Minggu, 09 Oktober 2011

Iverdixon Tinungki, Kembalikan Satal ke Rumah Sastra Indonesia


Oleh : Meidy Pandean*)

Dari masa  penyair “Nelayan Sangihe” J.E Tatengkeng di zaman  Angkatan Pujangga Baru, dibutuhkan waktu yang panjang  selama  dua generasi angkatan (Angkatan 45 dan 66)  untuk bisa mengembalikan nama harum Sangihe Talaud (Satal) ke dalam rumah sastra Indonesia. Dia adalah  Iverdixon Tinungki, salah satu sastrawan energik asal Satal  yang berhasil menorehkan dirinya ke dalam peta sastra Indonesia modern. Ia telah menulis banyak  puisi dan prosa. Beberapa bukunya sudah diterbitkan di Manado, Jakarta, dan Jogya.  Bagaimanakah sikap kepenyairannya di tengah kondisi politik dan ekonomi  bangsa yang begini runyam?

Kritikus sastra Pamusuk Eneste di tahun 2003 meluncurkan buku Pintar Sastra Indonesia, dengan mencatat perkembangan signifikan lahirnya sedemikian banyak pesastra baru yang memperkaya rumah sastra modern negeri ini.  Lagi-lagi di tahun 2004 Ensiklopedia sastra Indonesia telah diterbitkan dengan tebal buku 5000-an halaman, sebagai petanda sastra di Indonesia terus bergerak ke depan di tengah persoalan bangsa yang sedemikian merunyam ini, dan setia menjawab pertanyaan ala Tolstoy dan Sapardi.
Memang, di awal dan akhir abad 20 khazanah sastra Indonesia bahkan dunia dilanda pesimisme akibat krisis sosial yang berkepanjangan, Leo Tolstoy dari Rusia dan Sapardi Djoko Damono dari Indonesia, mungkin dua dari antara penyair dunia  abad 20 yang ikut mempertanyakan  apa pentingnya sastra bagi peradaban. Jika sebuah puisi tidak mengenyangkan orang  kelaparan, masih pentingkah puisi di tulis, ujar sastrawan Tolstoy  ketika meratapi nestapa yang dialami rakyat bangsanya.  Sama dengan sejawatnya dari Rusia, Sapardi dikisaran 1980  dengan gamblang mengungkap kekecewaannya atas fenomena kesenjangan sosial di Indonesia yang kian mengerikan dan berkata;  sastra telah gagal menjadi guru bagi bangsa ini. 
Kendati begitu, pesimisme itu tak mampu menghempas sastra Indonesia ke dalam tidur panjang. Di tengah ombak sastra yang terus begerak dan menghentak itu, Iverdixon Tinungki tercatat sebagai salah satu pesastra asal Satal yang mampu masuk dalam relung dan perbincangan sastra Indonesia, meski harus melewati kurun pajang dua angkatan kesusasteraan untuk bisa menorehkan Satal kembali ke dalam peta sastra Indonesia. Ia menyadari, tugas kenabian sastra harus terus bergerak melawan stagnasi  dan gempuran cultur instan  yang melecutkan hodenisme dan materialisme.
Di Tahun 1996,  Sutardji Colsum Bahry, sastrawan yang berjuluk presiden penyair Indonesia, dalam pidato kesenian di Taman Ismail Marzuki,  menyentil  nama Iverdixon Tinungki sebagai sastrawan dari Timur Indonesia dengan warna lokal yang khas. Karya-karyanya dengan latar Satal yang kental memukau publik sastra nasional. Sambutan Sutardji pada Iverdixon Tinungki itu bahkan ditulisnya dalam pengantar Antologi Puisi Mimbar Penyair Abad 21 yang juga memuat karya-karya Iverdixon Tinungki, yang diterbitkan Balai Pustaka.
Jauh dari maksud mengkultus, ternyata Satal bahkan Sulawesi Utara perlu bangga pada Iverdixon Tinungki, bukan saja karena ia telah menulis ratusan  puisi, Cerpen, Novel, dan  drama. Tapi kesetiaannya memilih berkarya  di daerah namun mampu masuk dalam dinamika  besar sastra Indonesia adalah  hal yang patut dicatat dan dihargai. Sejarah sudah mencatat, tak mudah bagi pesastra yang berkarya di daerah mampu masuk dalam peta sastra Indonesia modern. Apalagi, Sulawesi Utara dalam peta geografis sastra belum termasuk kantong sastra Indonesia. Memang,  ada sastrawan modern asal Sulut, seperti Remy Silado (Yapy Tambayong), Mariane Katoppo, yang tercatat sebagai sastrawan besar Indonesia. Tapi mereka besar dan berkarya di kantong-kantong sastra terkemuka Indonesia, di pulau Jawa, maka mereka lebih mudah masuk dalam perkembangan dan denyut sastra negeri ini.
Berbeda dengan para pendahulunya, Iverdixon Tinungki, mungkin baru satu-satunya angkatan pesastra Sulut  yang mampu memberi keyakinan bahwa sastrawan  bisa besar dimana pun ia berkarya, asal karya yang dihasilkannya memang karya besar.  Mitos tentang “dekat api maka cepat panas” ternyata tidak selalu benar.  Sebab katanya mengandai; “Sebutir mutiara yang terbenam di kolam becek sekalipun ia tak akan kehilangan kemuliaannya”.

Lebih Memilih di Daerah

            Menara gading sastra Indonesia seperti Jawa dan Bali, yang selalu menjadi tanah tujuan para sastrawan Indonesia untuk menjadi besar,  ternyata tak memikat Iverdixon Tinungki.  “Jiwa sastra saya berada di sini, di tanah Minahasa yang elok,  dan di pulau-pulau Sangihe Talaud yang magi. Saya menangkap isyarat Ilahi yang agung di sini, dan menulisnya dalam karya-karya saya,” ujarnya.    Ia menulis karya-karyanya di Manado dan di Sangihe Talaud. Katanya, dimanapun ada ratapan dan keindahan maka sebuah karya sastra bisa lahir. “Puisi, cerpen, novel dan drama bisa lahir dari serpih air mata, keringat buruh  atau selembar daun gugur. Maka kelana seorang sastrawan kemanapun ia pergi selalu bermakna ziarah atau perjumpaan dengan maksud-maksud suci sang transendental Ilahi itu,” papar Iverdixon. Itu sebabnya katanya lagi, ia tidak begitu tergoda mencari jalan tol  sastra Indonesia dengan pindah tinggal ke daerah-daerah  yang menjadi pusat pertumbuhan sastra Indonesia seperti Jawa dan Bali.
            Kendati begitu, ia mengakui dimana perhatian terhadap pembangunan kesenian terutama kesusasteraan di Sulawesi Utara hampir tidak ada. “Seniman kita di Sulut, tumbuh dan berkembang sendiri. Untuk menjadi besar dibutuhkan urat baja dan kesetiaan terus-menerus belajar dan berkarya. Tanpa api semangat semacam itu,  seniman Sulut akan terjebak jadi  seniman penggembira saja dan akan luput dari peta kesenian Indonesia,” katanya.
            Soal mutu, kata Iverdixon,  adalah urusan kritikus. “Tugas seniman adalah berkarya dan berkarya dengan baik. Pesan Ilahi yang menggumpal menjadi imaji seorang seniman harus diresepsi ke pinggan peradaban. Baik buruknya mutu sebuah karya bukan seniman yang menilai. Itu urusan kritikus dan masyarakat.  Tapi dalam berkarya seniman pun punya beban yaitu harus mengusai sisi teknisnya. Seorang penyair dengan mengusai teknik penulisan yang baik akan mampu mengubah kata jadi pedang, cinta, keindahan dan doa.”

Menulis Keindahan Ilahi 
            Salah seorang penyair terkemuka Indonesia  Hamid Djabbar (Alm),  saat berkunjung ke Manado tahun 2003 lalu, pernah berkata pada penulis ketika menilai perkembangan sastra di Manado dengan menyebut Iverdixon Tinungki sebagai salah satu penyair romantik Indonesia modern. Bagaimanakah  bentuk puisi Iverdixon yang mendapat pujian itu? Berikut petikan salah satu puisi romantiknya:

Di Depan Balai Kaukah Itu


Di depan balai
Ketika batubatu bergerisik
Aku selalu berujar; Kaukah itu?

Sekali
Berkalikali
Dan mungkin abadi
Aku menanti bayangmu di sana
Lalu kita pergi mengziarahi abad tak bernama
Bercumbu di tepi sambil menghitung perahu
Yang datang dan pergi dari bilik hati
Kemudian hening

Kadang kucari engkau dalam sejumput bayang
Yang berlalulalang di jalanan
Dari petang hingga malam
Tapi kabar yang kudapat
Kau berada di suatu abad

Aku berdiri di depan balai itu sebagai lakilaki
Lelaki yang tua oleh rindu
Menghitam dalam waktu dan jarak
Tetapi s’lalu terilhami dirimu
Yang datang dalam gerisik batubatu
Dan aku kembali berujar; Kaukah itu?

Betapa kangen ini serupa magma

Meledak didasar bumi

Dan melempar asap ke gemawan
Yang di esok hari moga menjadi hujan
Di kolam tempat kau membasu diri

            Berbeda dengan Djabbar,  menurut Sutardji Colsum Bahri, Iverdixon justru sangat kuat dalam sajak-sajak berwarna lokal sangihe Talaud yang cenderung mantrawi. Pendapat  yang sama pernah disampaikan dan ditulis Budayawan  Reiner Ointoe dan Pitres Sombowadile.  Berikut nukilan dari salah satu sajaknya bernuansa Satal,

“Kembaku” :

Beri aku keberanian biar seperti kembaku hati mengaum
Merancakrancak laksana seribu tagonggong
Menggelegargur laksana guruhgemuruh gunung marah

Biar jiwaku mesambo… hatiku sasambo
Di atas beribu bininta
Di laut bersasahara
Di darat bersasalili

Mesalo… mepasasalo
Sasalo perang
Kerena perang ini perang kita
Perang manusia nusa terluka

“Dumaleng ia dumaleng

lumempang ia lumempang
kere lempang I wahani
mening setang, maning datu
sumata ia kawasa”

            Iverdixon Tinungki, selain telah mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan Indonesia modern,  Reiner Carle seorang kritikus sastra Asia-Pasifik dari Hamburg Univercity,   sangat menaruh perhatian  bagi karya-karya Iverdixon.
            Ia mulai menulis puisi sejak SLTP. Semasa Kuliah di Stisipol ia pun menulis Cerpen, drama, dan Novel.   Kini Iverdixon telah menulis lebih dari 500 puisi  yang sudah diterbitkan dalam beberapa buku di antaranya : Sakral,  Surat-Surat Sunyi, Di tangan Angin,  Aku Laut Aku Ombak. Juga dimuat dalam buku antologi puisi : Dua Penyair Sulut, Sasambo, Mimbar Penyair Abad 21, dan “Aku Laut Aku Ombak”.   Cerpennya bertembaran diberbagai media masa. Lakon dramanya “Raksasa Pemangsa” menjadi pemenang pertama sayembara penulisan naskah drama. Iapun sudah menyelesaikan dua Novel yaitu: Benteng Batu Mbakara, dan Kepas. Ia juga banyak menulis Essai dan artikel di merbagai media massa.
            Apa kiat yang ada dalam dirinya hingga begitu energik melahirkan karya-karyanya? “Saya menulis segala sesuatu yang ada di dekat saya, entah tentang penyabung ayam, penebang bambu, pencuri ubi, lonte, korban stigma PKI, cinta, doa, nestapa dimata kaum miskin atau tingkah sebagian elit pemimpin bangsa yang anarkhis dan koruptif. Semua itu mengilhami saya, menjadi puisi, cerpen, novel,  drama atau essai,” jelas penyair yang juga wartawan dan sutradara teater ini.
            Namun yang terpenting katanya, ia hanya hamba dari isyarat suci Ilahi  yang merindukan terciptanya keindahan peradaban.. Untuk itulah ia menulis.  “Dengan kata aku ingin menjadi sesuatu bagi diriku, moga juga bagi orang lain,” ucapnya. *) Wartawan Harian Komentar

           
           

1 komentar: