Oleh: Iverdixon Tinungki
Setelah Pendeta Rogahang
mendapatkan tugas pelayanan di jemaat dan Paroki yang baru, Ketua BPMJ Bethanie
dan Kepala Paroki Singkil digantikan oleh Pendeta Altius Adolf Mohede. Ia
bertugas sejak 1947 hingga 1 Maret 1951 atau dalam masa 4 tahun pelayanan.
Ketika ia bertugas, nama
Paroki Singkil pun berubah menjadi Paroki Singkil Sindulang. Hal tersebut
disebabkan, gereja Singkil yang menjadi pusat Paroki tak saja memiliki kolom di
kawasan Singkil, Pancurang, Tuna, Wawonasa, tapi telah melebar hingga ke
kawasan Sindulang dan sekitarnya. Di sisi lainnya, secara historis penyebutan Singkil Sindulang adalah sebuah kesatuan dalam
sejarah pelayanan kekristenan mula-mula di pesisir ini.
Ketika hendak menulis kisah
kehidupan dan pelayanan Kepala Paroki ke tiga ini, penulis diingatkan pada
sebuah buku menarik karya Richard Gutteridge “Open Thy Mouht for the Dumb” (Bukalah mulutmu demi orang bisu).
Dalam buku itu Gutteridge melukiskan bagaimana keikutsertaan orang Kristen dalam
komplotan anti-semitisme Jerman. Kala itu gereja agaknya bersekutu dengan
Gerakan Sosialisme Nasional (Nazi) dalam mensahkan ras Aria yang puncaknya pada
tahun 1933 dikeluarkannya undang-undang pembersihan terhadap orang-orang non
Aria oleh rezim Hitler.
Mengapa Gutteridge
meneriakan keberpihakan kepada orang-orang Yahudi yang dimetaforkannya sebagai
orang-orang bisu akibat penindasan itu? Karena ketika itu gereja hampir tidak
pernah menyatakan keberatannya terhadap undang-undang yang mengerikan yang
melegalkan pembunuhan dan penindasan terhadap orang Yahudi. Hanya Karl Bard dan
Paul Tillich yang berani bangkit melancarkan protes. Karl Bard menyatakan
kekajaman anti Yahudi itu sebagai dosa terhadap roh kudus dan penghianatan
terhadap kasih setia Allah. Manusia yang diciptakan Allah segambar denganNya,
dalam pengertian manusia yang di dalamnya terkandung citraan Allah yang kudus
telah ternista oleh kekejaman suatu sistim politik yang menghancurkan.
Meski kisah yang diutarakan Richard
Gutteridge di atas sebatas memapar kegagalan gereja dalam mengembangkan kritik
alkitabiah guna menentang rasialisme, tapi semangat yang diteriakannya itu
telah membangkitkan kesadaran umat Kristen dunia untuk bangkit menentang
ketidak adilan pada masa-masa perang dunia II dan di kurun kemudian. Pada tahun
1943 konferensi pemimpin-pemimpin gereja Lutheran mengambil keputusan untuk
menyerang pemerintah Nazi atas kekejaman anti Yahudi. Gerakan-gerakan gereja
dalam menentang penjajahan pun bangkit di mana-mana terutama di tengah
bangsa-bangsa yang sedang berjuang
memerdekakan negaranya.
Sejak tahun 1933 di tanah
Minahasa umat Kristen menyadari pentingnya mendirikan gereja perjuangan bagi
kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda yang dinamakan Kerapatan Gereja
Protestan Minahasa (KGPM). Sementara GMIM yang baru berdiri pada 1934 yang
lebih mematok prinsip tidak mencampuri urusan politik Negara bukan berarti
tinggal diam. Sejumlah pelayan dan tokoh-tokoh GMIM ketika itu terpanggil bahkan
terlibat aktif dalam kancah perang kemerdekaan.
Altius Adolf Mohede adalah
salah satu pendeta GMIM yang ikut mengangkat senjata untuk memperjuangkan
kemerdekaan negara. Sebuah kesadaran kritis seorang pemimpin Kristiani yang
tampil mengupayakan hal-hal yang benar di hadapan Allah sebagaimana tuntutan
zaman. Ia tidak tampil berperang untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak pula
tampil untuk berpihak pada kepentingan gereja semata. Tapi ia berperang untuk
menegakkan tugas panggilan Allah dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendeta Altius Adolf Mohede,
dilahirkan di Ulu Siau 2 Februari 1908. Setelah lulus dari sekeloh kependetaan Stovil
Tomohon, langsung ditempatkan memimpin jemaat di Langoan tahun 1934. Kemudian ditugaskan
ke jemaat Noongan. Pada Mei 1940 di tugaskan membawa misi pekabaran Injil dari
GMIM ke daerah Riau, Tanjung Pinang. Lalu ditugaskan lagi ke Negara Singapura.
Dari Singapura kemudian dipindahkan ke Bogor
untuk melayani jemaat-jemaat yang
merupakan orang-orang Belanda, pada masa pendudukan Jepang.
Pada saat menjalankan tugas
di Bogor masa perang kemerdekaan ini, pendeta Altius Mohede terpanggil
mengangkat senjata ikut berjuang
memimpin pasukan bersenjata KRIS Bogor Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi, mendampingi Kolonel Alex Kawilarang. Dalam perang itu, ia pernah
ditahan oleh tentara Jepang pada masa pendudukan. Pada masa penahanan itu,
istrinya Paulien Saerang meninggal dunia.
Dua tahun setelah
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yakni pada
tahun 1947 Pendeta Altius Adolf Mohede kembali ke medan pelayanan, oleh GMIM
ditugaskan menjadi Ketua BPMJ Bethanie sekaligus Kepala Paroki Singkil
Sindulang hingga 1 Maret 1951. Saat
ditugaskan ke Singkil Ia telah menikah lagi dengan Els Tindas.
Melangkah ke Panggung Politik
Selama 4 tahun bertugas
sebagai Kepala Paroki Singkil, aras pelayanan GMIM di kawasan Manado Utara ini
berkembang pesat. Ketika itu pimpinan di aras Sinode telah dikendalikan oleh
Pendeta pribumi pertama DS. A.Z.R. Wenas, mengantikan ketua Sinode sebelumnya
DS. HH. Herwerden (1937-1941).
Tugas-tugas Sinodal yang
harus diemban Pendeta Altius Adolf Mohede di aras wilayah tampak berjalan baik
dengan makin berkembangnya jumlah kolom di jemaat-jemaat yang baru berdiri. Pada
masa kepemimpinan Paroki, pemekaran atau penambahan kolom di tiap-tiap jemaat
dalam aras pelayanan Paroki dilakukan lewat pengesahan resmi oleh Kepala Paroki
atas nama BP Sinode GMIM.
Jemaat Nazaret Tuminting
yang berdiri di tahun 1933 yang hanya berawal dengan 20 Kepala Keluarga saat memisahkan diri dengan
pelayanan gereja Singkil, tumbuh menjadi 3 Kolom, meliputi Kolom Tuminting,
Kolom Sumompo, Kolom Tumumpa. Pengesahan
pendirian kolom di Tumumpa pada tahun 1946 oleh Pendeta A. Mohede yang tertulis
pada Buku Sejarah Jemaat Nazaret selaku Kepala Paroki Singkil Sindulang,
harusnya terjadi pada tahun 1947, karena mengingat tahun penempatan Pendeta A.
Mohede sebagai Kepala Paroki baru pada tahun 1947.
Kolom Jemaat Nazaret
Tuminting yang terletak di kawasan Onderneming Tumumpa dan Maasing itu pun
kemudian dimekarkan atas persetujuan Kepala Paroki, menjadi jemaat otonom yang
saat ini disebut Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, yang dimulai dengan 4 kolom.
Pengesahan Jemaat otonom bagi Torsina Tumumpa dilakukan oleh Pendeta Rondo
tahun 1949, dengan Guru Jemaatnya yang pertama Estefanus Takonselang.
Takonselang yang melepaskan tugasnya di Jemaat Nazaret Tuminting digantikan
Guru Jemaat Paulus Kawangung.
Sukses memimpin Paroki
Singkil Sindulang, pihak Sinode GMIM menugaskan Pendeta Altius Adolf Mohede lagi
pada tahun 1951 ke wilayah Serey, Likupang. Penugasan ke Likupang itu
ditampiknya karena ia telah bertekat untuk melangkah ke panggung politik.
Kariernya di bidang politik
pun mencapai sukses dengan beberapa kali menjadi anggota DPRD Tingkat I
Sulawesi Utara. Ketika menjadi anggota DPRD itu, Pendeta Mohede oleh BP Sinode
GMIM dinonaktifkan dari tugas-tugas kependetaan. Penonaktifan itu sebagai sikap
tegas GMIM yang tidak mencampur adukan agama (gereja) dan politik. Sebab,
gereja selaku keseluruhan harus menghindar dari aksi politik langsung. Komitmen
gereja (GMIM) adalah pada Injil yang kekal. Penegakkan integritas gereja
sebagaimana yang menjadi landasan GMIM itu dilaksanakan dengan penuh
kehati-hatian sebab bila tidak, gereja bisa saja keliru dan tak dipercayai
orang. Gereja tidak boleh memihak meskipun kepada pendapat mayoritas, sebab ini
berarti menentang minoritas yang loyalitasnya sama besarnya kepada gereja.
Tentang sikap GMIM yang
menolak mencapuradukan gereja dengan politik itu hingga kini relatif masih
tergambar dalam berbagai keputusan tingkat sinodal yang tidak memperkenankan
seorang pendeta atau pimpinan sebuah jemaat terlibat politik langsung. Bila
masuk ke partai politik seorang pendeta yang sedang memimpin suatu Jemaat atau
Wilayah harus meletakkan jabatannya atau dinonaktifkan dari tugas
kependetaannya. Integritas GMIM ini harusnya mendapatkan penajaman dan
intepretasi yang lebih lebar di masa kini dalam mensiasati kecenderungan
politik praktis yang mensasar gereja sebagai basis-basis dukungan kepentingan
politik. Pembangunan dan peresmian gedung-gedung gereja di bawah Sinode GMIM
apakah perlu mendapatkan pengawasan tersendiri dari bagian disiplin gereja? Apakah pantas dan
patut seseorang dalam kapasitas sebagai pimpinan Partai Politik melakukan
peresmian terhadap suatu gereja? Sebab dengan begitu, anggota jemaat yang dalam
realitas kesaharian sebagai pendukung partai yang berbeda apakah tidak
melakukan penolakkan?
Sebuah kenyaan yang tak terbantahkan
saat ini yang menjadi salah satu pemicu krisis kehidupan berjemaat di
lingkungan GMIM adalah adanya kegenitan di segelintir pimpinan-pimpinan jemaat
yang melakukan kontrak-kontrak politik praktis dengan para politisi meskipun
itu untuk kepentingan jangka pendek seperti dalam menghadapi momentum Pemilu.
Kegenitan semacam itu telah memerosotkan citra kekudusan gereja. Di sisi lain,
misi gereja di tengah lingkungan sosial masyarakat adalah menyatukan umat,
bukan membuatnya terkotak-kotak. Pentingnya penerapan disiplin gereja itu
karena Gereja tak boleh tunduk sebagaimana alang-alang yang mengikuti arah
angin. Kehati-hatian gereja ini pun bukan berarti mematikan eksistensi umat
dalam menyikapi perkembangan sosial kemasyarakatan. Kepelbagaian eksistensi
yang dimiliki umat merupakan karunia Allah baik bagi perseorangan juga bagi
gereja. Namun dalam konteks kepemimpinan sebuah aras pelayanan, GMIM sejak
kurun waktu awal berdirinya telah teguh berpendirian seperti visi dasar gereja
ini didirikan dimana tak akan terlibat langsung dalam politik. Ini sebabnya,
penonaktifan Pendeta Altius Adolf Mohede di tahun 1951 sebagai pembuktian
integritas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar