Jumat, 07 Oktober 2011

Delik Nedosa, Sebuah Produk Hukum Khas (II)


Oleh : Iverdixon Tinungki

Pengalaman proses yudisial di ruang pengadilan di Indonesia masih diselimuti ketegangan akibat adanya pemcampuradukan gejala yuridis dengan gejala non yuridis. Problem dikotomis ini antara lain disebabkan  pengabaian serta merta terhadap hukum adat yang sangat mengikat baik terhadap individu dan komuniti-komuniti tertentu di Indonesia. Hukum pidana dan hukum perdata yang ada pada kasus tertentu dalam komuniti tertentu terkadang tak mampu menjadi acuan untuk melahirkan kepastian hukum.
Kurangnya eksplorasi hukum adat di Indonesia dapat dipahami sebagai akibat dari persepsi dikotomis para ahli-ahli hukum atas pemahaman masyarakat bersahaja tidak memiliki hukum. Pendapat itu sejak jauh hari juga disetujui para antropolog. Akibatnya, hukum bersahaja terlepas dari pengamatan ilmiahnya. Kesalahan yang dilakukan Hartland dalam bukunya Primitive Law  misalnya, mengidentifikasi hukum bersahaja sebagai keseluruhan adat istiadat suatu suku.  Hartland beranggapan bahwa hukum dan adat istiadat adalah identik. Pandangan semacam Hartland itu juga didukung para ahli hukum termasuk Seagle yang menuliskan tesisnya dalam buku The Quest for Law yang menyatakan “Custom is King” (adat istiadat adalah raja). Persepsi itu dengan sendirinya mengekalkan bahwa kehidupan masyarakat bersahaja diatur adat istiadat artinya tidak ada hukum di sana.
Pandangan-pandangan semacam itu tentu sangat tidak tepat jika diperuntukan bagi masyarakat kepulauan Satal, meski indentifikasi antropologis menyatakan masyarakat Satal adalah rumpun Milanesia yang menjadi contoh para ahli sebagai masyarakat bersahaja itu. Masyarakat bersahaja ditandai dengan tidak adanya lembaga pengadilan dan konsepsi mengenai negara. Sementara masyarakat Satal sejak kurun masa purba telah hidup dalam sistem pemerintahan negara yang disebut “Kulano”  (kerajaan setempat) atau minimal sistim kekerabatan yang disebut; “Komolanguwalage”, yang di sana berada lembaga pengadilan adat. Norma hukum positif yang menjamin terjadinya kepastian hukum  dalam setiap Kulano dan Komolanguwalage dapat disebut antara lain  delik “Nedosa”. Sebagai sebuah delik hukum positif, Delik Nedosa dapat dikategorikan memenuhi standar ajaran-ajaran realisme hukum yang diformulasikan Cardozo, seperti dalam kutipan  Prof. Dr. Soerjono Soekanto,SH, M.A, dalam bukunya Antropologi Hukum, yang terdiri dari empat komponen esensial yakni : Unsur Normatif, Keteraturan, Pengadilan-pengadilan, Penegakan (enforcement).
Sejak Sangihe Talaud masa purba seperti disitir sejarawan dan sastrawan Mangumbahang hingga ke masa yang lebih dekat sebelum penjajahan Belanda dan masuknya agama semitik (Abramic Religion)  ke kawasan kepulauan “Mamenong Kati” (Sangihe Talaud) itu, tak sedikit orang pelaku deviasi moral dan deviasi sosial yang telah ditenggelamkan ke laut, atau diganjar kerja sosial memikul dan mengumpulkan batu, atau diarak sebagai penjahat susila laiknya tragedi Scarlet Letter sebagai bentuk hukuman dalam masyarakat Kristen Puritan di awal terbentuknya negara Amerika.
Pertanyaannya, delik hukum macam apa yang digunakan waktu itu di Satal hingga memunculkan hukuman tersebut? Jawabanya : Delik Nedosa. 
Delik Nedosa adalah sebuah delik hukum positif dari rahim kultur dinamisme Satal purba yang sangat dipengaruhi teori keseimbangan Hindu seperti faham Fun See atau Esho Funy yang dikembangkan filsuf Fashu Bandhu. Betapa secara filososif Delik Nedosa selain bermakna hukuman juga berarti ritual membujuk pengasihan kekuatan-kekuatan mekanis yang mendominasi dan mempengaruhi seluruh aspek peri kehidupan manusia dan alam semesta (Baca : kosmik Satal). Budaya masyarakat Sangihe Talaud purba --dan hingga kini meski telah bermetamorfosis lebih besar ke dalam khazanah etika kristen—sangat meyakini bahwa berkat dan kutuk sangat ditentukan oleh kekuatan mekanis dalam alam. Kekuatan mekanis ini dalam kosmologi agama-agama semitik di fahami sebagai Ilahi, dan dalam kristen dikenal sebagai Tuhan Allah yang dikenal dalam Yesus Kristus. Maka perjuangan utama manusia Sangihe Talaud purba diarak ke aras terjadinya dan terjaganya keseimbangan. Sebab hanya dalam keseimbangan itu berkat berada. Pengingkaran pada keseimbangan pasti bernama kutuk atau bencana. Bencana selalu berasal dari pengingkaran etika dan hukum etis dalam masyarakat dan alam. Untuk memulihkan bencana tersebut diperlukan suatu proses investigasi, interogasi dan terakhir jika pelakunya ditemukan, ia akan didakwa dengan delik Nedosa. Berat ringannya suatu hukuman ditentukan berapa besar sosial efek yang ditimbulkan dari kesalahan yang dilakukannya.  Dengan diganjarnya seorang pelaku kejahatan menurut hukumannya akan segera menimbulkan efek etis dalam keseimbangan alam dan manusia.
            Betapun adilnya suatu hasil keputusan  pengadilan namun hasil keputusan itu dalam kasus-kasus tertentu di hadapan Delik Nedosa merupakan suatu produk ketidak-adilan. Hal ini disebabkan kekhasan Delik Nedosa yang berangkat dari etika kultur yang khas Sangihe Talaud. Pada masyarakat tertentu misalnya seorang perempuan dewasa dan pria dewasa yang meskipun terikat famili pada keturunan ke dua (sepupuh) bisa melakukan perkawinan. Bahkan pada kasus kakak beradik yang penting tidak menyusu pada satu ibu bisa melakukan perkawinan. Tapi dihadapan Delik Nedosa, perkawinan kakak beradik atau sepupuh adalah kesalahan tanpa apun dengan hukuman ditenggelamkan ke laut. Diatas perkawinan sepupuh hingga pada keturunan ke tujuh hukumannya diusir dan dibuang keluar dari lingkungan masyarakat.  Aturan yang tidak tertulis lainnya di Sangihe Talaud juga melarang perkawinan semarga meski sudah dalam ratusan keturunan. Perkawinan bisa dilakukan kecuali pihak pengantin lelaki mengganti marganya, sebab jika tidak, perkawinan itu menjadi aib besar bagi marga tersebut. Melanggar aturan ini adalah merusak keseimbangan dan diyakini sebagai penyebab bencana.
            Tak pelak, keyakinan terhadap hukum  dalam Delik Nedosa macam ini sudah barang tentu tak mungkin serta merta digantikan dengan delik pidana KUHP atau produk hukum lain yang sifatnya generalis dan universal. Kita membutuhkan delik hukum khusus dan khas dalam menjamin terjadinya kepastian hukum untuk kasus-kasus tertentu.

Sebuah Gagasan Keadilan

            Delik Nedosa sebagai delik hukum dan gagasan keadilan dalam perspektif teori keadilan dapat pula dirujuk ke dalam khazanah pemikiran Rawls. Bagi Rawls dalam telaah filsafat politik yang ditulis Andre Ata Ujan pada tesisnya yang berjudul; The Basic Elements of John Rawls’ Theory of Justice Fairness, mempercayai bahwa masyarakat sebagai sebuah lembaga kerjasama sosial hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik apabila hak-hak dasar setiap warga diberi tempat dan dilindungi pelaksanaannya secara pasti oleh negara melalui konstitusi yang adil. Keadilan dalam perspektif Rawls ini sangat mendukung gagasan keadilan yang difahami dalam kumuniti-komuniti.
Indonesia sebagai negara yang mengklaim demokrasi sebagai sistem pemerintahannya tak mungkin mengabai perspektif keadilan dalam arti fairness itu sebagai suatu teori yang harus diterapkan secara efektif. Persoalannya, hukum di Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda ternyata tak cukup kaya merespons persoalan-persoalan hukum dalam paguyuban masyarakat pluralistik seperti Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 350 etnik. Tak pelak, diperlukannya suatu upaya pengkayaan hukum di Indonesia. Jauh sebelum Rawls, Immanuel Kant dalam A Theory of Justice  meyakini apa yang disebutnya sebagai person moral dalam masyarakat yang memiliki kemampuan a sense of justice dan a sense of the good.
Person Moral secara mendasar  ditandai dua kemampuan moral yakni : Pertama, kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan  rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerjasama sosial. Kedua, kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional mengusahakan terwujudnya konsep yang baik, yang mendorong semua orang untuk mengusahakan terpenuhinya nilai-nilai dan manfaat-manfaat primer bagi dirinya.
Pemberlakuan Delik Nedosa seperti juga teori keadilan Rawls bukan saja mendorong individu dan komuniti-komuniti bertindak sesuai prinsip-prinsip keadilan, juga menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang tepat bagi diri mereka sendiri.  (Iverdixon Tinungki)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar