Rabu, 05 Oktober 2011

Immemoriam Ferdinan Abram, Sahabat, Abang dan Guru


Oleh: IverdixonT inungki
(Wakil Pemimpin Redaksi Harian Cahaya Pagi)

BAIKLAH, aku tak ingin memulai tulisan ini dengan kata”usia”.  Karena usia sekadar urai kewaktuan dalam garis hidup manusia.  Maka kumulai dengan kata “kehidupan”. Karena kehidupan adalah kisah yang tak usai dicakapkan.
Hari ini Rabu, tanggal 22 Desember 2010. Aku baru bisa tidur pukul 05.00 subuh.  Enam jam kemudian aku terjaga. Begitulah siklus kehidupan seorang jurnalis; ia terjaga saat semua orang tidur, dan ia tidur saat semua orang terjaga.
Tidur pun kadang hanya sekilas, karena harus berburu dengan peristiwa sebagai catatan berita di hari esoknya. Setelah menyeruput segelas kopi, ponselku bordering.
Nama pengontak yang muncul di layar ponselku adalah Ferdinan Abram.  “Hello bang!” begitu seruku. Tapi dari seberang terdengar suara isak seorang lelaki. “Ini pak Iver?” tanya suara itu.  “Ya,” jawabku. “Saya anaknya pak Ferdinan Abram…papa sudah meninggal belum lama. Ia berpesan agar saya menyampaikannya untuk semua sahabat papa,” begitu jelas suara anak lelaki itu, meski tangisnya terdengar derainya. 
Dadaku terasa sesak tiba-tiba. “Ya,” kataku singkat, sambil meletakkan ponsel itu ke atas meja. Aku tak tahu lagi, apakah anak itu masih bicara atau tidak, yang pasti seketika aku kehilangan semua kata-kata. Kata tak memiliki makna lagi. Yang ada hanya perasaan duka yang begitu sembah merayapi hatiku, seburam langit Manado yang menitikkan hujan ketika itu.
Ferdinan Abram, tak sekadar sahabat. Ia seorang abang sekaligus guru bagiku. Juga guru dari ratusan jurnalis yang kini bertebar di mana-mana.  Aku belajar jadi penulis dan mendalami dunia jurnalistik padanya.
Pada kisaran pertengahan 80-an ketika aku masih seorang mahasiswa, sering mengirim artikel ke Harian Cahaya Siang. Ferdinan Abram adalah redaktur opini harian itu. 
Tulisanku selalu diterbitkannya dan mendapatkan honorarium darinya.  Ia selalu mengajakku berdiskusi sekaligus mengajarkan teknik penulisan artikel, dan berita jurnalistik.  Aku terus menulis dan menulis di bawah bimbingan redaktur yang otaknya amat jenial ini.
Kemudian kelompok anak didiknya pun kian banyak. Tak sepeser pun ia meminta dari kami atas jasanya itu. Bahkan uang gajinya kadang habis dia bagikan untuk kami anak didiknya. Akhirnya semua anak didiknya menjadi wartawan di berbagai media baik yang terbit lokal, juga yang nasional.
Ia adalah seorang Begawan bagi muridnya, dan guru yang menularkan sikap kebangsawanan jiwa bagi muridnya. Ia tidak saja mengajar hal teknik tapi juga menanamkan idealisme.
Aku sangat menaruh hormat padanya karena ia seorang idealis. Jurnalis yang tak kenal kompromi dalam mengungkap kebenaran. “Seorang jurnalis harus berpihak pada kebenaran, meski untuk itu kalian mungkin akan terbunuh atau terpenjara,” begitu katanya pada kami muridnya. 
Filosofi jurnalismenya pun begitu mencengangkan ketika ia mengatakan; “seorang jurnalis harus berada di tengah ratap rakyat bawah, bukan sekadar menafsirkannya, tapi memihakinya.”
Ferdinan Abram juga dikenal sebagai tokoh jurnalistik yang berani.  Karya-karya  berita investigasi-nya sangat menohok dan menggegerkan. Aku masih ingat 2 karya investigasinya yang menghebohkan yaitu; “Membongkar Lingkaran Setan Penyeludupan Senjata di Kawasan Perbatasan Indonesia-Filipina”, serta “Catatan dari Medan Perang Mindanao”. Untuk dua berita itu ia sempat berhadapan dengan interogasi aparat hukum.
Investigasi membongkar mafia perdagangan senjata bukanlah hal muda, karena sedikit saja kesalahan akibatnya fatal. Tapi Ferdinan Abram sangat cerdik hingga mampu masuk keseluruh jaringan mafia, dan menguak sepak terjang kelompok itu ke permukaan.
Ia pun berhasil menyamar sebagai rakyat biasa ketika menjelajahi medan perang di Filipina Selatan, hingga tembus ke sarang kelompok bersenjata MNLF di Gunung Kararo.  Berbulan-bulan ia berada di medan perang itu untuk menemukan sebuah berita.  
Ia berhasil mewawancarai sejumlah tokoh garis geras Moro, baik dari kelompok MNLF juga dari MILF. Bahkan ia sempat mewawancarai aktor utama pemberotak Mindanao Selatan, Nur Misuari.
Bagiku, kisah perjalanan jurnalistiknya itu begitu menakjubkan. Dan aku mengabadikan kisah perjalananya itu dalam sebuah novel berjudul “Kepas” yang saat ini sedang terbit bersambung di Harian Cahaya Pagi.
Ferdinan Abram adalah sebuah catatan kehidupan yang tak usai dicakapkan. Ketika paradigma media massa bergeser dari media berorientasi murni kontrol sosial ke media berorientasi bisnis, ia memilih berhenti dari dunia jurnalistik, dan melangka ke panggung politik, yang sempat mengantarkannya menjadi seorang legislator di Kabupaten kepulauan Sangihe.
Mengapa ia berhenti dari dunia jurnalistik? Karena ia tak ingin menciderai idealisme seorang jurnalis karena perubahan orientasi itu. “Uang itu penting, tapi kebenaran lebih penting lagi bagi kehidupan,” katanya suatu ketika padaku.
Empat hari lalu kami bercakap lewat ponsel. Ia mengatakan kondisi tubuhnya sangat lemah. Ia pun menceritakan banyak hal tentang partai Golkar Sangihe di mana ia dipercaya menjabat sebagai sekretaris DPD Partai Golkar Sangihe.
Ia meminta saya merekatkan kembali hubungan Drs. Winsulangi Salindeho- Jabes Gaghana, SE MM yang dinilainya sudah retak. Saya telah mengiyakan permintaan itu, tapi sayang sebelum saya sempat menemui kedua tokoh Sangihe itu untuk mengutarakan maksud tersebut,  abang, sahabat dan guruku itu telah pergi menemui Sang Khalik. Selamat jalan…engkau akan selalu hidup dalam kenangan kami muridmu, sahabatmu dan adik-adikmu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar