Oleh: Iverdixon Tinungki
Ketua BPMW ke delapan adalah
Pendeta DJ. L. Bato STh. Ia sosok pribadi yang
tegas dan disiplin. Sikapnya itu jelas terlihat dalam kemimpinannya
selaku Ketua BPMW di era dimana jemaat-jemaat se Manado Utara dalam kegairahan
membangun yang pesat. Tantangan-tantangan eksternal seiring kian maraknya
pertumbuhan denominasi kekristenan di Manado menjadi perhatiaannya, sebab
adanya gejala perpindahan yang cukup merisaukan dari anggota jemaat GMIM ke
denominasi gereja lainnya. Dampak modernism dan pengaruh nilai-nilai asing non
gerejani yang begitu kuat marasuk dan mempengaruhi ke kehidupan berjemaat ikut
menjadi konsennya. Sikap tegas dan disiplin yang diterapkan dalam
kepemimpinannya itu menurut dia, sebagai upaya menjaga keutuhan dan kewibawaan
gereja. Gereja harus tampil sebagai pemenang di tengah persoalan-persoalan
pelik yang dihadapinya. Ini menuntut sikap kepemimpinan gereja yang penuh
integritas, dan pendalaman ajaran yang benar dan alkitabiah.
Ini sebabnya, pada setiap
rapat wilayah ia secara terbuka memberikan penilaian terhadap kinerja
ketua-ketua jemaat di aras yang dipimpinnya. Ia pun tak segan menegur para
pimpinan jemaat terutama para pendeta
Jemaat yang punya kecenderungan melalaikan tugas, apalagi menjadikan jemaat
yang dilayaninya sebagai obyek meraih keuntungan material semata. “Kalau suka
jadi kaya berhenti menjadi pendeta. Karena tugas kependetaan adalah murni
melayani jemaat,” tegas dia kepada para pendeta se wilayah Manado Utara II.
Baginya kerja pelayanan
bukan sarana mencari keuntungan materi, tapi pengabdian yang sungguh-sungguh
bagi kemuliaan Allah. Keterpanggilan untuk menderita bersama Yesus Kristus
untuk kerja keselamatan dunia. Bahkan ia menegaskan penerapan sangsi-sangsi
disiplin gereja bagi para Pendeta yang melanggar aturan-aturan yang telah
ditetapkan GMIM menyangkut pelayanan di jemaat-jemaat.
Pendeta DJ. L Bato, STh juga
seorang teolog yang kristis menilai persoalan-persoalan kontemporer yang
dihadapi gereja masa kini. Menurutnya tantangan internal organisatoris serta
serbuan persoalan eksternal yaitu pengaruh-pengaruh perkembangan global bukan
saja menuntut kepemimpina gereja yang arif bijaksana yang meneladankan sikap
kepemimpinan Kristus, tapi juga menuntut peningkatan kapabilitas yang tinggi
dari para pimpinan jemaat agar mampu menepis nilai-nilai non gerejani yang
masuk mempengaruhi kehidupan jemaat, terutama menghancurkan persekutuan umat
Tuhan.
Khotbah-khotbahnya menggunakan kalimat-kalimat
sederhana yang mudah dipahami jemaat, namun tajam dan menggelitik. Menurutnya
khotbah-khotbah yang menggunakan bahasa dan istilah yang tinggi-tinggi dan
rumit akan sulit dimerngerti jemaat. Kritiknya
terhadap keseharian hidup anggota jemaat dilontarkannya secara terbuka namun
dengan bahasa yang santun diselingi kejenakaan. Style khotbahnya itu, membuat
jemaat betah mengikuti ibadah. Dalam memimpin ibadah pun khotbahnya tidak
panjang-panjang dan bertele-tele. Khotbahnya terstruktur dengan baik dengan
pijakan aspek teologis yang kuat meski diantar dengan bahasa sederhana yang diwarnai metaphor serta kisah-kisah reflektif. Suaranya
yang terdengar datar dan patah-patah merupakan ciri khasnya.
Meski posisinya sebagai
Ketua Badan Pekerja Majelis Wilayah, ia tetap akrab dengan semua anggota jemaat
dari gereja-gereja di Manado Utara II. Ia selalu meluangkan waktu untuk
menyapa anggota jemaat di wilayahnya. Setiap
saat ia melakukan kunjungan ke jemaat-jemaat, baik dalam kunjungan kekerabatan
dan kunjungan pelayanan ibadat. Ia selalu berada di tengah jemaat yang sedang
menggumuli pekerjaan pembangunan gedung gereja, pastori dan fasilitas lainnya.
Ia membaur dan berdialog serta memberikan
support kepada panitia-panitia pembangunan gereja di jemaat-jemaat agar
tetap optimis dan bersemangat dalam melakukan pekerjaan pelebaran kerajaan
surga di bumi. Semangat pendampingan seperti itu kata Bato, harus dilakukan
para pemimpin gereja agar ada rasa kebersamaan dan merupakan spirit tersendiri
bagi panitia-panitia, atau tim-tim kerja dalam mengemban tugas-tugas pelayanan
pembangunan fisik tersebut. Pemimpin-pemimpin gereja tidak boleh malas, dan
berat langkahnya, apalagi menutup pintu pastorinya bagi persoalan-persoalan
yang digumuli jemaat. Ia harus jadi yang pertama dan berada di depan jemaat
untuk menyelesaikan pergumulan-pergumulan itu. Baik itu pergumulan pelayanan
ibadat, pergumulan organisatoris, pergumulan social, pribadi, rumah tangga, dan
kelompok masyarakat. Pergumulan pembangunan fisik gereja dan kelengkapan
fasilitas fisik lainnya. “Pendeta bukan penonton yang kerjanya hanya
berkhotbah. Tapi figur sentral dalam kehidupan berjemaat dalam memberikan
penguatan, pengharapan, dan tindakan nyata dalam menyelesaikan pergumulan
jemaat.
Guna merekatkan hubungan antar
anggota-anggota jemaat se Wilayah Manado Utara II, ia tidak hanya bertumpuh
pada persekutuan ibadat tingkat BIPRA wilayah, tapi setiap tahunnya dilakukan
festival kesenian dan lomba olah raga antar jemaat dan kolom se wilayah.
Kesempatan-kesempatan seperti ini menurutnya, utamanya memang memuji kebesaran
dan kemuliaan Tuhan, tapi selain itu, membuat angota-anggota jemaat se wilayah
bisa bertemu, berdialog dalam suasana kekeluargaan yang santai dan gembira.
Festival Anak Sekolah Minggu serta pawai Paskah dan taman Paskah juga digelar
menambahkan kemeriahan pelayanan di aras yang dipimpinnya. Dalam hal
penggalangan dana guna menopang kegiatan-kegiatan tingkat wilayah ia melakukan
aksi turun langsung. Ia bukan tipikal pemimpin yang berdiam diri sambil berpeluk
tangan, tapi langsung berada bersama-sema di depan dalam melakukan pelayanan
dan menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pelayanan.
Hal lain yang menarik dari
sikap hidup Pendeta DJ. L. Batoh, adalah menolak menerima sampul dari anggota jemaat
saat ia memimpin ibadah di rumah anggota jemaat. “Sudah cukup apa yang
diberikan Tuhan bagiku. Bagianku adalah bersyukur,” begitu ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar