Jumat, 05 Juli 2013

Pendeta Jopie J Lontoh,STh (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)



Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Pendeta Jopie J Lontoh,STh lahir di Tomohon, 21 Juni 1953. Menikah dengan Pdt. Foni E M Rantung, STh dikaruniai dua orang anak Christi Lontoh dan  Marten Lontoh.
Ketua Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II ke enam ini (1999-2005) menjadi Pelaksana Jabatan Sementara (PJS) Ketua Jemaat Gunung Hermon atau Ketua Jemaat Gunung Hermon ke tiga sejak Juli 2002 hingga Februari 2003 pasca perpindahan Pdt. Agustina E Talu, STh dari jemaat tersebut.

        Pdt Jopie J Lontoh,STh ketika tiba di pos pelayanannya di Manado Utara II kondisi wilayah ini tengah berada dalam periode penuh gejolak. Ia mengantikan posisi Ketua BPMW ke 5  Pendeta J. Wenas, STh.  Tentang kondisi Wilayah Manado Utara II saat dipimpinnya, ia mengatakan ada beberapa masalah penting menyangkut berdirinya beberapa jemaat baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus terutama masalah Jemaat Gunung Hermon Tuminting, Jemaat Firdaus Mayondi, Jemaat Tunggul Isai Tuminting.
                 Masa kepemimpinan Pendeta Lontoh, merupakan periode dimana jemaat-jemaat di aras Wilayah Manado Utara II mengalami sejumlah gejolak dan permasalahan yang diantaranya merupakan masalah yang belum terselesaikan dari periode kepemimpinan sebelumnya, terutama masalah pemekaran jemaat yang menyulut konflik. Keinginan sejumlah kolom untuk memisahkan diri dari jemaat induk untuk menjadi jemaat mandiri, serta persoalan organisatoris kepelayanan lainnya. Kebijakan-kebijakan wilayah yang tegas dan akurat merumuskan solusi pemecahan membuat masalah-masalah tersebut mampu diselesaikan. Bahkah periode kepemimpinan Pendeta Lontoh pun mencatat sejumlah sukses berdirinya beberapa kanisah dan jemaat baru di Manado Utara II.
Ketika ditemui  di ruang kantor Ketua BPMJ Betesda Ranotana Manado pada Rabu, 6 Juni 2012 Jam 09.40 – 11.45 Wita  Pendeta J. Lontoh, STh memaparkan, persoalan Jemaat Tunggul Isai dan Gunung Hermon yang dimekarkan dari beberapa kolom Jemaat Nazaret Tuminting memang merupakan prioritasnya ketika itu.
Untuk meredam situasi panas di kedua jemaat itu, BPMW yang dipimpinnya menempuh kebijakan dimana keluarga-keluarga  yang ingin berdiri sendiri menjadi jemaat Gunung Hermon untuk sementara waktu digabung dengan Jemaat Getsemani Sumompo. Baru sekitar 6 bulan atau tepatnya pada 12 Maret 2000 kemudian jemaat Gunung Hermon disahkan oleh BP Sinode GMIM melalui Pdt. H. Mosal, STh, sebagai salah satu jemaat di lingkungan Wilayah Manado Utara II dan Sinode GMIM. Sementara  Jemaat Tunggul Isai baru disahkan secara resmi oleh BPS GMIM sebagai jemaat otonom pada 19 Desember 2004 sekaligus dengan penempatan Pendeta pertama H. C. Manitik, STh. 
Dengan ditetapkannya kedua jemaat itu sebagai jemaat otonom maka konflik babak pertama pun selesai. Kini kedua jemaat terus tumbuh dan berkembang menuju jemaat-jemaat yang dewasa. Pembangunan fisik di kedua jemaat meningkat pesat. Kolom-kolom di Jemaat Tunggul isai yang awalnya hanya 4 Kolom kini berkemang menjadi 7 kolom. Sedang di Jemaat Gunung Hermon yang awalnya hanya terdiri dari 17 KK lalu 33KK kini berkembang menjadi 3 kolom. Bangunan Kanisah darurat tak ada lagi, tapi berganti bangunan pemanen yang megah dalam tahap penyelesaian.
Di sini kita melihat dimana pada setiap kelokan sejarahnya, Tuhan senantiasa mempunyai rencana indah menuju keesaan umatNya dan berdirinya gereja. Kemelut sekuat apa pun ternyata tak lebih dari sekadar jalan menuju indahnya pelayanan lain yang lebih lebar dan menakjubkan. Dan dua jemaat kini telah berdiri kokoh sebagai saksiNya baik bagi mereka yang di lembah, dan jemaatnya di puncak bukit sana.
Drama pelayanan lain yang harus dilakoni Pendeta J. Lontoh, STh bersama BPMW yang dipimpinnya di kurun itu adalah bagaimana menuntun orang-orang tergusur menuju Firdaus. Mereka adalah umat Kristiani yang tersingkir dari habitat hidupnya yang lama ke pinggiran kota. Jemaat yang tertolak yang harus dirangkul.
Kisahnya bermula pada 12 Maret 2002, sebuah benih gereja tumbuh di perkebunan Mayondi dari 9 Kepala Keluarga yang merindukan perjumpaan yang indah denga Yesus Kristus Tuhan. Mereka adalah Kel. Hamid – Takumansang, Kel. Hengkelare – Tampanatu, Kel. Bambulu – Katiandagho, Kel. Budiman – Lombo, Kel. Lombo – Manaping, Kel. Soldado – Haribae, Kel. Soldado – Kaelung, Kel. Tarima – Mahabir, Kel. Antahari – Tingihe.
Mayondi ketika itu adalah kawasan pemindahan orang-orang yang rumahnya tergusur di Kelurahan Calaca. Awalnya mereka adalah anggota Jemaat Centrum Manado. Kawasan ini merupakan wilayah kelurahan Kombos dan Singkil. Sebagai kawasan yang terletak di belakang perkampungan pesisir Manado Utara, tanah-tanah di sekitarnya juga di manfaatkan oleh sejumlah gereja di perkotaan untuk dijadikan Lahan Pemakaman (Pekuburan).
Selain menempati lahan milik pribadi,  di antara 9 Kepala Keluarga ada yang telah   menempati kapling Pemerintah Daerah Kota Manado, seiring program  pelebaran Kota Manado, oleh pemerintah kota. Sebagai kawasan hunian baru, pemerintah Kota Manado  menyediakan lahan yang diberikan  untuk pembangunan gedung gereja bagi masyarakat yang menempati kawasan pengembangan kota itu.
Kerena belum ada tempat ibadah (gedung gereja) yang permanen, maka ibadah untuk sementara pelaksanaannya seperti ibadah kolom, dilaksanakan setiap hari Kamis. Sehubungan dengan bertambahnya anggota jemaat dari 9 kepala keluarga menjadi 26 kepala keluarga, maka dibuatlah tempat ibadah darurat dengan konstriksi tiang bambu yang ditanam, dinding gamaca beratap seng dengan ukuran bangunan panjang 6 m, lebar 5 m dan tinggi 3.5 m.
Guna memantapkan pelayanan dan mengantisipasi berbagai gangguan sebagai sebuah organisasi pelayanan, para perintis jemaat menyepakati sistim pelayanan peribadatannya sebagaimana tata cara GMIM. 
Pada tanggal 6 Desember 2002  beberapa anggota jemaat membawa persyaratan administrasi untuk diusulkan menjadi jemaat mandiri ke Sinode GMIM. Permohonan Jemaat Mayondi diterima oleh Badan Pekerja Sinode GMIM.
Sesuai dengan kedudukan jemaat, awalnya anggota jemaat Mayondi  meminta agar jemaatnya dapat menjadi bagian dari pelayanan Wilayah Manado Utara I (satu), namun ditolak oleh Badan Pimpinan Wilayah Manado Utara I.
Pada tanggal 18 Desember 2002 dengan bantuan Ketua Wilayah Manado Utara II (Dua)  Bapak. Pdt. J. J. Lontoh, STh, jemaat Mayondi diterima sebagai bagian dari aras pelayanan Wilayah Manado Utara II. BPMW Manado Utara II yang dipimpin Pdt. J. J. Lontoh, STh langsung  mengadakan program  penggembalaan bagi calon pelayan Tuhan dan membentuk perangkat jemaat di dalamnya BPMJ, para pelayan khusus dan BIPRA. Sebagai ketua jemaat pertama ditetapkanlah  Pnt. Fentje W. Kumeka.
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan kita Yesus Kristus atas pertolongan dan penyertaannya, maka pada tanggal 23 Desember 2002 Jemaat Firdaus Mayondi diresmikan oleh Badan Pekerja Sinode GMIM oleh Pdt. M. L. Mosal, STh sebagai jemaat GMIM yang ke-784 dalam lingkup palayanan Wilayah Manado Utara
Konflik di Jemaat Bukit Zaitun Sumompo ikut memberi warna dalam periode pelayanan di kurun ini, yang menuntut perhatian BPMW Pendeta J. Lontoh STh untuk penyelesaiannya.  Bermula dari keingin sejumlah warga jemaat untuk memisahkan diri Jemaat Bukit Zaitun Sumompo untuk berdiri menjadi Jemaat sendiri yang saat ini telah ditahbiskan menjadi  Jemaat Bukit Ararat Buha yang berpisah dengan Jemaat indauknya Bukit Zaitun.
     Gesekan di kedua Jemaat ini akhirnya bisa diredam Pendeta  Lontoh dan Pendeta  Samahati dengan jalan memisahkan kedua jemaat menjadi jemaat-jemaat mandiri. Jemaat Bukit Ararat yang baru terbentuk ketuanya dijabat oleh Pnt. Rompas.
     Di Pandu BPMW yang dipimpin Pendeta J. Lontoh juga megusahakan berdirinya Jemaat Efrata Pandu bagi pengungsi Ternate, Halmahera dan penduduk asli (Suku Bantik). Di kurun ini juga BPMW berhasil mendorong berdirinya Kanisah di  Bengkol  dan   Pandu
     Di Jemaat Kharisma Buha juga terjadi gejolak sehubungan dengan ketua jemaat, dimana keinginan Pendeta Judge Walo, STh menjadi ketua, tetapi umumnya anggota jemaat mendukung kepemimpinan jemaat itu agar dipimpin Pdt. Ny. Pongohan-Wangania.
Di tengah periode penuh gejolak, konflik, dan tantangan pembangunan jemaat-jemaat baru ini Pendeta J. Lontoh diperhadapkan. Banyak pengalaman pelayanan yang dihadapinya yang perlu menjadi bahan pembelajaran bagi generasi pelayan berikutnya yakni sebagaimana dipesankannya yakni seorang pemimpin pelayanan haruslah selalu bermohon kepada Yesus Kristus akan tuntunan dan kekuatan. Seorang pemimpin Kristiani juga harus rendah hati. Dalam mengahadapi masalah dalam pelayanan para pelayan atau pemimpin kristiani itu harus menjumpai para tokoh jemaat untuk bertukar fikiran dalam mencari pemecahan masalah.
Lewat Tim Penulis ia menyampaikan pesannya kepada Jemaat Gunung Hermon yaitu pendekatan personal sangat baik dan penting dalam menghadapi pergumulan jemaat.  Keakraban bersama Pelsus dan jemaat sangat baik untuk dijaga. Sebagai jemaat yang letaknya di atas bukit konsepnya harus enjoy meski naik turun bukit dalam melayani. Semoga jemaat Gunung Hermon menjadi berkat untuk masyarakat dan jemaat. Bangunlah kebersamaan, jauhkan rasa dendam, dengki dan kemunafikkan. Tempatkan Yesus Kristus sebagai kepala gereja di tengah jemaat Gunung Hermon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar