Jumat, 07 Oktober 2011

Membaca Luka Dalam Denyut Buyat (Resensi Buku Oleh Iverdixon Tinungki)


Membaca Luka Dalam Denyut Buyat


Judul                   : buyat: hari terus berdenyut
Penulis                : Jamal Rahman- Katamsi Ginano
Foto                   : Denny Taroreh-Jamal Rahman
Tebal                  : 114 halaman
Penerbit             : Banana
Tahun terbit        : 2007
Cetakan             : Pertama

Seniman seperti juga nabi, ia memiliki mata hati yang lebih terang dibanding manusia umumnya.  Kreatifitasnya menyeberangi kedalaman absurd wall untuk meringkus pesan-pesan ilahi (imaji) yang tersebunyi untuk dikasadkan sebagai apologetik (Pembelaan) dan pengharapan bagi kemanusiaan dan peradaban.  Karena kemanusiaan dan peradaban selalu terluka, maka dibutuhkan tangan-tangan trampil untuk menyeka airmatanya. Sebab manusia adalah sysyphos, seseorang yang terhukum di dunia bernama kehidupan.  Kehidupan tanpa apologetic dan pengharapan adalah chaos dan nihilistik.    Ini sebabnya, “The Lord is my shepherd,”  bagi kaum nasrani sebagai misal, tidak saja berhenti sebagai puisi sacral, tapi pengharapan itu sendiri.  Hidup memang bukan tamasya atau liburan, namun pergulatan yang terus berdenyut tanpa henti. Disitulah  pembelaan dan pengharapan menjadi sesuatu yang penting dan mahal.
          Inilah impresi terkuat yang ingin diresepsikan lewat karya fotografi dan puisi   Denny Taroreh, Jamal Rahman dan Katamsi Ginano dalam antologi berjudul “buyat: Hari terus berdenyut”. Tiga seniman Manado ini lewat karya mereka telah melakukan  tugas filantropisnya, sebuah pekerjaan yang diilhami oleh kasih sayang kepada manusia. Sebuah dedikasi dan empati terhadap ‘the human case and the human cause’.
Sebanyak 124 foto 50 puisi disajikan dalam buku yang terbit eksklusif dan terkemas menarik ini. Isinya adalah potretan jujur atas keseharian dan serentetan masalah kemanusiaan di Buyat. Buyat, desa di tepian pantai kabupaten Minahasa Selatan. Dalam kurun terakhir kawasan ini menjadi perbincangan menarik dan mencekam pasca terkuaknya masalah  pencemaran lingkungan yang dituding akibat  merkuri dan arsen dari limbah buangan PT. Newmont Minahasa Raya yang  telah memakan korban baik lingkungan dan manusia.   Tragedi buyat yang kini masih dalam proses pembuktian kebenarannya di pengadilan itu, telah membawa implikasi luar biasa bagi warga di sana baik psycologis dan psykhis. Di tengah diskursus itu, Denny Taroreh dan Jamal Rahman justru menangkap Buyat dari sisi yang berbeda. Lewat lensa kamera dan renungan-renungan filosofis dalam puisi mereka mau memberi apologetik sekaligus pengharapan bagi Buyat yang terluka. Seperti semangat nabi Daud menulis “Mazmur 23”, atau Chairil Anwar menulis puisi “Aku”.   Pada 2006 lalu, tercatat dua seniman ini telah pula meluncurkan buku yang isinya nyaris sama berjudul “Sepenggal Kisah Anak Buyat, Eksodus ke Tanah Harapan”. Antalogi “buyat: hari terus berdenyut”, ini merupakan buku kedua mereka dalam mengumuli masalah-masalah kemanusian di Buyat. Buku ini menjadi kian menarik tidak saja kerena kejenialan tampilan epigram-epigran dan haiku karya Jamal Rahmal, tapi juga  pengayaan menakjubkan dengan kehadiran puisi – puisi bernuansa sufi karya penyair  Katamsi Ginano, seperti “Setelah Angin, Setelah Ombak”.
      Dengan jumlah muatannya yang sebesar itu,  antologi ini jelas merupakan antologi  puisi dan fotografi yang paling sarat dari seluruh antologi  yang pernah diterbitkan seniman Sulut sejak tahun 1980-an. Mereka, telah menampilkan potret realitas eksistensi kemanusiaan “kita” yang  kompleks, sesuai dengan tema (theme) dan nada (tone) yang diusungnya. Misalnya eksistensi “kita” yang butuh kasih sayang sejati; yang sunyi; yang menderita, marah, tetapi tak berdaya karena atau  dalam menghadapi ketidakadilan; yang merindukan jati diri; yang takut dan kagum akan kemahaan Tuhan, atau juga sebaliknya : mengesampingkan Tuhan beserta hukum-hukumNya dengan menjadi culas dan korup.
     Puisi-puisi dan foto dalam antologi ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aliran (paham filosofis) kesenian: Realisme-romantik, Realisme-sosial, dan Idealisme-religius. 
     Sebagai penyair yang giat mengikuti perkembangan kreatifitas ke tiga seniman ini, saya merasa antologi ini berisi karya-karya terbaik mereka.  Bagi pembaca yang sudah cukup terlatih, hakikat puisi-puisi dan foto dalam antologi ini tidak sukar untuk dipahami, meskipun teknik berucapnya tidak (melulu) lugas.  Bagi jenis pembaca awam, Kata Pengantar antologi ini, yang ditulis oleh  esais  AS Laksana, dapat membantu. Apalagi, penulisannya berpola  apresiatif.
         Lewat antologi ini, Denny, Jamal dan Katamsi  setidaknya telah melakukan upaya pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan dan mendedikasikan dirinya dalam mengungkap kebenaran bahwa di Buyat: “hari masih terus berdenyut”.   (Iverdixon Tinungki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar