Rabu, 05 Oktober 2011

Menangkap “Poetic Spirit” Puisi-Puisi Raksaryan Pattinggi Poetra

Oleh
Iverdixon Tinungki

Membaca puisi-puisi Raksaryan Pattinggi Putra (Raksaryan) yang terbit di halaman Senaya Harian Swara Kita edisi Senin 6 Juli 2009, membuat berahi estetika saya menggelijang. Tapi tak cukup rasanya hanya dengan jalan persetubuhan transcendental guna mencapai keriangan ruhani. Butuh yang lebih beringas, mengupas dan memakannya biar ruhani saya terkenyangkan. Proses tersebut oleh para penganut teori ekspresi disebut presence dan difference atau ‘Aku’ penyair berubah menjadi ‘Aku’ pembaca.
Proses itu harus kulakukan karena ruhani saya benar-benar mengalami busung lapar di pekan-pekan yang dipenatkan oleh kepalsuan politik sejak momentum pemilu legislatif hingga pemilu presiden. Bukan juga karena perkataan filsuf Aristoteles, bila politik kotor maka puisi membersihkannya. Namun sejak zaman sastra atavisme, puisi merupakan jiwa dan nafas sebuah bangsa.
Para kritikus dan pemikir nation state juga sependapat, puisi setara dengan suara kenabian. Puisi pasti ditulis oleh sedikit orang dengan kebangsawanan jiwa yang dengan teguh menjaga wilayah kebenaran. Ada perbedaan yang jelas antara politisi dan penyair. Politisi adalah penafsir kekuasaan, kata Machevelli. Sedangkan sastrawan Amerika keturunan India, Jumpa Lahiri menyimpulkan dimana penyair adalah penafsir kepedihan. Lihatlah kelana spiritualitas penyair Raksaryan yang penuh keriangan di tengah negeri yang asing lewat puisinya berikut ini:

MENANTI
dingin genting highland menyapaku
sejuk udara pegunungan menyambutku
kenang sekejutan subuh kuala lumpur
besok panas melaka kan menyambutmu,
ucap Paul… pria malaysia itu

galau hatiku dalam keheningan
sepandangan menara kembar petronas
ganggu khayalku akan sosok dirimu

lusa, di woodland checkpoint
dirimu pasti kan menungguku tiba
sambil mengerinyitkan keningmu
pasti kau kan bertanya
mengapa baru sekarang aku datang…..

Lewat penuturan puitik ini, Raksaryan mau mengatakan kebaikan dalam pengertian semangat kemanusiaan ada di mana-mana. Suasana transcendental Ilahia itu universal dan tak terbatas. Tak ada absurd wall bagi Ilahi. Raksaryan lewat puisinya mengeritik absurd wall yang terbangun atas batas-batas teritorial Negara yang di Indonesia disebut sebagai wilayah poleksosbud, yang punya kecenderungan mengranat sentimen lintas bangsa. Bukankah udara di kawasan Genting Highland, Malaysia seramah udara kota Bunga Tomohon, atau sesegar bau laut pasifik yang terhirup di puncak bukit Manongga di pulau Kakorotan, kabupaten Talaud atau di tengah hamparan kebun pala di pulau Siau? Penyair mewartakan keriangan di tengah derasnya air mata dunia yang senantiasa bersengketa.
Keriangan itu bisa ditemukan di mana saja di seluruh penjuruh bumi. Kota-kota menanti kita, seseorang menanti kita, kerinduan-kerinduan menanti kita. Menanti dengan penuh rasa berterima itu ada di mana-mana. Karya sastra atavisme Sangihe punya padanan dengan konteks ini yaitu: tuwo ndai tuwo, sombo ndai sombo (tumbuhlah segala yang ingin tumbuh, munculah segala yang ingin muncul).
Sudah lama saya mengenal sikap kepenyairan dan sikap kesenimanan penyair satu ini. Raksaryan Pattinggi Poetra adalah nama samarannya. Nama aslinya Hendra Novrianto Soenardji. Tapi saya tak mau menggunjingkan urusan nama samarannya itu, meski saya tahu Raksaryan adalah bagian dari generasi yang lahir di tengah suburnya kultur susu instant dan minuman ringan coca cola. Generasi yang suka keren-kerenan nama biar brerrrrr. Di jaman Orde Baru nama samaran itu penting bagi penyair agar tak mudah ditangkap tentara karena karyanya ditafsir melawan penguasa. Puisi memang setajam pisau bagi para pengumbar nafsu kekuasaan. Ini sebabnya banyak karya puisi diberangus dan penyair dipenjarakan serta dibunuh. Kasus pemenjaraan penyair seperti dialami WS Rendra, atau penghilangan penyair seperti dialami Widji Tukul tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi, di semua negara yang dikuasai rezim otoriter dan militeristik. Tapi di negara-negara yang pemimpinnya jenius dan arif, puisi justru menjadi jiwa dan nafas bangsanya. Para penyair adalah sastrawan nagara yang diberi tanggung jawab membangun aras peradaban bangsanya.
Saya senang presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, sempat berkampanye dengan membaca puisi. Capres Jusuf Kalla juga demikian. Tapi sangat ironis bila melihat 5 tahun kepemimpinan mereka sebelumnya, dimana lembaga-lembaga pemerintahan yang berurusan dengan kesastraan tak peduli dengan karya-karya sastra. Saya khawatir suatu ketika bangsa ini menjadi bangsa tanpa jiwa. Hidup tapi tanpa nafas. Menanam padi, membangun pabrik tidaklah keliru, karena rakyat butuh makan. Tapi manusia tak sekadar tubuh. Ruhaninya juga butuh makan. Dan jika pembangunan seni ditelantarkan, manusia Indonesia menjadi sekadar tubuh tanpa ruhani.
Baiklah kita kembali kepada Raksaryan sebagai salah seorang yang dengan setia menjaga jiwa dan nafas bangsa lewat puisinya. Beberapa tahun belakangan puisi-puisi-nya bertebaran di sejumlah halaman sastra dan budaya beberapa media massa. Ia lebih dikenal sebagai seorang jurnalis sekaligus pimpinan redaksi sebuah harian yang terbit di Manado. Ia juga sutradara dan pekerja teater. Mendalami dunia kesastraan di Fakultas Bahasa dan Sastra, jurusan sastra Indonesia di Universitas Manado hingga menyandang gelar sarjana.
Tapi bukan karena penyair ini ikut memperkaya kosa susastra Indonesia modern dari kawasan Sulawesi Utara --seperti yang saya cerewetkan sejak awal telaah-- yang membuat karya-karya puisi-nya penting dibicarakan dalam bedahan ini. Namun, adanya semangat poetic atau kekuatan batin yang menggerakan hayat puisi-puisi-nya (poetic spirit).
Keragaman latar belakang gelutan hidupnya tak pelak memberi pengaruh yang kuat pada corak struktur batin puisi-puisinya dan pandangannya tentang hakekat puisi, serta pengkayaan wawasan estetikanya.
Menelisik sisi intrinsik dan ekstrinsik karya-nya menurut saya ada lima unsur utama yang mendasari semangat puitik dari puisi-puisi Raksaryan yakni: Pertama, melampaui kenyataan, atau secara esensial ialah romantik (adventurir). Kedua, mencari yang ideal atau secara esensial ialah personal. Ketiga, mengangkat keindahan setara dengan kebenaran, secara esensial ialah estetis. Keempat, mengeritik kenyataan, secara esensial menyampaikan hikmah secara halus dan tersirat. Kelima, mengangankan dunia yang transcendental, secara esensial ialah metafisik. Mari kita lihat ke lima unsur itu dalam puisinya berikut ini:

SEBUAH MALAM
malam merapat cepat
dalam gegas kota mereka
bukan kotaku, juga kotamu

kulitmu silaukan mata
berbalut senyum sidikmu
mata awas pekurkan diri

menyapu ruangan seketika
sambut rapat hangatmu
dalam ringkih kesepianmu

sebuah tanya yang terjawab
diakhiri formalitas:
“Are you OK?”

Puisi berjudul “Sebuah Malam” ini dengan bahasa figurative sastra (majaz) mengungkap rasa keterasingan di tengah gegas komunal masyarakat kota modern yang cenderung pragmatis, hedonist dan serba formalitas. Yang oleh filsuf Eric Fromm disebut sebagai fenomena megah machine (manusia yang termesinkan oleh tuntutan kebutuhan hidup dan formalitas kesehariannya).
Dari unsur semangat puitik, meski penyair menggunakan citra lihatan, puisi ini tidak terperangkap pada tiruan kenyataan. Tapi, melampaui kenyataan dan memasuki dunia metafisika. Inilah yang dirumuskan penulis Jepang, Sakutaro, dimana puisi merupakan ungkapan kerinduan penyair terhadap rumah spiritual yang berada di alam metafisik. Di sanalah, ia melakukan kelana transcendental untuk bertemu jawaban ideal sekaligus melontarkan antitesis. Dengan cara tersirat ia menyampaikan hikmah kepada dunia yang dilindas krisis pengharapan ini, bahwa masih ada sinar terang bila kita mau menyambut “keindahan hati serta menyambut keindahan kasih”, yang dimetaforkannya dalam larik “sambut rapat hangatmu”. Peranan citra lihatan (visual image) yang sederhana dari puisi tersebut mampu menghidupkan suasana hening dan memberikan semacam pencerahan.
Kendati demikian, puisi-puisi Raksaryan masih meluncur dalam arus teori representasi (mimesis) dan bergayut lekat pada bentuk-bentuk ekspresi. Tak ada perlawanan dan pemberontakan terhadap konvensi dan norma-norma sastra yang lazim dalam perpuisian Indonesia modern yang dirasuki pola sastra Barat. Tentu ada perkecualian terhadap beberapa penyair seperti Sutardji Colsum Bahri, yang berhasil kembali memasuki pedalaman sastra Timur, seperti yang berkembang pesat di khazanah sastra Cina dan Jepang yang melahirkan estetika baru di tengah sastra dunia yang telah mapan.
Kerja kreatif sastra memang tidak harus selalu demikian. Tidak selalu dengan jalan pemberontakan pada konvensi. Tapi ditentukan oleh seberapa kuatnya poetic spirit yang menggerakkan hayat sebuah puisi. Para penyair yang ikut arus paham formalisme—kecenderungan Raksaryan-- dalam menyampaikan rasa melalui pola ornamentasi (permainan kata). Sebab, menurut faham ini bahasa puitik memiliki fungsi menyampaikan makna referensial atau denotative, serta menyampaikan makna metaforikal atau konotatif.

CITRA
LIHATAN

Dengan latar belakang jurnalis, puisi-puisi karya Raksaryan banyak dipengaruhi oleh citra lihatan. Dengan citra lihatan itu ia meraih idea puitik atau pengalaman estetik. Dengan perkataan lain suasana hening dan keriangan rohani dapat dihidupkan melalui citraan alam dan pengalaman lahir. Misalnya dalam puisi berjudul “KATANYA”. yang ditulisnya seiring perjalanan jurnalistiknya ke negeri Jiran Malaysia dan Singapura berikut ini: “langsung meleleh segera anganku/tatap mulusnya jalanan ke Genting/ingatkan dermaga rapuh di Bunaken/sisi dunia dengan arogansinya/ kicauku sekejap terdiam malu/lihat pesona teater berbalut laser/terbayang senyap pentas drama/di panggung Gedung Pingkan Matindas/kapan?/besok?/lusa?/ataukah……..seusai kiamat???’
Dari pemilihan diksi, puisi di atas terkesan diafan, terlihat pada pola majaz yang cenderung deskriptif seperti di antaranya pada larik “Langsung meleleh segera anganku”. Seandainya kata “langsung” dan segera” yang berfungsi sebagai kata keterangan dapat di hapus, maka larik ini dapat di padatkan menjadi “meleleh anganku” atau “leleh anganku”.
Namun begitu, puisi Raksaryan yang ini, bukan sekadar laporan jurnalisik, atau sastra prosa yang memungkinkan tampilnya data-data statistic serta ilmu perbandingan. Mungkin dapat dikelompokan sebagai puisi (baca: sastra) jurnalistik.
Dengan serangkaian citra lihatan, penyair membawa pembaca ke suatu dunia atau peristiwa di luar bahasa yang mengatasi kenyataan keseharian. Di dalam berpadu dua dimensi penting dari kehidupan manusia, yaitu kesadaran batin dan dimensi keberadaan (eksistensial) yang kongkrit, yaitu kepiluan dan kekalahan. Kepiluan dan kekalahan yang terbayang dalam puisi tersebut bukan kepiluan dan kekalahan lahiriah, melainkan kepiluan dan kekalahan spiritual yang membawa seseorang paham makna hidup. Seperti lebih tegas terlihat dalam puisi yang ditulisnya ketika di Selangor, Malaysia berikut ini:

CAPLOK
menyebar segera kesedihanku
lihat barang-barang milikku,
juga milik semua orang bangsaku
telah dicap dengan stempel
yang tak pernah aku kenal

sedihku bertambah panjang
melihat mereka lebih bisa
menjaga barang-barang milikku,
juga milik semua orang bangsaku
dalam ketelatenan mereka

dan kini…
sedihku semakin hilang rasa
ketika semuanya dibiarkan
oleh bangsaku sendiri
di depan mataku sendiri.

Dalam puisi berjudul: “Caplok” ini Raksaryan menggunakan kata sedih sebagai simbol, kesengsaraan, nestapa, pilu, dan sebagainya. Seperti juga dalam puisi berjudul: “Katanya”, Raksaryan melukiskan keterpurukan yang melanda Indonesia yang menghadirkan kesengsaraan yang amat dasyat kepada rakyat. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, perbuatan sewenang-wenang, penindasan telah menebarkan perasaan perih dan derita, serta kekalahan.
Sangat ironis. Di atas tanah yang subur, bumi yang kaya raya dengan segala macam sumber daya alamnya. Gedung-gedung megah menggapai langit. Tetapi masih ada rakyatnya yang justru hidup dalam kemiskinan akibat diskriminasi pembangunan. Dan system diplomasi politik serta pemerintahan yang tak mampu menjaga kekayaan nasional. Baik itu kekayaan budaya, kekayaan alam, rakyat, dan teritorial tanah air kita. Dengan semua citra lihatan itulah Raksaryan membangun idea puitiknya. Dan di situlah kekuatan poetic spirit puisi-puisinya.

RUMAH
METAFISIKA

Poetic spirit puisi-puisi Raksaryan berkaitan dengan pertanyaan yang sering dilontarkan orang tentang hubungan puisi dengan kenyataan, khususnya kenyataan sosial dan kenyataan keseharian pada umumnya. Tapi ia tak terjebak begitu saja dalam pola kaum realis dan naturalis, yang semata menekankan hubungan antara puisi dan kenyataan. Puisi Raksaryan tak sekadar representasi atau tiruan (mimesis) atas kenyataan secara intelektual dengan memasukan perasaan ke dalamnya dan menggunakan imaginasi. Dalam puisi berjudul “Marah”, Raksaryan berhasil memasuki hakikat puisi yang bersifat spiritual, karena ia dihasilkan melalui proses kejiwaan yang berbeda dari penuturan biasa. Dalam puisi ini, Raksaryan, menggunakan peralatan intuisi dalam memandang dan menanggapi dunia dan keberadaannya, dan membangun ungkapan puitiknya dengan menggunakan imaginasi. Mari kita lihat:
MARAH
kegersangan Putrajaya
menyergap langsung
sanubari panas seketika

hembusan AC dalam bus
menjadi kartu mati
tak berarti lagi

“Brapa banyak pejuangmu tewas?
Tak seorang pun di pihak kami,
Waktu zaman perjuangan…..
Kerana kita pake lobi, pake otak”
itu katamu

“Banyak pejuang kami tewas.
Karena kami berjuang merebut,
Bukan menerima kemerdekaan itu.
Kita berperang bukan minta-minta”
Hampir kuteriaki ia

untunglah dunia kita beda,
dan aku pun sadar…kita sama
ada kebanggan berbinar, berpijar
terhadap negri kita masing-masing.

Pada puisi ini, sifat ungkapan puitik pada dasarnya melambung tinggi mengatasi kenyataan fenomenal dalam ruang dan waktu. Penyair menginginkan yang kekal atau yang trasendental, artinya yang mengatasi ruang dan waktu atau alam fisik yang merupakan kediamannya. Ia mencari tempat berteduh bagi kegelisahan jiwanya dalam tatanan kehidupan sosial tertentu yang dicitakan.
Penyair sejati mencari tempat berteduh di alam idea atau alam metafisik, sebab hanya di alam seperti itu ia melihat kenyataan dalam kehidupan lebih jernih dan dapat pula mempertanyakan apa hakikat kehidupan sebenarnya. Penyair dilahirkan, bukan dibuat. Jiwanya ditakdirkan untuk tidak betah dan risau tinggal di alam fisik dan sadar betul bahwa rumah sejati bagi jiwanya tidak berada di alam fisik melainkan di alam metafisik. Apabila dalam memandang gejala aktual kehidupan seorang penyair mampu menggunakan intuisinya, maka melalui yang aktual ia akan mampu melihat kenyataan lain yang tidak kalah aktual dalam tatanan kewujudan yang lebih tinggi, yaitu tatanan kewujudan di alam idea atau keruhanian. Karena hadir dalam jiwa dan pikirannya secara obyektif dan hidup, gambaran-gambaran tersebut menjadi karib.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar