Jumat, 12 Juli 2013

Penatua Ferom P. Langkudi (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Penatua Ferom P. Langkudi, adalah tokoh fenomenal tak saja dalam sejarah Jemaat GMIM Torsina tapi juga dalam alur sejarah pelayanan di aras Wilayah Manado Utara II. Ia sosok paduan antara Hamba Tuhan, Politisi, dan Birokrat. Apakah karena keunikan talenta dalam diri figur satu ini hingga ia banyak memberi warna dalam corak kepemimpinan dan pergumulan di aras ini?

Sem Narande dalam “Valdu La paskah” menyiratkan ketokohan  Pnt. Ferom P Langkudi sebagai “manusia di tengah gelanggang pertarungan”. Di arena politik ia melakukan lompatan dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) ke Gakari yang merupakan salah satu Kino dalam Sekber (Sekretariat Besar) Golkar (Golongan Karya) yang saat ini telah berubah menjadi Partai Golkar.  Karier di birokrasi dimulainya dari jabatan guru bantu, dan berpuncak pada posisi sebagai Kepala Kantor Pembinaan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Luar Biasa. Di medan pelayanan, diikwalinya sebagai Penatua di sebuah jemaat kecil hingga menjadi Anggota Badan Pekerja Sinode GMIM.
Mencermati perjalanan hidup lelaki dengan tinggi badan 1,70 M, berkulit gelap dan tambun, bersuara bariton datar yang nyaris sulit tersenyum ini mengimpresikan sebuah pribadi yang tangguh, prinsipil, dan berani melawan arus. Tentang sikap pribadinya tersebut sangat terlihat pada sejumlah babak konflik di Jemaat Torsina dimana ia tercatat 2 kali menjadi Ketua Jemaat GMIM Torsina masa transisi. Bahkan pada tahun 1990,  ia pun menduduki posisi sebagai  Ketua Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II masa transisi pasca kemelut pergantian kepemimpinan Wilayah Manado Utara II dari Pendeta A. Koloay, STh ke Pendeta M. Hermanus, STh. 1990.
Siapakah sesungguhnya Ketua BPW masa transisi ini? Dalam biografi singkatnya tertulis; lahir di Manado Tua 12 November 1932. Pendidikan Sekolah Rakyat (SR) diselesaikannya  di Manado Tua 1952.  Meneruskan ke Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri di Ulu Siau, lulus tahun 1957. Lantas menyelesaikan pendidikan di SGA Negeri di Manado tahun 1961. Terakhir menyandang gelar Sarjana Muda Psycokologi dari  Universitas Kristen Tomohon (UKIT).
Pada tahun 1957 menjadi Guru Pembantu di SR GMIM Alungbanua. Tahun 1958 diangkat sebagai Kepala Sekolah SR GMIM Alungbanua, sekaligus sebagai Penatua Jemaat GMIM Alungbanua. Ia juga menjadi Ketua Ranting Parkindo. Tahun 1959 menjadi Ketua Anak Cabang Parkindo Kecamatan Wori. Antara tahun 1965-1969 menjadi anggota BP Sinode GMIM utusan pulau-pulau. Sempat menjadi Ketua Kino Gakari (Golkar). Bulan April 1970 sampai Desember 1975 menjadi Kepala Kantor Pembinaan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Luar Biasa Wilayah Wori.

Lelaki Dalam Gelegak Laut
Di kurun 2 tahun sebelum GMIM berdiri, Penatua Ferom P. Langkudi lahir di sebuah desa kecil  bernama Alungbanua. Desa Alungbanua terletak di Pulau Manado Tua. Salah satu pulau dari deretan pulau-pulau  Indah (Manado Tua, Bunaken, Siladen, Mantehage)  yang bertebar bersama pulau-pulau karang lainnya di teluk Manado yang langsung berhadapan dengan lautan Fasifik. Jazirah pulau-pulau kecil dengan keindahan koral dan alam laut terfantastis di dunia. Di depannya, sebuah bentangan samudera yang luas yang kadang teduh, kadang bergelombang tapi senantiasa berarus.  
Tentang Manado Tua, Ahmad Syubbanuddin Alwy, seorang penyair Indonesia asal Cirebon  dalam sebuah sajaknya memetaforkan pulau ini sebagai “Dinosaurus” yang lagi tidur. Sebuah gambaran keindahan dan kepurbaan yang terhampar tepat di depan teluk Manado. Sedang geriap aneka kehidupan dunia laut di kawasan ini disebutnya sebagai potongan surga yang terpindah dari jazirah Tigris dan Eufrat ke laut ini.
Dalam sejarahnya, Pulau Manado Tua di masa lalu disebut sebagai pusat kerajaan Bowontehu yang didirikan raja Mokoduludugh pada abad ke XIII, atau sekitar 300 tahun sebelum peristiwa baptisan pertama di pantai Sindulang yang dilakukan Peter Diego  De Magelhaes di tahun 1563 (Iverdixon Tinungki. 2009,9). Kerajaan  tua yang daerah kekuasaannya membentang dari Talaud hingga Kwandang, Gorontalo ini yang menjadi titik awal menuju terbentuknya kerajaan-kerajaan di pulau-pulau Nusa Utara di kemudian waktu.
Di tengah kemaharayaan kultur laut dan filosofi hidup manusia bahari sejak nenek moyang di masa kerajaan Bowontehu inilah Pnt. Ferom P Langkudi dibesarkan. Sejak kecil ia telah terbiasa dengan gelegak laut dan tradisinya, yang dikemudian hari membentuk karakter seorang anak laut yang keras dan berani menatang arus dalam dirinya.
Di masa Orde Lama dalam kekuasaan Presiden Soekarno, ketika semua rakyat Indonesia terkotak-kotak dalam partai politik, Ferom P. Langkudi langsung terjun ke dalam lingkaran Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Saat kekuasaan Orde Lama runtuh, ia melompat ke Golkar yang menjadi motor Orde Baru lewat jalur kino Gakari. Lompatan itu tentu tak lepas dari rahim budaya bahari masyarakat Nusa Utara yang mengajari ia hidup  “Pantuhu Maka Sasalintiho” (Bertindak bijaksana bila mengikuti arus).
Sebagai anak pulau yang lengkap dengan cerita kemiskinannya, ia terbilang berhasil menyelesaikan pendidikannya sempai ke perguruan tinggi. Jenjang pendidikan seperti ini di kurun itu sangat sedikit bisa dicapai orang-orang pribumi apalagi oleh seorang anak yang berasal dari desa pulau-pulau. Bila melihat tahun kelahirannya pada 1932 (masa penjajahan Belanda) dibanding tahun kelulusannya di Sekolah Rakyat pada 1952 (Masa Indonesia Merdeka tapi masih diwarnai revolusi), maka terlihat dimana saat ia lulus di jenjang pendidikan dasar ini telah berusia 20 tahun. Dan sejak itu ia terus berpacu sampai ke jenjang perguruan tinggi. Ini menggambarkan sebuah semangat baja seorang anak laut yang tak pernah surut selangkah dalam mencapai tujuan. Demikian juga saat ia berpacu dalam kariernya sebagai PNS.
Sikap-sikapnya itu pun tergambar jelas di tengah kancah pelayanan yang diembannya. Mulai dari keberadaannya hanya sebagai Penatua di sebuah jemaat kecil pada sebuah desa pulau yang kemudian bisa meraih posisi sebagai Anggota Badan Pekerja (BP) Sinode GMIM. Lalu saat ia menetap di Tumumpa dan menjadi anggota Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, ia juga terpilih menjadi Pelayan Khusus (Syamas) Kolom III. Dari sinilah ia kemudian memberikan warna tersendiri dalam sejarah pelayan baik di aras Jemaat Torsina, juga di aras Wilayah Manado Utara II.
Diawalinya pada tahun 1968, saat konflik babak ketiga di Torsina memanas, ketika mayoritas anggota Jemaat manggambil sikap berseberangan dengan Pendeta Pangemanan yang dinilai kurang mempertimbangkan pendapat jemaat. Serta munculnya penolakan jemaat atas konsep kepemimpinan Rasuli yang diterapkan saat itu dimana segala kebijakan pelayanan, keuangan, dan pengawasan dilakukan oleh Pendeta yang sekaligus Ketua Jemaat, ibadah Natal hanya bisa dilaksanakan di gereja, dan dilarang dilaksanakan di kolom-kolom. Pembangunan gedung gereja baru yang awalnya dilakukan oleh sebuah Tim Panitia Pembangunan diambil alih oleh Pendeta dan BPMJ.
Kebijakan yang terpusat pada sang rasul itu yakni Pendeta Pangemanan akhirnya membuahkan lahirnya BPMJ tandingan dipimpin Syamas Ferom P. Langkudi yang mendapatkan dukungan penuh anggota jemaat.
Pada Februari 1971 Pendeta Pangemanan ditarik Sinode GMIM dari Torsina dan merupakan masa akhir dari BPMJ yang dipimpinnya. BPMJ yang dipimpin Ferom P Langkudi mendapatkan pengakuan Sinode dan menempatkan ia sebagai Ketua BPMJ ke III di Torsina. Hanya dalam waktu beberapa bulan kemudian, Sinode menugaskan Pendeta Johny Johanes Gerald  Sondakh sekaligus menjadi Ketua GPMJ ke IV di Torsina. Serah terima dilaksanakan pada bulan Juli 1969.
Setelah menjadi Ketua Jemaat transisi di Torsina pada 1968, Ferom P Langkudi kembali menjadi Ketua BPMJ Transisi di Torsina Tahun 1975. Jabatan Ketua BPMJ ini hanya diembannya selama 35 hari sejak diserahterimakan dari Pendeta Gerald Sondakh kepadanya, kemudian 5 Oktober 1975, diserahterimakan lagi kepada  Pendeta Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu, STh.
Di aras kepemimpinan Wilayah, pada 1990 usai periode kepemimpinan Pendeta A. Koloay, Wilayah Manado Utara II memasuki masa kepemimpinan transisi yang diserahterimakan ke Penatua Ferom P. Langkudi yang ketika itu sebagai Wakil Ketua BPMW menjabat Ketua BPMW.
Beberapa bulan kemudian, ketua BPMW transisi Penatua Ferom P. Langkudi menyerahkan kepemimpinan BPMW definitif kepada Pendeta M Hermanus, STh bersamaan dengan peristiwa berpindahnya  pusat wilayah dari Torsina Tumumpa  ke GMIM Petra Karangria. Kiprah Ferom P. Langkudi di atas menegaskan betapa penting dan fenomenalnya ketokohannya di kancah pelayanan di aras Jemaatnya dan aras Wilayah Manado II.

1 komentar:

  1. Dimana saya bisa mendapatkan buku biografi ttg pak Ferom bung?

    BalasHapus