Minggu, 30 Oktober 2011

Raksasa Bakeng (Puisi Iverdixon Tinungki)


terkisahlah cerita lama di kabut mega
selaksana anak taufan menghamburkan pasir
menerjang mata para raja dan sultan
yang tak nanar menatap buana

begini ceritanya; ada keluarga raja raksasa
hidupnya pesta pora dan semenamena, Bakeng namanya
penyantap manusia dan peminum darah
tak hanya rakyat biasa atau pengelana
juga pegawai istana dan pembantunya dilahapnya

ini budaya, mungkin mengeritik raja atau penguasa
bisa di mana saja,  waktu kapan saja
atau di saat ini, penguasa di sini
ya…terserahlah, membuka fikiran kan ada faedahnya
ketersinggungan merendahkan kearifan
ketersinggungan pun bukan budaya orang lautan
apalagi kisah bijak ini datangnya
pasti dari rakyat yang hidupnya terhimpit Kuasa
tak apalah mendengar keluh mereka:

tersebutlah Pangaia Pangelawang  
begitu nama si jelata bersaudara
mereka punya dua adik perempuan
yang masih kecil dan disayang
orang tua mereka telah lama menghilang
di telan perang mempertahankan kerajaan

kedua jelata mungkin bukan pahlawan
mereka hanya nelayan berumah gubuk di pesisr kerajaan
menjadikan laut sebagai ladang hidup dan kekayaan

senja datang dikayuh perahu ke lautan
di kailnya ikan untuk santapan pagi petang
sisanya ditukar dengan umbiumbian
melengkapi menu keseharian

begitulah gambaran orang sederhana
tak bermimpi memetik bintang
meski bintang tak lebih tinggi dari puncak sembayang
yang sehariharinya dicapai mereka dalam doadoa malam

tapi di manamana kekuasaan tak punya mata
mengisi gudang makanan, harta berlimpah menjadi  tujuan
Raksasa Bakeng tega menangkap kedua adik mereka
buat menu utama pembuka pesta malam istana

Panggelawang Pangaia sontak melawan
karena sekuningnya kulit pinang
bila dilumat akan memerahkan lidah
usai menyiapkan jebakan, menyamar mereka jadi koki kerajaan
menyuguhkan makanan berlauk daging anak tuannya

Bakeng dan istrinya naik pitam
bagaimana bisa ada yang berani membunuh pangeran
keduanya langsung mengejar Pangai Panggelawang
yang sedang berlari menuju kembatan jebakan

begitulah sifat penguasa, bila dikeritik langsung berang
semut sekalipun bila melawan akan dilindas dengan alat perang
hati berlumur kalap bagaimana mata mampu melihat jalan
di tengah jembatan mereka menggelongsor ke dasar jurang

akhir kisah, dari dasar jurang muncul gunung Awu berperangai garang
yang selalu memuntahkan amarah tak alang kepalang
di tahun 1892 memakan 2000 jiwa dalam serangan gas panas
dan memuntahkan lava meluluhlantakkan 3 kerajaan.

2004

*) Raksasa Bakeng, adalah legenda orang Nusalawo tentang terbentuknya gunung Awu di pulau Sangihe.  Raksasa Bakeng, seorang raja buas, karena ia dan keluarganya suka menyantap daging manusia dan meminum darahnya. Mereka akhirnya terbunuh dalam jebakan Pangaia dan Panggelawang, yang berjuang membebaskan kedua adiknya yang di tawan Raja Bakeng di kandang makanannya. Pangeran Batairo, anak Bakeng juga terbunuh saat Pangaia dan Panggelawang menyamar jadi koki di istana Bakeng. Keduanya menyembeli Batairo sebagai pengganti orang yang akan di sembeli saat itu. Bakeng dan istrinya yang mati di dasar jurang kemudian berubah menjadi gunung Awu Sangihe. Sebuah gunung api aktif yang dalam sejarahnya telah berkali-kali meletus dan memakan banyak korban jiwa, serta menenggelamkan beberapa sisi pulau Sangihe hingga membentuk pulau-pulau kecil di dekat daratan Sangihe. Letusan tahun 1892 meluluhlantakkan  kerajaan Tabukan, Tahuna dan Kendar, serta menebarkan debu panas ke berbagai penjuruh hingga ke pulau Siau dan Tagulandang. Korban jiwa karena awan panas dan lahar mencapi 2000 orang. Letusan sebelumnya, lebih dasyat dari letusan terakhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar