Minggu, 09 Oktober 2011

Teater Bensas Lava, Nafas Baru di Tapal Batas


Oleh : Iverdixon Tinungki

Balai Bahasa Provinsi Sulut, pekan pertama April 2007 menggelar program pelatihan teater di Kota Tahuna dengan peserta para  perutusan Siswa SMA dan SMK se kabupaten Sangihe. Sejumlah sastrawan dan dramawan nasional dihadirkan sebagai pembina kegiatan tersebut dan telah melahirkan sebuah grup Bengkel Sastra (Bensas) yang kini menamakan diri sebagai kelompok Teater Lava.  Jumat, 13 April 2007 lalu, secara mengejutkan grup teater itu mementaskan dua lakon sekaligus masing-masing: “Perkawinan” karya Nicolaj Gogol dan “Impresi Sebuah Lubang Kunci” Iverdixon Tinungki”.  Berikut catatan lepas dari pementasan tersebut.

 Studio RRI Tahuna, hari itu benar-benar dipadati pengunjung. Yang hadir pun sangat variatif dari Wakil Bupati Sangihe, sejumlah pejabat Badan dan Dinas, kepala-kepala sekolah, guru-guru, siswa dan masyarakat umum. Mereka semua datang menyaksikan pementasan perdana sebuah grup yang kelahirannya masih seumur jagung. Ini pemandangan yang sangat menarik dalam kurun lebih dari 10 tahun belakangan ini, setelah kegiatan-kegiatan teater dan kesasteraan nyaris tidak terdengar letupannya di kabupaten itu. Diskursus politik dan pemerintahan lebih dominan mengambil ruang-ruang perbincangan publiknya. Kerinduan terhadap kegiatan kesenian yang lebih berfungsi sebagai guru dan penilai zaman  ternyata telah memiliki wilayah dahaga tersendiri  di sana.
Dan kalaupun mereka hadir pada saat itu, tentu mereka ingin minum sepuasnya dari oase yang meresepsi dua lakon yang siap disuguhkan. Bagi saya sendiri, peristiwa  ini adalah sebuah fenomena penting dalam geliat perteateran di kawasan ladang seni budaya itu. Sebab untuk pertama kali, sebuah pementasan teater modern kembali bisa disaksikan dalam dekade terakhir. Dan lebih menarik lagi ketika mencermati keberanian grup Bensas Lava itu yang langsung mengusung drama komedi situasi berjudul “Perkawinan” karya dramawan Rusia Nicolaj Gogol serta “Impresi Sebuah Lubang Kunci” drama simbolik karya Iverdixon Tinungki.
Kembali sebuah kejutan membuat saya terperangah sejak awal hingga akhir pementasan dua lakon yang mereka bawakan. Bayangan suram tentang wajah suatu kawasan yang perteaterannya telah mengalami matisuri dalam kurun yang panjang menjadi cair seketika. Keterkejutan itu ternyata bukan saja milik saya, tapi semua penonton yang hadir memberikan aplaus apresiatif yang luar biasa atas pementasan tersebut. Sederhananya, dua nomor pementasan yang mereka sajikan menyedot daya pikat, karena keberhasilan mereka membangun situasi dan simbol-simbol teaterikal dan dramatis yang kuat.
Dalam “Perkawinan” misalnya, hampir semua pemain berhasil masuk dalam karakter tokoh yang diinginkan lakon tersebut. Para pemain tampak begitu lepas dan bebas memerankan tokoh-tokohnya. Kekuatan pemeranan itu dilengkapi lagi dengan tataan artistik serta musik yang apik. Tak pelak, lakon yang bercerita tentang realitas sosial dari kehidupan keseharian seorang manusia yang penuh kekonyolan, berhasil disuguhkan seperti apa adanya lewat lakon “Perkawinan”. Yang menarik lagi, kemampuan mereka dalam mengadaptasi naskah dengan pengunaan idiom-idiom lokal (Sangihe) membuat pementasan pada nomor ini sangat mendarat.
Pada lakon “Impresi Sebuah Lubang Kunci”, tercatat kemampuan mereka membangun simbol-simbol yang diingin dalam teks terbilang sangat berhasil memberi getaran estetik. Elaborasi dunia cinta yang penuh intrik  disuguhkan secara hitam putih. Kebeliaan para pemeran kembali menjadi kekuatan tersendiri dalam pementasan ini, karena memang cinta adalah dunia mereka. Untuknya, dibutuhkan suatu kemampuan dasar yang cukup dan cakap bagi aktor dan artis ketika memainkan jenis teater ini.  Kekuatan referensi masalah yang menjadi konsep dasar pementasan menjadi bahan baku utama. Demikian pula dengan kemampuan acting para pemainnya.
Lawat dua lakon ini, Teater Bensas Lava, setidaknya telah mampu menarik perhatian peta perteateran Sulut ke arah Utara. Saya melihat bakat-bakat seni yang sangat kuat yang begitu lama tersembunyi dan terpasung oleh kondisi sosial politik kawasan itu, mulai muncul kembali dalam nafas barunya di kawasan tapal batas NKRI itu. Semoga ini bukan sekadar eforia. Pemerintah daerah diharapkan memberikan apresiasi lebih lewat kebijakan-kebijakan pembinaan kesenian bila mengingingkan lestarinya peradaban yang lebih damai di kawasan ini, karena seni selalu mendamaikan dunia. ***

*) Penulis adalah pengamat seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar