Senin, 08 Juli 2013

Peralihan Penting Dalam Sistim dan Struktur Pelayanan GMIM


Oleh : Iverdixon Tinungki
“Bila tidak ada WAHYU menjadi liarlah RAKYAT”
Amsal 29:18a
Babak baru telah tiba setelah melewati kurun waktu awal mula masa penaburan dan persemaian. Kerja pelayanan para missioneri dari gereja Katolik masa Portugis, lalu ke misi VOC Kerk, hingga masa terbentuknya Indische Staats Kerk (Gereja Protestan Belanda) pada tahun 1800, serta masa-masa pelayanan NZG telah berhasil  melewati alur patahan dan tikungan sejarah yang indah sekaligus mencengangkan. Dari tapak-tapak itu kemudian GMIM terbentuk pada 1934. Di sini terlihat dimana setiap kurun waktu punya corak dan pergulatannya sendiri seakan menegaskan dimana yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Seperti benih yang baik yang tersemai di tanah yang subur, kini telah menjadi pohon yang siap berbuah dan terus beregenerasi.
Fakta-fakta historis yang terpapar pada bab sebelumnya dari sebuah rel kehidupan organisasi Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang kini memiliki 1 juta lebih anggota jemaat,  tak lepas dari tikungan-tikungan menarik dan mengejutkan itu. Musim-musim awal dari masa pengenalan Injil Kristus di pesisir hingga ke rimba raya jazirah tanah Minahasa ini telah menunjukkan hasil yang baik.

Pandangan dan keyakinan lama mulai ditinggalkan. Ritual-ritual bernuansa paganis berangsur hilang, berganti keyakinan akan keselamatan dari Kristus Yesus Tuhan. Rentetan perubahan itu pun menibakan tak saja pada masa gereja telah memiliki  bentuk yaitu menjadi persekutuan umat yang kudus milik Allah, tapi juga berjalannya system perorganisiannya yaitu suatu visi gereja sebagai umat yang terutus untuk bersaksi dan melayani. Seperti hasil panenan yang baik menjadi benih yang siap ditabur lagi pada ladang-ladang pelayanan yang baru. Kerja pelayanan yang tak boleh putus sebagaimana amanat  Matius 5:13-16 dimana setiap orang harus menjadi garam, harus menjadi terang bagi dunia. Sebuah panggilan suci dalam mengemban pelebaran kerajaan Tuhan di dunia. Sebuah panggilan keikutsertaan umatNya menghadapkan wajah kepada dunia,  membiarkan tangan menjadi kotor, lecet dan berparut-parut dalam pelayan terhadap dunia akibat merasakan dalam lubuk hati adanya gejolak kasih Allah yang tak dapat dipendam.
Doktrin yang genap tentang Allah, doktrin yang genap tentang manusia, doktrin yang genap tentang Kristus, doktrin yang genap tentang keselamatan, doktrin yang genap tentang gereja harus diwartakan dan digenapi lewat sebuah visi yang punya daya jangkau ke depan. Apa yang telah di tabur, apa yang telah disemai, apa yang  telah ditanam harus dijaga, harus dirawat, harus dikembangkan lagi. Seperti Musa  yang  telah membawa keluar umat Allah dari Mesir, yang kemudian dilanjutkan Josua menuju tanah perjanjian. Kerja pelayanan di kawasan ini pun membutuhkan tuntunan, membutuhkan strategi yang visioner.  Sebab, bila tidak ada Wahyu (Visi) menjadi liarlah rakyat (Amsal 29:18a).
Disinilah terlihat, sejak masa pelayanan NZG dan terbentuknya Indische Staats Kerk, visi pelayanan gereja di kawasan ini kian jelas menyusul terbentuknya system organisasi yang lebih kuat dan lebih menjangkau teritorial pelayanan. Gereja telah memiliki persepsi dan pandangan yang mendasar untuk menjangkau ke depan dengan membentuk aras-aras pelayanan yang baru. Dimulai dengan dibentuknya pelayanan Distrik, kemudian berkembangan menjadi pelayanan tingkat Paroki atau Wilayah.  Dengan visi  ini kerja lintas tingkatan aras pelayanan terintegrasi hingga saat ini.

 Pelayanan Klasis Manado
Tentang sistim pengorganisasian, tatapan lebih jauh ke depan diperlukan dalam menoleh Tata Gereja GMIM 2007. Struktur pelayanan GMIM saat ini telah ditata dalam tiga aras pelayanan yakni Jemaat, Wilayah dan Sinode. Tata gereja baru yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2009 menggantikan Tata Gereja sebelumnya (Tata Gereja 1981) tampak lebih ramping, praktis dan efisien dalam mengatur system organisasi di GMIM. Pertimbangan aspek teologis dan ekklesiologis nampaknya dilakukan dalam Tata Gereja baru ini sehingga dari sisi bentuk organisasi, GMIM berbeda dengan oragniasi sekuler lainnya. Gereja hanya mengenal satu Kepala Gereja yakni Yesus Kristus Tuhan. Gereja yang menjaga kekudusan dan terpanggil menjadi saksi dan melayani dunia. Semua aspek tindakan dan fikiran di berporos pada terang kasih Yesus Kristus. Sebuah visi progresif konservatif.
Organisasi sekuler membangun pondasinya hanya dalam pemahaman bahwa “yang abadi adalah perubahan” hingga dalam setiap kurun waktu dilakukan pertimbangan penyesuaian seiring perkembangan zaman. Sebuah visi progresif sekular.
 GMIM sebagai sebuah organisasi tentu tak menafikan pandangan sekularisme tersebut, namun diperlukan dimensi teologis sebagai penunjuk jalan yang pasti, sehingga perubahan yang abadi itu memiliki arah, yakni menuju ke aras menurut bimbingan dan tuntunan Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja. Ini sebabnya, setiap kurun waktu dalam sejarah perkembangan Gereja selalu ada musim semi. Dan sejarah organisasi-organisasi sekuler bisa runtuh seiring berakhirnya sebuah senja.
   Kembali ke Tata Gereja GMIM 2007 yang mengatur 3 aras pelayanan saat ini. Kendati  faktanya, ada sejumlah kegiatan pelayanan saat ini yang masih dilakukan dalam sistim Rayon  (sistim klasis pada masa lalu), -- semisal Pengurus Lansia GMIM Rayon Manado-Kembes, dan atau Pertemuan Komisi Kategorial Pria Kaum Bapa Rayon Manado…dst--, struktur ini bukan merupakan aras pelayanan dalam GMIM saat ini.
Lantas bagaimana sejarah aras pelayanan di kurun waktu sebelumnya? Sebelum GMIM berdiri, sistim pelayanan menurut klasis dan distrik dikenal sebagai upaya membagi dan menjangkau wilayah pelayanan disebabkan oleh kurangnya tenaga pelayan atau pendeta ketika itu. Wilayah pelayanan seorang pendeta miliputi sebuah kota, atau suatu wilayah yang terdiri dari banyak desa. Pusat pelayanan biasanya di tempatkan di kawasan konsentrasi penduduk. Selain itu, di masa kekristenan awal itu, jumlah umat Kristen relatif masih terbatas. Gedung-gedung gereja baru satu dua dibangun di setiap klasis dan distrik untuk menampung anggota jemaat yang tersebar di berbagai desa.
Sistim pelayanan Klasis dan Distrik  tersebut bermula pasca berdirinya Indische Staats Kerk (Gereja Protestan Belanda) pada tahun 1800, pasca bubarnya VOC Kerk. Teritorial pelayanan missioneri dari Gereja Protestan Belanda menjadi hamba Tuhan di tanah Minahasa hingga masa tibanya Pendeta Riedel dan Schwarts pada tahun 1831 dibagi menurut klasis dan distrik dalam struktur wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak diterapkannya pelayanan dengan sistim klasis dan distrik jumlah umat Kristen di area pelayan Gereja Protestan Belanda sontak menajak tajam hingga mencapai 80.000 orang.
Pasca terjadinya pengembangan aras pelayanan dengan menerapkan aras pelayanan Paroki pada tahun 1903, aras pelayanan klasis dan distrik masih dipakai bahkan diadopsi dalam system aras pelayanan pada masa berdirinya Sinode GMIM tahu 1934. Ketika GMIM diresmikan pada 30 September 1934 aras pelayanan terdiri dari 10 klasis yaitu; Klasis Manado, Klasis Maumbi, Klasis Tomohon, Klasis Tondano, Klasis Langowan, Klasis Sonder, Klasis Ratahan, Klasis Amurang, Klasis Motoling, Klasis Airmadidi, dan Klasis Manado Kota.   
Pada saat sistim Paroki yang menganut kepemimpinan seorang Kepala Paroki diganti dengan aras Pelayanan Wilayah yang dipimpin oleh sebuah Badan Pimpinan Wilayah (BPW) yang dimulai pada tahun 1968, GMIM tercatat masih menerapkan sistim kepemimpinan koordinatif di tingkat Kota/kabupaten (Distrik) yang dipimpin oleh Badan Pimpinan Antar Wilayah (BPAW). Pada saat ini BPAW tidak diberlakukan lagi.
Di kurun pelayanan para misionari Katolik sejak 1563-1602, istilah Distrik atau Rayon, juga Clasis tidak dikenal. Hal tersebut dapat dipahami dimana tugas pelayanan para Peter baru pada tahapan sebagai peretas sekaligus pioner bagi pengenalan dan perjumpaan Injil Kristus dengan masyarakat di kawasan ini yang dikumudian waktu menjadi cikal-bakal jemaat-jemaat. Bahkan karena gejolak politik baik di Eropa dan di tanah air termasuk terjadinya penolakan atas pelayanan para misionaris di Manahasa, pekerjaan misi di kurun itu nyaris tak berkembang. Perkembangan berarti baru terjadi pasca NZG mengabil alih pekerjaan misi di tanah Minahasa dan sekitarnya.
Bagaimanakah struktur pelayanan sebelum GMIM terbentuk? Dalam catatan awal kita telah melihat sebuah mata rantai yang terputus dalam misi  pelayanan Gereja Katolik selama 198 tahun (1602-1800) di Sulawesi Utara, bahkan di semua daerah jajahan Belanda. Kondisi tersebut sekaligus mengubah keadaan pelayanan di Kawasan Manado Utara dan Manado pada umumnya, yang ditandai dengan peralihan dari pelayan misi Katolik ke pelayanan misi Protestan.
Sejak masuknya pendeta DS Montanes  dari Gereja Protestan Belanda pada 1675 misi pelayanan Protestan dimulai di Manado dengan mensasar orang-orang Kristen yang berasal dari buah kerja misi Katolik pada kurun waktu sebelumnya. Pelayan dari Pendeta Montanes di distrik Manado kemudian diteruskan oleh Pendeta DS. Werndly 1707, Pendeta J Kam 1817 dan oleh Pendeta  Muller dan , Pendeta Lammers.
Dapat dilihat pelayanan di distrik lainya antara lain yakni dilakukan  Pendeta Riedel di Tondano 1831  dan Schwarts di Langowan 1831. Sejak  tahun 1836 Amurang menjadi distrik pelayanan, dan disusul pada  tahun 1838 Tomohon, 1848  Air Madidi, 1849  Kumelembuai, 1861  Sonder.  Ratahan pada tahun 1862.
Sekitar 8 tahun setelah meninggalnya Ridel (1860) dan  Schwarts (1859), distrik pelayanan Gereja Protestan Belanda telah membentang dari Manado hingga Kumelembuai. Pada kurun 15 tahun kemudian di Tomohon berdiri sekolah Guru yang dipindahkan dari Tanahwangko (di Tanah Wangko berdiri tahun 1852), juga dibuka kursus-kursus untuk para penginjil di tahun 1867.
Kisaran 19 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1886 kursus-kursus bagi para tenaga penginjil ditetapkan menjadi Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch Leeraren). Para lulusan Stovil kemudian mengisi wilayah-wilayah pelayan tersebar luas itu. Pendeta-pendeta lulusan Stovil adalah tenaga pelayan berusia muda saat mereka turun memimpin jemaat karena mereka hanya menempu pendidikan selama 6 tahun di Stovil setelah lulus Sekolah Dasar. Tahun pendidikan mereka bila dibandingkan dengan sistim pendidikan nasional kita saat ini setara dengan SLTA. Dari sisi pendidikan tentu berbeda dengan tenaga pendeta GMIM saat ini yang rata-rata lulus pendidikan strata S1 dari Fakultas Theologia Universitas Kristen Tomohon, dengan masa pendidikan di Universitas minimal 4 tahun setelah lulus SLTA.
Pendeta-pendeta lulusan pertama Stovil yang ikut mewarnai pelayanan menuju terbentuknya aras pelayanan Wilayah Manado Utara II diantaranya; Pendeta Hendrik Sinaulan yang menjadi pimpinan pertama Paroki Singkil, kemudian dilanjutkan Pendeta Altius Adolf Mohede, dan Pendeta Hendrik Dandel, dimana pada masa kepemimpinanya terjadi peralihan aras pelayanan dari Paroki menjadi aras pelayanan Wilayah. 
Dengan kian bertambahnya lulusan tenaga pendeta  pasca berdirinya Stovil, distrik-distrik pelayanan dilengkapi dengan Paroki (saat ini disebut  aras pelayanan Wilayah).  Untuk distrik Manado dibagi dalam 3 Paroki yakni; Paroki Titiwungen, Paroki Tikala, dan Paroki Singkil, dimana untuk setiap Paroki ditugaskan seorang pendeta. 
Menurut catatan Sem Narande, 3 orang pendeta pertama yang memimpin 3 Paroki di distrik Manado adalah Pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil, Pendeta Lantang di Paroki Titiwungen, Pendeta Talumepa, di Paroki Tikala.

Paroki Singkil 1903-1968
Di antara penghujung abad XIX dan dipermualaan abad XX terjadi peralihan penting dalam sistim dan  struktur pelayanan Gereja Protestan di Tanah Minahasa, dimana terjadi peralihan aras pelayanan dari Sitim Distrik ke Sistim Paroki (wilayah). Dikurun itu perhimpunan para Zending yang berpusat di Tomohon memecahkan pelayanan distrik Manado menjadi 3 Paroki yakni: Wilayah Bagian Utara distrik Manado menjadi Paroki Singkil. Wilayah bagian tengah distrik Manado Menjadi Paroki Titiwungen. Sementara wilayah Selatan Manado menjadi area pelayanan Paroki Tikala.
Di kurun itu pun kita bisa meringkus bagian-bagian reflektif  betapa ternyata kekuasaan Kristus begitu kokoh dan kekal untuk selamanya. Kerajaan Allah yang terus melebar, jemaat-jemaat tumbuh, aras pelayanan kian meluas, hamba-hamba Tuhan berlipat ganda. Dari hanya seorang Hamba di tahun 1563 dengan 1500 orang dan 2 orang raja sebagai jemaat mula-mula di pesisir Pantai Sindulang, kabar baik keselamatan dari Kristus Tuhan itu kemudian membesar tampak terbendung oleh kekuasaan dunia.
Sementara di lain sisi sekali lagi, kekuasaan dunia bisa tenggelam bersama senja. Periode kekuasaan Portugis dan Spanyol di kawasan ini berakhir kurang dari dua abad. Pemerintahan Kolonial Belanda runtuh  dalam tiga setengah abad. Pendudukan Jepang hanya berlangsung sesaat. Tapi dari patahan-patahan sejarah kekuasaan dunia itu, kerajaan Allah dibangun dengan kokoh melintasi abad dan kekuasaan mana pun, hingga kini dan di masa depan.
Sejak ditetapkan menjadi aras pelayanan Paroki Singkil, Wilayah distrik Utara Manado ini berturut-turut telah dipimpin oleh 4 pendeta sebagai Kepala Paroki. Aras pelayanan Paroki kemudian diubah menjadi aras pelayanan Wilayah, dan terjadi pergantian penyebutan Kepala Paroki menjadi Ketua Wilayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar