Jumat, 05 Juli 2013

PUISI TENTANG SITARO KARYA IVERDIXON TINUNGKI



DALAM KLIKITONG

dalam klikitong kutemukan pulau
telah lama terkubur
darah lelaki mengalir bagai arus
memecah di mata samudera
 terus mendekap ombak tua
di pesisir itu

ombak tua itu mendebur seluas ingatan
bagaimana batangbatang sejarah menegak
di tengah bunyi berdejakdejak

semacam derap dayung
selalu pulang dengan kisah kemenangan


tapi yang tersisa di pulau ini
hanya kisah lusuh kerajaan masa lalu
tentang kemaharaan pala kejayaan korakora
kini bernanah di atas bendera kemerdekaan palsu

tak hanya lelaki
perempuan pun menari
menari di tengah irama langit berkelindan ini
seperti lava terlontar ke atas barisbaris sajak
melahirkan api

lalu, kemana para lelaki pemberani
di tengah harga diri tergadai seharga anak babi

bila bunyi klikitong ini kian merancak
bukankah jantung leluhur api di kepundan pulau
memuncak membariskan ledakanledakan
sebagai ingatan perang sesungguhnya belum berakhir

dan harus dimulai
buat meraih kemerdekaan sejati

*) Klikitong: musik tradisonal warisan tradisi dari masa Kerajaan Siau.




BATU HAKI

berlayar ke utara
mendaki sasahara
ketemukan ombak
tebing  batu
sebilah bara

perahu naga
berlayar di masa lalu
melabuhi masa kini
menjumpai pedang itu
dan medan perang yang sama

laut selalu mengasah ketajaman
naluri manusia pulau sejak dulu
seperti batu bersusun tak luluh pada gemuruh
taufan abad
juga sejarah arusnya

di sini hitam bukan mati
kendati pertarungan hidup
tajam seperti belati

*) Sasahara: Budaya Bahari  Nusa utara
*) Bara: pedang perang
*) Batu Haki: Tebing dari susunan batu hitam yang keras


ANTARA SOMBA OPU DAN ULU

pada sebuah masa
badik dan bara sama terancung
seperti pinisi dan kora si kembar gagah
menakluki samudera maknamakna

aku masih memikirkan kelincahan paraga
lentik pakarena
ketika lintalinta  di liang parit
telah lama gemuk oleh darah laut kita

dari saman ke saman
samudera menabuh keberanian
tapi sejarah ditulis kini
menyobek laut hingga mantramantra
menjadi renta, tiang layar patah
diterjang titahtitah penguasa

antara Somba Opu dan Ulu
ku asah rinduku
hingga ketajaman ini meruncing
dalam badik bara
buat sebuah laga
di arena negara sebenarnya


SUATU KETIKA DI ULU

kali tawar itu  mengalir di matamu
bersama bau keringat tergelincir ke laut
mengendap jadi lumut
mengeruh asin ombakmu

aku melihat kebun pala tak bernama
pada pinggang gunung bergetar
orangorang pucat di dermaga
lelakilelaki melepas asap rokoknya
jadi gumpalan mega
menambahkan biji banjir
turun mengilas
semua doa di tepi langitnya

di sana seketika aku memandang
pedagangpedagang asing mengusai kota
telah lama mereka seperti kepompong
menjelma kupu
terbang indah ke segala pelosok nilai
dihisapnya jadi remah

kau menggeliat laiknya belatung
di antara bau bacin keringat amis

ketika Karangetang menggelegar muntah
api amarah itu mengapa kau simpan di saku celana
lalu berbaris seperti serdadu kala perang
menuju liang kematian
kau gali sebegitu tenang

ataukah di sini sejarah tak lagi dibaca
ketika dibengkokkan pun engkau mangut saja

saat aku berangkat meninggalkan kamar jagal
kulihat pulau setinggi seagung itu menggelepar
dalam jaring kering maknamakna
ditebar sebarisan setan



PESISIR BALEHUMARA

tuanglah samudera ke dalam gelas hingga penuh
biar kusesap nyeri ampas sejarahku, juga sejarahmu

Balehumara dan bau bidadari turun dari perahu
dengan derap penari istana kembang melati
bibirnya ranum muram masa lalu

di depan, pulau Ruang mengapung. ada jejak pisau
darah hitam mengguris di kening laut tua itu

ketika sisa panoramic memapar sisi abadi dari ingatan
berkata:  di sini langit selalu  tenang menghapus merah senja
menidurkan pasir lelap diusap debur ombak
begitu nelayan belajar ikhlas itu bukan kalah

lalu menyembur harum Roa di asap panggang perapian
juga derak bunyi kayu bakar menjelma renung masa kini
bukankah api berkobar itu setua usia pesisir ini
jala dirajut dulu, kini masih ditebar hingga ke mimpimimpi

setidaknya kini antara luka pisau dan laut
kutemukan ruhku sendiri
menimang bulan sabar
membuka barisbaris cahaya.
sehari seinci
hingga purnama dulu
 menyatu di bulat purnama hari ini

*) Balehumara: Nama sebuah kampung di pesisir pulau Tagulandang. Dulu adalah pusat kerajaan Tagulandang.


BILA LAUT ITU IBU
ibu selalu bangun lebih pagi sebelum matahari
sebelum adzan subuh menggemah
sebelum Tuhan lebih dulu terjaga oleh doanya
kendati semalaman, aku menyusu semua kisah di lengannya

seperti perahu korakora tak takut pada ombak
ibu adalah  lunas dan tiang utama
kokoh kerena air mata

arus samudera tak membuatnya letih
sekali terpacak, kemudi harus diarah dengan cakap
dalam angin mati pun korakora harus bergerak pergi

“bila laut itu ibu, siapa anaknya?”

ombak nusa utara pecah di hatiku
laguannya mengikuti jiwaku
dalam cabikancabikan Klikitong
 menuruni gunung menuju pernikahan langit
dengan gemuruh laut dalam sajakku

“aku anakmu,” ujarku pada mata hati  tak kan beruban itu
abadabad tak membuat ia tua, karena uban tak membuat ia rabun
 pagi dan senjanya adalah gelombanggelombang abadi
menjemput korakora dalam barisan sajak ini berlayar kembali

*)Klikitong: Musik tradisional Sangihe dalam pesta syukur. (Siau).




SELAMAT PAGI CINTA

sepagi ini aku menyaksikan nuri tertawa
ketika hatiku ingin mengucap: Selamat pagi cinta!
aku pun telah menyetel lagu Ilahi buat mengenang malam indah
saat sayapsayap cinta membawaku menyentuhi bintang

tak ada kesuraman hati ketika itu
semuanya sempurna seperti pengantinan hati
dua manusia berbagi langka meraih pagi
bagai penyusun bata menutupi bilik rumah
buat rindu berebah

aku telah memainkan beberapa lagu pada piano hatiku
hingga air itu menetes di tepi matamu menjadi samudera
dimana rahasia hati berenang mengikuti arus
hingga tiba pada sebuah benua
kita rangkai sendiri
dengan hati kita

kamu pun selalu menyusun canda
mengisi keindahan taman kutata dengan sabar
saat pagi ini kulihat beberapa bunga menyembul
hatiku ingin mengucapmu: selamat pagi cinta!
biar hatimu tak sekadar menangkap wangi dari kata
tapi wangi semesta rasa memucuk di mekaran bunga

besok atau lusa aku akan mengelanai laut
buat bertemu keluhuran utara
pulaupulau fasifik agung berombak
menyinggahi dermaga perbatasan hingga menembus Filipina

inilah tanahku, samudera luas seperti hatiku
selalu menunggumu bersampan
di pucuk ombang tak pernah letih
selalu bercinta merindu
dalam deburan kuat menghempas resahku

“tapi siapa memahami laut, selain anak laut itu sendiri”

kawanan lumba akan berpacu dengan perahu
burungburung laut di atasnya dengan sayapsayap lebar kuat
seratus ribu ton kawanan palagis melintasi arus utara
seperti gambar tua di negerinegeri terlupa

aku ke sana buat menuliskannya lagi
harapan di mata sederhana manusia pulau
mereka yang tenang di tengah ladang umbiumbian
pala nyiur melambai pada syair lagu kebangsaan
selalu dihafalkan pada anak sekolahan
tapi lupa diingatan pemimpin bangsa
karena kekuasaan membutakan aksara
pesan terindah dari semesta

selamat pagi cinta!
pulau Marore, penduduknya kurang dari 1000 jiwa
aku memandang pulau Balut Filipina yang megah
jaraknya tak jauh, layaknya sepelempar cintaku ke nafas di hatimu

penduduk di sini semuanya nelayan
kecuali beberapa lelaki mengenakan baju serdadu
menjagai pulau terluar kita agar tak senasib Sipadan Ligitan

maukah kau terus menjagai cinta kita
kerena kedaulatan hatipun harus dibela dengan penuh kehormatan

aku harus mengarungi ratusan mil laut
buat merekam tawa sekaligus airmata di wajah nusa utara ini
mereka selalu mempiaskan senyum
di tengah dusun yang sesungguhnya betapa merana

moga aku punya waktu lagi memainkan beberapa lagu di piano itu
bersama syairsayair gunda di pucuk ombak hatiku
menghempas mendebur seperti nusa utaraku yang risau
buat menyalamimu dengan indah:
selamat pagi cinta!


BEONG
bau semak  pakis harum musim hujan
berkesiuran di jazirah perkebunan pala
jalanan mengelok  kemana sampainya

desa di ketinggian gunung ini
seperti juga desa lain
tanah air yang kaya
mengapa jejak riang anakanak
kisut retak di atasnya

cahaya menerobos lengan langit
tiba di sini menjadi permainan kabut
anakanak itu menanak darahnya
pada merah kornea yang selalu dingin
desa itu menggigil
sejarah kini menikam tanah ini
hingga bernanah

begitu curam menebing sisisisi pulau
seperti peperangan kerajaan dulu
tak jua berbuah kejayaan kini

kecuali akar pala mengikat batu
buat kenangan tak tertimbun
seperti sejarah setiap manusia punya masa lalu
mengakrabi becek semak kemalangannya

di sejejeran pemandangan
tinggal remah tersisa di mata
di petik di buah airmata


*) Beong: desa perkebunan pala di pulau Siau.


 

RENUNGAN PESISIR

di mendung menggumpal ini
aku ingin mengajakmu menari
memanjati langit
mengadukan isi hati

samudera seperti rambutmu
lebati kibaran cinta
perahuperahu hanyut
karam di pesisir matamu

desah pasir digeser arus
ombak di kedalaman hatimu
dapatkah berdamai dari seteru
kendati peperangan abadi terus menderu

aku berenang pada musik kau petik
lalu terhempas di atas karangkarang tajam
begitu kukuh waktu memisahkan
sebegitu pula laut dan pesisir
sepasang mempelai terlerai
saling meraih berbisik
memar di bibir tasik

aku bermimpi ada gelombang pasang penuh
menyaput daratanku
aku tenggelam dalam geloramu
tertimbun airmata keharuanmu
abadi menjadi lantai samuderamu

di kabut ini
ternyata aku tak pernah tidur
menunggui waktu
tebing ini runtuh di pesisir hatimu




MENGHIDU KENANGAN

yang asin di wajah anak pulau debur ombak
masa kecil mengerami mimpi
bisakah langit tertinggi diraih
dengan jerih payah sendiri

di langit nasib menetas bagai bui
kisah arus menabrak karang mengabadikan tanjung
buat perahu memilih jalan dan kelokannya

begitu kukenang  tanah laut nusa utara
di harum putik bunga pala, semesta berbagi arah

maka kukayuh sajaksajakku menghidu silam itu
gendang sejarah menabuhi gelisah tepi pesisirnya
kami menari, anak lelaki dengan pedang dan belati
mau menikam senja yang mau pergi
menenggelami mimpi


SASAHARA

laut seuntaian sajak bijak
di pijar gelombang
mengguncang murung
hidup itu pelayaran

di kedalaman luasnya
nilainilai berkelindanan
yang bertahan
dan mereka yang karam

mulailah dari syair perahu
ada buritan  haluan
kapal pun demikian
hidup bukan tanpa tujuan

setingginya burung beterbangan
sesekali menukik mencari titian
melepas perjalanan langit
kerena laut  pun berbagi pulau ribaan

di deras arus menghanyutkan batang
terhempas hanya mereka yang bimbang

lihatlah hikayat kedalaman adalah airmata
surga rahasia terletak dikemauan kita menyelaminya


*)Sasahara: tradisi sastra laut orang Nusa Utara.



MALAM AKHIR TAHUN DI ULU

ledakan meriam bambu di selah hutan
harum kebun pala di malam
riasan cahaya kunangkunang
berpuluh tahun aku tak lagi bersuah
pesta tahun baru di Ulu

lonceng seratus di menara gereja tua
memperdamaikan hatiku dengan masa lalu
yang lama beku

barangkali kau memanggil
puncak gunung berselimut pijar api
aku telah sampai di kepundan semangatmu

kecuali pesta kembang api
petasan dengan bunyi yang mengguncang
datang mengabar peperangan saman
yang berbeda di mata cucu pertamaku

desa bertuah di pulau cincin api ini
lima ratus lahun lalu moyangku membangun kedatuan
bulan tersenyum di langit memancar dena sejarahnya
lesap ke tanah menjadi nanah

barangkali kau tak memanggil
puncak gunung berselimut bencana
sejauh ini aku terasing di kampungku sendiri
mengapa?

merconmercon meledak
membakar hatiku bersama semua kenangan indah masa lalu
tentang orangorang dusun santun berbalas tahlil dan mazmur
mensyukuri kurnia langit bagi hari bulan dan tahun
merekah seindah pagi tersentuh matahari di mata lautmu

kini para priyayi dan pemabuk menari sembari bernyanyi
di tengah orang desa gemetar melukis  masa depan
di atas tanah tak lagi jadi miliknya





KESUNYIAN PULAU

telah kulapangkan hatiku
ketika burungburung berterbangan itu
membawa pergi kekasihkekasih fiksi
pada semua syair pernah kusuji
di langit, tanah, dan samudera ini

aku telah menikah kesunyian
kesunyian, kekasih yang sabar menjaga

aku tak menanti kabar kamu datang
datanglah bila kamu mau menikmati kesunyianku

di sini ombak dan kabut menderu
cericit burung yang samar
di bawah angin jauh dari langit sana
meneguhkan bayangan malam selalu suram

pulau ini tanpa tuan kecuali Tuhan
mengakrabi pagi senja memuncak di kekosongan

sekali tak menanti, tak perlu lagi bermimpi meraih
pulau ini telah berdiri kukuh
di tengah samuderanya sendiri


SASALILI

lahirlah segala yang mau bertemu
langit tak menahan kecuali berbagi cahya
meluaskan daun mencari hijaunya
nafas bersua hangat di pucuknya

bila kau mengucap Nusa Utara
ingatlah airmata tradisi
panji mengibar haru
karena hati harus mengerti
bumi berwarna putih
sejak lahir hingga mati

di tengah bunyi gerendam tambur
syair tua itu melehkan getah darah
ke dalam jiwa
hidup adalah gunung tinggi
temukanlah pendakianmu
maka lembah jelas terlihat
dan kau dengar suara makrifat

*) Sasalili: tradisi darat masyarakat Nusa Utara.




PADA SEBUAH SENJA DI SUMPELE

bila senja berakhir sebagai senja
bayanganbayangan lesap seperti tiada
apalah yang ditiris harapan kau hampar
di gambar bulan menggantung
di cabang kering tak bernama

menyerah pada kesiasiaan 
tak berarti kau kalah meraih kemenangan

lihatlah bukitbukit di tebar samudera
bukankah langit bumi mau menguji
mendaki tergelincir kau harus memilih

bijibiji hitam kecil
menumbuhkan pohon kenari hutan
lebat  kokoh menawarkan pemandangan

bukan ribuan hektar kau bajak lebih bermakna
dibanding sebatang pohon kecil
kau rawat dengan sayang

yang tumbuh itu
hanya sesuatu
yang kau
percaya




BAU GARAM  DI LAMANGGO

aku mencium bau garam di Lamanggo
mencium pesan samudera di matamu
betapa luas bentang tantangan
di sini hidup tak lain mengasah keasinan

aku tiba di malam kental oleh cerita laut
bulan bundar bertengger di langit pulaunya
menerawang cahaya di pucuk bakau isyaratkan  risau
melaburi perjalanan anakanak gelombang ke pulau

perahu dan kapal melabuh di Sawangino
juga cerita seberang bau parfummu
menerbangkan tekukur ke padang ilalang
hilang di balik gersang desa nelayan

kota dan kampung selalu berbeda
tak saja warna, juga nasibnya

nelayan berburu ikan terbang
memasang jaring di tengah malam
kutangkap dendang mereka
terjepit karang, tertampar ombak
pecah bagai butiran garam


KETIKA TEKUKUR PERGI

barisan tanjung di telukteluk ini adalah Biaro
tanah kolokolo dengan kisah pekur tekukur

ketika tekukur pergi
bijibiji hitam matang gugur sendiri
betapa sepi laut melipat bumi

aku melihat sepi di sepanjang padang karang
alangalang menguning di bawah batang pandan

“tekukurku dimana kau kini
kurindu pekurmu di malam murung”

jauh cintaku bersembunyi
di barisbaris bukit
di  barisbaris laut
di barisbaris kenangan


MALAM DI PANTAI BUANG

serupa perahu
rindu mengapung
mendebur dan asin

pasir menggigil, sepi bertaring
menguliti jejak matahari kemarin
mengkilapkan rambutmu

berapa waktu aku tak bertemu
kecuali bertemu sepi selalu itu

di pucukpucuk ketapang gelap
deru perahu melintas
deru hati menetas
terbang bersama meteorit
lenyap di ladang samudera
gulita dan senyap

malam selalu runtuh
dalam ingatan
tentang matamu


LAUT ADALAH DIRIKU

(sebuah perjalanan pulang
dari Pulau Biaro)

masih seperti sediakala
laut adalah jendela
membiarkan malam
menyempurnakan kegelapan

di tengah kegelapan
kutemukan bayang diriku
didekapnya dalam gelombang
aku tak kehilangan asinnya

masih seperti sediakala
laut adalah hati
membiarkan cahaya
di bingkai dini hari

dalam cahaya
kutemukan hatiku
ia menuntunku
bertemu masa lalu

andai masa lalu itu manis
getir hari ini sempurna kusesap
bersama butiran garam
mengalas perjalanan terus ke depan

masih seperti sediakala
laut adalah diriku
rahasia yang dalam kau benam
dimana antara arus dan gelombang
yang pecah adalah
maknamakna ketenangan dan geram


LEMBAH SIWOGHI

kabut turun di Siwoghi
di perempatan waktu mendaki
sebuah prasasti memahati senja di Buha
orangorang dusun
menyeberangkan mimpi

andaikan pucukpucuk Daihango
berbunga putih seputih puisi
ia akan melukisi teduh lautan
tegar merendam ombak
kristal garam

antara mimpi dan keteduhan
lelakilelaki selalu turun mendayung
di kaki gunung mencuram ini
sebijak penempah sejati
membentuk cekung langit
segaris pelangi

kabut pun turun melumat airmata
menjadi bintik kisah
entah kemana senja membawa
pesan yang dirajutnya

dan seperti kamu, aku mau menulis;
“dalai abekaroro, mapia kadeho”
(jahat jangan berhinggap, baik biarlah bersinggah)

di setiap lembar airmata yang memar
aku mencari muara di balik langit memerah


BUNGA GANOPE

serimba apapun pengelanaan
aku selalu tiba pada mekarmu
pulaupulau dengan halaman tanah berbatu
menumbuhi Ganope di jejak perahu

pulaupulau selalu indah
taburan warna sederhana
bungabunga Ganope merimbun
memanggil hujan melintas khatulistiwa
turun di pelepah sagu

ketika itu anakanak akan bermain dengan lugu
seperti Ganope berbagi wangi kau hidu
di bawa perahu ke semua ujung waktu


PANTAI BUHIAS

cintaku beri aku tinta dan pena
buat menulis kilau tawa  nelayan
usai menjaring kegembiraan di luas samudera

mereka kekasih laut
yang terus menempah ombak
dalam hidupnya

pantaipantai berias kecantikan
derap dayung dan mesin
selalu melabuh seperti nyanyian
di unggun kehidupan

laut yang garang berbagi teduh pagi ini
bayangan mahkota karang
tampak di mata langit bening dan terang

aku menemukan pasir dengan jutaan jejak
yang pergi dan kemari
menyempurnakan laut mengapungkan perahu
yang selalu tiba di pantai hidupku


MINANGA

di Palangka pohon randu tumbuh dan rentah
memandang bulan sore terbit di Bongkongkaka

tujuh bukit menangis mengalirkan air sungai Minanga
buat kekasihnya, teluk yang menyaga

hatiku bersampan di kebeningan kisah Sinandiri
gadis yang terus bernyanyi di teluk menanti kekasih

di tengah kampung orang mengali akar batu Minanga
menemukan Minanga menjalar dalam darahnya

sebuah pelabuhan telah berdiri
melabuhkan sejarah pelayar
mencari Sinandiri hingga ke bukit Siwowi

di puncak Fandorong langit begitu bersih
melukis legenda kekasih yang sepi sendiri



NELAYAN BIARO

mereka telah biasa
menghitung bulat purnama
bagai memutar jantera
di pasang surut hidup

mereka telah biasa
menaru musim di hati
ditisiknya sendiri
buat penat berhenti

padang nelayan adalah kelapangan dada
menerima waktu dan kisahnya
hingga tiba isyarat tak saja beban
riang pun pergi

kecipak air laut pada kayuhan dayung
mengisahkan asin yang sama
kecuali derai tawa, seperti ombak
punya waktu memecah dan redah

mereka telah biasa
mendengar kabarkabar
penghiburan mengibar kebohongan
kepalsuan
tetang nasib nelayan digadai
tak pernah bersampai
kecuali laut biru sabar
menaikan pasang, merebahkan surut
mengajari hidup tak perlu berebut

mereka telah biasa
menjinakkan daya kehidupan
dengan nyanyian berabadabad
dinyanyikan dengan kesabaran yang sama


MENYUSURI HASI

akan kunamai setiap pesisir
sambil menandai musim
kapan arus dan angin kembali
hingga tujuan dan waktu punya peta
dan makna sendiri

di usia perjalanan jelang senja
aku menemukan barisbaris lithany laut
pada perahuperahu mengapung

dari pulau ke pulau mereka berlayar
hingga pelayaran menjadi kekal
dalam hidup mati

ya Allah maha nangkhoda
telah Kau tetapkan hidup
adalah pelayaran

di laut yang kususur ini
kususur pula jalan
menuju dikau



MEMANDANG PULAU RUANG

pada jazirah batubatu hitam
dan pasir yang legam
kucium bau api yang geram

di sini berabadabad lahar selalu mengalir
tapi berabadabad hidup tak kalah mendesir

di pantaipantai Laimpatehi dan Pumpente
nelayannelayan membangun perahu merajut jala
siapa mengajar daya bertahan selain Tuhan
dimana hidup tak boleh menyerah

dan aku memandang orangorang terus mendayung
di depan pulau dengan gunung puncaknya terpancung
dalam semangat tak pernah murung


DI PERKEBUNAN BOWOLEU

di perkebunan Salak Bowoleu
aku menimba manismu

tak lagi kupikir duri merimpang jalan
sebab cinta selalu menemukan pulang

aku terpana pada ketiak daun
yang memunculkan tongkol
dengan selindris bunga
mari kawinkan lagi hatiku

di sini kumbangkumbang bijak
menjalani ritus alam
menikahkan serbuk sari
menjadi buah yang sepat
tapi denganmu hidup terasa lengkap

di bawah atap palma ini
bagaimanapun asamnya hidupku
cuma padamu cintaku merimbun


KARANGETANG

di sini langit menghunus rindu
hingga kemana pun aku merantau
akhir perjalanan selalu tiba di kepundanmu


MITOS ADITINGGI*)

kepundan magma menetas ayam merah
lava pun memijar bagai bunga
di atas, di ketinggian kepercayaan moyang

api dan abu akan turun di lembah manusia
karena kita alpa memerangi lupa
ada gunung lebih tinggi dari ketinggian hati kita
ada langit lebih luas dari cakrawala pikiran kita

menjangkau yang tinggi harus dimulai dari nurani
karena hidup seperti gunung pendakian nilai
yang mencapai puncak hanya hati penuh derai

lalu kapan ayam putih mengepak sayap awannya
kepada siapa kita bertanya, bila bukan pada diri semata
adakah cahaya di kedalaman benak kita
hingga tak sesat berjalan di rimpang hidup penuh onak

begitulah di tengah alam yang sabar mengajar ini
kutemukan ajaran moyang 
tak ia letakkan Tuhan di puncak gunung
tapi menaruhnya di kedalaman hati
menyatu dengan diri
hingga mata hati melihat Tuhan setia mengiring

*) Aditinggi: Dewa tertinggi dalam kepercayaan purba suku bangsa Sangihe yang mendiami pulau Siau. Dewa ini konon selalu muncul di puncak gunung Karangetang dalam bentuk ayam merah  petanda bahaya dan ayam putih petanda baik.


SURAT CINTA DARI LAUT

aku ingin mengirim gelobang padamu
hingga kau belajar menimba arusku, cintaku

karena di laut aku selalu memburumu
di balik bulan yang murung
langit tiada letih mengarung
hingga labuh dibau gaharu tubuhmu

cintaku
bila bisa berbagi airmata yang asin ini
kau akan mengecap samudera

cinta semata tenaga penggerak lautan
hingga kapal dengan bijak mengarah haluan
pagi dan malam bukan penghalang
untuk tiba diribaan sayang

kukirim kau sayang
perasaan yang mengibar
bagai selendang awan
karena laut selalu berangin
raih dinginku yang selalu
rindu dekapmu


DI BUKIT PASIR RUANG

di bukit pasir pulau Ruang
anak Maleo menggali jalan menuju hutan
hutan telah habis dibabat orang

ia terbang ke langit mencari induknya
di langit Elang mengintainya

ia kembali ke liang pasir yang menetaskannya
tapi tak ditemukanya rumah baginya
kecuali desis ular terdengar lapar
di balik gundukkan semak liar

di iris matanya yang merah kecoklatan
kubaca isyarat gelisah tergenang bagai lautan
jambulnya mengeras, paruhnya berwarna jingga
membayangkan kenyamanan hidup di dalam cangkang

tapi sekali terlahir pilihan tinggal hidup atau mati
ia pun terbang ke sana ke mari menandai benua
di atas peta panas kawah yang bergerak membentuk lava
mahluk fana, akan mengerti dimana hidup tak lain
padang pertarungan penuh luka nestapa


KISAH PELAUT TUA

(dalam pelayaran dari Buang ke Sawangino
Bersama Opa Hersen)

ia bercerita tentang kekasihnya laut
dengan bau garam merebahkannya di malam
tahuntahun percintaan sarat pelayaran
seperti perempuan katanya, gelombang itu tangan

pada gelombang
ia menemukan taman samudera
tak berbatas cakrawala
terus menjelajah menuju kaki purnama
dimana di sana cinta lebih bercahaya

pulau dan benua cuma tempat mengaso
begitu juga gadisgadis cantik berbagi gincu di dada

pelaut itu pengelana, sahabat badai langit tanpa cahaya
jangan bertanya berapa gadis telah dicumbunya
atau berapa banyak minuman telah dikecapnya
ia akan berkata: semua tak sebanding lautan
yang membuat dahaga sesungguhnya terpuaskan

empat puluh lima tahun pelayaran menjadikan port seakan stasiun
siapa tak ingin mencium bau garam di selangkangan laut
tanpa laut pulau dan benua tak saling berpaut

tapi, ia harus berpisah dengan kekasihnya karena usia, katanya
laut dan pelaut ternyata cinta ditakdir tak selalu bersama


GEREJA ULU

dulu ada anak gadis missionary gereja Belanda
ia berlarilari di bawah pinang raja di pelataran gereja
kukira ia malaikat yang datang berbagi riang
dengan anakanak petani pala
bermata sayu memandanginya

omaoma tua mengenakan kebaya berbau kanji
diseterika hingga kerawang dan suji begitu rapih
mereka berpayung menuju  gereja
dengan senyum serekah seruni dan kenanga

opaopa mengenakan stelan jas dengan umbai rantai di dada
sisiran rambut dipipih hingga menyentuh kulit kepala
mereka tiba lebih pagi dari semua
dan memilih tempat paling muka

ini misa keberapa. Mazmur yang sama masih dibaca di altar
sejak  aku kanakkanak  mengikuti ibu ke gereja
aku hanya menghitung tahun dan abad
tiang penyangga tua telah dipugar. Juga tahlil
telah berbeda katakata
cara berpakaian pun ikut berubah
anak missionary Belanda telah tiada

aku ingat di menara ada miniatur ayam
yang selalu berputar mengikuti angin
aku menatap ke menara
ayam yang sama masih di sana
menumbuhkan kenangan dan kesaksian
Tuhan yang kupuja tak berubah
meski saman porakporanda





RENUNGAN LEMBAH

di Tagulandang senja membawaku pemandangan lembah
bukan lembah biasa berupa hamparan pepohonan
lembah ini hati petani nelayan dilebati ketabahan
menebas semak gelombang dipenuhi karat

dimanamana ketemukan  wajah mereka asin sekristal garam
mengasinkan celacela cabang pepohonan Daihango yang menyelinap
ke benak menjejar dedaunan di sepanjang jalan
dimana bayangbayang orang desa mencari pulang

para leluhur sesungguhnya telah membuat peta kehidupan
agar nafas mereka merekah
tapi udara selalu terlalu kelabu menerkam silsilah leluhur
membuatnya tertidur di atas jejak perahu dulu tegar bertempur

lalu hujan seharum hutan dengan kisah musim bunga putih
berkata; semesta seri itu bukan saja milik melati, kenanga
dan Elang yang bisa menjelajahi dan meraih langit tertinggi

anakanak desa di sini juga punya riang menangkup desau angin
menangkap gerisik dedaunan seperti notasi
ketika bumi bernyanyi, mereka itu penari
hingga malam tiba mereka lupa jalan menuju mimpi

burungburung juga seperti angin tak lupa hinggap mencadainya
mencericiti senja yang tak luput berbagi sinar terindah
warna kemuning mendenyar hingga ke dalam doa
dikayuh menuju ladang samudera  di dada mereka
yang terus mendebur tak pernah diam

dari tebing pulau pun kulihat laut luas melukisi cekukan sejarah  
warna gelombang. bau Salak manis dan sepat mengaduk ingatan
pulau indah ini terbentuk dari kisah airmata menjadi delta
dalam dongengan yang kini menjelma keseharian orangorang
sigap bertarung melawan kesulitan kemustahilan
memanjang di kesunyian


MAKALEHI

samudera selalu mengkoreografikan
teduh dan amuknya dalam sejarah yang pecah
menjadi sembilan kaldera memagari danau mati
di dada pulau jauh dan sendiri

aku berkayuh di atas air danau mati di pulau ini
kutemukan detak nadi Makalehi
seperti seekor bangau putih bernyanyi buat kekasih
di atas hamparan bunga teratai berwarna jingga wangi

wangi siapa mendupa danau tak pernah bertemu laut ini?
kalau bukan wangi kekasih lesap tergenang air matanya sendiri
karena antara rindu dan mimpi selalu ada tepi tak bisa diraih

lalu aku berangkat ke Tenggohang, Dumpis, Sanggilehe, Sawang
Meraki, Singgalawo, Kuhita, Sawanto, Batuwenahe
di sembilan bukit itu kubaca jejak perjalanan capung
ia menenun danau dalam sayapnya berwarna maron
kemudian disesapnya nektar sajaksajak mercusuar
menjadi seratserat sinar buat laut yang terus
mengayam pijar gelombang

orangorang datang menemukan lagi Makalehi
dalam perahu dipenuhi ikan demersal palagis
di kail dipukat dalam kisahkisah abad
terus bergerak dalam arus pasifik deras asin

di pesisir gadisgadis memandang matahari jatuh di air
Makalehi tersenyum di mata mereka melukis mata angin
sedang menyusun sayapsayap angsa lebih putih dari awan

andai kekasih itu datang pada suatu pagi
danau kini tertawan bisa menemukan jalan
ke laut lebih dalam



ANDAI ENGKAU BISA
(Buat TS)

andai engkau bisa menenun pagi
dengan silsilah dini hari  berakar pada sujud
hari ini batu tak perlu jadi ampas berlumut
di ujung lidah kata di penuhi lava sungut

di sepanjang Sitaro orangorang mencari ujung jalan
dongengan tua kasatria perahu. harihari menjadi rentah tersia
semua menyelinap, juga bulan memantulkan cahaya dangkal
seakan laut tak berdaya menyeberangkan niat 
orangorang menanamkan benih hidupnya jadi pepohonan

tapi engkau tak jua mau belajar pada akar
mendoakan pucuk selalu tumbuh
menjadi pohon besar hingga tak saja
penatmu bisa bersandar, orang lain pun
datang meneduhkan kegelisahan

andai pada matahari kau mau menimba makrifat
siang menjadi lebih terang bagi embun mencari jalan
bertemu cahaya, kendati hidup ini seakan jejeran caldera
berlumut lincin keras dan tajam

andai engkau bisa menyusun kisah perjalanan arus
orangorang pulau ini tak akan kehilangan ikan di mimpi mereka
mereka akan terus mengibar layar dan malam menjadi semarak
tawa anakanak dan ibah ibu mereka yang mekar bagai kenanga

tapi engkau tak berniat untuk bisa, selain berkatakata anyir
hingga banjir api turun dalam sarkasme tikus cacing bau bacin
memamah semua jejakmu melumut di atas tandus mata mereka

“kau telah kalah dalam pertemuran sebenarnya
bisa kau menangkan!”


TERATAI DANAU MAKALEHI

bila hamparan teratai ini begitu indah
mungkingkah surga berwarna jingga
memantulkan gema gelombang danau
ke rimbun dedaunan kapuk sebentar lagi lapuk

bungabunga dan daun  akan susut
seperti hidup punya waktu lisut
yang terhampar abadi bagai surga
adalah warna kenangan melampau usia


sejak dulu orang pulau menitipkan penat keringat di sini
sesekali membasuh pedih hingga akar teratai  menjadi gemuk
oleh kisah saman dipenuhi sayatan. Luka lalu, kini dan masa depan
mungkin sudah sedemikian dalam tergenang
hingga teratai menawarkan pemandangan makam

dalam sejarahnya danau ini mungkin kumpulan air mata
turun dari puncak Singgalawo dan delapan pucak
mitos laga Onding menyergap bajak laut
burung Kemba piawai mengintai ikan tak lupa meniti
cabang cabang sejarah bersurai bagai lelaki rentah

aku mendengar sayup dengus nafas berkecamuk
orangorang itu, terbatabata berjalan mengelilingi danau
sambil melihat teratai tumbuh bagai selendang
terjurai di kaki abad yang selalu mengenakan jubah hitam

pepohonan yang tegak pun kedinginan
menyaksikan air danau
sebegitu tua menyimpan tangisan


MENYEBERANGI ARUS

aku telah berjanji mengisahkan laut ini padamu
laut tak pernah teduh menggenang matamu
di sana aku menyeberangi arus tiada henti mengecamuk
menahan sampaiku di pulau jauh di kedalaman hatimu

perahu dan burungburung menari
selalu pergi dan tiba dengan seiris kabar kelakar
tetang malam sebegitu gigih menggergaji arus
tapi gelombang tak jua terpiuh remuk di kayuhanku

Pajeko dengan mesin dalam yang kekar
berapa arus telah ia lindas. tapi lainnya tetap saja berakar

aku telah berjanji berlayar menjelajahi samudera padamu
bulan sepotong begitu murung hinggap di tiang perahu
mencakapkan jarak labuan selalu begitu jauh

kunangkunang air mengelip pun menyelinapkan getir
pada setiap pecahan buih penyeberangan
menjelma jadi mimpi yang karam


MENDAKI TAMATA

berulang aku mendaki gunung ini
menafsir bayangbayang pepohonan
tubuhtubuh luruh di bawah dedaunan

mereka berkidung sambil memilah pala meranum
gerimis berguguran membangkitkan kabut
dalam harap lebat oleh lumut

berulang  aku menghafal pecahan jalanan
jalanan bercabang menuju liang sekadar hilang
cuaca pucat menerjemahkan sunyi ke dalam akar

mereka tetap saja meski tertatihtatih mendaki
kendati puncak siasia mereka lampaui

pada kesekian kali pendakian
aku bersua orangorang turun memikul panenan
terbatabata melewati tebing curam
menuju lembah jauh di bawah dasar jurang

dari bagian tertinggi aku memandang lembah
di sana sesungguhnya ornamen hidup bermula
tumbuh di dasar doa bersinar bagai lentera


BARISAN PANDAN

laut menganyam tikar petiduran bulan
pada kelindan barisan pohon pandan

di tepi pesisir keheningan
seratserat lainnya menyusun pesan
langit dan laut tak pernah lelap
mengiktisarkan matamu
melenterakan sinar

dari Ulu ke Mala
getar ombak menyelusupkan
tubuhtubuh pecah
mencair dalam gaduh suara pepohan

tapi angin membawa bau tubuhmu
menjelma perahu besar tibatiba
melabuh di hatiku

hatiku seakan bandar
ramai merdu suasa
mengentalkan lebat hujan yang kau kemas
ke atas barisan pandan digenangi kerinduan


BOWONGULU

matahari dulu tiba di pagi buta
tiba lagi di pagi kini
dengan memar yang sama
meski di Bowongulu cahaya tak pernah tua
juga kisah lelaki kupanggil ayah
ia menyajak di lerengan
lembahlembah ingatan

pohonpohon kelapa di gunduk bukit itu
seumur siapa
ia menanam sejarah menjadi begitu tinggi
melempar pijar api di mulut gunung
terus menciptakan senyum dan caldera air mata

ketika batubatu mencair seakan air
datang dalam sungaisungai ketakutan
bukit ini begitu tegar menghadap takdir
tentang mata tak pernah rentah
menumbuhkan cinta
di atas tanah dipenuhi gempa

sekali ayah ia tetap saja pohon
dan sebuah kota                   


SEBUAH KOTA INGATAN

dikau sebuah kota ingatan buat pulangku
pada setiap pelayaran dipenuhi ombak

dan tentang mata senantiasa mengejab
serta nafas yang merendam keluhuran cahaya
di situ aku mengaktori hatiku

lakon ini mendedah dengan ledakanledakan tinggi
aku masih di Ondong. di negeri tua ketika membuncah semua
leleh bagai cairan lava di puting gunung di penuhi panas api

aku menemukan api yang kemudian selalu mampir itu

dan tentang rambutmu mengibarkan angin
aku selalu ingin meniti hingga tiba di inti pusarannya
dalam lagaku sendiri
lelaki tak bertemu akhir dari kisah sepi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar