Minggu, 09 Oktober 2011

Meruwat Demokrasi Kita (Teater Iverdixon Tinungki)


Ada kegiatan mengangkat patung-patung untuk dipajang. Patung dipajang oleh patung. Mereka saling mengangkat dan saling memajang. Setelah semua terpajang dalan beberapa komposisi.
Beberapa patung terantai atau terikat, bergelimpangan di jalanan. 
Ada terentang tak beraturan pada sebuah kursih

Ada yang terikat pada sebuah meja

Ada yang tertelungkup

Dan seterusnya, pemandangan menyedihkan pantung-patung yang terpasung

Dialog patung :
Salah seorang       :  Demokrasi kita terpasung
Salah seorang       :  Hak-hak kita terkebiri
Salah seorang       :  Pemerintah kita tuli
Salah seorang       :  Politik busuk
Salah seorang       : Agama angkuh
Salah seorang       :  Suara rakyat disumpal
Salah seorang       :  Yang kaya korupsi
Salah seorang       :  Yang miskin menangis
Salah seorang       : Tak ada yang membela kami.
Semua                  : Tolong….tolong…tolong (Suara jerit tolong ini terdengar riuh dari mulut patung-patung terpasung.

Seorang pembaca puisi masuk dengan obor.  Duduk di antara patung-patung itu. Ia kemudian membacakan puisi. Monolog :

Puisi:

Hal terhebat dalam diri manusia mengibuli dirinya
(respons patung-patung : Kibuli ! (teriak dan mengubah komposisi)

Ada pemimpin yang gagal tapi iklan media massa bilang ia berhasil
Ada pemimpin korupsi tapi pengadilan ketuk palu tanda ia bersih
Ada rakyat miskin terpinggir tapi koran tulis mereka sejahtera
Ada calon pemimpin bersih tapi televisi nistakan ia di sana-sini

(Respons patung-patung : Berantas… (Bergerak liar dan beringas) Tapi kemudian berhenti dalam satu komposisi)

Pembaca puisi mengambil posisi menjadi Dirigen :
Wahai patung-patung Indonesia mari kita menyanyi lagu Indonesia raya. Satu…dua…Tiga.

Patung-patung : Indone (Tercekat)

Lagu itu diulang berkali-kali tapi tetap tercekat.

Pembaca puisi :
Tinggal sedikit kebanggaan kita yang tersisa bagi Indonesia
Karena mulut kita lama disumpal
Karena perasaan kita lama dicekik
Karena perut kita lama lapar
(Patung-patung Teriak : Lapar…)
(Mereka kesurupan lapar, lalu diam terhenyak)

Karena lapangan kerja tak ada
Karen hak-hak kita dikorupsi
Karena hati nurani kita diborgol
Karena tanah kita diambil
Karena rumah kita digusur
Karena kekayaan alam kita dicuri

Latihan lagi menyanyi Indonesia Raya. Tapi selalu tercekat.

Kami butuh air kasih sayang dari para pemimpin sejati.
Untuk selamatkan negeri.

(Ada sosok misterius mebawa sebotol airi)

 

Lelaki misterius: DENGAN SEMANGAT CINTA TANAH AIR INDONESIA

DENGAN SEMANGAT CINTA PADA RAKYAT
SAYA  KINI DATANG MENCUCI SEMUA  YANG KOTOR
BIAR KITA SAMA-SAMA  BISA MENGANTAR PADA CITA-CITA KITA BERSAMA, YANG MAJU YANG BERSATU

(Setelah bicara, kemudian menyirami dan memberi minum masing-masing patung. Patung-patung itu kemudian bergerak melepaskan diri  dari belenggu masing-masing. Setelah semua belenggu terlepas mereka kemudian mengeluarkan isi sebuah buntalan kain di tengah-tengah mereka yang di dalamnya ada bendera dan sebuah spanduk bertuliskan :

“SELAMAT DATANG PEMIMPIN MASA DEPAN”

Sanduk itu diancungkan dua patung dan patung lainnya mengacungkan masing-masing satu bendera merah  putih.

Pembaca puisi : Semoga air kasih sayang bisa membuat kita kembali bernyanyi.  Sol! (Stem)….

Semua Menyanyi : Hiduplah Indonesia Raya!


(Setelah sunyi, lelaki misterius itu kemudian terbahak-bahak menyaksikan keganjilan di depannya)

Lelaki misterus : Tangkap mereka semua!  (Teriaknya garang)
(Muncul sepasukan aparat keamanan menodongkan senjata kepada patung-patung , lalu menyeret mereka ke luar seperti binatang)

Lelaki misterius : (Kepada penonton)  Indonesia milikku.
Lampu padam mendadak
Serentetan bunyi tembakan menghentak.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar