi Jemaat pada
tanggal 21 April 1996 di rumah keluarga Tamungku
Kalapis, dengan menghadirkan Sidi Jemaat dari
kolom 16,17,18 dan 19 , dan juga BPMJ Nasareth Tuminting. Lagi-lagi terjadi perdebatan karena sebagian mengusulkan
dilokasi kolom 19 dan yang lainnya berkeras di lokasi kolom 16. Rapat saat itu kembali buntu tidak membuahkan
hasil karena kedua kubu mempertahankan usulan masing-masing.
Pada 10 Juli 1996 diadakan kembali
Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting untuk menentukan tempat pembangunan kanisah,
dan keputusan yang diambil saat itu adalah voting suara yang dimenangkan oleh
sebagian besar Pelsus yang menyetujui lokasi Kanisah di atas bukit di kolom 19.
Sebagaimana file Keputusan
Pleno Jemaat Nazaret tertanggal 10 Juli 1996, dimana saat itu Pdt. Ny. D.
Montolalu- Peleng selaku Ketua Jemaat, dan Pnt. E. V. Kapal selaku sekretaris Jemaat secara resmi menanda
tangani hasil Keputusan Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting,
tertanggal 10 Juli 1996, yang pada poin 2, dari 9 poin keputusan secara tegas
menetapkan lokasi yang akan digunakan sebagai lahan Kanisah adalah Tanah milik
keluarga Singko yang luasnya 600 meter bujur sangkar terletak di atas bukit
Kolom 19. Dan pada poin ke 3 keputusan pleno itu memerintahkan BPMJ dan Komisi
Pembangunan Jemaat melakukan pendekatan kepada pemilik tanah. Untuk masalah
harga dan luas tanah diserahkan kepada Komisi Pembangunan untuk
pengnegosiasiannya.
Sebagai implementasi hasil
keputusan Sidang pleno pada 10 Juli 1996,
Sym. Ny. Lutia Madelu sebagai bendahara Jemaat Nasaret Tuminting waktu itu bersama
Komisi Pembangunan ternyata membayar tanah milik keluarga Wellem Rubai seluas
15 x 20 meter yang terletak di atas bukit kolom 19 yang bersebelahan dengan
lokasi tanah keluarga Singko sebagai lokasi
bangunan Kanisah bagi 4 kolom yang telah disiapkan untuk dimekarkan.
Pembelian tanah di lokasi
kolom 19 itu ternyata kian memanaskan situasi dan mempertajam perbedaan
pendapat di antara Pelsus dan anggota jemaat di 4 kolom yang direncanakan untuk
dimekarkan.
Pasca pergantian pendeta
pada tanggal 1 September 1996 dari Pdt. Ny. Montolalu Peleng, STh ke Pdt. Augustinus Antou,STh, persoalan lahan Kanisah ternyata
kian runyam. Pasalnya, ketika Pdt. Agustinus
Antou, STh tiba di pos pelayananannya yang baru di Nazaret, saat dimana
ia belum sempat mempelajari duduk
persoalan dan perkembangan masalah penetapan lahan tanah untuk lokasih Kanisah
bagi 4 kolom persiapan pemekaran, ia telah didekati kolompok
Pelsus yang menginginkan pembangunan Kanisah di lokasi Kolom 16. Pendekatan kelompok Pelsus yang kalah voting
pada pleno 10 Juli 1996 itu ternyata
berhasil membujuk Ketua Jemaat Nazaret yang baru ini. Pdt. Agustinus Antou, STh pada Sidang Pleno Majelis Nazaret
awal tahun 1997 akhirnya mengetuk palu keputusan yang baru dimana lokasi Kanisah
di pindahkan dari atas bukit kolom 19 dan ditetapkan di lokasi yang baru di kolom 16.
Sorak sorai kubu pendukung lokasi Kanisah di kolom 16
atas ketukan palu dari ketua jemaat yang baru itu ternyata menjadi perasaan
pedih di kalangan pendukung lokasi Kanisah di atas bukit. Reaksi keras pun
mencuat dari separoh anggota jemaat
kolom 19 dan sebagian kolom 18 yang memegang teguh keputusan awal pada 10 Juli
1996 yang mengesahkan lokasi Kanisah di atas bukit. Kelompok itu menganggap keputusan pleno 1997 ini tidak adil
dan direkayasa oleh sekelompok Pelsus tertentu yang memaksakan kehendak lokasi
Kanisah dipindahkan ke lokasi di Kolom 16.
Suasana makin panas ketika
BPMJ Nasaret dan Panitia Pembangunan membeli sebidang tanah di lokasi kolom 16
sebagai implementasi keputusan pleno yang baru dalam kepemimpinan Ketua Jemaat
Nazaret yang baru. Kubu pendukung Kanisah di bukit pun bereaksi dengan
mengadakan rapat di rumah keluarga Areros Tumbio yang dihadiri Sym. A. Adrian,
Pnt. Welly Areros, M. Sasambi, F. Wadja,
S. Katilik, guna membahas percepatan pembangunan Kanisah di atas bukit sebagai
aksi perlawanan atas keputusan pleno yang baru itu. Kelompok ini memegang teguh
hasil keputusan pleno 10 Juli 1996. Pada
saat rapat itu dilakukan aksi pengumpulan dana untuk pengadaan bahan bangunan
darurat Kanisah. Aksi spontan itu akhirnya berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 150.000. Terdiri
dari sumbangan Sym. A. Adrian Rp.
50.000, M. Sasambi Rp. 25.000, F. Wadja
Rp. 25.000, Pnt. Welly Areros Rp. 25.000, S. Katilik Rp. 25.000. Uang yang
terkumpul itu kemudian digunakan untuk membayar ongkos sensow kayu di tanah
pekuburan Nasaret Tuminting sebagai bahan pembangunan Kanisah di atas bukit.
Tindakan penyensoran kayu di
lahan pekuburan Jemaat Nazaret oleh kelompok pendukung Kanisah di atas Bukit pada
waktu itu sebagaimana memori Sym. A. Adrian, dituding sebagai aksi pencurian.
Tundingan oleh kubu lawan itu kata A. Adrian tidak membuat mereka urung. “Bagi
kami jemaat di atas bukit, tanah dan kayu tersebut adalah milik jemaat Nasaret,
dan itu berarti juga milik jemaat kolom 19 dan sebagian jemaat kolom 18 yang
berniat membangun Kanisah di atas bukit,” ungkap A. Adrian dalam percakapan
dengan Tim Penulis pada 3 Februari 2013 di rumah Kel. Tinungki –Damura di Tuminting.
Dikisahkan Adrian, pembuatan
Kanisah di atas bukit dalam bentuk darurat pun dilaksanakan dengan menggunakan bahan
balok dan papan dari kayu yang disensow, di lokasi pekuran Jemaat Nazaret.
Pembangunannya dimulai dengan peletakan batu pertama oleh anggota jemaat pada tanggal
12 Juni 1997 dalam sebuah ibadah yang
dipimpin oleh guru sekolah minggu kolom 19 Sdr. Hutdam Manurat. Di atas
sebidang tanah, yang mencuatkan sebidang sengketa itu pun kini berdiri Bagunan
Kanisah darurat yang pertama.
II.3. Kanisah Pertama Yang Diruntuhkan
Kegiatan pembangunan Kanisah pertama di
atas bukit mendapat dukungan penuh Pelsus
Kolom 19 ketika itu yakni Pnt. Welly Lahengking dan Sym. Abram Adrian—dan para
pendukung Kanisah di atas bukit baik dari kolom 18, dan kolom lainnya di
Nazaret . Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Jemaat Nazaret Tuminting dan Sejarah Jemaat Tunggul
Isai, pembangunan itu dilakukan secara spontan dengan mengerahkan anggota
jemaatnya secara gotong-royong di lokasi yang telah disiapkan dari pembelian
lahan tahun 1996 sebagaimana ketetapan keputusan pleno 10 Juli 1996.
Rafles Katilik kepada
Tim Penulis juga mengatakan kesaksiannya dimana pada waktu itu ia diangkat
menjadi bendahara pembangunan Kanisah. Setelah dibentuk panitia maka mereka
mencari dana untuk pembebasan tanah, dan bahan bangunan. “Kami dikoordinir oleh
Bpk Welly Areros dan selanjutnya kami membangun Kanisah dari situlah cobaan,
rintangan dan pergumulan silih berganti.
Sampai gereja di rombak atau di rusak dan pada waktu itulah kami menghadap
polisi,” tutur Katilik.
Tindakan spontan kolom 19 dan
sebagian anggota jemaat Kolom 18 membangun kanisah ini ternyata mendapatkan
protes keras dari sejumlah warga dan para Pelsus dari 4 kolom yang merupakan
kolom persiapan pemekaran yang tidak setuju dengan Kanisah di atas bukit.
Alasan yang berkembang ketika itu, karena letak Kanisah di atas bukit terlalu
tinggi dan sulit diakses oleh anggota jemaat yang kebanyakan rumahnya di
lembah. Satu-satunya akses terbaik ke Kanisah hanya melewati jalan setapak yang tidak begitu lebar dan kemiringannya
relatif curam. Kondisi ketinggian letak kanisah ini tentu menyulitkan bagi para
anggota jemaat Lanjut Usia (Lansia), atau mereka yang kesehatannya sedikit
terganggu. Kendati pengadaan lahan untuk Kanisah ini dilakukan oleh Badan
Pekerja Jemaat Nazaret Tuminting lewat Panitia Pembangunan Jemaat, tapi
kisruhnya, pembangunan Kanisah di atas bukit tersebut dipandang inskonstitusi oleh sebagian
kalangan, dengan alasan pembangunan Kanisah itu belum diputuskan dalam sidang
Pleno Majelis Jemaat Nazaret. Sementara itu, hasil pleno 1997 telah menetapkan
pengalihan lokasi kanisah ke lahan di kolom 16.
Perbedaan visi dan pandangan
tentang pembangunan itu akhirnya terus merebak hingga ke sidang-sidang BPMJ dan
Pleno Majelis Nazaret berikutnya, atau sudah pada masa kepemimpinan Pdt.
Agustinus Antou,STh. Keretakan kolom-kolom persiapan pemekaran kian menajam
menuju perseteruan fisik. Pihak Pelsus dan para perintis pembangunan Kanisah di
atas bukit serta anggota kolom 19 dan
sebagian anggota kolom 18 yang justru responsif terhadap program jemaat untuk
pembangunan Kanisah itu disalahkan.
Dua
blok yang berseteru terus saja melakukan upaya pembangunan kanisah di dua
lokasi yang tersedia dalam bentuk bangunan darurat. Persiapan pemekaran menjadi
satu jemaat akhirnya terkoyak-koyak menjadi dua kelompok yang berkeinginan
menjadi jemaat mandiri. Bentrok fisik
dan tindakan perusakkan bangunan Kanisah di kolom 19 pun tak terhindarkan.
Beberapa pelaku sejarah yang
diwawancarai Tim penulis mengatakan, aksi kekerasan dan perusakan itu muncul
sebagai akibat kemarahan sejumlah anggota jemaat dari kubu pendukung pembagunan
Kanisah di lokasi kolom 16 atas pembangunan Kanisah yang di atas bukit . Aksi
kemarahan yang cenderung anarkis itu diikwali oleh seorang anggota jemaat
bernama Hendrik Tondondame tepatnya
hari Minggu tanggal 7 Desember 1997 pukul 20.30 mendatangi rumah keluarga
Areros Tumbio dengan maksud memanggil Pnt. Welly Areros yang dianggapnya
sebagai otak dari segala upaya pembangunan Kanisah di atas bukit untuk
berkelahi. Aksi tersebut diikuti oleh
sekelompok orang yang dalam keadaan mabuk berteriak dengan ungkapan, “sapa yang mo tanggapi pa torang jadi ini
malam” (siapa yang menanggapi kami, akan terjadi baku hantam malam ini).
Setelah teriakan di rumah Pnt. Welly Areros tidak di tanggapi oleh Pnt. Welly
Areros dan pendukungnya, aksi anarkis
dilanjutkan keesokkan harinya, Senin, 8
Desember 1997 pukul 17.30 wita, sambil
membawa sebuah parang Hendrik Tondondame
menuju lokasi Kanisah di atas bukit, dan langsung memotong 9 tiang
penyangga gedung dan merobek 6 lembar seng sebagai atap gedung.
Tindakan ini membuat anggota
jemaat pendukung pembangunan Kanisah di atas bukit melayangkan laporan
pengaduan pada hari itu juga yakni pada tanggal 8 Desember 1997 ke pihak Danrem 131 Santigo yang
ditanda-tangani 12 orang, masing-masing: Bpk. Matheos Sasambi, Yonex Lembo, Bpk
Welly Areros, Ny. Lutia Kasehung, Bpk Fredik Wadja, Ny. R. Adrian, Bpk Otniel
Malamtiga, Marlenida Lutia, Fentje Kumeka, Marfel Malamtiga, Bpk Sonny Katilik.
Laporan pengaduan tersebut
selain ditujukan kepada pihak Danrem 131 Santiago, juga ditembuskan ke : Danramil
Kecamatan Molas, BAKORWIL Manado Utara II, DANDIM 1309 Manado, BPMJ Nasaret
Tuminting, Camat Molas, Kapolda Sulut, Lurah Tuminting, Kapolsekta Manado Utara,
BPS Sinode GMIM Tomohon. Berikut salinan laporan pengaduan tersebut dari berkas
aslinya:
Manado, 08 Desember 1997
Kepada yang terhormat :
Bapak Danrem 131 Santiago
Di-Manado
Dengan hormat,
Dengan penuh kerendahan
hati, kami sebagian masyarakat Tuminting Ling. IV RT V RW 02 datang ke hadapan
Bapak dengan suatu permohonan sekaligus melaporkan peristiwa pengrusakan gedung
ibadah/kanisah yang masih dalam tahap penyelesaian.
Adapun kronologis peristiwa tersebut
adalah :
1.
Pada hari Minggu tanggal 07 Desember
1997 pukul 20.30, sekelompok orang yang dalam keadaan mabuk di rumah Kel.
Himpong-Kansil berteriak-teriak dengan ungkapan “sapa mo tanggapi pa torang,
jadi ini malam”.
Dari sekian banyak orang yang hadir
disitu, ternyata hadir pula seorang Perwira ABRI yakni Mayor Rualemba (Kadispen
Polda Sulut). Sayang sekali kehadiran seorang Perwira Polisi semakin
menyemangati mereka untuk terus berteriak dan tidak ada tanda-tanda pengamanan
dari Perwira Polisi tersebut, padahal situasi semakin memuncak. Dalam waktu
yang sama di lokasi yang sama pula sedang berlangsung ibadah Kaum Bapak di
rumah Kel. Makasala – Santiago dan ibadah ucapan syukur Hari Ulang Tahun di rumah Kel. Malamtiga – Tinungki. Sementara
ibadah berlangsung masih saja terdengar teriakan-teriakan dan ternyata yang
berteriak adalah salah seorang Pelayan Khusus Jemaat Nazaret Tuminting yakni
Pnt. W. Bintang.
Merasa tidak puas karena tidak ada
orang yang menanggapi sebagaimana yang mereka harapkan, maka salah seorang dari
antara mereka yakni Hendrik Tondondame menyerbu rumah Kel. Areros – Tumbio
sambil memanggil nama Bapak Welly Areros dengan kata-kata yang kasar sekaligus
mengajak untuk berkelahi. Meski demikian Bapak Welly Areros tidak memberikan
tanggapan apa-apa sehingga keadaan agak reda sedikit. Situasi seperti ini
berlangsung sampai sekitar pukul 01.00 (dini hari).
2.
Karena tidak berhasil pada usaha
sebelumnya. Maka dengan penuh semangat Bapak Hendrik Tondondame pada pukul
07.30 hari Senin, 08 Desember 1997 sambil membawa sebilah parang menuju lokasi
gedung ibadah/kanisah dan langsung memotong 9 (Sembilan) tiang penyangga gedung
dan merobek 6 (Enam) lembar seng sebagai atap gedung.
Dengan kedua peristiwa
yang terjadi ini kami merasa keberatan sebab tindakan yang dilakukan itu diluar
batas sebagai manusia yang Pancasilais. Oleh karena itu kami memohon agar Bapak
Danrem 131 Santiago dapat mengambil langkah yang tepat untuk menangani masalah
ini mengingat sampai saat ini keadaan masih rawan. Selain itu kami pun berharap
agar mereka-mereka yang menjadi dalang semua ini dapat ditelusuri kesetiaan
mereka pada Pemerintah, Bangsa dan Negara. Demikian laporan ini terima kasih.
Hormat
kami,
1.
Mateos Sasambi
2.
Welly Areros
3.
Fredy Wadjah
4.
Otniel Malamtiga
5.
Fence Kumeka
6.
Marfel Malamtiga
7.
Sonny Katilik
8.
Yonex Lemboh
9.
Ny. L. Lutia Kasehung
10. Ny.
R. Adrian Tahulending
11. Marlenida
Lutia
Tembusan
1. Bapak
Dandim 1309 Manado
2.
Bapak Danramil Kec. Molas
3.
Bapak Camat Molas
4.
Lurah Tuminting
5.
Badan Pekerja Sinode GMIM di Tomohon
6.
Bakorwil Manado Utara II
7.
Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM
Tuminting
8.
Kapolda Sulut
9.
Kapolsekta Manado Utara (sebagai
laporan)
10. Arsip
Bila mencermati isi surat pengaduan di
atas maka dapat dibayangkan betapa mencekamnya situasi ketika itu. Dari
kesaksian berbagai pihak yang diwawancarai Tim Penulis, membenarkan dimana saat
itu suasana begitu menegangkan. Seandainya kubu pendukung kanisah di atas bukit
memberikan reaksi atas aksi kubu pendukung Kanisah di lembah kolom 16, maka keadaan
rusuh yang tergolong massif tak terhindarkan lagi. Untung saat itu kubu
pendukung Kanisah di atas bukit memilih diam tak menanggapi. “Kami memilih diam
tapi tetap berjaga-jaga,” ujar Sym. A. Adrian. Menurut pengakuan Adrian, kubu
pendukung kanisah di atas bukit meski tidak melakukan aksi perlawanan tapi
semuanya sudah siap menghadapi situasi paling buruk jika terjadi aksi anarkhis dari
lawan. “Saya sudah siap dengan parang. Kalau ada yang masuk mengamuk ke rumah
saya, pasti saya potong,” ujarnya. Sementara keluarga Pnt. Welly Areros kepada
Tim Penulis mengatakan saat itu mereka juga sudah siap dengan berbagai senjata
tajam bila ada yang masuk ke dalam rumah. “Ayah saya sudah siap dengan panah
ikan di depan pintu ketika itu. Kalau ada yang masuk menyerbu pasti
dipanahnya,” kenang salah seorang anak Pnt. W. Areros.
Menurut memori Adrian, ketika
surat pengaduan dilayangkan, pihak keamanan terutama kepolisian pun turun
tangan mengamankan situasi agar tidak berkembang lebih fatal lagi.
Ternyata kubu pendukung
pembangunan kanisah di kolom 16 belum puas dengan aksi mereka yang pertama.
Dimana pada dua pekan kemudian, bangunan kanisah yang sudah dipotong-potong itu
ditemukan telah runtuh. “Ada beberapa saksi mengatakan bangunan itu di tarik
dengan tali hingga roboh,” ungkap Adrian.
Di atas reruntuhan bangunan
kanisah pertama yang dibangun pada 12 Juni 1997 dan dipotong-potong pada 8
Desember 1997, lalu dirobohkan dua
pekan setelah itu, jelas terrefleksi dimana suatu keputusan Sidang Pleno Majelis Jemaat di Nazaret
Tuminting yang cenderung dijalankan plin-plan dan tidak tegas telah mengakibatkan
kerusakkan yang luar biasa dalam keesaan hidup berjemaat.
Konflik itu dari waktu ke waktu
terus meluas, tidak saja melibatkan BPMJ Nazaret, tapi telah menyeret
keterlibatan Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW) Manado Utara II yang ketika
itu masih dipimpin Pendeta J. Wenas, STh, dan juga pihak BP Sinode GMIM. Upaya
mendamaikan dan menyatukan kedua pihak sangat sulit dilakukan, bahkan situasi
kian mencekam. Peristiwa itu telah
melebar hingga ke ranah hukum dari aksi lapor-melapor dari kedua kubu. Penangan
di rana hukum pun membias lebih besar, karena dalam laporan pertama oleh kubu
pendukung pembangunan kanisah di atas bukit menyebutkan keterlibatan seorang
oknum perwira polisi. Merasa nama baiknya tercoreng karena dilibatkan dalam
laporan tersebut, sang perwira polisi melakukan gugatan balik kepada pelapor
dalam kasus pencemaran nama baik. Dari berbagai berkas yang dikumpulkan Tim
Penulis memukan data dimana dalam kasus ini para pelapor berkali-kali diperiksa
oleh pihak kepolisian hingga 22 Juli 1998.
II.4. Kebijakan Yang
Tak Bijak
Bila menelisik akar persoalan yang
merebak menjadi kisruh di Hermon, apakah dapat disimpulkan karena sebuah kebijakan
yang tak bijak? Jelas terlihat dimana dua ketetapan berbeda tentang lokasi
pembangunan Kanisah hasil sidang pleno telah membuahkan terciptanya dua kubu yang saling
berselisih. Ketetapan lokasi di atas bukit kolom 19 pada 1996, dan ketetapan
lokasi di lembah kolom 16 pada 1997. Di sini kita bisa menarik simpul dimana sebuah keputusan yang tidak dijalankan
dengan tegas justru akan melahirkan suatu kekacauan yang serius dalam kehidupan
berjemaat.
Lantas bagaimana upaya BPMJ
Nazaret dalam mempersatukan warga jemaatnya di 4 kolom yang terlanjur retak
itu? Pada 4 Februari 1997 Sidang BPMJ dan Majelis Nazaret mencoba mencairkan
situasi tegang di dua kubu dengan mengeluarkan keputusan penangguhan sementara
pembangunan kanisah di Kolom 16 sebagai upaya meredam bentrokkan fisik dan juga
menurunkan Tim pengembalaan. Baru pada tanggal 10 Agustus 1997 rencana
pembangunan kanisah di kolom 16 dilanjutkan lagi atas keputusan rapat Panitia
Pembangunan Jemaat Nazaret Tuminting. Pada tanggal 6 November 1997 Sidang
Majelis Jemaat Nazaret Tuminting menyetujui pengaktifan kembali pembangunan
Kanisah di kolom 16.
Langkah-langkah BPMJ Nazaret di
atas ternyata tak lebih dari upaya memperpanjang waktu perselisihan. Merasa aspirasi
mereka untuk mempertahankan pembangunan kanisah seperti rencana semula di Kolom
19 di atas bukit tidak diperhatikan oleh sidang Majelis di Nazaret, tapi justru
cenderung mendukung pembangunan Kanisah di Kolom 16, maka Pelsus kolom 19 Pnt.
W Lahengking dan Sym. Abram Adrian beserta anggota keluarga kolom 19 dan para
pendukung dari kolom 18 melakukan aksi spontan membangunan kanisah pertama pada
12 Juni 1997 kemudian dirobohkan pada 8 Desember 1997 oleh kubu pendukung
Kanisah di kolom 16, yang memicu persoalan kian krusial. Pada fase ini, BPMJ
Nazaret nyaris tidak lagi memiliki titik terang guna mempersatukan kembali
warga jemaatnya di 4 kolom yang terlanjur berkubu itu.
Miris benar merefleksi
carut-marut dari buah kebijakan gereja yang menyebabkan terlontar keluarnya
sebagian anggotanya. Konflik
ini seakan tidak punya titik reda. Kewibawaan Gereja sebagai institusi religious
seakan tak lagi punya kebijakan ampuh dalam menyelesaikan konflik dalam
rumahnya sendiri. Kewibawaan kepemimpinan jemaat Nazaret pun terperosok ke
titik nadir. Penanganan persoalan gereja justru telah lompat pagar ke instansi
penegak hukum. Lagi-lagi keesaan gereja di uji di aras pelayanan ini. Mampukah
gereja memberi jawaban atas pergumulannya sendiri?
Itu sebabnya pihak Sinode GMIM
pada 26 Januari1998 dalam menanggapi persoalan runtuhnya kanisah di atas bukit
kolom 19 beserta dampak ikutannya dalam kehidupan kerukunan jemaat di Nazaret
telah melayangkan Surat ke BPMJ Nazaret bernomor: K.1463/Dep.IV/1-98. Sinode
secara tegas memberikan usul dan saran
di seputar penanganan pembangunan Kanisah di Nazaret. Dalam kurun kurang
lebih 4 bulan, ternyata penanganan masalah pembangunan Kanisah di 4 kolom yang
berkonflik belum juga menunjukan kemajuan. Untuk itu, Sinode kembali mengirimkan
surat susulan tertanggal 30 April 1998. Surat Pengembalaan No.
K.122/Dep.IV.40/4-98 itu kembali menegaskan tindak lanjut penanganan masalah pembangunan
Kanisah tersebut yang ditanda tangani Wakil Ketua BPS Pendeta DR. RAD Siwu dan
Sekretaris Umum Sinode Pdt. J. N. Gara, STh, MA. Sinode meminta agar persoalan yang telah
melebar ke rana hukum ditarik, dan diselesaikan di dalam gereja saja yakni
lewat Sinode dengan mengacu pada Tata Gereja GMIM tahun 1990.
Berikut 6 poin penting yang
mendapat penekanan Sinode dalam surat nomor K.122/Dep.IV.40/4-98 itu:
1.
Bahwa pelayanan Gereja adalah diatas segala-galanya.
Jika ada perbedaan paham dikalangan Pelayan Khusus atau Warga Jemaat supaya
digumuli dan diupayakan secara bersama-sama untuk mencari jalan keluar secara
arif dan bijaksana. Keutuhan Jemaat adalah perjuangan kita sesuai pesan Filipi
2: 1 – 11. Didalam pelayanan demi keutuhan tidak ada istilah kalah dan menang,
karena yang harus dimenangkan adalah pelayanan Gereja itu sendiri dalam
tuntutan Tema dan Subtema pelayanan GMIM tahun 1995-2000
2.
Bahwa masalah perbedaan paham itu
telah mengakibatkan konflik dan laporannya sudah disampaikan kepada Instansi
diluar lingkungan Gereja, maka melalui surat ini di anjurkan agar laporan
tersebut ditarik kembali karena masalah ini sedang ditangani oleh Gereja dalam
hal ini Badan Pekerja Sinode sesuai Tata Gereja GMIM 1990 dan
peraturan-peraturannya
3.
Bahwa adanya keputusan Majelis jemaat
tentang 2 (dua) lokasi pembangunan Kanisah maka diatur pemanfaatannya, sebagai
berikut :
3.1.
Pembangunan Kanisah dilokasi Kolom 19 sesuai
keputusan Majelis Jemaat September 1996 disempurnakan status dan fungsinya
sebagai tempat Ibadat sementara
Badan
Pekerja Majelis Jemaat ditugaskan untuk penyelesaian sarana fisik dan
pelayanannya
3.2.
Pembangunan Kanisah dilokasi Kolom 16
sesuai keputusan Majelis Jemaat Maret 1997 disempurnakan status dan fungsinya
menjadi Pembangunan gedung Gereja untuk calon Jemaat baru yang akan dimekarkan
pada hari peresmiannya
4.
Bahwa pada waktu yang akan datang ketika
Gedung Gereja baru rampung dan calon Jemaat baru tersebut akan dimekarkan maka
semua pihak mentaati seluruh ketentuan yang berlaku
5.
Bahwa dengan adanya pedoman yang
dibuat oleh BPS untuk seluruh Anggota Majelis Jemaat Nazaret Tuminting
diharapkan dapat dipahami sebaik-baiknya oleh semua pihak dan demikian semua
yang dianggap bermasalah selama ini dinyatakan sudah selesai Marilah kita
secara bersama-sama mengerjakan pekerjaan yang baik yang dipersiapkan oleh
Tuhan Allah sendiri
6.
Bahwa segala sesuatu yang saudara-saudara
laksanakan sesuai pedoman ini supaya dilaporkan kepada kami secara berkala.
Surat
Sinode yang berisi 6 poin penegasan itu ternyata tak cukup ampuh meredam
situasi yang terlanjur panas di 4 kolom persiapan pemekaran di Nazaret. Surat
tersebut dari isinya terkesan menunda-nunda persoalan, bahkan tersirat
mendukung keputusan hasil Sidang Pleno Nazaret Maret 1997. Apakah warga jemaat
pendukung Kanisah di atas bukit bisa menerima saran dimana Kanisah mereka hanya
menjadi tempat ibadah sementara? Dalam memori A. Adrian, ia mengatakan kubu di
atas bukit menolak kalau Kanisah mereka hanya menjadi tempat ibadah sementara.
Mereka tetap berkeras agar BPMJ Nazaret dan Sinode menegakkan kembali keputusan
Sidang Pleno tahun 1996 yang telah menetapkan secara resmi pembangunan kanisah
persiapan menjadi lokasi gereja bagi jemaat pemekaran terletak di atas bukit kolom 19 itu.
Langkah-langkah memperdamaikan
kedua kubu yang dilakukan BPMJ Nazaret dan Sinode pun kandas di tengah jalan.
Penolakan terhadap surat pengembalaan Sinode dan aksi-aksi pengembalaan yang
dilakukan oleh BPMJ Nazaret itu memang tak mungkin terespons dengan baik,
karena inti dan subtansinya selalu memaksa agar pihak kubu Kanisah di atas
bukit tunduk terhadap keputusan pleno 1997 yakni pengalihan kanisah ke kolom
16. Dalam suasana hati yang merasa dipermainkan dan diperseterukan oleh hasil
keputusan sidang pleno yang mendua itu, membuat mereka mimilih untuk bersikeras
agar keputusan 1996 di tegakkan. Apalagi, serangan-serangan dari kelompok kubu
kanisah di lembah kolom 16 begitu sengit terhadap mereka, membuat situasi
ketersinggungan mencapai tensinya yang tertinggi. Seakan tak ada jalan lain
bagi lintasan perdamaian di kedua kubu. Persoalan hukum terus berproses
sebagaimana laporan yang di sampaikan atas aksi perusakan Kanisah kepada pidak
yang berwajib. Saran pihak Sinode agar laporan tersebut dicabut oleh pelapor
tidak dilakukan.
Menanggapi aksi dingin terhadap
surat Sinode itu, pihak BP Sinode akhirnya melakukan aksi potong kompas dengan
melayangkan surat tertanggal 6 Mei 1998 kepada DANREM 131 Santiago untuk
mencabut laporan aksi perusakkan kanisah di bukit kolom 19. Berikut salinan Surat Sinode dimaksud:
Nomor : K.151/DEP.IV/5-98. 6
Mei 1998
Lamp : Satu
Hal : Masalah Pembangunan Kanisah
Di Jemaat
Nasaret Tuminting
Kepada yang terhormat
BAPAK DANREM 131 Santiago
Di –
Manado
Dengan hormat,
Berdasarkan
surat kami Nomor K.122/DEP.IV.40/4-98, tanggal 30 April 1998, yang kami tujukan
kepada seluruh anggota Majelis Jemaat Nazaret Tuminting tentang tindak lanjut
penanganan dan penyelesaian masalah pembangunan kanisah (suratnya kami
lampirkan), maka dengan ini perkenankan kami mengusulkan agar masalah ini
dijadikan masalah intern Gereja dan karena itu kami nyatakan menarik kembali
surat yang telah dikirimkan pada tanggal 8 Desember 1997 oleh 11 (sebelas)
orang anggota Jemaat GMIM yang berdomisili di Tuminting lingkungan IV RT V RW 2
yang dialamatkan kepada Instansi Bapak. Dan penyelesaian selanjutnya tentang
pembangunan kanisah ini akan ditangani oleh Majelis Jemaat.
Demikian
penyampaian kami dan atas kerjasama yang baik sebelumnya diucapkan terima
kasih.
Hormat kami,
BADAN PEKERJA SINODE
GEREJA MASEHI INJILI di MINAHASA
Wakil Ketua, Sekretaris Umum,
Pendeta Dr. R. A. D. Siwu Pendeta J. N. Gara, S.Th,
MA
(Selaku Pejabat Ketua)
Tembusan
:
1. Seluruh
Anggota Majelis Jemaat Nasaret Tuminting
2. Korwil
Manado Utara II
3. Sekretaris
Departemen Teritorial Sinode GMIM
4. Bapak
Dandim 1309 Manado
5. Bapak
Danramil Molas
6. Bapak
Camat Molas
7. Bapak
Lurah Tuminting
8. Bapak
Kapolda Sulawesi Utara
9. Bapak
Kapolsek Manado Utara
Dengan
dicabutnya laporan perkara perusakkan Kanisah oleh pihak Sinode GMIM lewat
surat Nomor: K.151/DEP.IV/5-98 tertanggal 6 Mei 1998, maka persoalan di rana hukum pun berakhir. Tapi apakah esensi
persoalan di 4 kolom di Nazaret ikut berakhir? Ternyata tidak. Persoalan justru
kian meruncing. Pencabutan laporan di Korem oleh pihak Sinode justru menjadi
tanda keberpihakkan terhadap kubu pendukung Kanisah di kolom 16. Pihak kubu
kanisah di atas bukit merasa kian tersudut oleh penyudutan itu. Lagi-lagi kita
melihat sebuah lekuk sejarah menuju berdirinya sebuah jemaat dalam bimbingan
kasih Tuhan di tengah kemelut yang mencengangkan ini.
Sementara pembangunan Kanisah
di kolom 16 telah tuntas dan diresmikan penggunaannya menjadi Gereja Kecil pada
29 November 1998. Sedang Kanisah di atas bukit dengan anggota jemaat yang setia
beribadat di kolomnya, terbiar bagai anak ayam ditinggal induknya. Matikah
aktivitas peribadatan di tengah kelompok pendukung pendirian Kanisah kecil di
atas bukit itu? Tidak. Tuhan menyertai mereka, atas kesetiaan mereka terhadap
Tuhan. Tuhan menolong mereka untuk tetap bertahan meski dilupakan induknya.
Tahun-tahun lewat dalam kegetiran sekaligus kegembiraan melayani. Tuhan
senantiasa dimuliakan di puncak bukit kecil itu.
Pnt. Frederik Wajah kepada Tim Penulis
ia memaparkan kesannya di sekitar proses terbentuknya jemaat gereja Gunung
Hermon di kurun awal itu merupakan sesuatu yang sangat bersejarah karena di
dalamnnya menuntut perjuangan yang tidak gampang, menyita waktu, perhatian dan
pikiran karena harus melewati berbagai peristiwa yang tidak inginkan.
Didalamnya ada tindakan brutal dari orang yang tidak ingin jemaat Gunung Hermon
terbentuk sehingga terjadi kejadian-kejadian yang tidak diingini terjadi yaitu
pemotongan, perusakkan bahkan sampai merobohkan gereja.
Sebenarnya katanya, perusakkan sampai pada perobohan gereja ini,
tidak akan terjadi kalau kedua pihak menyadari benar-benar sebagai orang yang
percaya dan pengikut Kristus tentu segala sesuatu tindakan harus didasari kasih
di dalamnya. Dengan duduk musyawarah maka ini akan melahirkan suatu keputusan
sesuai dengan yang kita ingin. “Pada saat itu orang-orang yang tidak senang
dengan kami berpikir dengan emosi, untungnya kami dari pihak yang dirugikan
masih dapat mengendalikan emosi berpikir secara waras, kalau kita juga berpikir
secara emosi melayani mereka, maka sudah pasti akan terjadi pertumbahan darah,”
ujarnya.
II.5. Induk Yang
Kehilangan Anak
Pada
bulan Februari 1999 BPMJ Nazaret Tuminting mengirim surat No. 119/BP – JT/II-99 kepada Pelsus Kolom 19
Pn. W Lahengking dan Sym. A. Adrian. Isi surat tersebut menyampaikan tindak lanjut keputusan sidang pleno majelis
Jemaat mengenai permintaan sikap pelayan khusus kolom 19, sekaligus keputusan
sementara menonaktikan pelayan khusus kolom 19. Oleh sidang Majelis Jemaat
Nazaret diputuskan pula penempatan caretaker Pnt. A. M. Tuwonaung sebagai
Pelsus untuk melayani anggota jemaat kolom 19.
Reaksi atas surat berdasarkan keputusan
sidang pleno Nazaret ini ternyata tak saja memicu kekecewaan yang berat bagi
kubu pendukung Kanisah di atas bukit, juga kian memperjelas peta retakkan di kolom
19 menjadi dua kelompok yakni kolom 19a dan kolom 19b. Kolom 19a adalah
kelompok yang tetap mendukung Pelsus lama, sedangkan kolom 19b adalah mereka
yang mendukung Pnt. A. M. Tuwonaung sebagai caretaker Pelsus kolom 19 versi
Nazaret.
Merasa kian tersudut oleh
berbagai keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan BPMJ Nazaret Tuminting, Kubu
kolom 19a yang terdiri dari 32 Kepala Keluarga pun menyepakati sebuah sikap
untuk keluar dari jemaat Nazaret Tuminting. Berikut salinan surat pernyataan
mereka:
Manado, 17 April 1999
Yang
terhormat,
Badan
Pekerja Majelis Jemaat
Nasaret
Tuminting
Di
–
Tuminting
Syaloom!
Menjawab
surat BPMJ Nasaret Tuminting No. 119/BP – JT/II-99 tentang penyampaian tindak
lanjut keputusan sidang majelis Jemaat mengenai permintaan sikap pelayan
khusus. Setelah dipelajari surat tersebut khususnya point 2 tentang keputusan
sementara menonaktifkan pelayan khusus hal ini sangat fantastis, namun sebagai
pelayan tetap melaksanakan tugas walaupun dalam lingkungan kolom.
Sebagaimana
tercantum pada surat tersebut bahwa kami dimintakan sikap hal ini sangat
didukung oleh anggota Jemaat, dan mendapat respon sehingga mereka datang kepada
kami untuk menyatakan sikap yaitu menginginkan Jemaat Mandiri.
Hal
ini kami sampaikan ke hadapan BPMJ Nasaret Tuminting untuk mengantisipasi agar
domba yang ada tidak melompat kandang lain di luar GMIM, akan tetapi terpelihara
didalam kandang semula. Sebagai wujud kebersamaan maka kami keluarga yang
bertanda tangan dibawah ini (Daftar terlampir) tidak hanya menyatakan sikap
dihadapan pelayan khusus, tetapi datang kehadapan BPMJ Nasaret Tuminting dengan
suatu kerinduan suatu harapan kiranya keinginan untuk berdiri sendiri sebagai
satu Jemaat mendapat realisasi.
Kami
berharap kiranya kerinduan ini mendapat respon positif oleh BPMJ Nasaret
Tuminting.
Kiranya
Tuhan Yesus sebagai kepala Gereja dan gembala Agung senantiasa memberikan
kekuatan iman kepada kami serta menganugerahkan hikmat kepada BPMJ Nasaret
Tuminting.
I
M A N U E L
Pelsus
Kolom XIX
W.
Lahengking
A. Adrian
Sikap melepaskan diri dari induk
pelayanan di Nazaret ternyata sudah begitu mengkristal pasca pergumulan-demi
pergumulan yang menimpa mereka. Apalagi secara dejure kolom 19a telah berstatus
kelompok anggota jemaat kolom tanpa Pelsus. Dengan ditempatkannya caretaker Pelsus ke
kolom 19 dalam hal ini kolom 19b, maka kubu pendukung kanisah di atas bukit
menjadi tidak jelas statusnya dalam jemaat Nazaret. Di lain sisi
kebijakan-kebijakan Nazaret yang keluar belakangan dinilai sudah melenceng dari
pentunjuk penyelesaian masalah sebagaimana yang ditegaskan oleh pihak Sinode
GMIM. Sebanyak 32 Kepala Keluarga yang
mendukung Kanisah di atas bukit telah menjadi korban dan dipermainkan oleh
sebuah keputusan Jemaat Nazaret Tuminting yang tidak ditegakkan secara tegas
oleh kepemimpinan jemaat itu. Ini sebabnya pada tanggal 20 April 1999, 32
Kepala Keluarga di atas bukit kembali melayangkan surat Ke BPMJ Nazaret untuk
meminta sebuah rekomendasi menjadi jemaat mandiri. Berikut salinan surat
dimaksud:
Manado, 20 April 1999
Perihal : Permohonan Rekomendasi
Lampiran : 1 (Satu) Lembar
Kepada
Yth :
Badan
Pekerja Majelis Jemaat
GMIM
“Nazaret Tuminting”
Di
–
Tempat
Salam
sejahtera di dalam Yesus Kristus!
Melihat situasi kami anggota
Jemaat yang merindukan berdirinya tempat Ibadah di lokasi Kolom 19 hingga saat
ini tidak ada penyelesaianya, maka dengan ini kami menyatakan dengan jujur
bahwa kami menginginkan agar BPMJ memberikan rekomendasi sehingga kami boleh
berdiri sendiri sebagai satu Jemaat di lingkungan pelayanan GMIM. Hal ini kami
harus sampaikan agar keutuhan warga GMIM tetap terpelihara mengingat kami yang
mendukung pembangunan tempat ibadah di lokasi Kolom 19 telah berupaya secara
sukarela, sehingga saat ini kami telah memiliki sebidang tanah. Dengan adanya
kepemilikan sebidang tanah tersebut secara tidak langsung kami memiliki peluang
untuk mendirikan bangunan tempat ibadah sesuai keinginan kami, namun kami
sangat menyadari bahwa program “Panca Sadar” khususnya sadar institusi masih
menjadi bagian kehidupan kami dalam berjemaat.
Oleh karena itu, melalui surat
ini kami mengharapkan agar permohonan rekomendasi ini dapat diterima oleh BPMJ
sehingga permasalahan yang mengakibatkan Pelsus di Kolom 19 yang dinonaktifkan
dapat terselesaikan dengan tidak meninggalkan kesan buruk baik bagi kami warga
Jemaat maupun bagi BPMJ.
Akhirnya kiranya Yesus sang
Kepala Gereja memberi hikmat dalam kelanjutan pelayanan kita semua
Hormat
kami,
(Terlampir)
DAFTAR
KELUARGA YANG BERTANDA TANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
|
KEL.
MANDAK – GAHINSA
KEL.
GOLOSE – TINUNGKI
KEL.
SASELA – MALENEHE
KEL.
MAKASALA – SANTIAGO
KEL.
SINGAL – BAWOLE
KEL.
PAPARANG. A
KEL.
ALUNGUNUSA - KAHIKING
KEL.
MALAMTIGA – TINUNGKI
KEL.
KUDAMPA – TATUIL
KEL.
SANTIAGO – MUTIARA
KEL.
SASAMBI – TEMPONE
KEL.
SAKEMPE – TATANGINDATU
KEL.
SADA – SAHEMPA
KEL.
MALAMTIGA – MAKASALA
KEL.
DILI – MALAMTIGA
KEL.
LEMBOH – DORONGGALO
KEL.
TAKAPULUNGAN – BOGAR
KEL.
WADJOH – MUTIARA
KEL.
KATILIK – TAMASALA
KEL.
MANURAT
KEL.
AREROS – TUMBIO
KEL.
MAHENGKENG – MANTIRI
KEL.
LUTIA – KASEHUNG
KEL.
GOLOSE – PAMEBARENG
KEL.
GOLOSE – KAIDA
KEL.
LAMPUS – RUMBAYAN
KEL.
NAYOAN – LUTIA
KEL.
ADRIAN – TAHULENDING
KEL.
SELA – ABBAS
KEL.
VENTJE KUMEKA
KEL.
ARAMBAU – SANDANG
KEL.
LAHENGKING - ARAMBAU
|
Sikap jelas yang dilontarkan 32 Kepala
Keluarga untuk berpisah dengan Jemaat Nazaret ini apakah menjadi tohokan yang
kuat dalam menghempas semua kebijkan Nazaret yang menyudutkan mereka yang di
atas bukit? Pdt. A. Antou, STh, sebagaimana di tuturkannya dalam Buku Sejarah
Jemaat Nazaret, menerima dengan lapang dada semua kritik yang diarahkan padanya
sehubungan dengan konflik dua Kanisah di Nazaret. Kendati di lain sisi ia
berkilah dimana keputusan dan kebijakan-kebijakan penyelesaian konflik itu
merupakan produk dari sidang pleno Majelis yang dipimpinya bukan kebijakannya
pribadi selaku Ketua Jemaat Nazaret.
II.5.1. Kelemahan Pdt. A.
Antou, STh
Menurut Pdt. A. Antou, STh
sebagai Ketua Majelis Jemaat ketika itu, ia tersandung berbagai kendala
seperti; Pertama, secara mendasar ia tidak tahu persis tentang persoalan di
kolom 19 dari awal peristiwa. Kedua, ia harus bertanggungjawab apapun
resikonya. Ketiga, dari sisi cultural ia melihat pengaruh budaya Sangihe Talaud
yang keras tampak dalam temperamen orang-orang yang berada di sekitar konflik
tersebut, dimana ada orang yang meskipun ia sadar berada dalam posisi salah
tetapi bersikap keras, dan tak mau mengalah demi gengsi pribadi.
Namun kata Antou, bila kita
merefleksi konflik di masa lalu ke kenyataan masa kini, barangkali isyarat
profetis Allah memang harus dinyatakan kembali di atas Bukit Tuminting itu,
sebuah kolom harus pecah, dan di tengah perpecahan itulah Gereja Tuhan harus
dibangun kembali.
Kesaksian beberapa pelaku
sejarah di Hermon kepada Tim Penulis mengatakan, pergumulan pembangunan Gereja
kecil di kolom 19 (atas bukit), yang menjelma serentetan persoalan krusial
dalam Jemaat Nazaret sejak Juni 1996, yang berujung pada perpecahan, bagi
sebagian orang dipandang sebagai kelemahan kepemimpinan periode Pendeta Antou. Sikap
Pdt. A. Antou, STh dalam penyelesaian kasus ini terlalu hati-hati. Ia memilih
upaya perdamaian silang pendapat itu, bukannya menegakkan keputusan yang sudah
dibuat. Beberapa langkah yang diambil sebagai keputusan sidang pleno Majelis
terhadap kasus kolom 19 adalah: Pengembalaan oleh Tim Pengembalaan yang terdiri
dari Pnt. M. E. Mulalinda, Sym. F. Rongkonusa dan Guru L. Gosal. Ternyata upaya
itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Konflik yang telah membentang sejak
masa Pendeta Montolalu Pelleng ini terus memanas dan mengantar kolom 19 pecah
menjadi dua kelompok yakni kolom 19a, dan kolom 19b. Getah pelayanan dan
penyelesaian konflik kolom 19 ini harus diterima oleh Pdt. A. Antou, STh kini dengan
lapang dada.
Lepas dari itu semua, saat ini
semua orang bisa melihat bagaimana konflik-konflik itu telah berlangsung
laiknya sebuah khotbah di atas bukit Tuminting. Khotbah yang dikumandangkan lewat serentetan konflik,
dan di sana telah tumbuh satu Jemaat Tuhan yang baru. Semua orang pun bisa
bercermin dari rentangan sungai sejarah
Gereja di tengah bangsa-bangsa, sebuah simpulan sederhana dapat ditarik bahwa,
friksi-friksi di tengah Jemaat Nazaret ini hanyalah sebuah anasir dari lakon
besar karya penyelamatan dalam Yesus Kristus. Sebab sebagian besar Gereja di
Indonesia justru dibangun di atas darah para martir. Dan bukan tidak mungkin,
perpisahan Jemaat Nazaret dengan sebagian warga kolom 19 yang kini memilih berpisah
dengan jemaat induknya merupakan khotbah di atas bukit itu sendiri. Inilah sisi
mengharukan yang menjadi keunikan dari masa kepemimpinan Pdt. A. Antou, STh. Di
Jemaat Nazaret Tuminting. Keunikan itu dikarenakan ia harus melanjutkan
tanggung jawab pelayanan dan penyelesaian masalah kolom 19. Masalah kolom 19 yang
berawal dari agenda Sidang Majelis Jemaat tentang pendirian gedung Kanisah
(Gereja kecil) di lokasi kolom 16 – 19, yang notabene akhirnya memiliki dua
tempat yang berbeda secara topografis. Yang satu di atas bukit sedang yang
lainnya di dataran sekitar kolom16.
Pasca pernyataan sikap 32
Kepala Keluarga untuk memilih berpisah dengan Nazaret, ketika itu sejumlah
wacana bermunculan di seputar status dari 32 Kepala Keluarga Kristiani ini. Ada
pihak yang melontarkan ide agar mereka mendirikan saja GMIST (Gereja Masehi
Injili Sangihe Talaud) di atas bukit itu, karena mereka menganggap GMIM telah
mengecewakan mereka. Namun sebagian merasa harus bertahan di GMIM. Dalam waktu
dan situasi yang cukup genting itu, peribadatan tetap saja berlangsung secara
biasa di tengah 32 Kepala Keluarga yang sudah mempolopori berdirinya jemaat
mandiri itu.
Baru pada saat Pendeta
J.Lontoh, STh tiba di pos pelayanannya pada 1999 sebagai Ketua BPMW Manado
Utara II menggantikan Pendeta Wenas, kemelut di Tunggul Isai dan Gunung Hermon
ini menjadi tantangan tersediri baginya untuk diselesaikan. Ketika ditemui di ruang kantor Ketua BPMJ Betesda Ranotana
Manado pada Rabu, 6 Juni 2012 Pendeta J. Lontoh, STh memaparkan, persoalan
Jemaat Tunggul Isai dan Gunung Hermon yang dimekarkan dari beberapa kolom
Jemaat Nazaret Tuminting memang merupakan prioritasnya ketika itu. Untuk meredam
situasi panas di kedua jemaat itu, BPMW yang dipimpinnya menempuh kebijakan
dimana keluarga-keluarga yang ingin
berdiri sendiri menjadi jemaat itu untuk sementara waktu digabung dengan Jemaat
Getsemani Sumompo. Sejak diluncurkan
kebijakan Majelis Wilayah itu, akhirnya Jemaat dari Kanisah kecil di atas bukit
mendapatkan tumpangan di Jemaat Getsemani Sumompo. Kebijakan ini berhasil
memutuskan rantai masalah yang menjerat
warga Kanisah Kecil dengan induknya Jemaat Nazaret Tuminting.
Jemaat Nazaret sendiri dalam
Sidang Pleno pada 21 April 1999 telah menelorkan sebuah keputusan merestui
berdirinya suatu jemaat otonom bagi 33 Kepala Keluarga yang menyatakan keluar
dari Nazaret.
Meski Pelsus kolom 19a berada
dalam status dinonaktifkan, tapi pada tanggal 6 Juni 1999, Sym A, Adrian
melaksanakan tanggung jawabnya selaku pemegang keuangan kolom 19a dengan
menyetor uang persembahan periode bulan Januari hingga Mei 1999 kepada Bagian
Keuangan/ Perbendaharaan Jemaat Nazaret Tuminting H. Siudu sebesar Rp. 116.750. Setoran itu
merupakan penutup sekaligus babak akhir dari hubungan administrasi antara
mereka yang di bukit dengan induknya Nazaret.
II.6. Eksodus Ke Sumompo
Bagaimana
pun krusialnya sejarah terbentuknya,
Jemaat Gunung Hermon telah berdiri dari semangat umat Kristiani yang
senantiasa merindukan perjumpaan yang indah dengan Yesus Kristus Tuhan. Mereka
adalah anggota jemaat Nazaret Tuminting yang dengan terpaksa harus mengihklaskan
hati memisahkan diri dari jemaat Induk Nazaret, karena mereka merasa terpinggirkan
dalam kebijakan pembangunan di Jemaat induknya tersebut.
Sejak kisruh yang terpicu pada
masa perintisan pembelian tanah di atas bukit pada 10 Juli 1996 hingga masa
peletakan batu pertama pada 12 Juni 1997, jumlah anggota jemaat yang mendukung
kedudukan lokasi Kanisah bagi 4 kolom ( Kolom, 16, 17, 18,19) yang
dipersiapakan untuk dimekarkan dari Nazaret terus menyusut. Bila bercermin dari
hasil Sidang Pleno di Nazaret pada 10 Juli 1996 untuk menentukan tempat
pembangunan kanisah, yang keputusannya diambil lewat voting suara yang
dimenangkan oleh sebagian besar Pelsus yang menyetujui lokasi Kanisah di atas
bukit di kolom 19, maka seharusnya pendukung pembangunan Kanisah di atas bukit
adalah lebih dari separoh jemaat Nazaret. Namun pasca sidang pleno Majelis
Nazaret awal tahun 1997 masa kepemimpinan Pdt. Agustinus Antou, STh yang menelorkan keputusan dimana
lokasi Kanisah di pindahkan dari atas bukit kolom 19 dan ditetapkan di lokasi yang baru di kolom 16, maka jumlah
pendukung dan simpatisan terus mengecil. Di kolom 19 sendiri, warga kolom telah
pecah menjadi 2 yakni Kolom 19a dan Kolom 19b akibat persoalan tersebut. Jumlah
yang mendukung tinggal 17 Kepala Keluarga yang merupakan anggota kolom 19a.
Sementara di kolom 18 tinggal beberapa Kepala-Keluarga saja yang tetap
konsisten dengan rencana semula yakni pembangunan Kanisah untuk jemaat pesiapan
pemekaran di atas bukit.
Di
tengah kebijakan Nazaret yang miris itu, warga kolom 19a bersama kedua Pelsus
tetap bertahan melakukan peribadatan di kolom, meski BPMJ Nazaret sendiri telah
menunjuk seorang Pelsus untuk melayani kolom 19b. Selang waktu kurang lebih 2
tahun dalam keadaan memprihatinkan tanpa status yang jelas di lingkungan
pelayanan GMIM (1997-1999), baru muncul sebuah kebijakan Sinode lewat Bandan
Pimpinan Majelis Wilayah (BPMW) Manado Utara II tentang penggabungan Para
pendukung Kanisah di atas bukit dengan pelayanan Jemaat GMIM Getsemani Sumompo
sambil mempersiapkan diri menuju berdirinya sebuah jemaat otonom .
Saat
digabungkan ke pelayanan jemaat Getsemani Sumompo, jumlah Kepala Keluarga di
Kolom 19a kembali naik menjadi 23 KK masing-masing:
Kel. Mandak – Gahinsa Kel. Golose – Tinungki
Kel. Kel. Sasela – Malenehe Kel.
Makasala – Santiago
Kel. Singal – Bawole Kel. Santiago – Mutiara
Kel. Areros – Tumbio Kel. Paparang – Alungnusa
Kel. Alungnusa – Kahiking Kel. Wajah – Mutiara
Kel. Lampus – Rumbayan Kel. Mahengkeng – Mantiri
Kel. Sela – Abas Kel. Katilik – Tamasala
Kel. Malamtiga – Tinungki Kel.
Kudampa – Tatuil
Kel. Huddam – Manurat
Kel.
Esuru – Adilang
Kel. Lemboh Dorongalo – Pontoh Kel. Takapulungan – Bogar
Kel. Lahengking – Arambau Kel. Adian – Tahulending
Kel. Arambau – Landang
Sementara
para pendungkung Kanisah di atas bukit dari kolom 18 yang konsisten ikut dalam
eksodus ke Getsemani Sumompo sebanyak 10 Kepala keluarga.
Kel.
Sasambi – Tempone Kel. Sahempa – Tatangindatu
Kel. Seda –
Sahempa Kel. Malamtiga – Tamasala
Kel. Dili –
Malamtiga Kel. Kumeka – Supit
Kel. Lutia –
Kasehung Kel. Golose – Panebaren
Kel. Golose –
Kaida Kel. Nayoan - Lutia
Menurut memori A. Adrian, perpindahan mereka ke Sumompo,
merupakan inisiatif murni dari 33 Kepala Keluarga yang telah menyatakan keluar
dari keanggotaan Jemaat Nazaret Tuminting. “Kami yang pergi ke BPMJ Sumompo
untuk minta bergabung dengan pelayanan jemaat itu sambil terus mempersiapkan
diri menjadi jemaat otonom. Dan kami diterima baik oleh jemaat Sumompo yang
dipimpin Ketua jemaat Pdt. Stefen Julius Sapulete, STh. Jika berkembang belakangan dimana perpindahan ke Sumompo
itu merupakan inisiatif pihak Badan Pekerja Wilayah, itu sama sekali tak kami
ketahui,” ujar Adian. Hanya saja Adrian mengakui dimana sikap penerimaan yang
baik oleh pihak Jemaat Sumompo sangat terasa seperti telah ada pra kondisi
sebelumnya. “Mungkin pra kondisi penerimaan kami berpindah ke Sumompo itulah
yang dilakukan oleh pihak BP Wilayah Manado Utara II,” katanya. Kendati
begitu Adrian mengatakan perhatian pihak
Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II dan BPMJ Getsemani Sumompo dalam
menyiapkan jemaat ini menjadi otonom begitu konsisten. Sejumlah rapat persiapan
digelar, semangat membangun kembali Kanisah yang runtuh dikobarkan. 12
orang yang menandatangani laporan perusakan kanisah selalu mengadakan rapat
berpikir dan mencari jalan keluar setiap permasalahan yang dihadapi jemaat itu.
Bpk. penatua A. Pontoh secara tidak langsung juga ikut dalam rapat. Atas
perbincangan yang terus berlangsung dari waktu ke waktu di atas, mereka pergi
lagi berkonsultasi ke Sinode dan hasilnya adalah jemaat diusulkan untuk pindah
ke Jemaat Getsemani Sumompo agar nanti dimekarkan dari sana.
Setelah permohonan disampaikan, hasil
sidang majelis jemaat Getsemani Sumompo adalah menerima jemaat sebagian kolom
19 dan sebagian kolom 18 menjadi kolom 14 jemaat Getsemani Sumompo, jemaat eksodus
masuk ke Getsemani Sumompo akhir Mei 1999.
Sebelum berintegrasi ke Getsemani
Sumompo keberadaan kepemilikkan tanah dipertanyakan karena tanah yang dipakai
untuk membangun Kanisah adalah tanah milik jemaat Nasaret. Pada saat itu warga
jemaat secara spontan mengumpulkan uang untuk membeli tanah seluas 301 M2 tanggal 8 Agustus 1998 pada Bpk Hani Singkho
(Bersebelahan dengan tanah yang dibeli oleh jemaat Nasaret).
Pembelian tanah ini atas pertisipasi dari :
Kel. Lahengking Arambau Rp.
600.000,-
Kel. Adrian Tahulending Rp.
905.000,-
Kel. Fence Kumeka Rp.
250.000,-
Kel. Najoan Lutia Rp.
250.000,-
Kel. Sasambi Tempone Rp. 60.000,-
Kel. Malamtiga Tamasala Rp. 50.000,-
Kel. Lampus Rumbayan Rp. 30.000,-
Kel.Sela Abast Rp. 5.000,-
Kel. Katilik Tamasala Rp.
300.000,-
Kel. Golose Tinungki Rp. 5.000,-
Kel. Areros Tumbio Rp. 10.000,-
Jumlah Rp.
2.500.000,-
Pada tanggal 12 Juni 2000 sertifikat
nomor 773 Sinode dalam lampiran surat yang diterima bahwa lokasi tanah yang
dibeli jemaat Nasaret Tuminting yang digunakan untuk pembangunan kanisah kolom
19 adalah milik GMIM dan diserahkan pada jemaat Gunung Hermon. Keputusan
disambut dengan penuh sukacita.
Pasca
diterima menjadi bagian dari pelayanan jemaat GMIM Getsemani Sumompo, 33 Kepala
Keluarga eksodus dari Nazaret ini ditetapkan menjadi 1 kolom yakni kolom 14
Jemaat Getsemani Sumompo dengan Pelsus yang masih sama yakni: Pnt. W.
Lahengking – Sym. A. Adrian. Pada tanggal 30 Juni 1999, Sym. A. Adrian pun
melakukan penyetoran Uang Persembahan kolom 14 yang pertama kali ke Bendahara Jemaat
Getsemani Sumompo sebesar Rp. 34.350.
Sekitar
4 bulan bergabung dengan Getsemani
Sumompo, jemaat eksodus di kolom 14 ini pada Oktober 1999 dimekarkan menjadi 2
kolom yakni menjadi kolom 14 dan kolom 15.
Pelsus di Kolom 14 Pnt. Alfinus Pontoh - Sym. A Adrian. Sedangkan Pelsus
di kolom 15 Pnt. W. Lahengking – Sym. Roy Malamtiga.
Selang 8
bulan kemudian, tepatnya pada 12 Maret 2000, dua kolom jemaat eksodus dari
Nazaret itu ditetapkan dan diresmikan menjadi jemaat otonom dengan nama Jemaat
GMIM Gunung Hermon Tuminting.
II.6.1. Pdt Stefen Julius Sapulete, STh
Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh,
bagi jemaat Gunung Hermon dipandang sebagai salah satu pendiri jemaat Gunung
Hermon. Tanpa beliau dan segenap BPMJ dan Pelsus Jemaat Getsemani Sumompo yang menerima eksodus
jemaat Gunung Hermon mungkin masalah jemaat ini belum dapat diselesaikan.
Kelakar menarik yang sempat dilontarkan Pdt Stefen Julius Sapulete, STh seputar
berdirinya jemaat Gunung Hermonyang patut disimak yakni: “Saya adalah bapak
tiri dari jemaat Gunung Hermon”. Sebab, bagaimana pun bagi Sapulete, ayah
kandung sesungguhnya dari Jemaat Gunung Hermon adalah Jemaat Nazaret Tuminting.
Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh dilahirkan
di Ambon, 18 November 1963. Menikah dengan Pendeta Desi Taner, STh dikaruniai dua orang
anak Sani Sapulete dan Tanisya Sapulete.
Sebagai sekretaris wilayah saat itu, Sapulete
selalu membantu dan peduli dengan keadaan jemaat Gunung Hermon. Hasil sidang
majelis jemaat Getsemani Sumompo diawal bulan Mei 1999 menerima jemaat GMIM
Gunung Hermon sebagai jemaat kolom 14 dengan dukungan penuh dari beliau. Ia
sosok seorang yang sangat humoris dan begitu dekat dengan jemaat maupun Pelsus.
Menjawab kekuatiran jemaat Gunung Hermon dengan tidak adanya tanah pekuburan,
jemaat Getsemani memberikan lahan pekuburan selama 1 periode jika ada daun
jatuh.
Selama perjuangan pemekaran jemaat
Gunung Hermon oleh para perintis ia ikut bekerjasama dalam usaha pemekaran jemaat
tersebut. Setelah mandiri beliau rela mempersembahkan beberapa jemaatnya yang
berada di sekitar Gunung Hermon untuk menjadi anggota jemaat Gunung Hermon,
diantaranya :
Kel. Pontoh Pontolowokang
Kel Biringan Laihat
Kel Lowai Pontoh
Setelah jemaat Gunung Hermon mandiri, Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh masih memberikan waktunya untuk menyelesaikan
berbagai konflik dalam jemaat Gunung Hermon dalam kapasitasnya sebagai
sekretaris Wilayah Manado Utara II. Beliau juga yang memberkati pernikahan dari
beberapa anggota jemaat di Gunung Hermon karena jemaat itu masih belum memiliki Pendeta dan Ibu Kunia
Talu, STh yang menjadi pendeta pelayanan di masa kepemimpinan Ketua Jemaat
Pertama Pnt. Welly Areros, belum memiliki SK untuk pemberkatan nikah.
Kepada Tim Penulis ia memaparkan hal
yang paling mengesankan di seputar masalah-masalah yang terjadi di Gunung
Hermon yaitu ketika Bpk. Sym. A. Adrian menunjuk dengan jarinya kepada Ibu Pendeta Kunia Talu,STh dalam
konflik yang terjadi di dalam rapat majelis. Semua masalah-masalah yang terjadi
itu merupakan kenangan yang menghidupkan pelayanan.
Pesannya semoga jemaat Gunung Hermon
tetap menjadi berkat sesuai dengan namanya
dalam Mazmur 133. Sesuai dengan nama bisa memberikan embun yang
menyejukkan itu bagi sesama jemaat dan dapat mengalirkan berkat ke bawah
(Jemaat Tunggul Isai) dan ke perumahan Simphoni (jemaat Non Kristiani) dan
kepada semua orang. Memberikan cahaya bagi jemaat agar jemaat bisa memberikan
sinar bagi semua orang.
Adapun susunan BPMJ Getsemani Sumompo ketika jemaat Gunung Hermon berintegrasi
:
Ketua : Pdt. Stefen Julius Sapulete, STh
Sekretaris: Bpk. Pnt Mulaki
Bendahara: Sym. Kudalin
Anggota: - Pnt. Ibu Gagansa
Pnt. Bapak Tumeno
Pnt. Pemuda Leni
Nikolas
Pnt. Remaja Ibu Pinontoan
Pnt. Anak Ibu Tumeno
II.7. Pembangunan Kanisah Kedua
Tanggal 12 bulan Juni adalah waktu yang
cukup unik bagi jemaat Gunung Hermon, karena di tanggal dan bulan yang sama dua
peristiwa yang sama terjadi seperti tanpa sengaja. Pada 12
Juni 1997 jemaat ini membangun kanisah yang pertama dalam sebuah ibadat yang
dipimpin oleh seorang guru Sekolah Minggu. Kanisah pertama ini kemudian tiang-tiangnya
dipotong-potong pada 8 Desember 1997, lalu
dirobohkan dua pekan kemudian oleh kelompok yang menolak pendirian kanisah
tersebut. Tepat dua tahun kemudian yakni 12 Juni 1999, Kanisah kedua di bangun
di atas bekas reruntuhan Kanisah pertama , dengan peletakkan batu dasar dalam
sebuah ibadah yang dipimpin Pdt. J.Lontoh, STh selaku Ketua BPMW Manado Utara
II.
Bila kanisah pertama yang menghadap
arah Barat runtuh semasa jemaat ini masih dengan induknya Nazaret, maka kanisah
kedua dibangun menghadap arah Timur di masa jemaat ini telah bergabung dengan
Getsemani Sumompo.
Upaya
membangun kanisah kedua ini selain mendapatkan dukungan dari Badan Pekerja
Wilayah Manado Utara II, juga mendapatkan support penuh dari warga jemaat
Getsemani Sumompo. Sejumlah tokoh jemaat Getsemani Sumompo yang kedudukan
rumahnya langsung bertetangga dengan lokasi kanisah ini benar-benar memberikan
dukungan penuh. Bahkan empati dan simpati warga jemaat tetangga yang kini
menjadi induk kedua dari 33 Kepala Keluarga yang melakukan eksodus ini telah
berlangsung jauh sebelum jemaat ini bergabung ke Getsemani. Salah seorang tokoh
jemaat Getsemani Sumompo yang terbilang paling aktif memperhatikan dan membantu
33 Kepala Keluarga sejak masa-masa konflik dan terombang-ambing di Nazaret
adalah Pnt. A. Pontoh.
Ini
sebabnya pada saat pembentukan Panitia Pembangunan Kanisah kedua dalam bentuk
representatif bagi berdirinya sebuah jemaat Gunung Hermon yang otonom, Pnt. A.
Pontoh langsung dinobatkan sebagai Ketua Panitia Pembangunan dan didampingi
sekretarisnya Bpk. F. Wadjah. Panitia pembangunan ini melakukan aksi
penggalangan dana pembangunan sejak 17 Mei 1999, atau sejak diterbitkannya
sebuah proposal pembangunan nomor: 01/Pan/JGHT/V/1999 dengan total estimasi
anggaran pembangunan sebesar Rp. 87.442.000.
II.8.
Nama Gunung Hermon
Nama Gunung Hermon awalnya diusulkan
oleh Bpk. Fentje Kumeka dalam sebuah
rapat para perintis jemaat pada tahun 1999. Pada rapat tersebut sejumlah
pilihan nama sempat mencuat yakni: Ararat, Exodus, Senggi Gilang, Gunung Hermon, Gunung
Sunai, Via Dolorosa, Kalvari.
Menurut Bpk. Fentje Kumeka pengusulan nama
Gunung Hermon didasarkannya pada bacaan Mazmur 133 : 1-3 dengan Perikop “Persaudaraa
Yang Rukun”. Dengan demikian Jemaat di Gunung Hermon boleh mengalirkan
berkatnya seperti embun. Walau terjadi konflik, jemaat Gunung Hermon tidak
pernah membalas walau dihina, dicerca, bahkan bangunan dirobohkan . Karena jika
hidup penuh persaudaraan yang rukun Gunung Hermon akan menerima berkat dan
mengalirkan berkat bagi semua orang dan membawa kesejukkan.
Nama tersebut kemudian kian mengkristal dari
sebuah peristiwa pembangunan 133 anak tangga sebagai akses jalan menuju kanisah
di atas bukit itu. Secara tidak sengaja, ketika para perintis jemaat ini masih sedang
mempertimbangkan sebuah nama bagi jemaat yang akan mereka bangun, maka dari 133
jumlah anak tangga itu mereka coba membaca apa isi Mazmur 133:
“Sungguh, alangkah
baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!
Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke
janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke
atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan
untuk selama-lamanya.” (Mazmur 133:1-3)
Dari bacaan Mazmur 133:1-3
inilah kemudian disepakati nama bakal jemaat yang akan berdiri di atas bukit
itu: “Gunung Hermon” sebagaimana usulan Bpk. Fentje Kumeka. Gunung Hermon dalam
metafora Mazmur Daud sebagai puncak persaudaraan yang rukun. Di puncak itulah
33 Kepala keluarga yang sehati sekata tetap rukun dan utuh merintis berdirinya
sebuah jemaat bagi Tuhan. Kesetiaan beribadah, sabar, dan tabah menghadapi
guncangan demi guncangan dalam serentetan konflik semasa di Nazaret, telah
berpuncak dengan indah dengan berdirinya Jemaat GMIM Gunung Hermon saat ini.
Meski Jemaat Gunung Hermon
nanti diresmikan sebagai jemaat otonom
pada 12 Maret 2000, tapi penggunaan nama Jemaat Gunung Hermon bagi kelompok
Kanisah di atas bukit sudah digunakan sejak pertengahan 1999. Bahkan nama ini
sudah ada sebelum 33 Kepala Keluarga melakukan eksodus ke Jemaat Getsemani
Sumompo. Hal ini dapat terlihat ketika 33 Kepala Keluarga yang bergambung ke
Getsemani menjadi kolom 14 di jemaat tersebut pada Juni 1999, sementara pada
April 1999 nama Jemaat Gunung Hermon telah digunakan oleh Panitia Pembangunan
Kanisah kedua.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNice story om..
BalasHapusTidak sengaja menemukan tulisan ini.
Kami yg muda-muda hanya pernah dengar sejarah konfliknya, tapi latar belakang terbentuknya jemaat G.hermon, perjuangannya kami minim informasi.
Thanks sharingnya