Selasa, 04 Oktober 2011

SASTRAWAN TATENGKENG ( Puisi Iverdixon Tinungki)


kadet spanyol portugis dan belanda
mendengar nyanyian resik nelayan Sangihe
di kegelapan samudera
mereka gembira dalam kerja
mereka berpengharapan di tanah lautnya
dan kau menulis tangisannya dua abad kemudian
sebuah kesaksian sajaksajak melepuh
di atas tanah airnya
syairsayair berdarah dalam perampokkan bersenjata
kompeni mengambil tanah laut kita
buat hosti yang mulia ratu dan pangeranpangeran eropa

dan sajakmu berperang seperti kasatria moyangmoyang
seperti Chairil diangkatan berikutnya
yang memilih jadi binatang jalang daripada hidup terjajah
lalu di pegangsaan pukul 10 pagi, ketika itu 17 Agustus di tahun 45
proklamasi diangkasakan, memerdekakan tanah dan laut kita
dari empat ratus tahun yang terus kalah

tapi kemudian kau tulis lagi;
“kita penumpang kelas tiga di kapal bangsa”
seperti politik belanda, kemerdekaan melahirkan kasta
merobek sejarah bahari moyang kita
yang berlayar, mengemudikan kora dengan gagah berani
ke malaka, pasai, batavia, hingga afrika

dan sajakmu berperang lagi dalam rindu dan dendam
mendobrak feodalisme Indonesia lama
seperti Taufiq Ismail dan Rendra menggedor pintu kemuliaan palsu
para pemimpin pemerintahan yang hanya pandai berorasi
bodoh berdemokrasi tapi keranjingan berkorupsi

di ulu dulu kau guru
mengajar kearifan negeri laut
hingga nelayan berbagi dendang
kini runtuh jadi dongeng kekayaan laut
kapalkapal asing menangkap ikan
empat puluh ribu ton ikan di curi pertahun
dan konon tentara nasional kita tak berdaya
menjaga luasnya negara
karena keterbatasan peralatan
dan lumpuhnya kebijakan
yang menyokong program pertahanan kedaulatan
lalu pulaupulau kita menjadi negeri ringgit yang meringgis
harga pala, cengkeh, kopra dimainkan bayers
dan anakanak yang dulu kau bangga
kini tinggal menjual hak dan martabatnya
pada para politisi yang membayarnya lebih murah dari harga
seekor bibit babi untuk mendapatkan kursih
dalam pilkada dan pemilu negeri ini.

J. E. Tatengkeng…
lihatlah Tardji ia menangis dalam sajak luka…
dan seorang anak membaca puisinya di podium
perayaan hari kemerdekaan: “Tanah air mata,
tanah tumpah dukaku”

“di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami”

2009

*)  J. E. Tatengkeng, Sastrawan angkatan Balai Pustaka, dilahirkan di Kolongan, Sangihe (Sulawesi), 19 Oktober 1907, meninggal di Makassar, 6 Maret 1968. Berpendidikan HIS Manganit, Christelijk Middagkwekschool bandung, dan Christelijk HKS Solo. Pernah menjadi guru bahasa Indonesia di Tahun (1932), Kepala Schakelschol Ulu Siau, Kepala HIS Tahuna, Menteri Pengajaran (1948), dan terakhir Kepala Jawatan Kebudayaan Kementrian P & K Perwakilan Sulawesi.
Ia juga ikut mendirikan Universitas Hassanuddin dan pernah mengajar di Fakultas Sastra. Selain itu ia pun pernah memimpin harian pemuda Kristen Sangihe Tuwo Kona, membantu Suara Umum (Surabaya), Suluh Kaum Muda (Tomohan), Pemimpin Zaman (Tomohan), dan memimpin majalah Sulawesi (1958). Kumpulan sajaknya: Rindu Dendam (1934). Sajaknya yang lain dimuat dalam majalah Pembangunan (1947), Zenith (1951), Siasat, dan Indonesia (1953).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar