Jumat, 05 Juli 2013

SEJARAH GEREJA GUNUNG HERMON TUMINTING (1)



GUNUNG HERMON, 17 TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah


OLEH: IVERDIXON TINUNGKI

 


I.           PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penulisan

Menulis sejarah atau hitoriografi suatu jemaat (Gereja) sebagai “Societies Deo” (Umat Tuhan), bukan saja menjadi salah satu program sinodal yang harus dilaksanakan oleh semua aras pelayanan GMIM saat ini. Tapi, merupakan kebutuhan vital guna menjawab minat jemaat untuk mengetahui bagaimana sebenarnya akar dan sejarah perkembangan pelayanan Jemaat itu beserta romantikanya dari kurun awal hingga  kurun berikutnya.
Menariknya pula, penulisan sejarah  merupakan hal penting dan strategis sebagai landasan pijak bagi kajian-kajian pembanding dan alat ukur  dalam menganalisa setiap gejala atau fenomena guna pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan Gereja ke depan, terutama ketika GMIM pada semua tingkatan struktur organisasi mengadakan suatu pembaruan, baik dalam tugas dan fungsi organisasi, melaksanakan pengakuan dan panggilan gereja dalam mengembalakan dan membina jemaat dan ketatalayanan, serta hubungan sosial kemasyarakatan lintas denominasi dan agama.
Sejarah gereja, selain itu adalah bahan cerminan bagi para pelayan di kurun berikutnya tentang apa yang pantas dan patut dilakukan, dan apa yang tidak pantas dan tidak patut dilakukan dalam konteks keteladan sebagai seorang pelayan, dan strategi apa yang harus ditempuh dalam konteks menjaga keharmonisan perputaran roda organisasi dalam mendaratkan visi dan misi pelayanan bagi umat. Sebagai misal, di tengah masyarakat makro, gereja diperhadapkan dengan tantangan tersendiri yang khas dengan beragam masalah yang ditimbulkannya. Menyikapi kondisi ini, sungguh bijak apabila gereja seperti dikatakan  Martin Luther, “kita tidak dapat melarang burung-burung beterbangan di atas kepala kita, tetapi kita dapat menghalau mereka jika ada yang mau membuat sarang di atas kepala kita.” Dari perspektif ini, dapatlah dikatakan bahwa gereja tidak dapat menghalangi tantangan atau sumber tantangan yang menghadang, tetapi gereja dapat dan perlu mengambil sikap untuk menghadapi serta memberi jawaban terhadap setiap tantangan yang ada.
Lebih sederhana lagi, sejarah gereja dipandang sebagai suatu pengisahan tentang perkembangan-perkembangan dan perubahan yang dialami oleh gereja selama di dunia ini. Yaitu kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengabarkan Injil serta pengorganisasiannya (Th. Van den End).
Bila dianalogikan pohon, gereja awalnya merupakan sebuah tunas kecil, kemudian tumbuh dengan batang yang besar dengan dahan, cabang dan ranting yang banyak, tidak sama ukurannya dan bentuknya. Begitu pula halnya dengan gereja-gereja yang lahir dari jemaat pertama yang berlainan: dalam hal tata gereja, tata kebaktian, dan ajaran (teologinya). Tetapi semuanya itu berakar dalam tanah yang sama. Sejak zaman pantekosta berlangsung, gereja mengalami perubahan yang sangat pesat, baik dari segi jumlah pengikutnya, tata caranya, organisasinya dan juga ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini gereja tumbuh di dalam berbagai denominasi dan aliran yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa gereja dalam sejarahnya, telah mengalami perkembangan yang demikian pesat.
Sebagai tubuh Kristus di dunia, dalam perkembangannya, gereja bukan hanya bertahan membangun dirinya dari dalam, juga mempertahankan dirinya dari berbagai musuh yang secara sistematis berniat menghancurkan gereja terutama dalam menghadapi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Fakta sejarah membuktikan, gereja mampu bertahan dari gejolak-gejolak yang berlangsung secara internal.
Setiap masa yang berbeda akan menghasilkan tantangan dan persoalan yang berbeda pula. Demikian juga di abad ke 21, yang dicirikan sebagai sebuah masa dimana orang akan semakin pragmatis, rasional dan empiris, gereja akan menghadapi tantangan tersendiri yang menuntut respon gereja untuk mempersiapkan diri menghadapi semua itu. Injil yang menjadi sentra pemberitaan gereja tentu akan banyak mengalami gugatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan pendekatan rasionalistik. Hal ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi gereja untuk semakin aktual dan mewujudkan perannya secara nyata, di tengah masyarakat modern yang justru sedang bergerak ke arah sekular.
Penyesuaian apa yang dapat dilakukan oleh gereja untuk bisa bertahan dan bertumbuh? Inilah pula yang merupakan pertanyaan menarik dari esensi penulisan sebuah sejarah gereja.
Dalam konteks penulisan sejarah Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting yang boleh dibilang baru seumur jagung atau 17 tahun masa pelayanan-- kalau ditilik dari periode perintisan menuju sebuah jemaat otonom -- (1996-2013), kita pun diperhadapkan dengan realitas dimana  gereja ini tumbuh dari carut marut konflik, dan berhasil menepis konflik, kemudian kini berdiri megah menjadi tempat perwujudan persekutuan umat Allah. Pergulatan panjang dan dramatis dari kisah berdirinya jemaat ini tentu tak saja menjadi buah renung tapi sekaligus kabar baik menuju keselamatan dalam Yesus Kristus Tuhan yang tiba dengan gemilang dan tumbuh menjadi pohon pelayanan yang berbuah baik,  lebat, dan subur hingga saat ini karena penyertaanNya.
Sebagai jemaat baru di tengah aras pelayanan GMIM, jemaat Gunung Hermon dalam sejarahnya sebagai sebuah organisasi pelayanan, telah mampu mewujudkan integritasnya dan tanggap terhadap perubahan yang demikian cepat yang berlangsung di sekitarnya.
Gereja sendiri adalah hasil dari perubahan. Sebagai hasil dari perubahan, gereja memiliki sejarah dan terus berkembang seiring perjalanan waktu. Itu sebabnya, penulisan sejarah gereja harus dimulai dari detakkan awal dari momentum-momentum bernilai historis dan perkembangan selanjutnya secara lingkait.
Bila melihat sejenak rentetan peristiwa dan perkembangan jemaat ini, pada kurun awal, cikal bakal berdirinya, Jemaat Gunung Hermon sendiri tak lepas dari sejarah besar   jemaat Nazaret Tuminting sebagai induknya. Tapi uniknya, tak seperti lazimnya pemekaran sebuah jemaat, proses menuju terbentuknya Jemaat Gunung Hermon justru tercipta dari friksi  di seputar rencana pemekaran satu jemaat  otonom yang terdiri dari beberapa kolom di Nazaret  pada tahun 1996 yang  memicu  kemelut sekaligus menciptakan kelokan berliku dalam penyelesaiannya yang akhirnya berakhir pada  terbentuknya dua jemaat Otonom yakni Jemaat Gunung Hermon dan Jemaat Tunggul Isai.   
Bila merefleksi nilai historiografis peristiwa dramatis yang bermula pada 1996 tersebut hingga masa-masa pelayanan Jemaat Gunung Hermon saat ini, kita ternyata diperhadapkan dengan suatu realitas transeden dimana konflik di kurun awal itu  laiknya sebuah viadolorosa menuju kemenangan Kristiani yang berasal dari pertarungan tiada henti hingga terbentuknya suatu jemaat. Bila muncul pertanyaan siapa yang membentuk jemaat ini? Apakah jemaat ini terbentuk semata-mata karena perjuangan  33 Kepala Keluarga di kolom 19 dan 18  yang merupakan para pendukung fanatik pembangunan Kanisah di atas bukit kolom 19 yang menyatakan niat untuk melepaskan diri dari Jemaat Nazaret Tuminting untuk berdiri sendiri sebagai sebuah jemaat otonom di tengah kemelut yang berlangsung sejak  tahun 1996? Ataukah terbentuknya jemaat ini atas kehendak Kristus sendiri sebagai Kepala Gereja? Disinilah sisi pentingnya penulisan sebuah sejarah gereja sebagai bahan dasar untuk memberikan  landasan yang kuat pada setiap refleksi teologis. Bukankah kehadiran gereja sebagai pertanggungjawaban iman kepada Allah yang menempatkan warga jemaat ke dalam dunia sebagai komunitas iman. Gereja sebagai sebuah komunitas iman dapat dipastikan akan berhadapan dengan tantangan berupa ujian kristis terhadap iman (critical testing of faith) yang menuntun kita kepada kenyataan bahwa gereja akhirnya menemukan dan membuktikan dirinya sebagai “Victorius Church” (Gereja yang Menang). Bukankah dengan demikian kita bisa dengan optimis mengatakan bahwa gereja dan kepemimpinan Kristen dapat mewujudkan pengaruhnya sebagai garam dan terang bagi dunia ini.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa oleh rahmat Allah, gereja dan kepemimpinan Kristen dapat mengungguli tantangan dengan membawa pengaruh positif, karena didasarkan atas kebenaran: Pertama, gereja dan pemimpin Kristen terpanggil oleh Allah dengan integritas kepemimpinan yang lengkap untuk memimpin. Kedua, gereja dan  pemimpin Kristen diteguhkan oleh Allah dengan kapasitas kepemimpinan yang tangguh untuk memimpin. Ketiga, gereja dan  pemimpin Kristen dijamin oleh Allah dengan kapabilitas kepemimpinan yang penuh untuk memimpin.
Gereja dan kepemimpinan Kristen terpanggil oleh Allah dengan integritas kepemimpinan yang lengkap untuk memimpin. Gereja dan  Kepemimpinan Kristen didasarkan pada sikap pesimistis yang mendasar, yaitu Allah yang oleh kehendakNya berdaulat telah mendirikan gerejaNya dan  menetapkan juga memilih setiap pemimpin Kristen pada pelayanan untuk memimpin. Gereja dan pemimpin Kristen ialah yang dipanggil Allah untuk mencapai tujuan-Nya bagi dan melalui kelompok ini. Panggilan Allah kepada gereja dan seseorang untuk menjadi pemimpin adalah bersifat mutlak (Yohanes 3:27),
Itu sebabnya, penulisan Gunung Hermon, 17 Tahun Pelayanan sebagai sebuah catatan sejarah, merupakan upaya  merangkum realitas empirik dari peristiwa dan kejadian-kajadian pada setiap kurun waktu, bukan dimaksudkan untuk mencari siapa antagonis dan protagonis di tengah aliran sungai sejarah jemaat ini, tapi dimaksudkan menjadi bahan refleksi dan cerminan di masa depan.
                 Meski dalam pengabstraksian berbagai ornamentasi peristiwa yang berlangsung dalam kurun waktu masa pelayanan jemaat ini kita dipertemukan dengan patahan-patahan menarik dalam periode demi periode kemelut di Jemaat Gunung Hermon, tapi telisikan kita pada setiap babakan dan  kemelut ini bukan sebagai upaya mengungkap kekeliruan orang per orang atau kelemahan organisatoris pada setiap kurun waktu. Tapi sekali lagi, sebagai upaya menemukan ruang refleksi atas kisah-kisah berharga di masa lalu yang bisa dijadikan catatan pembelajaran yang indah di kurun pelayanan di kemudian hari. Belajar dari sejarah gereja mula-mula, hingga melewati masa seribu tahun awal dan di masa seribu tahun kedua tak lepas dari friksi dan kemelut. Di kurun itu, rentetan peristiwa telah menampilkan sejumlah kisah tragis yang dialami gereja. Ribuan hamba Tuhan mati sebagai martir menuju tegaknya Gereja Tuhan di bumi.
                 Di Gunung Hermon, kita melihat bagaimana sebuah jemaat telah menempu alur sejarahnya sendiri melintasi lebih 17 tahun pelayanan menebar kabar baik bagi umatNya  hingga bertemu sinar pagi penuh harapan keselamatan dalam kasih Yesus Kristus Tuhan. Memang tak ada alur sejarah yang bergerak lurus, selalu punya kelokan dan kecuramannya. Gereja ini telah tumbuh dari serentetan persoalan dan kemelut , dan  semua peristiwa itu ikut memberikan corak tersendiri dalam ornamentasi pembetukan gereja dan jemaat di kemudian waktu di aras pelayanan jemaat ini.
Setelah melewati fase masa cikal bakal berdirinya jemaat hingga terbentuknya suatu jemaat otonom, bab-bab selanjutnya lebih banyak memapar fragmentasi-fragmentasi pelayanan dalam interen jemaat itu atau dalam tubuh organisasi Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ), setiap fase dan peristiwa  menjadi tuas yang kuat dalam perputaran system berorganisasi menuju jemaat dan gereja  yang dewasa mengarifi zaman.
Seperti juga keadaan jemaat-jemaat lain di aras Wilayah Manado Utara II, jumlah anggota jemaat dan kolom di Gunung Hermon terus tumbuh seiring dimensi perkembangan pertumbuhan penduduk. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi BPMJ dan anggota jemaat dalam penyiapan rumah peribadatan yang representatif, yang mencerminkan citra zaman di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berat dan penuh pergumulan.
Tugas dan panggilan gereja di  jemaat ini pada setiap kurun waktu dan kurun kepemimpinan tak saja ikut pula menampilkan dinamika di tengah usaha penjabaran dan pencapaian esensi religiusnya, tapi telah bergerak pula ke padang-padang pengejawantahan esensi filantrofismenya. Dalam artian gereja yang bertugas membangun hubungan mesra antara manusia dengan Tuhan, dan relasi sosial antar manusia dengan manusia. Panggilan ini disebut sebagai integritas gereja.
Dalam kurun 5 periode kepemimpinan, gereja ini telah menunjukkan integritasnya itu dalam pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Dalam serentetan kurun waktu terlihat bagaimana formulasi policy yang berpadu dengan sikap kerendahan hati yang sejati yang dipancarkan  gereja dan jemaat yang terus tumbuh dan bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan dengan sabar perkembangan demi perkembangan diayomi oleh FirmanNya dalam keyakinan bahwa Ia dapat membimbing gereja dan jemaat ke suatu kesadaran bersama yang kokoh.
Ketika buku ini mulai ditulis, kita bisa melihat realitas keseharian jemaat ini dimana  adanya kesadaran yang hidup terus-menerus dalam mempertahankan jati diri sebagai gereja, dimana di satu pihak gereja adalah suatu umat yang ‘kudus’ yang di panggil dari dunia untuk menjadi milik Allah. Tapi di lain pihak gereja adalah suatu umat yang ‘duniawi’ yaitu orang-orang yang diutus kembali ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.
Lantas apakah di kurun waktu ke depan jemaat GMIM Gunung Hermon  mempu mempertahankan jati diri tersebut hingga tidak terpuruk dan terisolasi dari dunia? Lagi-lagi pertanyaan yang menuntut refleksi terus-menerus, sebab gereja yang hanya menitik beratkan pada aspek kekudusannya dan undur dari urusan dunia segera terlontar dan terisolasi dari dunia. Tapi gereja pun jangan sampai keliru menyesuaikan diri pada tolok ukur dan nilai-nilai yang dianut oleh dunia dan dengan demikian terkena polusi.
Kemisionarisan gereja harus muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam masyarakat. Sebab, suatu eklesiologi yang timpang akan menghasilkan misi yang timpang juga. Ini sebanya penulisan sejarah aras-aras pelayanan gereja menjadi penting guna menampilkan yang lampau untuk menjadi bahan refleksi kini dan ke depan.
  Maka ketika penulisan buku ini dimulai pada Januari  2013  terasa dan disadari, bukanlah upaya yang mudah untuk menulis dan mengungkap detil catatan sejarah perkembangan organisasi Jemaat ini di lintasan waktu 17 tahun (1996-2013) yang awalnya hanya terdiri dari 17 Kepala Keluarga  kemudian berkembang menjadi 33 KK di masa eksodus ke jemaat Getsemani Sumompo, dan beberapa keluarga di Kolom 18, kini berkembang menjadi 3 kolom.
Penyusunan Gunung Hermon,  17 Tahun Pelayanan: sebuah catatan sejarah  ini menyangkut eksistensi suatu organisasi atau suatu lembaga yang di dalamnya berlangsung  kehidupan jemaat dari kurun lampau ke kurun waktu kini  mesti diabstraksikan secara permanen dalam sebuah buku catatan sejarah yang manfaatnya multi dimensi bagi lintas generasi.
 Karena luas dan lebarnya data akan dikumpulkan  dari setiap kurun  waktu,  penguraian penulisan ini mengalami berbagai kesulitan disebabkan sedikitnya buku-buku referensi, arsib sejarah, dan data pada informan kunci sebagai pelaku sejarah.
Di tengah kesadaran adanya kesulitan itu, Badan Pekerja Majelis Jemaat Gunung Hermon Tuminting  membentuk TIM Penyusun Sejarah  Jemaat Gunung Hermon yang terdiri dari Marfel Malamtiga, Adrianus Katilik, Maria Areros. Tim Penyusun kemudian menunjuk seorang penulis sekaligus sebagai editor yakni Iverdixon Tinungki guna kerampungan penulisan buku catatan sejarah Jemaat Gunung Hermon ini.
Dengan pemahaman tak ada yang mustahil bagi Tuhan, seperti juga aliran sejarah yang terus menampilkan perubahan dan kebaruan di mana Jemaat dan Gereja terus tumbuh dan berkembang, penulisan catatan sejarah ini dikerjakan.
Karena tuntunan Tuhan Yesus Kristus sebagai kepala Gereja, meskipun diperhadapkan dengan sejumlah kendala, penulisan edisi pertama Gunung Hermon, 17 Tahun Pelayanan: Sebuah Catatan Sejarah  ini akhirnya dapat terlaksana.
Dalam buku ini dipaparkan sejumlah anasir sejarah dari masa rintisan di tahun 1996 hingga saat terbentuknya Kanisah Kedua (1999) di atas bukit, dan rangkaian  peristiwa yang ditarik sejak terbentuknya Jemaat GMIM Gunung Hermon secara otonom pada 12 Maret 2000, dan dilanjutkan dengan penelitian yang bertumpuh pada aspek terbatas yaitu:  Urutan kepemimpinan Jemaat  menurut  tahapan dan periodisasi kepemimpinan.
Dengan merefleksi aspek historis dan teologis dari anasir pertumbuhan dan perkembangan gereja dan sistim pelayanan dari kurun waktu di atas, sebagaimana diisyaratkan kitab Kejadian 12:1-3 dan 1 Petrus 2:9,  maka buku catatan sejarah Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting  diberi judul: “GUNUNG HERMON, 17 TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah”.    

I.2. Ruang Lingkup Permasalahan
Mempertimbangkan  luas dan lebarnya kehidupan dan perkembangan organisasi pelayanan di aras  Jemaat Gunung Hermon dalam kurun  waktu awal hingga saat ini, serta sempitnya waktu yang diberikan, anggaran yang terbatas, terbatasnya pula sumber daya peneliti dan penulis, maka penelitian catatan sejarah  Jemaat Gunung Hermon ini perlu adanya pembatasan.
Penelitian dilaksanakan meliputi : Cikal bakal Jemaat, terbentuknya Jemaat, dan rangkaian kepemimpinan Jemaat, serta catatan reflektif tentang tugas dan tantangan gereja kini dan di masa depan.
Dengan demikian ke depan diharapkan perbaikan-perbaikan atau penambahan data hingga terwujudnya penulisan buku sejarah GMIM Jemaat Gunung Hermon Tuminting  yang lebih lengkap.

I.3. Batasan Konsep
I.3.1. Jemaat, BPMJ dan Gereja
Struktur Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) menurut Tata Gereja 2007 ditata dalam tiga aras yakni Jemaat, Wilayah dan Sinode. Struktur tersebut mengacu pada sistem presbiterial sinodal  berdasarkan pemerintahan Tuhan Allah dalam Yesus Kristus. (GMIM. Tata Gereja, 2007, 5).
Dari struktur di atas ,  dapat dilihat dimana pengertian Jemaat dalam Tata Gereja GMIM adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus yang menyatakan dirinya sebagai anggota GMIM di suatu tempat tertentu dan patuh pada Tata Gereja GMIM. Sementara Badan Pekerja Majelis Jemaat  (BPMJ) adalah kelengkapan pelayanan  sebagai wadah berhimpun Pelayan Khusus di Jemaat yang memiliki tanggung jawab organisatoris dan berwujud dalam Sidang Mejelis jemaat.
Pengertian dari kata Jemaat berasal dari kata Yunani eklesia bermakna: Mereka yang dipanggil. Sedang  Gereja berasal dari kata Kuriokon yang berarti rumah Tuhan.
Dalam perkembangan selanjutnya kata Jemaat dan Gereja hampir tidak memiliki batas yang tegas. Kosa kata Portugis Ireja berasal dari kata eklesia yang berarti Jemaat, karena menunjuk pada orang yang dipanggil oleh Yesus, bukan pada  kata kuriokon yang sebenarnya menunjuk pada wujud bangunan atau rumah Tuhan.
Kata Inggris church juga berasal dari kata eklesia, dan di Belanda kerk. Kata eklesia juga berarti jemaat atau gereja bermula dari peristiwa Yesus memanggil para murid. Murid-murid itulah Jemaat dan Gereja Injili yang pertama (Nazaret,  Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,5).
Pada peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga, Roh Kudus tercurah pada hari pentakosta ke atas murid-muridNya dan menjadi rasul artinya: Mereka yang diutus. Rasul-rasul diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah Gereja Kristen (Thomas Van Den End,1997,2).
Rasul Paulus mengatakan bahwa Gereja adalah “Tubuh Kristus” (I Korintus 12: 12, Efesus 4:  5 dan sebagainya). Wujud  Gereja ialah pertama-tama : Pesekutuan dengan Kristus, dan melakukan tugas dan amanatNya. Oleh karenanya Gereja Kristen yang  tidak ada rasa persekutuan dengan manusia lain dan tidak melakukan amanat, tidak berhak disebut Gereja.
Kata persekutuan dengan Kristus berarti pula persekutuan dengan manusia lain. Yesus berjanji akan hadir di tengah-tengah dua atau tiga orang yang berhimpun atas namaNya. Adanya kehadiran Kristus di tengah-tengah interaksi antar anggota Jemaat dalam persekutuan, itulah yang disebut Gereja.
Maka dalam penulisan buku ini penggunaan kata Jemaat atau Gereja memiliki pengertian yang sama. Pemahaman ini mengacu pada definisi Gereja yang seperti dimaksud Marthin Luther, dan dipakai dalam Tata Gereja GMIM yaitu:  Gereja adalah persekutuan orang-orang yang seyakinan. Jadi kata Gereja dan Jemaat memilik makna yang sama.
I.4.Tujuan dan Manfaat Penulisan
I.4.1. Tujuan
-          Penulisan GUNUNG HERMON, 17 TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah edisi pertama ini  dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang rangkaian – rangkaian pertumbuhan organisasi pelayanan  jemaat mulai dari masa cikal bakal terbentuknya  pelayanan jemaat, serta perkembangannya hingga saat ini.
-          Untuk mendapatkan data guna penetapan Hari Ulang Tahun Jemaat Gunung Hermon  
-          Untuk memenuhi permintaan Sinode GMIM tentang penulisan Sejarah Jemaat Gunung Hermon  .
1.4.2. Manfaat
-          Meski dalam aspek yang terbatas, penulisan GUNUNG HERMON, 17 TAHUN PELAYANAN: Sebuah Catatan Sejarah ini telah menggambarkan secara utuh perkembangan Jemaat Gunung Hermon  dari masa sebelum tahun 1996 sampai dengan tahun 2013.
-          Manjadi bahan referensi dan objek evaluasi untuk kepentingan yang beragam.
-          Menjadi motivasi untuk penulisan yang lebih lengkap.
-          Merekomendasi Hari Ulang Tahun Jemaat Gunung Hermon  melalui seminar.
-          Motivasi bagi generasi berikutnya untuk bersikap kritis dan mau mengintrospeksi  kehidupan dalam berjemaat  dan memberi masukan pada kesemarakan pelayanan  dan penyebaran Injil Yesus Kristus kepada semua orang di segala tempat, dan bangsa.
I.5. Metode Penelitian
Motode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan sitem pengumpulan data sebagai berikut:
-                      Wawancara bebas dan terpimpin.
-                      Partisipasi.
-                      Daftar pertanyaan.
-                      Penelusuran  bukti-bukti otentik secara formal maupun non formal.
Untuk melengkapi data yang diperoleh dalam penelitian lapangan, dilakukan pula penelitian kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan karangan ilmiah yang ditulis para sarjana maupun oleh pengarang lainnya yang ada hubungannya dengan objek penelitian.

1 komentar:

  1. salam pagi Sobat..

    semoga kuncup menjadi bunga, wangi hidup berketulusan..

    Jabat-erat!

    BalasHapus