Minggu, 09 Oktober 2011

Analisa Freud Bagi Puisi


Oleh : Iverdixon Tinungki *)

          Imajinasi mendahului pengalaman. Begitu keyakinan dan pengalaman saya dalam penciptaan puisi. Kitapun tak dapat mengelak  dari kenyataan, bahwa  sekeliling kita terdiri dari imaji-imaji. Imaji-imaji yang kadang anonim itu  memiliki kemampuan membelunggu proses kreatifitas kita sekaligus merasuk menjadi signifier dalam karya kita. Serbuan imaji itu terkadang menggelantung-melayang bagaikan teks tanpa konteks. Jadi, merumuskan konteks pada teks secara semena-mena bisa memunculkan distorsi analitis dengan yang empirik. 
          Itu sebabnya, di beberapa kurun yang lewat, saya pernah keberatan membaca catatan apresiasi yang ditulis  seorang kritikus sastra terhadap dua puisi saya : “Geovana Coscow” dan “Model” yang dijadikan indikator untuk melakukan rekonstruksi dinamika psikis saya. Saya sendiri merasa lucu ketika judul tulisan apresiasi itu berbunyi seperti teks iklan “susu kaleng”, karena memang dasar analisisnya  sengaja diacuhkan pada psyco analisa-nya Freud ketika mengukur rasionalisasi para pelaku deviasi moral. Pada tulisan itu, pengalaman batin saya mengatakan; pengarang  digelandang sebagai seekor penjahat pada pengadilan tuhan. Pengalaman bantin saya ini tentu disejajarkan dengan cara pandang pada puisi semata dari sisi content saja. Apakah mungkin manusia jadi Tuhan? Saya sendiri hanya ciptaannya, berjalan dalam ritus demi ritus, dalam ritual demi ritual, dan kemanapun saya pergi saya merasa tetap hanya seorang manusia dalam derajat kemanusiaan, dan  jenis primata dalam derajat kebinatangan.
          Derajat apresiasi pada puisi-puisi saya itu,   menurut saya telah terperosok pada kelatahan provokatif kaum post strukturalis yang menempatkan pengarang hanya semacam operator pengalaman empirik. Atau semacam pemain game. Pengarang dalam konteks demikian ditempatkan sebagai penjahat susila yang menjadikan deviasi moral sebagai komodi imaji. Pada cara bedah sastra semacam ini saya percaya terjadinya pembunuhan subjek (pengarang). Keganjilan apresiasi ini sebenarnya juga dilakukan Pitres Sombowadile, ketika memberikan pengantar pada buku saya; “Surat-surat Sunyi”. Namun pada kasus catatan Pitres pada buku saya itu masih dapat diterima sebagai penelusuran biografi: “apa dan siapa saya sebagai manusia”. 
 Sudut pandang psycologi Freud dalam membedah puisi terkadang sangat mengabaikan aspek suyektifitas historik. Bedah puisi seperti ini menjadi sangat ringan, dengan teknik mengait-ngaitkan imaji-imaji puitik  menjadi penanda yang dituduhkan sebagai pengalaman empirik pengarang. 
          Pada paroh 1960-an, kritikus sastra S. Sontag, juga sempat dengan muak melontarkan kritik pada kecenderungan estetika interpretasi seperti itu. Sontag merasa “neg” dengan spesies puisi yang dibebani “isi” atau “muatan” (content). Ia mengatakan karya seni modern itu telah ditandai dengan “kemenangan intelek atas seni” yang terwujud dalam interpretasi. Bagi Sontag, interpretasi adalah balas dendam (kejahatan) intelek atas seni. Pola-pola interpretasi adalah upaya kaum intelektual  melakukan pemiskinan dan pengosongan dunia untuk membentuk suatu sistem bayangan yang penuh dengan makna (meaning). Lyotard memang berargumentasi  dimana realitas yang figural (imajinasi) amat berfungsi dalam membentuk dan menghadirkan realitas. Tapi, realitas figural itu selalu mendahului pengalaman. Dan untuk puisi saya yang sempat dibedah habis dengan pisau Freud bukanlah signifier pengalaman empirik pengarang, tetapi sebuah sari adaptasi  pengarang terhadap fonomena sosiologis dinamika masyarakat. Tanpa maksud mambuat suatu apologia, tapi keinginan banyak kritikus menemukan saya secara psikis dalam puisi-puisi saya itu, tak lebih dari kenakalan intelektualitas yang kategorinya naif.
Semoga daya hidup sebuah puisi tidak dikerdilkan oleh naluri-naluri “emperan” para kritikus  yang membangun tradisi  kritik instant yang lebih bernuansa pragmatis, kapitalistik, sensasional, dibanding jujur.

              




Tidak ada komentar:

Posting Komentar