Jumat, 07 Oktober 2011

DELIK NEDOSA, HUKUM ADAT MASYARAKAT SANGIHE TALAUD (I)

 
 Oleh: Iverdixon Tinungki


Sebelum disahkan dan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai berlaku tanggal 2 Januari 1974 serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Aturan-Aturan  Perkawinan dalam hukum nasional di Indonesia mengacu kepada Ordonansi Perkawinan Warga Kristen Indonesia atau Huwelyk Ordonantie voor Christan Indonesians (HOCI) yang mulai berlaku pada tanggal 15 Februari 1933. Namun demikian, HOCI tidak berlaku bagi warga Sangihe Talaud, karena masyarakat yang mendiami kawasan 124 pulau ini sudah  mempunyai aturan  perkawinan terlebih dahulu, yakni: “Atoeran Adat Oentoek Orang-Orang Masehi Boemi Poetera Dipoelau-Poelau SANGI” tahun 1917 maupun penyempurnaanya tahun 1932 yaitu “ADAT – REGELING voor Inlandsche Christenen de, Sangihe en Talaud- Eilanden.
Dengan begitu, HOCI hanya berlaku bagi warga Kristen di Jawa dan Madura, Minahasa, Ambon, Saparua dan Banda. (Huwelyks Ordonantie  Christen Indonesiers Jawa, Minahasa en Ambonia)
Sebelum adanya aturan HOCI, di seluruh wilayah Indonesia  diberlakukan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (B.W) yang berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Eropa dan yang disamakan dengannya dan diperlakukan di Indonesia berdasarkan konkordansi sejak tanggal 30 April 1847 berikut Reglement op het houden der registers van den Burgelijke Stand vor Eropeanen (1849) en Chinezen (1919).
 Dari uraian secara  kronologis di atas, dapat disimpulkan bahwa suku Sangihe dan Talaud sudah terlebih dahulu memiliki aturan-aturan adat tentang perkawinan sebelum adanya aturan tertulis semacam di Indonesia.
 Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka aturan Adat Perkawinan 1932 di masyarakat Sangihe Talaud yang berlaku terus sampai tanggal 1 April 1975 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Persoalannya, keberadaan dan isi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 yang telah menghapus pemberlakuan hukum Adat Sangihe Talaud itu tidak memuat delik khusus yang justru sangat prinsip dalam Aturan Adat masyarakat Sangihe Talaud tahun 1917 dan  Aturan adat 1932 yang menggantinya yakni isi Bab IV pasal 25 poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 yang menyangkut perkara-perkara Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA). Padahal, pasal yang mengatur perkara sumbang ini justru sudah dikuatkan oleh suatu deklarasi keputusan Dewan Adat Sangihe Talaud tanggal 6 September 1951, yang berisi klasifikasi perkara Sumbang beserta tata cara penerapan hukuman. Penegasan yang sifatnya deklaratif oleh dewan adat tersebut pada hakikatnya sangat penting dan sudah merumuskan suatu delik yang disebut Delik Nedosa, yang penerapannya kemudian telah diberlakukan dalam mendakwa dan memutuskan berbagai kasus Sumbang (Nedosa) oleh Lembaga Peradilan di Sangihe Talaud di kurun sebelum Indonesia merdeka, sampai tahun 1975, dan  di atas tahun 1975.
Perkara Sumbang ini dikatakan sangat prinsip sebagai delik pidana dalam aturan adat masyarakat Sangihe Talaud karena menyangkut keyakinan masyarakat akan adanya sosial efek berupa bencana alam yang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat dan menyangkut kehormatan garis keluarga yang menanggung  rasa malu yang tak terperih yang akan ditimbul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan sumbang tersebut.   
Perkara SUMBANG atau “Pencemaran Darah” (Delik Nedosa) memang merupakan tindak pidana yang sangat unik yang cuma ada dalam Aturan Adat Sangihe Talaud. Baik dalam aturan adat 1917 dan 1932 serta deklarasi 1951 dinyatakan bahwa; nikah itu terlarang diantara orang-orang yang berkeluarga dalam garis lurus ke atas dan yang ke bawah, yang bersepupu, anak bersaudara. Penerapan hukumannya setinggi-tingginya 5 tahun penjara. Karenanya, peranan Delik Nedosa sangat penting dalam kaidah-kaidah hukum Adat yang masih di hormati dan di taati hingga kini oleh masyarakat Sangihe Talaud.
Pada bagian lain,  ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sudah mencakup ketentuan-ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang juga memiliki persamaannya dengan Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud (1917) dan (1932) terutama dalam titel :
1.     Memperoleh dan Kehilangan hak keperadatan.
2.     Akte Catatan Sipil
3.     Tempat tinggal atau domisili
4.     Perkawinan
5.     Hak dan kewajiban para suami isteri
6.     Persatuan Harta Kawin menurut Undang-Undang serta pengurusannya
7.     Syarat-syarat perkawinan
8.     Syarat-syarat perkawinan atau perkawinan dengan syarat pada perkawinan ke II dan seterusnya
9.     Pemisahan harta benda
10.            Penguraian perkawinan
11.            Cerai Meja dan tempat tidur
12.            Persoalan mengenai ayah dan keturunan anak-anak
13.            Hubungan keluarga sedarah dan soal kehamilan
14.            Kekuasaan orang tua
15.            Soal dibawah umur dan perwalian
16.            Pernyataan kedewasaan
17.            Masalah Curateel
18.            Masalah tidak beradanya di tempat

Sedangkan masalah Perkawinan Sedarah atau perkara Sumbang (Nedosa) terbilang luput dari cakupan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, padahal delik ini sangat penting dalam mengatur tatanan hidup dan perkawinan bagi masayakat Sangihe dan Talaud, dan keberadaannya tak mungkin dihapuskan begitu saja dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Dengan demikian, kaidah-kaidah hukum yang sangat prinsip yang tertuang dalam pasal 25 poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 dan kemudian yang disempurnakan dalam deklarasi dewan Adat Sangihe Talaud tanggal 6 September 1951 yang menyangkut perkara-perkara Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA) ini dipandang perlu dimasukkan kembali sebagai bahan pelengkap  dalam pembentukan hukum pidana nasional.
Adapun penyempurnaan itu dianggap perlu atas dasar pertimbangan antara lain :

a.     Undang-Undang perkawinan yang ada saat ini memandang soal perkawinan dalam hukum perdata.
b.     Materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, belum mengakomodir dan mengatur masalah Perkawinan Sedarah atau Perkara Sumbang. Pengabaian Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud seperti yang diatur dalam Bab IV pasal 25 dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 beserta rumusan deklarasi dewan adat Sangihe Talaud tahun 1951, oleh undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini akan mendistorsi dan mematikan eksistensi kaidah-kaidah normatif yang berlaku dalam hukum adat masyarakat Sangihe Talaud. Kematian eksistensi kaidah normatif dalam masyarakat Sangihe Talaud menyangkut Perkawinan Sedarah (perkara Sumbang) ini sudah terasa saat ini dan sangat mengganggu tatanan sosial budaya masyarakat di Sangihe Talaud seperti kasus-kasus perkawinan anak bersaudara, cucu bersaudara, dan juga perbuatan zinah kakak beradik, perbuatan zinah ayah-anak, Perbuatan Zinah kakek dan cucu, pula perkawinan se marga (vam).  Bagi masyarakat di suku lain, perkawinan sedarah dan semarga (vam) itu dapat dilakukan, namun di masyarakat Sangihe Talaud hal tersebut sangat tabuh dan dikategorikann tindak kejahatan dan pelanggaran yang perlu diberikan sangsi hukum. 
c.      Bahwa kedudukan norma-norma adat sangat perlu dijaga kelestarian dan kehidupannya karena merupakan sistem nilai yang berlaku dan menjadi pedoman tatanan kehidupan sosial masyarakat secara adat.
Demikian sekilas lintas tentang latar belakang dari Delik Nedosa yang termaktub dalam  Bab IV pasal 25 dan XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud tahun 1932, serta penegasan Delik Nedosa oleh dewan Adat Sangihe Talaud tahun 1951 sekaligus uraian mengenai perbedaannya dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1971 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.


          Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah  dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.     Bagaimanakah pengertian Delik Nedosa dan urgensinya dalam pengkayaan sistem hukum pidana nasional.
2.     Apakah akibat dan dampaknya terhadap masyarakat Sangihe Talaud jika Delik Nedosa tidak dimasukkan dalam sistem hukum pidana Nasional .  ( Iverdixon Tinungki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar