Sabtu, 06 Juli 2013

Pendeta Altius Adolf Mohede 1947-1951(Seri Tokoh Gereja Manado Utara)



Oleh: Iverdixon Tinungki

Setelah Pendeta Rogahang mendapatkan tugas pelayanan di jemaat dan Paroki yang baru, Ketua BPMJ Bethanie dan Kepala Paroki Singkil digantikan oleh Pendeta Altius Adolf Mohede. Ia bertugas sejak  1947 hingga  1 Maret 1951 atau dalam masa 4 tahun pelayanan.
Ketika ia bertugas, nama Paroki Singkil pun berubah menjadi Paroki Singkil Sindulang. Hal tersebut disebabkan, gereja Singkil yang menjadi pusat Paroki tak saja memiliki kolom di kawasan Singkil, Pancurang, Tuna, Wawonasa, tapi telah melebar hingga ke kawasan Sindulang dan sekitarnya. Di sisi lainnya, secara historis penyebutan  Singkil Sindulang adalah sebuah kesatuan dalam sejarah pelayanan kekristenan mula-mula di pesisir ini.
Ketika hendak menulis kisah kehidupan dan pelayanan Kepala Paroki ke tiga ini, penulis diingatkan pada sebuah buku menarik karya Richard Gutteridge “Open Thy Mouht for the Dumb” (Bukalah mulutmu demi orang bisu). Dalam buku itu Gutteridge melukiskan bagaimana keikutsertaan orang Kristen dalam komplotan anti-semitisme Jerman. Kala itu gereja agaknya bersekutu dengan Gerakan Sosialisme Nasional (Nazi) dalam mensahkan ras Aria yang puncaknya pada tahun 1933 dikeluarkannya undang-undang pembersihan terhadap orang-orang non Aria oleh rezim Hitler.

Mengapa Gutteridge meneriakan keberpihakan kepada orang-orang Yahudi yang dimetaforkannya sebagai orang-orang bisu akibat penindasan itu? Karena ketika itu gereja hampir tidak pernah menyatakan keberatannya terhadap undang-undang yang mengerikan yang melegalkan pembunuhan dan penindasan terhadap orang Yahudi. Hanya Karl Bard dan Paul Tillich yang berani bangkit melancarkan protes. Karl Bard menyatakan kekajaman anti Yahudi itu sebagai dosa terhadap roh kudus dan penghianatan terhadap kasih setia Allah. Manusia yang diciptakan Allah segambar denganNya, dalam pengertian manusia yang di dalamnya terkandung citraan Allah yang kudus telah ternista oleh kekejaman suatu sistim politik yang menghancurkan.
Meski kisah yang diutarakan Richard Gutteridge di atas sebatas memapar kegagalan gereja dalam mengembangkan kritik alkitabiah guna menentang rasialisme, tapi semangat yang diteriakannya itu telah membangkitkan kesadaran umat Kristen dunia untuk bangkit menentang ketidak adilan pada masa-masa perang dunia II dan di kurun kemudian. Pada tahun 1943 konferensi pemimpin-pemimpin gereja Lutheran mengambil keputusan untuk menyerang pemerintah Nazi atas kekejaman anti Yahudi. Gerakan-gerakan gereja dalam menentang penjajahan pun bangkit di mana-mana terutama di tengah bangsa-bangsa  yang sedang berjuang memerdekakan negaranya.
Sejak tahun 1933 di tanah Minahasa umat Kristen menyadari pentingnya mendirikan gereja perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda yang dinamakan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). Sementara GMIM yang baru berdiri pada 1934 yang lebih mematok prinsip tidak mencampuri urusan politik Negara bukan berarti tinggal diam. Sejumlah pelayan dan tokoh-tokoh GMIM ketika itu terpanggil bahkan terlibat aktif dalam kancah perang kemerdekaan.
Altius Adolf Mohede adalah salah satu pendeta GMIM yang ikut mengangkat senjata untuk memperjuangkan kemerdekaan negara. Sebuah kesadaran kritis seorang pemimpin Kristiani yang tampil mengupayakan hal-hal yang benar di hadapan Allah sebagaimana tuntutan zaman. Ia tidak tampil berperang untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak pula tampil untuk berpihak pada kepentingan gereja semata. Tapi ia berperang untuk menegakkan tugas panggilan Allah dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendeta Altius Adolf Mohede, dilahirkan di Ulu Siau 2 Februari 1908. Setelah lulus dari sekeloh kependetaan Stovil Tomohon, langsung ditempatkan memimpin jemaat di Langoan tahun 1934. Kemudian ditugaskan ke jemaat Noongan. Pada Mei 1940 di tugaskan membawa misi pekabaran Injil dari GMIM ke daerah Riau, Tanjung Pinang. Lalu ditugaskan lagi ke Negara Singapura. Dari Singapura kemudian dipindahkan ke Bogor  untuk melayani  jemaat-jemaat yang merupakan orang-orang Belanda, pada masa pendudukan Jepang.  
Pada saat menjalankan tugas di Bogor masa perang kemerdekaan ini, pendeta Altius Mohede terpanggil mengangkat senjata ikut berjuang  memimpin pasukan bersenjata KRIS Bogor Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, mendampingi Kolonel Alex Kawilarang. Dalam perang itu, ia pernah ditahan oleh tentara Jepang pada masa pendudukan. Pada masa penahanan itu, istrinya Paulien Saerang meninggal dunia. 
Dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yakni pada tahun 1947 Pendeta Altius Adolf Mohede kembali ke medan pelayanan, oleh GMIM ditugaskan menjadi Ketua BPMJ Bethanie sekaligus Kepala Paroki Singkil Sindulang hingga  1 Maret 1951. Saat ditugaskan ke Singkil Ia telah menikah lagi dengan Els Tindas.

Melangkah ke Panggung Politik
Selama 4 tahun bertugas sebagai Kepala Paroki Singkil, aras pelayanan GMIM di kawasan Manado Utara ini berkembang pesat. Ketika itu pimpinan di aras Sinode telah dikendalikan oleh Pendeta pribumi pertama DS. A.Z.R. Wenas, mengantikan ketua Sinode sebelumnya DS. HH. Herwerden (1937-1941).
Tugas-tugas Sinodal yang harus diemban Pendeta Altius Adolf Mohede di aras wilayah tampak berjalan baik dengan makin berkembangnya jumlah kolom di jemaat-jemaat yang baru berdiri. Pada masa kepemimpinan Paroki, pemekaran atau penambahan kolom di tiap-tiap jemaat dalam aras pelayanan Paroki dilakukan lewat pengesahan resmi oleh Kepala Paroki atas nama BP Sinode GMIM.
Jemaat Nazaret Tuminting yang berdiri di tahun 1933 yang hanya berawal dengan  20 Kepala Keluarga saat memisahkan diri dengan pelayanan gereja Singkil, tumbuh menjadi 3 Kolom, meliputi Kolom Tuminting, Kolom Sumompo, Kolom Tumumpa.  Pengesahan pendirian kolom di Tumumpa pada tahun 1946 oleh Pendeta A. Mohede yang tertulis pada Buku Sejarah Jemaat Nazaret selaku Kepala Paroki Singkil Sindulang, harusnya terjadi pada tahun 1947, karena mengingat tahun penempatan Pendeta A. Mohede sebagai Kepala Paroki baru pada tahun 1947.
Kolom Jemaat Nazaret Tuminting yang terletak di kawasan Onderneming Tumumpa dan Maasing itu pun kemudian dimekarkan atas persetujuan Kepala Paroki, menjadi jemaat otonom yang saat ini disebut Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, yang dimulai dengan 4 kolom. Pengesahan Jemaat otonom bagi Torsina Tumumpa dilakukan oleh Pendeta Rondo tahun 1949, dengan Guru Jemaatnya yang pertama Estefanus Takonselang. Takonselang yang melepaskan tugasnya di Jemaat Nazaret Tuminting digantikan Guru Jemaat Paulus Kawangung.
Sukses memimpin Paroki Singkil Sindulang, pihak Sinode GMIM menugaskan Pendeta Altius Adolf Mohede lagi pada tahun 1951 ke wilayah Serey, Likupang. Penugasan ke Likupang itu ditampiknya karena ia telah bertekat untuk melangkah ke panggung politik.
Kariernya di bidang politik pun mencapai sukses dengan beberapa kali menjadi anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Utara. Ketika menjadi anggota DPRD itu, Pendeta Mohede oleh BP Sinode GMIM dinonaktifkan dari tugas-tugas kependetaan. Penonaktifan itu sebagai sikap tegas GMIM yang tidak mencampur adukan agama (gereja) dan politik. Sebab, gereja selaku keseluruhan harus menghindar dari aksi politik langsung. Komitmen gereja (GMIM) adalah pada Injil yang kekal. Penegakkan integritas gereja sebagaimana yang menjadi landasan GMIM itu dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian sebab bila tidak, gereja bisa saja keliru dan tak dipercayai orang. Gereja tidak boleh memihak meskipun kepada pendapat mayoritas, sebab ini berarti menentang minoritas yang loyalitasnya sama besarnya kepada gereja.
Tentang sikap GMIM yang menolak mencapuradukan gereja dengan politik itu hingga kini relatif masih tergambar dalam berbagai keputusan tingkat sinodal yang tidak memperkenankan seorang pendeta atau pimpinan sebuah jemaat terlibat politik langsung. Bila masuk ke partai politik seorang pendeta yang sedang memimpin suatu Jemaat atau Wilayah harus meletakkan jabatannya atau dinonaktifkan dari tugas kependetaannya. Integritas GMIM ini harusnya mendapatkan penajaman dan intepretasi yang lebih lebar di masa kini dalam mensiasati kecenderungan politik praktis yang mensasar gereja sebagai basis-basis dukungan kepentingan politik. Pembangunan dan peresmian gedung-gedung gereja di bawah Sinode GMIM apakah perlu mendapatkan pengawasan tersendiri dari  bagian disiplin gereja? Apakah pantas dan patut seseorang dalam kapasitas sebagai pimpinan Partai Politik melakukan peresmian terhadap suatu gereja? Sebab dengan begitu, anggota jemaat yang dalam realitas kesaharian sebagai pendukung partai yang berbeda apakah tidak melakukan penolakkan?
Sebuah kenyaan yang tak terbantahkan saat ini yang menjadi salah satu pemicu krisis kehidupan berjemaat di lingkungan GMIM adalah adanya kegenitan di segelintir pimpinan-pimpinan jemaat yang melakukan kontrak-kontrak politik praktis dengan para politisi meskipun itu untuk kepentingan jangka pendek seperti dalam menghadapi momentum Pemilu. Kegenitan semacam itu telah memerosotkan citra kekudusan gereja. Di sisi lain, misi gereja di tengah lingkungan sosial masyarakat adalah menyatukan umat, bukan membuatnya terkotak-kotak. Pentingnya penerapan disiplin gereja itu karena Gereja tak boleh tunduk sebagaimana alang-alang yang mengikuti arah angin. Kehati-hatian gereja ini pun bukan berarti mematikan eksistensi umat dalam menyikapi perkembangan sosial kemasyarakatan. Kepelbagaian eksistensi yang dimiliki umat merupakan karunia Allah baik bagi perseorangan juga bagi gereja. Namun dalam konteks kepemimpinan sebuah aras pelayanan, GMIM sejak kurun waktu awal berdirinya telah teguh berpendirian seperti visi dasar gereja ini didirikan dimana tak akan terlibat langsung dalam politik. Ini sebabnya, penonaktifan Pendeta Altius Adolf Mohede di tahun 1951 sebagai pembuktian integritas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar