OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
IV. PERIODE KETUA JEMAAT KEDUA
Pada Bab III telah dijelaskan dimana Jemaat
Gunung Hermon ditahbiskan menjadi Jemaat GMIM ke 754 dan jemaat ke 13 dari
wilyah Manado Utara II sesuai SK BPS GMIM tgl 12 No. 191. Pentahbisan gereja
sekaligus juga dengan pelantikan panitia pemilihan komisi BIPRA.
Atas usulan Pimpinan Wilayah Manado
Utara II ketika itu di jemaat Gunung Hermon akan ditempatkan seorang hamba
Tuhan yakni seorang Pendeta. Waktu itu jemaat belum bisa menerima kehadiran
Pendeta dengan alasan karena jemaat baru saja mandiri, tapi ada sebagian
anggota jemaat yang menginginkan kehadiran Pendeta dalam jemaat.
Untuk itu dalam Rapat Wilayah di jemaat
Gunung Hermon, muncul kesepakatan menerima kehadiran Pendeta sebagai Pendeta
Pelayanan dan Bpk. Pnt. Welly Areros tetap menjadi ketua Jemaat. Sejak
keputusan itu, Pdt. Agustina E Talu, STh ditempatkan di Gunung Hermon selaku
tenaga pendeta pelayanan.
Pada awal tahun 2001, tepatnya tanggal
07 Januari 2001 ketika sekretaris jemaat membawa undangan untuk ditanda
tangani, Bpk. Pnt. Welly Areros sudah
tidak sanggup menandatangani surat karena ternyata beliau mengalami gejala
stroke dan mulai saat itu Bpk Welly sakit.
Selang 3 bulan di masa Pnt. Welly Areros sakit, pada tanggal 29 Maret 2001 diusulkan
dalam sidang pleno Jemaat Gunung Hermon agar Pdt. Agustina E Talu, STh menjabat sementara
Ketua Jemaat Gunung Hermon.
Setelah Pnt . Welly Areros meninggal
pada 16 April 2001, sesuai SK BPS GMIM, pada
tanggal 10 Desember 2001 Pdt. Agustina E Talu, STh di tetapkan menjadi Ketua
Jemaat Gunung Hermon yang kedua.
IV.1. Pdt. Agustina E Talu, STh
Pdt. Agustina E Talu, STh, lahir di Talaud,
9 September 1965. Menikah dengan Samuel
Kunia (bercerai) dan dikaruniai dua orang anak Olivia Kunia dan Glady Kunia.
Ketika jemaat Gunung Hermon baru diresmikan menjadi jemaat mandiri ia ikut
hadir. Sebagaimana rencana awal pihak Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II
untuk menempatkan seorang Pendeta seiring peresmian Gunung Hermon menjadi
jemaat otonom kehadiran beliau pada awalnya ditolak oleh sebagian besar anggota
jemaat karena jemaat baru itu masih banyak memerlukan biaya untuk pembangunan
gereja. Nanti pada rapat wilayah di jemaat Gunung Hermon akhirnya menetapkan
kehadirannya di jemaat Gunung Hermon sebagai pendeta pelayanan karena Bpk. Pnt.
Welly Areros menjabat sebagai ketua jemaat.
. Meski kehadirannya akhirnya diterima
walaupun terjadi ketegangan, tapi jemaat membangun pastori sederhana untuknya. Sebagai
pelayan yang begitu mengerti dengan kondisi jemaat beliau tingggal di pastori
yang kecil dan upah perbulan sebesar Rp.
50.000.
Pdt. Agustina E Talu, STh mengawali
pelayanannya dengan mengusahakan pengadaan air besih bagi jemaat yang terletak
di atas bukit itu. Menurutnya air bersih merupakan kebutuhan vital bagi
jemaatnya. Sebagai gereja yang berada di bukit sangat sulit bila tidak ada ketersediaan air
bersih. Dengan segala daya upaya bersama jemaatnya akhirnya proyek air bersih
itu berhasil dibangunnya dan diresmikan pada bulan November 2001 ole Ketua Badan
Pekerja Wilayah Manado Utara II Pdt. Jopy Lontoh, STh.
Sebagai jemaat yang baru berdiri, selaku
Ketua Jemaat ia juga mendorong berbagai potensi jemaat untuk ikut aktif dalam
berbagai kegiatan sinodal. Berbagai
kegiatan lomba diikuti oleh pemuda remaja dan anak sekolah minggu dan berhasil
menjuarai kegiatan wilayah dan sinode diantaranya menjadi Juara I Lomba bintang
vokalia anak Sinode GMIM oleh adik Hendra Katilik.
Sayang sekali karya pelayanannya mengalami
pergumulan ketika terjadi permasalahan dengan bendahara dan ibu Ritna Tahulending.
Jemaat dan sebagian besar Pelsus menandatangani surat ke Badan Pekerja Sinode
GMIM meminta agar beliau dipindahkan karena kepelayanannya diniai menurun.
Ketika ditemui tim penulis pada Mei 2013
Pdt. Agustina E Talu, STh mengatakan sampai sekarang ia masih bertanya dalam
hati kesalahan apa yang membuat jemaat Gunung Hermon sampai mengajukan
perpindahannya ketika itu meski masa jabatan pelayanan belum berakhir. Tapi ia
juga mengakui dimana sebagai manusia ia pun tak luput dari kelemahan dan
kesalahan.
Menanggapi Surat dari jemaat Gunung
Hermon ke Sinode ketika itu, Tim pengembalaan dari Wilayah yang terdiri dari Pdt. J Lontoh, Pdt. S Sapulete, Ibu Pdt.
Tambaru turun untuk mendamaikan tapi tidak memperoleh hasil sebagaimana yang
diharapkan yakni agar jemaat Gunung Hermon masih bisa menerima Pdt. Agustina E
Talu, STh di jemaat tersebut.
Dari beberapa sumber mengatakan masalah
yang menerpa Pdt. Agustina E Talu, STh lebih disebabkan oleh hal sepele yakni diseputar
uang jalan yang dimintanya untuk mengikuti kegiatan Sinode. Tapi kegiatan itu
tidak diikutinya. Tentang hal tersebut, kepada Tim Penulis, dijelaskannya
dimana sebenarnya ia ikut selama sehari
kegiatan yang berlangsung dua hari itu. Sedang pada hari terakhir, ia terpaksa
tidak ikut bukan karena sengaja tapi ia
harus menghadiri pernikahan adiknya.
Persoalan lainnya yang ikut menjadi
alasan mendepaknya dari tugas pelayanan di Gunung Hermon yakni menyangkut
hobinya berkaraoke menyanyi lagu-lagu pop non religi. Menurutnya menyanyi
lagu-lagu pop adalah hal yang biasa sekedar hiburan. Sebagai seorang hamba
Tuhan yang dikarunia talenta menyanyi yang baik sejak usia belia ia juga aktif
menyanyi lagu-lagu gerejani. Tapi bagi segelintir anggota jemaat di Gunung
Hermon menyanyi lagu pop bagi seorang hamba Tuhan yang punya jabatan Pendeta
tak dapat diterima. Kendati begitu ada juga anggota jemaat seperti Kel. Pontoh P Lowokang yang mengatakan tidak
ada persoalan bagi seorang pendeta menyanyikan lagu pop yang penting di tempat
yang tepat.
Tentang alasan kedua pendepakannya itu,
ia mengatakan tak lagi dipikirkannya karena tak ada lagi dendam di hatinya. Ia
sudah memaafkan semua dan menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan.
Ketika ditanya tentang visi misinya
dalam pelayanan ketika itu ia mengatakan melayani dengan sungguh walau banyak
pergumulan. Kesannya saat itu jemaat dan pelayanan baik tapi ada sebagian yang
tidak mendukung pelayanannya. Pesannya, lihatlah “Pelayanan” sebagai dasar
iman, jangan hanya masalah satu atau dua orang mengorbankan keutuhan
persekutuan jemaat. Jagalah keutuhan
jemaat. Saling menopang dan membantu.
Pada bulan Juli 2002 Pdt. Kunia F Talu,
STh pindah dari jemaat Gunung Hermon dan
Pdt. J.J Lontoh,STh menjadi PJS sampai Februari 2003.
IV.2. Pdt. J.J Lontoh, STh Menjadi PJS
Pendeta
Jopie J Lontoh,STh lahir di Tomohon, 21 Juni 1953. Menikah dengan Pdt. Foni E M
Rantung, STh dikaruniai dua orang anak Christi Lontoh dan Marten Lontoh.
Ketua Badan Pekerja Wilayah Manado Utara
II ke enam ini (1999-2005) menjadi Pelaksana Jabatan Sementara (PJS) Ketua
Jemaat Gunung Hermon atau Ketua Jemaat Gunung Hermon ke tiga sejak Juli 2002
hingga Februari 2003 pasca perpindahan Pdt. Agustina E Talu, STh dari jemaat
tersebut .
Pdt Jopie J Lontoh,STh
ketika tiba di pos pelayanannya di Manado Utara II kondisi wilayah ini tengah
berada dalam periode penuh gejolak. Ia mengantikan posisi Ketua BPMW ke 5 Pendeta J. Wenas, STh. Tentang kondisi Wilayah Manado Utara II saat
dipimpinnya, ia mengatakan ada beberapa masalah penting menyangkut berdirinya
beberapa jemaat baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus terutama masalah
Jemaat Gunung Hermon Tuminting, Jemaat Firdaus Mayondi, Jemaat Tunggul Isai
Tuminting.
Masa kepemimpinan Pendeta
Lontoh, merupakan periode dimana jemaat-jemaat di aras Wilayah Manado Utara II
mengalami sejumlah gejolak dan permasalahan yang diantaranya merupakan masalah
yang belum terselesaikan dari periode kepemimpinan sebelumnya, terutama masalah
pemekaran jemaat yang menyulut konflik. Keinginan sejumlah kolom untuk
memisahkan diri dari jemaat induk untuk menjadi jemaat mandiri, serta persoalan
organisatoris kepelayanan lainnya. Kebijakan-kebijakan wilayah yang tegas dan
akurat merumuskan solusi pemecahan membuat masalah-masalah tersebut mampu
diselesaikan. Bahkah periode kepemimpinan Pendeta Lontoh pun mencatat sejumlah
sukses berdirinya beberapa kanisah dan jemaat baru di Manado Utara II.
Ketika ditemui di ruang kantor Ketua BPMJ Betesda Ranotana
Manado pada Rabu, 6 Juni 2012 Jam 09.40 – 11.45 Wita Pendeta J. Lontoh, STh memaparkan, persoalan
Jemaat Tunggul Isai dan Gunung Hermon yang dimekarkan dari beberapa kolom
Jemaat Nazaret Tuminting memang merupakan prioritasnya ketika itu.
Untuk meredam situasi panas di kedua jemaat
itu, BPMW yang dipimpinnya menempuh kebijakan dimana keluarga-keluarga yang ingin berdiri sendiri menjadi jemaat
Gunung Hermon untuk sementara waktu digabung dengan Jemaat Getsemani Sumompo.
Baru sekitar 6 bulan atau tepatnya pada 12 Maret 2000 kemudian jemaat Gunung
Hermon disahkan oleh BP Sinode GMIM melalui Pdt. H. Mosal, STh, sebagai salah
satu jemaat di lingkungan Wilayah Manado Utara II dan Sinode GMIM. Sementara Jemaat Tunggul Isai baru disahkan secara resmi
oleh BPS GMIM sebagai jemaat otonom pada 19 Desember 2004 sekaligus dengan
penempatan Pendeta pertama H. C. Manitik, STh.
Dengan ditetapkannya kedua jemaat itu sebagai
jemaat otonom maka konflik babak pertama pun selesai. Kini kedua jemaat terus
tumbuh dan berkembang menuju jemaat-jemaat yang dewasa. Pembangunan fisik di
kedua jemaat meningkat pesat. Kolom-kolom di Jemaat Tunggul isai yang awalnya
hanya 4 Kolom kini berkemang menjadi 7 kolom. Sedang di Jemaat Gunung Hermon
yang awalnya hanya terdiri dari 17 KK lalu 33KK kini berkembang menjadi 3
kolom. Bangunan Kanisah darurat tak ada lagi, tapi berganti bangunan pemanen
yang megah dalam tahap penyelesaian.
Di sini kita melihat dimana pada setiap
kelokan sejarahnya, Tuhan senantiasa mempunyai rencana indah menuju keesaan
umatNya dan berdirinya gereja. Kemelut sekuat apa pun ternyata tak lebih dari
sekadar jalan menuju indahnya pelayanan lain yang lebih lebar dan menakjubkan.
Dan dua jemaat kini telah berdiri kokoh sebagai saksiNya baik bagi mereka yang
di lembah, dan jemaatnya di puncak bukit sana.
Drama
pelayanan lain yang harus dilakoni Pendeta J. Lontoh, STh bersama BPMW yang
dipimpinnya di kurun itu adalah bagaimana menuntun orang-orang tergusur menuju
Firdaus. Mereka adalah umat Kristiani yang tersingkir dari habitat hidupnya
yang lama ke pinggiran kota. Jemaat yang tertolak yang harus dirangkul.
Kisahnya
bermula pada 12 Maret 2002, sebuah benih gereja tumbuh di perkebunan Mayondi
dari 9 Kepala Keluarga yang merindukan perjumpaan yang indah denga Yesus
Kristus Tuhan. Mereka adalah Kel. Hamid – Takumansang, Kel. Hengkelare –
Tampanatu, Kel. Bambulu – Katiandagho, Kel. Budiman – Lombo, Kel. Lombo –
Manaping, Kel. Soldado – Haribae, Kel. Soldado – Kaelung, Kel. Tarima –
Mahabir, Kel. Antahari – Tingihe.
Mayondi
ketika itu adalah kawasan pemindahan orang-orang yang rumahnya tergusur di
Kelurahan Calaca. Awalnya mereka adalah anggota Jemaat Centrum Manado. Kawasan
ini merupakan wilayah kelurahan Kombos dan Singkil. Sebagai kawasan yang
terletak di belakang perkampungan pesisir Manado Utara, tanah-tanah di
sekitarnya juga di manfaatkan oleh sejumlah gereja di perkotaan untuk dijadikan
Lahan Pemakaman (Pekuburan).
Selain
menempati lahan milik pribadi, di antara
9 Kepala Keluarga ada yang telah
menempati kapling Pemerintah Daerah Kota Manado, seiring program pelebaran Kota Manado, oleh pemerintah kota.
Sebagai kawasan hunian baru, pemerintah Kota Manado menyediakan lahan yang diberikan untuk pembangunan gedung gereja bagi
masyarakat yang menempati kawasan pengembangan kota itu.
Kerena
belum ada tempat ibadah (gedung gereja) yang permanen, maka ibadah untuk
sementara pelaksanaannya seperti ibadah kolom, dilaksanakan setiap hari Kamis.
Sehubungan dengan bertambahnya anggota jemaat dari 9 kepala keluarga menjadi 26
kepala keluarga, maka dibuatlah tempat ibadah darurat dengan konstriksi tiang
bambu yang ditanam, dinding gamaca beratap seng dengan ukuran bangunan panjang
6 m, lebar 5 m dan tinggi 3.5 m.
Guna
memantapkan pelayanan dan mengantisipasi berbagai gangguan sebagai sebuah
organisasi pelayanan, para perintis jemaat menyepakati sistim pelayanan
peribadatannya sebagaimana tata cara GMIM.
Pada
tanggal 6 Desember 2002 beberapa anggota
jemaat membawa persyaratan administrasi untuk diusulkan menjadi jemaat mandiri
ke Sinode GMIM. Permohonan Jemaat Mayondi diterima oleh Badan Pekerja Sinode
GMIM.
Sesuai
dengan kedudukan jemaat, awalnya anggota jemaat Mayondi meminta agar jemaatnya dapat menjadi bagian
dari pelayanan Wilayah Manado Utara I (satu), namun ditolak oleh Badan Pimpinan
Wilayah Manado Utara I.
Pada
tanggal 18 Desember 2002 dengan bantuan Ketua Wilayah Manado Utara II
(Dua) Bapak. Pdt. J. J. Lontoh, STh,
jemaat Mayondi diterima sebagai bagian dari aras pelayanan Wilayah Manado Utara
II. BPMW Manado Utara II yang dipimpin Pdt. J. J. Lontoh, STh langsung mengadakan program penggembalaan bagi calon pelayan Tuhan dan
membentuk perangkat jemaat di dalamnya BPMJ, para pelayan khusus dan BIPRA.
Sebagai ketua jemaat pertama ditetapkanlah
Pnt. Fentje W. Kumeka.
Dengan
mengucap syukur kepada Tuhan kita Yesus Kristus atas pertolongan dan
penyertaannya, maka pada tanggal 23 Desember 2002 Jemaat Firdaus Mayondi
diresmikan oleh Badan Pekerja Sinode GMIM oleh Pdt. M. L. Mosal, STh sebagai
jemaat GMIM yang ke-784 dalam lingkup palayanan Wilayah Manado Utara
Konflik di Jemaat Bukit Zaitun Sumompo ikut
memberi warna dalam periode pelayanan di kurun ini, yang menuntut perhatian
BPMW Pendeta J. Lontoh STh untuk penyelesaiannya. Bermula dari keingin sejumlah warga jemaat untuk
memisahkan diri Jemaat Bukit Zaitun Sumompo untuk berdiri menjadi Jemaat
sendiri yang saat ini telah ditahbiskan menjadi
Jemaat Bukit Ararat Buha yang berpisah dengan Jemaat indauknya Bukit
Zaitun.
Gesekan
di kedua Jemaat ini akhirnya bisa diredam Pendeta Lontoh dan Pendeta Samahati dengan jalan memisahkan kedua jemaat
menjadi jemaat-jemaat mandiri. Jemaat Bukit Ararat yang baru terbentuk ketuanya
dijabat oleh Pnt. Rompas.
Di
Pandu BPMW yang dipimpin Pendeta J. Lontoh juga megusahakan berdirinya Jemaat
Efrata Pandu bagi pengungsi Ternate, Halmahera dan penduduk asli (Suku Bantik).
Di kurun ini juga BPMW berhasil mendorong berdirinya Kanisah di Bengkol
dan Pandu
Di
Jemaat Kharisma Buha juga terjadi gejolak sehubungan dengan ketua jemaat,
dimana keinginan Pendeta Judge Walo, STh menjadi ketua, tetapi umumnya anggota
jemaat mendukung kepemimpinan jemaat itu agar dipimpin Pdt. Ny.
Pongohan-Wangania.
Di
tengah periode penuh gejolak, konflik, dan tantangan pembangunan jemaat-jemaat
baru ini Pendeta J. Lontoh diperhadapkan. Banyak pengalaman pelayanan yang
dihadapinya yang perlu menjadi bahan pembelajaran bagi generasi pelayan
berikutnya yakni sebagaimana dipesankannya yakni seorang pemimpin pelayanan
haruslah selalu bermohon kepada Yesus Kristus akan tuntunan dan kekuatan.
Seorang pemimpin Kristiani juga harus rendah hati. Dalam mengahadapi masalah
dalam pelayanan para pelayan atau pemimpin kristiani itu harus menjumpai para
tokoh jemaat untuk bertukar fikiran dalam mencari pemecahan masalah.
Lewat Tim Penulis ia menyampaikan
pesannya kepada Jemaat Gunung Hermon yaitu pendekatan personal sangat baik dan
penting dalam menghadapi pergumulan jemaat. Keakraban bersama Pelsus dan jemaat sangat
baik untuk dijaga. Sebagai jemaat yang letaknya di atas bukit konsepnya harus
enjoy meski naik turun bukit dalam melayani. Semoga jemaat Gunung Hermon
menjadi berkat untuk masyarakat dan jemaat. Bangunlah kebersamaan, jauhkan rasa
dendam, dengki dan kemunafikkan. Tempatkan Yesus Kristus sebagai kepala gereja
di tengah jemaat Gunung Hermon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar