Minggu, 07 Juli 2013

450 TAHUN INJIL DI MANADO UTARA


OLEH: IVERDIXON TINUNGKI

“KAMU adalah GARAM  dan TERANG dunia”
Matius 5:13-16

Manusia sebagai paradoks adalah sang penanti kabar. Allah adalah kemegahan yang murni yang menandai segala yang ‘ilahi’, pewarta yang setia bagi umatNya. Pemahaman alkitabiah tentang manusia diletakkan pada perhitungan kebaikan penciptaannya maupun keburukan kejatuhannya. Sebagai makhluk yang memiliki keanggunan yang unik  karena diciptakan segambar dengan Allah, maupun kebiadaban yang unik  sebagai orang-orang berdosa yang berada di bawah penghukuman Allah. Bagian yang pertama memberikan manusia pengharapan; yang kedua memberi batasan pada harapan-harapan.

Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, manusia dapat berperilaku seperti Allah, diantaranya kebolehan untuk berpikir, memilih, bertindak secara kreatif, mengasihi dan menyembah Allah. Tapi pada sisi lain, manusia juga  bisa menolak untuk berpikir, malahan dengan sengaja memilih  untuk berbuat  jahat, membinasakan,  membenci dan menyembah manusia atau diri sendiri. Manusia membangun gedung-gedung gereja, tapi juga menjatuhkan bom-bom. Manusia menciptakan dan mengadakan fasilitas rumah sakit untuk menolong mereka yang sakit, tapi memanfaatkan teknologi canggih yang sama untuk menyiksa lawan-lawan politik yang tidak sepaham dengannya.
Keberadaan manusia yang mendua inilah yang membuat manusia sebagai makhluk yang betapa paradoksalnya.  “Manusia makhluk mulia sekaligus tidak mulia, rasional sekaligus tidak rasional, pengasih sekaligus egois,” tulis John Stott. Dalam konteks ini Allah dalam Yesus Kristus menemui sendiri umat ciptaanNya yang terperangkap pada optimisme yang terlalu lugu dan pesimisme yang terlalu negatif itu, hingga mendapatkan keselamatan dan meraih keagungannya yang unik sebagai mahluk yang diciptakan segambar dengan Allah.
Dalam karya penyelamatan itu nabi-nabi dilahirkanNya sebagai penyampai pesan bagi zamanya, hingga PutraNya yang kudus Tuhan Kita Yesus Kristus terutus membawa kabar indah keselamatan bagi manusia. Begitulah sejak zaman mula-mula gereja terbentuk di hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-4), kabar baik itu terus bersampai ke seluruh penjuru bumi, dan tiba di pesisir ini pada sebuah pagi, dan terus melintasi hari-hari di kurun waktu empat abad lebih.
Lantas apa yang dapat dikisahkan dari perjumpaan manusia dengan Allah di kurun empat abad yang gemilang itu? Ini sebabnya, dalam empat abad itu pula pantai Singkil Sindulang tak sekadar mengisahkan debur  ombak, atau cerita nelayan “Soma” (pukat) dampar milik juragan-juragan pribumi dan orang-orang keturunan Spanyol dan Portugis yang sudah lama menetap dan membangun kampung-kampung Borgo di tepi pesisir ini. Atau kisah seorang Nyong Pranggang (lelaki remaja) yang pulas di samping lampu Kana menanti datangnya waktu riuh teriakan; “Hela haluang kamudi’’  dari kultur menjaring ikan, diiringi makian dan doa di tengah malam menjelang pagi.
Tak juga sekadar kisah-kisah para pekerja onderneming dengan gaji pas-pasan di kebun-kebun kelapa yang membentang dari muara kali Tondano (kuala Jengki) hingga muara kali Bailang Tumumpa di masa penjajahan Belanda. Juga bukan cuma tentang tari Katrili dan Volka peninggalan budaya Spanyol-Portugis bagi masyarakat Borgo, dengan aroma keras bau Sopi dan Captikus, atau Cakalele yang rancak ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan mata seramnya. Juga tak sekadar aroma magis dari upacara-upacara bernuansa paganis dari  keyakinan lama masyarakat alifuru dan animis.
Singkil Sindulang adalah sebuah pesisir dalam peta pertumbuhan iman umat-umat pilihan Allah di Utara Manado bahkan di timur Nusantara. Empat abad perang dan kolonialisme yang tak hanya menelan banyak korban jiwa, tapi juga menjumpakan masyarakat di sini dengan ke-Kristen-an. Sebuah musim semi dalam pertumbuhan iman, pengaharapan, dan kasih dalam persekutuan orang-orang yang dulunya tercerai berai oleh perang, perbudakan dan alienasi.
Bila mensitir kitab Ulangan 7:6, maka tak berlebihan bila kawasan pesisir dari Tanah Minahasa ini disebut  “Israel diaspora” mula-mula di Sulawesi Utara.  Israel diaspora  adalah sebuah istilah bagi umat Allah yang berada di luar teritorial negara Israel. Bila kitab Perjanjian Lama menegaskan dimana Allah sendiri yang memilih umatNya, maka di kurun empat abad lampau itu, dari sisi teologis dan ekklesiologis kita bisa menyimpulkan dimana Allah dalam Yesus Kristus  lewat perantaraan Roh Kudus sendiri juga yang memilih umatNya mula-mula di kawasan pesisir ini hingga menjadi jemaat-jemaatNya. Bukankah Yesus sendiri dalam metafora-Nya yang hidup mengatakan, “Kamu adalah terang dan garam dunia” bukan saja kepada ke 12 rasulNya tapi juga kepada para nelayan, petani, pekerja kasar dan tukang, juga raja-raja di pesisir ini hingga menjadi hamba-bambaNya. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dan setia membangun aras-aras pelayanan melintasi abad dan kurun waktu hingga menjadi Gereja hari ini (Yesaya 41:8,9; 43:1).
Maka adalah sebuah senarai yang menarik dan penuh kejutan bila menilisik dan merefleksi pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat di teritorial pelayanan GMIM Manado Utara bila diurai dari masa lampau itu, yang kemudian membentuk aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini.
Dari manakah benih awal kekristenan yang menjadi pohon pelayanan di kawasan ini? Siapakah yang menebar Injil mula-mula hingga terjadi perjumpaan yang mesra antara manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus di pesisir ‘Tanah Pengharapan’ ini? Siapakah mereka yang terberkati menjadi Jemaat pertama? Seperti apakah perkembangan selanjutnya hingga kita hari ini menyaksikan betapa indahnya taman pelayanan di kawasan pesisir ini. Bagaimanakah Tuhan membentuk kelokan dan tikungan aliran sejarah pelayanan jemaat-jemaatNya?
Rentetan pertanyaan sarat makna di atas tak mungkin terjawab bila  kita tak mengurai benang merah sejarah pelayanan dari kurun empat abad lampau.
Bagaimanakah rentetan peristiwa sejak empat abad lampau itu? Semuanya bermula ketika 1500 orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma  menerima sakramen baptisan dari seorang Peter Jesuit Diego De Magelhaes di tahun 1563. Bapatisan itu dilakukan di muara kali Tondano (saat ini disebut Kali Jengki), atau tepatnya di tepi pantai Sindulang. Nama baptis Raja Siau Posuma adalah Don Jeronimo.
Dari beberapa literatur, peristiwa baptisan oleh Peter Diego De Magelhaes tersebut ditegaskan sebagai  awal mula perjumpaan  masyarakat alifuru dan para penganut animisme yang mendiami kawasan pesisir ini dengan kabar baik dari Injil Kristus yang datang bersama kapal-kapal dagang Spanyol dan Portugis yang mencari rempah dan kebutuhan makanan lainnya bagi kebutuhan pasar-pasar Eropa.
Dari momentum sakramen baptisan  itulah jemaat Kristen pertama terbentuk di pesisir Manado Utara, dan terus berkembang melintasi empat abad (1563-2013) hingga saat ini.
Bila ditelisik dari aspek teologis, peristiwa baptisan pertama oleh Diego De Magelhaes di atas tak sekadar bermakna historis tapi juga teologis sebagaimana diamanatkan Efesus 1:3-14, dimana Tuhan Allah, Bapa dalam Yesus Kristus, yang oleh Roh-Nya yang kudus telah memilih, memberkati, mengutus dan menyertai Gereja-Nya.
Bagaimana harus bermula di sini? Pesisir Manado Utara dan muara kali Tondano ketika itu dapat dimetaforkan sebagai pintu menuju “Tanah Pengharapan” yang menjadi salah satu titik penting sekaligus bandar pertemuan orang-orang dari berbagai suku dan bangsa untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan “surga” bagi para pemburu harta dari Cina dan Eropa yang datang bersama kisah-kisah perang dan penaklukan. Di tengah keramaian itulah seakan Yesus datang menemui umatNya dan membangun gerejaNya. Kehidupan alifuru dan kepercayaan animisme masyarakat harus dicerahkan menuju pemahaman yang utuh tentang pengharapan dan keselamatan sejati dalam Yesus Kristus Tuhan.
Mesionaris D. Brilman  dalam bukunya yang berjudul “ Onze Zendingsvelden, De Zending op Sangi-en Talaud-eilanden” ,  membenarkan adanya efektuasi yang luar biasa  dalam kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2 orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau.  Kesaksian yang sama juga ditulis beberapa literatur  antara lain karangan dr. Godee Molsbergen dan Wessels, Schwengke, Peter Muskens, dan buku dari Dr. Muller Kruger, seorang dosen yang pernah mengajar di sekolah tinggi Theologia  Jakarta.
John Rahasia, sejarawan dan penulis buku Tagaroalogi dalam ceramahnya di gereja Patmos Bunaken tahun 1980, sebagai mana dikutip sejarawan Sem Narande,  menjelaskan , 5000 anggota jemaat yang ditemukan Ds. Werndly di tahun 1707 di Manado adalah produk dari penginjilan masa Portugis .
“Kita mendapatkan data, bahwa pada tahun 1563, Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan seorang Raja dari Siau yaitu Raja Posuma bersama 1500 orang rakyat. Raja POSUMA sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua yaitu raja pertama di Siau. Kedua Raja Manado dan Siau serta 1500 orang minta kepada Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” (Valdu La Paskah, Narande Sem, 1980, 333).
Sebelum kedatangan  Ds. Werndly  tahun 1707,  pendeta Ds. Montanus sebagai pendeta Belanda pertama  yang datang ke kawasan ini menemukan segolongan orang yang merupakan Jemaat Kristen di pesisir Manado di tahun 1675. Hal ini menegaskan dimana  lebih dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir di tahun 1934, sudah ada jemaat Kristen di Manado Utara.
Menurut catatan Sem Narande, proses kehidupan kekristenan sudah berjalan. Bukan baru mulai. Bukan belum berwadah apalagi berlembaga. Bukan belum berbentuk dan berwujud. Proses kehidupan kekristenan di wilayah Manado Utara sudah berjalan lebih jauh ke depan dan jauh lebih lama dalam kristalisasi penginjilan sebagaimana almanak kelahiran organisasi GMIM.
Catatan sejarah jemaat-jemaat GMIM di kawasan Wilayah Manado Utara II  yang saat ini berjumlah 7 jemaat, dan juga pada umumnya sejarah seluruh jemaat di kawasan Manado Utara hingga pulau-pulau sekitarnya  menegaskan hubungan yang erat  cikal bakal kehidupan berjemaatnya itu dengan peristiwa pembaptisan Peter Diego  De Magelhaes di tahun 1563. Kendati begitu, harus dipapar dimana pada  tahun 1675 saat Pendeta J. Montanus mengunjungi Manado, ia mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah, hingga pada tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing untuk bertugas di Manado. Kemudian sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia, sebab kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Meski melewati patahan-patahan, namun alur sejarah kekristenan di kawasan pesisir Manado ini sangat berbeda bila dibanding dengan ikwal kekristen di pedalaman Minahasa yang diperkirakan baru teretas baik pada permulaan abad ke XIX, yang ditandai kedatangan dua pendeta berkebangsan Jerman yang diutus Gereja Protestan Belanda, Ridel dan Schwarts di tahun 1831. Kekristenan di Minahasa  sesungguhnya telah dimulai sejak permulaan abad ke XVII. Pada tahun 1619 misi injil Spanyol telah mengalihkan penyebaran misi ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para missionaris asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.
Dalam catatan sejarah jemaat GMIM Nazaret Tuminting yang resmi berdiri pada 17 Maret 1933 atau 1 tahun lebih tua dari usia GMIM, dipaparkan  dimana gereja itu tumbuh dari sebuah organisasi kristiani yang bernama “Hosana Ambang Susah” yang didirikan di kisaran tahun 1850 oleh orang-orang Sangihe Talaud yang beragama Kristen, yang mendiami pesisir Manado Utara.
Kita melihat sebuah arus bolak-balik perjalanan injil Kristus pasca pembantisan Raja Posuma dari Siau di Pantai Sindulang, yang kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama memicu perkembangan jumlah umat Kristen di Siau menjadi 25.000 orang. Serta atas bantuan raja Posuma pada 9 Oktober 1568 Peter Makarenas membaptis 10.000 orang di Kalongan, Sangihe. Benih kekristenan itu juga menyebar ke Talaud yang ketika itu kawasan pulau-pulau  Talaud merupakan daerah-daerah yang berafiliasi dengan kerajaan Siau dan kerajaan-kerajaan Sangihe. Perkembangan yang pesat dalam kehidupan kekristenan di Sangihe Talaud dari buah kerja para missionary Katolik itu, dalam kurun waktu berikutnya menjadi akar yang kuat dalam pertumbuhan jemaat-jemaat di kawasan diaspora Manado Utara.
 Kembali ke Kerukunan Hosana Ambang Susah yang didirikan orang-orang Sangihe Talaud itu, awalnya bertujuan melayani peristiwa-peristiwa kematian, kemudian terorganiser menjadi kelompok ibadah hari Minggu.   Dari kerukunan itulah 20 Kepala Kekuarga yang khususnya mendiami kawasan Tuminting  merentas cikal bakal berdirinya jemaat di tahun 1916,  diorganiser oleh perintis jemaat yang bernama Paulus Kawangung, untuk melakukan ibadah Minggu secara reguler.  Sebelum dibangunnya rumah ibadah yang tetap pada 1935, kegiatan peribadatan dilakukan dari rumah ke rumah. Untuk pelayanan sakramen masih dilakukan di Gereja Pusat Paroki Singkil Sindulang.  (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,10).
Bila melihat perkembangan jemaat Nazaret Tuminting saat ini kita langsung dipertemukan dengan kenyataan betapa dasyatnya campur tangan Tuhan dalam kerja penyebaran Injil dan pembangunan Jemaat-Jemaat. Dari cikal bakal 20 keluarga di tahun 1916, jemaat Nazaret hari ini telah memiliki beberapa jemaat pemekaran seperti Jemaat Torsina Tumumpa, jemaat  Getsemani Sumompo, Jemaat Bukit Zaitun Sumompo, Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting. Selain telah mengalami pemekaran menjadi beberapa jemaat, Nazaret saat ini terdiri dari 25 kolom  dengan sekitar 800 kepala keluarga sebagai anggota jemaat.
Sebelum Jemaat Nazaret Tuminting terbentuk di tahun 1933, orang-orang di kawasan  tepi Ordeming Bailang juga telah membetuk sebuah jemaat yang permanen yang saat ini dinamakan Jemaat GMIM Sion Bailang, yang di pimpin oleh guru jemaat ketika itu Matheos Kasiaha.  
Sementara Gereja Bethanie Singkil Sindulang yang teritorial jemaatnya adalah lokasi dari peristiwa pembaptisan di tahun 1563 oleh Peter Diedo De Magelhaes, akar kekristenan awal jemaat ini sudah pasti dari peristiwa Baptisan pertama itu.  Menurut catatan Sem Narande dalam bukunya Valdu La Paskah, peristiwa pembabtisan oleh Peter Diedo De Magelhaes tak saja menjadi akar perkembangan kekristenan di Manado Utara, justru menjadi tonggak sejarah perjalanan Injil Kristus di Sulawesi Utara.
Bangunan pertamanya Gereja Singkil Sindulang  berdiri di tahun 1903 masa pendeta Hendrik Sinaulan. Gereja itu menjadi  salah satu pusat Paroki pelayanan yang mewilayahi kawasan Manado Utara, dari 3 paroki di distrik  (Rayon) Manado, sejak berdirinya Gereja Protestan Belanda di tanah Minahasa.  
Di kawasan daerah suku Bantik, di kurun waktu yang hampir bersamaan dengan gereja Singkil Sindulang, telah berdiri Jemaat Protestan Bengkol. Penempatan tenaga pendeta ke Jemaat Bengkol oleh Sinode GMIM sudah berlangsung sejak tahun 1935, atau 1 tahun setelah GMIM bersinode.
Bila muncul pertanyaan, siapa pembawa proses kekristenan itu di Manado Utara? Jawabannya, ialah Allah sendiri. Karena,  meski pekerjaan misi dan pelayanan Peter Diego De Magelhaes dilakukan dengan tatacara dan dogma  Gereja Roma Katolik masa Portugis,  kedua orang Raja dan 1500 orang rakyat bukan dibaptis atas nama gereja Roma Katolik, tetapi dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus. Tidak ada kalimat terputus dalam Firman antara saat pembaptisan pertama dari Peter Diego De Magelhaes dengan gereja dan jemaat GMIM di kawasan Manado Utara saat ini, atau dengan gereja dan jemaat GMIM lainnya atau gereja dan jemaat Protestan lainnya di seluruh Sulawesi Utara, tulis Sem Narande.
Buah iman yang dipetik oleh gereja dan jemaat GMIM di Manado Utara adalah tetap benih-benih Firman itu juga ditaburkan dan berakar selama 450 tahun sebagai Kabar Baik Dari Pesisir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar