Kamis, 04 Juli 2013

MAKALEHI (Puisi Iverdixon Tinungki)



samudera selalu mengkoreografikan
teduh dan amuknya dalam sejarah yang pecah
menjadi sembilan kaldera memagari danau mati
di dada pulau jauh dan sendiri

aku berkayuh di atas air danau mati di pulau ini
kutemukan detak nadi Makalehi
seperti seekor bangau putih bernyanyi buat kekasih
di atas hamparan bunga teratai berwarna jingga wangi


wangi siapa mendupa danau tak pernah bertemu laut ini?
kalau bukan wangi kekasih lesap tergenang air matanya sendiri
karena antara rindu dan mimpi selalu ada tepi tak bisa diraih

lalu aku berangkat ke Tenggohang, Dumpis, Sanggilehe, Sawang
Meraki, Singgalawo, Kuhita, Sawanto, Batuwenahe
di sembilan bukit itu kubaca jejak perjalanan capung
ia menenun danau dalam sayapnya berwarna maron
kemudian disesapnya nektar sajaksajak mercusuar
menjadi seratserat sinar buat laut yang terus
mengayam pijar gelombang

orangorang datang menemukan lagi Makalehi
dalam perahu dipenuhi ikan demersal palagis
di kail dipukat dalam kisahkisah abad
terus bergerak dalam arus pasifik deras asin

di pesisir gadisgadis memandang matahari jatuh di air
Makalehi tersenyum di mata mereka melukis mata angin
sedang menyusun sayapsayap angsa lebih putih dari awan

andai kekasih itu datang pada suatu pagi
danau kini tertawan bisa menemukan jalan
ke laut lebih dalam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar