Minggu, 23 Oktober 2011

Festival Teater PATSU: Sebuah Catatan


Nafas Baru Teater Kita
Oleh: Iverdixon Tinungki

Persatuan Artis Teater Sulut  (PATSU) sejak 19 hingga 25 Juni 2007 lalu  melaksanakan festival teater yang diikuti l0 grup teater dari Manado, Minahasa, SaTal. Berikut sebuah ulasan lepas dalam membedah sisi intrinsik dan ekstrinsik dari pemetasan grup peserta festival.


 Pengaruh sosialisme dalam bidang sastra dan teater telah menimbulkan perdebatan panjang. Selain memiliki kecenderungan memangkas kreatifitas estetik akibat terjadi penjajahan teks, juga pembebanan pesan menyeret terjadinya verbalisme.  Itu sebabnya para penganut faham “seni untuk seni”  menolak pemikiran ala Tolstoy itu. Pergumulan macam ini di Indonesia, sempat menoreh sejarah hitam sastra dan teater kita akibat “perang tanding”antara kelompok seniman LEKRA yang sosialis dan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Di masa Orde Baru, ketika faham sosialisme menjadi momok menakutkan, justru polarisasi baru  yang lebih populer dengan sebutan “penunggangan” kekuasaan atas seni mencitrakan wajah yang lebih muram pada peta perkembangan seni di Indonesia.
Di masa reformasi, ketika dunia kritik mendapatkan ruang gerak yang sedemikian leluasa, justru kesenian kita kian terjerumus. Kebebasan berekspresi bukannya menorehkan citra yang lebih baik pada karya-karya seni kita, namun melempar dunia kreatifitas seni  masuk ke dalam eforia besar reformasi yang sarat celoteh dan makian pada masa silam. Fenomena itu tak pelak ikut juga mewabahkan bias bagi perkembangan teater di Sulawesi Utara.
Paling tidak, inilah catatan awal saya ketika mengintip perkembangan teater di Sulut lewat “lubang kunci” festival teater Patsu selang 5 hari  itu.
Pemanggung pertama Teater Mesbah l   yang mengusung lakon : “Cahaya Perjanjian” karya Frangky Kalumata, sejak prolog hingga epilog tampil dalam kelatahan teater rakyat era reformasi yang diadopsi dari masa polarisasi teater Orba seperti pola Deppen dan Pola Bagong Kusudiarjo. Pola yang mengutamakan penyampaian pesan ini dengan sendirinya mengabai elaborasi sisi artistik yang lebih menukik sebagaimana tuntutan aliran realisme.  Beberapa kelemahan mencolok Teater Mesbah l antara lain; pertama, pengabaian pada tata panggung dan tata cahaya. Kedua, elaborasi gerak konfiguratif yang monoton dan miskin. Ketiga, pembagian peran yang tidak pas sesuai tuntutan ekspresi. Keempat, pembebanan pesan (teks) yang cenderung mendikte.
Semua elemen permasalahan itu dengan sendirinya menjadikan pementasan Teater Mesbah l secara umum nyaris kering dan hampa.  Kelompok ini sedikit tercairkan dengan pemunculan tokoh yang berperan sebagai anggota legislator. Dialog-dialog yang nyeleneh dan mbelink berhasil memangkas jarak  keterasingan penonton dengan keseluruhan lakon dan pesan filosofis yang dipanggungkan.
Berbeda dengan Mesbah, kelompok Eksperimental Teater  dengan “From Academy To Zero”, terlihat lebih menukik. Keberhasilan mereka ditandai dengan kemampuan membangun simbol-simbol.  Gaya pementasan ini mengingatkan kita pada model “Mini Kata” WS Rendra. Atau bentuk teater post modernis yang sempat menjamur di tanah air yang mengadopsi format seni rupa baru ke atas pentas teater.  Bentuk dekonstruksi semacam ini sudah barang tentu menuntut kemampuan ekspresi, mimik dan gestur.  Dan hal itu cukup berhasil diperankan tokoh kambing. Yang disayangkan, pementasan tersebut berlangsung dalam alur tunggal yang menyebabkan durasinya sangat singkat. Gagasan nafas pendek dengan sekali sapuan semacam itu seharusnya tidak menjadi konsumsi festival. 

Dekonstruksi Tanpa Wajah
Grup Teater Jarum l  yang mengusung naskah “Save My Soul” karya Aripank, mencoba  mengekplorasi  problem eksistensial  seorang anak manusia. Peran manusia yang langsung di lakoni Aripank sendiri sayangnya tak berhasil menemui karakter psycologi yang dituntut teks.  Pisau bedah psycoanalisis-nya Freud tampaknya tidak begitu tanjam di tangan sutradara grup ini. Namun saya sendiri lebih bercuriga dimana sang sutradara  belum khatam teori psycoanalisa itu, hingga eksplorasi teks di satu sisi dan kreatifitas penyutradaraan tak mampu mengantar gagasan artistik yang hendak dicapai.
Dari segi ide dan gagasan, naskah ini sebenarnya begitu sederhana. Ikwalnya hanyalah perjuangan anak manusia dalam mencari kesucian dirinya. Untuk itu ia mencari Tuhannya ke mana-mana.   Orang itu bertanya pada dirinya sendiri yang diwakili oleh sejumlah simbol dirinya yang betebar di atas panggung seperti ibu, konfigurasi hingga mistikus, tentang jalan kesadaran bertemu kesucian diri itu. Tapi sia-sia, karena ia tak bertemu Tuhannya, meski ia kemudian merenggang nyawa di kaki sang Imam. Tokoh anak kecil yang hanya mengenakan celana color,  berfungsi sekadar narator sekaligus pewarta memang agak sedikit memberi getaran, dan benang merah pada alur cerita. Namun pementasan itu secara keseluruhan tetap saja terperosok pada perjuangan dekonstruksi tanpa wajah. Penonton sangat sulit mencari ruang apresiasi di tengah patahan-patahan permasalahan yang benang-sambungnya sangat tipis itu. Disatu sisi Aripank mencoba menyeret alur dekonstruksi menuju jalan eksistensi “Cogito ergo sum”-nya Rene de Cartes, yaitu “aku ada karena aku berpikir”.  Tapi pada epilog ia justru mengalami kebuntuan pikir dan menyudahi pementasan dengan tesis eksistensi nihilisme-nya Albert Camus.  Lompatan cepat yang dilakukan Aripank dalam lakon yang ditulis, disutradarai dan dibintanginya ini dengan sendirinya mengalami distorsi nilai filosofis.
Kondisi tanpa wajah itu kian diperparah dengan miskinnya tata artistik, make up tokoh utama,  dan tata musik yang serba instan.  Tapi bagaimanapun saya tetap menghargai keberanian anak muda satu ini dalam perjuangannya merambah ke jalan teater kontemporer yang terbilang masih asing lidah penonton teater Sulut..
Grup pementas ke empat, adalah Sanggar Waraney, yang menampilkan sendratasik “ Keke Pandagian”, yang disutradarai R. Kumaat. Cerita yang diangkat dari Mitos orang Minahasa ini, tercatat memberi bobot tersendiri pada arena festival teater Patsu kali ini. Selain tampil dengan kesiapan yang cukup prima dengan kelengkapan kostum serta kreografi yang apik, juga berhasil mewujudkan simbol-simbol  yang menjadi alur dramatiknya.
Kelemahan grup ini dibanding pemanggung yang lain tentu pada sisi eksplorasi ekspresi  para tokoh pemeran. Sebagaimana sendratari pada umumnya,  masalah kreografi menjadi titik utama dalam memaparkan alur cerita. Bahasa yang digunakanpun adalah bahasa tubuh. (bahasa tari).  Dengan membatasi pada eksplorasi gerak dan simbol, sendratisik ini tentu akan kekurangan elemen dramatik yang justru begitu kaya  dalam teater realis dan kontemporer yang menjadi rival dalam sebuah festival.
Dengan demikian, kecantikan Keke Pandagian dalam nomor sendratasik ini meskipun menjadi grup yang paling enak di tonton, namun bijaksananya bukan untuk konsumsi festival semacam festival ala Patsu yang tidak melakukan pengelompokkan aliran ini.

Simbol Kematian Dan Pelacur
          Sebuah gitar di depan kursi kosong, tertimbun rerumputan halus persis di central stage.  Di samping kirinya sebuah tambur. Di bagian  depan stage, sosok manusia dicat putih tergeletak kaku. Saat lampu memantul, tata artistik itu memancar keseraman. Lelaki (tokoh utama) berjalan ke tengah panggung di ikuti beberapa sosok lainnya, seperti sosok berjubah dan berpenutup kepala hitam yang langsung mengambil gitar dan memainkan musik dengan irama menyayat. Sosok lain bertelanjang dada, wajahnya resah dan murung, memukul tambur mengikuti irama degupan jantung. Sosok hitam satunya melintas hingga ke kanan panggung berubah ujud jadi burung hitam yang setiap saat berteriak mengabarkan tanda kematian.
            Setelah semua tanda kematian menyeruak, baik lewat gitar, suara burung dan degupan jantung, tubuh sosok lelaki mulai bergetar, tersentak, terhuyung. Lamat-lamat, ia mendengar suara senduh sosok perempuan yang sangat dikenalnya, mungkin ibunya. Perempuan itu duduk di pojok kiri panggung dengan pakaian putih sambil menggendong orok bayi yang penuh darah segar.
Seiring gemerincing bebunyian yang sahut menyahut dan kian menyayat, tubuh lelaki itu pun kian tergetar dan sempoyongan. Sosok lelaki ini kemudian mulai mengigau beberapa pertanyaan. Jawaban konfiguran, kian membuat ia ketakutan dan terguncang.
Tak berapa lama ia terkulai kaku disamping sosok putih.  Sosok putih itu, kemudian berdiri dan meninggalkan panggung, diikuti konfiguran lainnya.  Tinggal lelaki dalam keadaan kaku itu dan gitar yang kembali tertimbun rerumputan mengisi panggung yang kian suram dan gelap.
Demikian deskripsi lakon berjudul “Tanda-Tanda Kematian” (TTD)  dari grup Teater Jarum 2.  Sebagai bentuk teater simbolik, pementasan TTD terbilang berhasil merekonstruksi psycologi problem dalam perjalanan ajal seorang manusia. Kelemahan pemantasan ini dari sisi ekstrinsik disebabkan tidak adanya prolog awal, yang memberi gambaran utuh  tentang latar belakang persoalan dan situasi psycologi sang tokoh utama lelaki. Di lain sisi intensitas emosi mengalir sangat lamban dan cenderung lepas pada awal pementasan. Pada bagian ini penonton menjadi sulit menangkap gagasan yang dimaksudkan dalam pementasan. Sampai akhir pun alur yang tertangkap benar-benar hanya sebuah simbol kematian.
Namun secara keseluruhan TTD merupakan pementasan yang pantas diancungi jempol dan berhasil, meski tetap terjebak persoalan nafas pendek untuk sebuah panggung festival.
Grup ke 6, teater Petra, mengusung lakon “Nyanyian Angsa” .  Pementasan Petra ini adalah sebuah teaterisasi puisi karya WS Rendra  berjudul sama dengan judul pementasan.
Menceritakan riwayat seorang pelacur Maria Zaitun yang tubuhnya telah dimangsa penyakit “Raja Singa”. Ia mencoba cari pertolongan baik kepada dokter dan Pastor tapi jawaban yang didapat sangat mengecewakan bahkan sebuah penghinaan pada dirinya. Dalam keadaan sekarat, akhirnya ia bertemu lelaki idaman yang mencintainya. Lelaki misterius itu kemudian membimbing Maria pada cinta sejati  yang bisa membebaskan rasa sakit dalam dirinya. Sebuah konsep pembebasan dalam teologi Kristen.
Sebagai sebuah bentuk teaterisasi puisi, semestinya pementasan ini menjadi menarik karena dibimbing narasi yang terkonsep dan indah. Sayang, dengan persiapan seadanya, pementasan ini mengalir dalam bentuk simbol yang verbal. Maria Zaitun yang seharusnya penuh borok, justru dibiarkan tanpa make up hinga kelihatan sehat dan licin. Hal itu membuat gangguan serius dalam ekspresi tokoh  Maria ketika ia mengekspresikan rasa sakit dari borok-boroknya.  Pastor dalam adegan mengorek gigi dengan rokok yang masih terselip di mulutnya, merupakan suatu bentuk ketaklaZiman teater realis. Dokter yang bertingka seperti tentara yang marah, mencuatkan suasana over acting.  Maria yang dibanting-banting oleh konfigurasi mengesankan kekerasan yang berlebihan dibanding simbol kepedihan dan penderitaan yang ingin disampaikan lewat simbol itu. Baju ketat dengan celana jeans yang di kenakan Maria membuat ia makin sulit mengembangkan ekspresi penderitaannya. Tak pelak, pementasan ini  tampil dalam wajah yang teramat lelah.

Naturalisme  Versus Naturalisme
Dalam dunia seni lukis, naturalisme adalah pelukisan cahaya yang menimpa benda, hingga daun yang berwarna hijau kelihatan berwarna merah atau kuning. Dalam teater, naturalisme bukanlah gambaran realitas keseharian manusia (realisme), tapi makna filosofis dari keseharian itu. Dalam teater naturalis, bentuk ekspresi yang dikira realis, yang bergerak di atas panggung  sesungguhnya bukan realita itu sendiri. Komposisi, gestur, move, blocking, kadang bergerak diluar konvensi dramaturgi realisme. Ia seperti cahanya yang terkadang melahirkan bentuk baru dari realita bentuk yang sebenarnya.
Dari festival Patsu kali ini tercatat ada dua naskah naturalis yang dipanggungkan. Pertama, berjudul; “Platon” karya Richard Rhemrev, yang dipentaskan Grup Teater Eklesia, dan “Pintu” karya Iverdixon Tinungki, dimainkan Teater SMA 4.
Dalam “Platon” teater Eklesia yang disutradarai Stive Sundamen,  dunia setan dan dunia manusia ditampilkan dalam waktu dan ruang yang sama. Sosok-sosok manusia yang polos, dalam perjuangan mereka menjadi manusia baik, berhadapan dengan upaya penjerumusan yang dilakukan oleh setan.
Anak-anak muda itu akhinya memilih jalan kenikmatan (hedonisme) yang di tawarkan setan dari pada menjadi manusia baik yang cenderung mengalami sysyphos tragedi.
Dari sisi teks, Platon termasuk naskah yang beralur ringan. Isinya pun adalah persoalan keseharian anak muda yang bersifat labil. Diskursus filosofis pun mengusung tema sederhana yakni hitam putih-nya “mana baik, mana buruk”.
Tapi yang perlu diancungi jempol dari pementasan ini adalah kekuatan tokoh-tokoh pemerannya. Pemeran tokoh pimpinan anak muda pemabuk, memperlihatkan kualitas keaktorannya yang luar biasa. gestur, mimik, intonasi, blocking, sangat pas untuk peran yang diperaninya. Sementara kemampuan yang sama diperlihatkan oleh tokoh Dewi Setan. Penguasaan ruang, lewat ekspresi, pelototan mata, dan gerak tangan yang dikendalikannya dari sebuah stage kecil di central stage panggung utama membuat komposisi konfigurasi lainnya menyatu dengan dirinya.  Platon yang ringan itu, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menarik di atas panggung.
Naturalisme “Pintu” SMA Negeri 4, yang disutradarai  Irene Buyung, yang masih berstatus siswa,  membuat kejutan luar biasa pula.  Irene, memang bukan siswa biasa. Ia jebolan terbaik dari program pelatihan drama di Bengkel Sastra Manado.  Teori penyutradaraan absur ala “Kucing Hitam” dramaturg Arthaud, diadopsinya dalam menerjemahkan karyanya ke atas pentas.
Sosok lelaki yang diseret beberapa konfiguran ke central stage yang kemudiam bermetamorfosis sebagai “bayi” (kesadaran manusiawia), membuka pementasan itu secara mengejutkan.  Ketegangan dramatik kian memuncak, ketika sosok manusia bayi itu berdialog dengan setan yang adalah diri hitamnya sendiri.  Sebagaimana realitas masa kini, Irene menyudahi pementasannya dengan kekalahan sang tokoh bayi yang terbunuh oleh pedang pemburu, yang menyimbolkan penguasa, yang menolak munculnya kecerdasan dalam pikiran rakyatnya.
  Kemampuan teknis Irene dalam penggarapannya, terletak pada  pengolahan kemampuan acting, aktor dan aktrisnya. Komposisi, blocking, dan tata musik yang seimbang, membuat pementasan itu komunikatif dan memiliki daya pikat estetik.
 Dengan keberhasilan memanggungkan sebuah naskah standard, SMA 4, pantas menjadi Grup yang layak diperhitungkan ke depan.

Konfigurasi  Dan Sketsa Mistisme
Pemanggung ke 9 grup Teater Mesbah 2 mengusung bentuk teater konfiguratif berjudul; “Kubukakan Pintu Kasih” (KPK). Sebagaimana bentuk konfiguratif, jenis teater macam ini bergerak dalam alur yang teramat bebas.  Diskursus filosofis mengalir bebas dalam bentuk tanya-jawab.  Tidak ada tokoh protagonis dan antagonis. Sosok-sosok pemeran bergerak dalam komposisi Lebah mengikuti arah suara yang meletup.  Teater jenis ini dipelopori dramawan besar Toboal di Australia dan mencapai puncaknya di Eropa. Aliran ini sesungguhnya merupakan pembrotakan total pada konvensi realisme yang begitu mengikat.  Pemberontakan terhadap penjajahan teks (naskah-sastra) atas teater, juga merupakan inti dari pola teater bebas.
Untuknya, dibutuhkan suatu kemampuan dasar yang cukup dan cakap bagi aktor dan artis ketika memainkan jenis teater ini.  Kekuatan referensi masalah yang menjadi konsep dasar pementasan menjadi bahan baku utama. Demikian pula dengan kemampuan acting para pemainnya.  Pengabaian pada semua itu, menjadikan pementasan teater jenis ini akan kehilangan bobot estetiknya. KPK Mesbah 2 disayangkan masih dalam pengelompokan yang terakhir ini.  Mungkin studi dan eksperimentasi yang lebih mendalam lagi terhadap bentuk itu harus dilakukan Mesbah 2 sebelum ke arena festival.
Teater Si Do, yang mewakili Kabupaten Sangihe sebagai peserta terakhir mementaskan naskah berjudul: “Surat Bosias”.  Kejutan dari getaran dramatik murni membuat Si Do sangat fenomenal dibanding pemanggung lainnya.  Gaya teater mistisisme yang lama berkembang di Afrika hingga Eropa, tercatat untuk pertama kali menggetarkan panggung teater di Sulut sebagaimana pengamatan saya dalam kurun 20 tahun terakhir.
Teater mistisisme, dapat dikelompokkan sebagai teater “ritual”. Totalitas, ketelanjangan hati tanpa batas menjadi urat nadi dari pementasan jenis ini.  Alur hanyalah benang merah yang sangat tipis dari serpihan sketsa ide-ide yang mengalir dan meraung bebas.  Getaran dramatik murni  berlangsung susul menyusul hingga mencapai pucak trans, atau suatu situasi menyatunya kosmik manusia dengan kosmik Sang transendental.
Dan yang pantas dicatat,  ketegangan itu, relatif dicapai secara apik dalam pementasan “Surat Bosias” oleh teater Si Do.
Dengan mengunakan latar budaya Sangihe (Local Cultural),  Salo, dan  Sasambo,  kekuatan mistisisme Si Do kian liat memantul keindahan estetiknya.
“Ghenggona”  atau Ilahi yang  dicari dalam diri tokoh Bosias, tak juga muncul. Sedangkan ratap bumi, yang diperankan tokoh perempuan (Leka)  tak henti senandungkan ratapnya. Mereka pun mencari hingga ke dalam setiap otak manusia, tapi yang ditemukan semata cairan busuk dari setiap pemikiran. Solusinya, bumi perlu di basuh hingga kecambah kehidupan tumbuh kembali. Tapi akar-akar mengeras di atas batu-batu, di atas kursi kekuasaan. dan telur-telur menetas di tangan yang penuh amarah. Leka yang sekrat akhirnya melepas putra tunggalnya, untuk salib penebusan dunia.
Si Do dalam nomor pementasannya ini, tidak saja berhasil dalam gagasan, tapi kemapuan acting pemerannya tercatat memiliki insting dan keberanian seorang aktor dan aktris teater yang patut diteladani.
Pemberian diri terhadap teater dalam bentuk totalitas memerankan tokoh sesuai tuntutan interpretasi teks, seperti sosok lelaki “bayi” telanjang yang benar-benar dimainkan Vick Cenore, dengan tanpa seutas benang di tubuhnya, membutuhkan keberanian tersendiri. Lebih mengejutkan lagi keberanian sosok perempuan yang mengenakan pakaian transparan dari tissu yang kemudian terbuka oleh siraman air, hingga tubuhnya kelihatan apa adanya.
Dan saya hanya bisa mengatupkan mata, dan berusaha melontar ujaran : “Ënergi baru sedang mengalir dalam nadi teater di Sulut”. Moga.  ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar