Minggu, 02 Oktober 2011

Leonardo Axsel J Galatang: SANG PENYULAM PERADABAN


Oleh: Iverdixon Tinungki

“Kemiskinan adalah satu-satunya hartaku, dan tidak akan (pernah) aku jual, sampai kapan pun. Aku bukan malaikat, tapi aku selalu berusaha untuk tidak jadi iblis. Aku selalu melawan arus, sebab yang ikut arus hanyalah sampah, dan aku tidak ingin jadi sampah”

Bau ikan kaleng menyeruak dari pabrik pengalangen yang berjejer di gerbang Kota industry Bitung. Kota yang dibangun di atas dataran pasir di lembah gunung Dua Saudara yang langsung menghadap lautan Fasifik. Udara di sini begitu panas dipantul pasir tanah dan uap hangat yang dihembus lautan khatulistiwa. Selalu di atas 30 derajat celcius. Panas yang mengurat karakter manusia; dimana senyum dan amarah pias dalam waktu yang sama.
Masih tentang Bitung! Kapal-kapal niaga berbobot muat ribuan ton berbaris seperti antrian ikan palagis yang tiba di pusat pengalengan dan pengemasan ikan ekspor , yang sejak bayi menyusuri laut benua dingin dan menikmati kedewasaanya di laut hangat khatulistiwa. Seperti itulah kapal-kapal ini, datang dari berbagai benua dan jazirah, dan tiba menunggu giliran membongkar muatan di pelabuhan samudera internasional yang terletak di selat yang terapit sebuah pulau bernama Lembeh. Ini sebuah kota laut yang indah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terdinamis di jazirah provinsi Sulawesi Utara.

Tangkasi, seperti sebuah Negara Kesenian. Sang presiden dibantu para menteri yang membawahi departemen. Sebuah system pembinaan yang terorganisir dan unik. Ribuan binaan sanggar ini setiap 2 bulan akan menggelar pekan Seni dan Teater. Dan setiap 1 tahun, pada Bulan November di gelar puncak festival seni dan teater .

Di Bitung, teater seperti wabah, selalu ada di mana-mana, dan terorganisir apik. Teater menjadi semacam kekuatan politik yang punya bargaining terhadap kekuasaan dan kebijakan publik. Suara Sang Presiden di dengar Walikota bahkan mempengaruhi kebijakan DPRD.

Ketika Tangkasi lewat presidennya menyeruhkan pemerintah agar membangun sebuah gedung kesenian, Pemerintah Bitung dan Dewan langsung bergegas mengetuk palu APBD, dan kini sebuah gedung kesenian dibangun dengan anggaran Rp 23 miliar untuk tahap satu berdiri megah di sana. Gedung ini merupakan pusat kesenian termegah di Indonesia Timur.

Mengapa Tangkasi bisa mempengaruhi political will penguasa? Kisahnya sederhana. Dalam kurun 20 tahun, anak-anak didik Sanggar Tangkasi kini sudah menguasai lebih dari separoh kursi parlemem di kota itu. Yang lainnya menjadi kepala-kepala Dinas Instansi Pemerintah. Bahkan ada yang pernah jadi Wakil Walikota. Pimpinan partai politik, Pimpinan organisasi keagamaan seperti pendeta di gereja. Guru. Pimpinan LSM dan perusahaan swasta serta BUMN.

Uniknya, Kota Bitung terdiri dari 8 wilayah kecamatan, dan semua Camatnya adalah anggota Sanggar Tangkasi. Dapat dibayangkan bagimana suasana Musrembang dalam memberi masukan bagi penetapan dan implementasi program pembangunan dalam APBD tahunan, bila suara Sang Presiden tidak terakomodir? Yang pasti kacau balaulah kejadiannya.

Tapi Axel bukanlah seorang politisi meski latar belakang pendidikan tingginya dari fakultas social politik. Ia seniman sejati. Ia berjuang untuk kebenaran. Ia berpihak pada kepentingan rakyat. Ia patuh pada aturan baku pemerintah. Tapi juga ia hidup dengan kemerdekaan penuh, dan menolak pembatasan yang membunuh eksistensi dan martabat seorang manusia. Karena ia menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Ia hidup di rumahnya yang sederhana, karena menolak bantuan siapa pun yang menurutnya itu membuat ia lemah. Ia makan dari buat keringatnya sebagai seorang jurnalis sebuah harian. Ketika para jurnalis menjadi kaya karena bargaining kepentingan dengan penguasa, Axel memilih miskin, kerena kemiskinan adalah kekayaannya.

Ia mengidap penyakit persendian dan maag akut. Namun ia tak meminta belas kasihan, meski ia telah membina puluhan ribu anak binaan Tangkasi yang kini telah menjadi orang sukses. Siuran senyum anak-anak didiknya cukup membuat ia puas dan bahagia. Ia memilih tak menikah. Karena pernikahan baginya adalah sebuah pemborgolan kemerdekaan individu. Tapi punya beberapa anak angkat dan anak pelihara.

Ketika penulis menemuinya kemarin , Senin (6/4) sekitar pukul 14.30 wita, ia mengajak penulis menggunjungi 3 grup teater binaannya yang lagi latihan. Sebab, pada Kamis nanti, pekan teater 2 bulanan segera di gelar.
“Inilah aku!” serunya kepada penulis dengan suara gagapnya yang kental, saat kami akan berpisah. Dalam perjalanan pulang ke Manado, membersit tafsiran: Ia memang seorang nabi kesenian, “Sang Penyulam Peradaban”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar