Sabtu, 13 Juli 2013

PUISI-PUISI BERLATAR TALAUD Karya Iverdixon Tinungki





SEPETAK LADANG DI MATA PETANI
(perjalanan ke Geme)

langit memintal warna kemuning biji padi
di sepetak ladang, di sepetak mata petani

entah berapa abad petani mencangkul bau belukar
cericit burung dan getir biru yang boyak moyak di wajahnya

sebelum atau sesudah petak ladang  ini bisa disemai, dipanen
tak saja tanah,  juga darah di nadinya menanak doa

tapi petani hanya sepotang kata
dalam ucapan ringan orangorang di balik samudera
berjarak langit bumi tanpa tangga
apalagi jendela. kecuali desis ular mengintai nafasnya

di petak hatinya tanah dan laut tak lebih ruang cahaya lentera kecil
dengan pedalaman malam dihuni burungburung risau

di sini, setiap kali suaranya tergelincir
di batu saman penuh lumut
dihisap lintalinta yang gemuk
oleh darah pulau yang selalu parau
untuk sekadar bergemuruh

ketika kicau burung menghiburnya di atas mayang patah
senja meringkus semua mimpi pecahpecah itu
petani kembali menanami ladangnya
dengan bijibiji air matanya sendiri




SENJA DI PANTAI RAINIS

Korakora dulu melepas sauh
di senja seperti ini lelakilelaki akan turun
mengisahkan benua lain
di balik kabut mata anak pesisir

seperti pasir
anakanak berhamburan ke laut
mengejar kisah perahu tiang tinggi
layar buncit oleh angin
riuh bandar, bauh arak
dan keperkasaan datu

dari saman ke saman selalu megah
semegah batang tiang korakora
melabuhi semenanjung
dan jazirahjazirah

bauh sejarah itu
masih mengental di senja
pada jejeran anak tangga menuju pasir
dalam deru ombak pecah
di batangbatang bakau
di batangbatang sanubari
*) Rainis: Sebuah kampung di pesisir Pulau Karakelang, Talaud.
*) Datu: Pemimpin adat. Orang yang punya kesaktian.


ZIARAH ARANGKAA

ke sini
ke bumi yang di atasnya
ladang airmata
dengung nanaungan
pada erang mata gadis
menyimpan bara
belum seabad moyangnya
bersimbah darah
melawan Belanda

di liang hatinya
nenek menyanyikan lirik kukumbaeda
tanah merah menanak panas
keberanian Larenggam
menggelegak tak saja dilantai bumi samuderanya
juga pada detak nafas menolak tunduk
kerena tunduk itu berhala

pesisir tropis dengan bau garam
menganyam Arangkaa
jadi bendera
kini kau kibar di atas api
memanggang seruluh isi kampung
bertuah seperti gemerincing pedang
di telinga semua benua

patung lelaki itu tegak berdiri
mengisi kesunyian utara yang tiri
kecuali perempuan tua
setia mengziarahi
senja menyimpan api

*) Nanaungan : Sejenis gong untuk upacara adat.
*)Kakumbaeda: Syair menidurkan anak yang berisi berbagai kisah.




MIANGAS

leluhur ketapang tak lupa pada Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros dan Sevillanas”

sebuah monumen beton terpacak mengubur Pardao
begitu Miangas tak lupa cantiknya dimasa Las Palmas
kini meranggas, tak lebih sebuah pulau tapal batas

dulu kadetkadet kapal layar Spanyol adalah penari                                                           
di tengah api dinyalakan udara pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik semarak ombak
menyeruh seruanseruan Paradiso yang agung

pulau karang ini tak sekadar sarang gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana laut penjejak benua

kini barisan tambur menggerendam dek kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan telah karam
lisut di atas sebuah tapal menimbun sejarah pulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti  makna dini hari

rimbun ketapang tak lain rimbun kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap tangisan
tersuruk senja mengelisahi malam rentah bernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib dan lautnya
gemuruhkan mirisnya warna kemiskinan

*) Lumaromban: Gurita raksasa dalam cerita Rakyat Talaud.
*) Pardao: Monumen Spanyol di Miangas.
*) Lorca: Federico GarcĂ­a Lorca, Komponis Spanyol.
*) Paradiso: (Surga) Sebutan pelaut Spanyol untuk kepulauan Talaud.


OMBAK AMBORA
Perjalanan bersama Rimata Narande

melintasi Ambora, ombak adalah buku
barisan halaman luas
tebal oleh kisah arus
juga perang besar di pulaupulau itu

puisipuisi memucuk di keningnya
membuih seperti bijibiji asin
mata gadis berbaris menghampar seperti pasir
ia di sana menati  ziarah pesamudera
setia menghidu bau sesaji di pucuk matanya

ia gelisah. laut ini menempah segala ke dadanya
tak saja ombak, juga kesunyian abadi di kedalaman biru hatinya

pen perahu dari kayu pasa, lunas batang tua dari rimba mantra
bau melati bumi arangkaa; dekaplah katamu, laut itu kekasih

wahai. berapa surut, berapa pasang buat aku mengayuh
hingga tiba di tawamu sebening angkuh laut ini

karangkarang menjalari gunung
menebing di dinding langit hatiku
ke mana perahu mengarah
selalu tiba di padang air yang marah

deretan gadisgadis penari, gerendam tamburtambur
o…kapan pesta ombak ini berhenti memukul

melintasi ambora, melintasi mata hiu
surga sedekat taringnya
mengendap di kedalaman biru, menggelegak di hatiku
hingga yang oleng bukan perahu, tapi kelakianku

sebegitu jauh pelayaran, akhirnya aku tiba pada syairsyair mantra
memenangkan laga tak sekadar kita perkasa
tapi keberanian menerima kematian, seperti pelukan kekasih
kiat erat dekapannya, kian terasa indahnya tikamannya

*) Ambora: kawasan laut yang selalu berombak sepanjang musim, di pesisir Geme-Arangkaa, Talaud
*) Arangka: sebuah desa yang terbakar dalam perang Larenggam dan Belanda. Di desa ini ada goa tengkorak para pemberani yang semuanya gugur dalam perang terakhir yang dasyat itu.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar