Jumat, 12 Juli 2013

Pendeta J. Wenas 1994-1999 (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Pendeta  J. Wenas, adalah Ketua Bada Pekerja Majelis Wilayah (BPMW) Manado Utara ke lima. Bertugas sejak 1994 hingga 1999. Di masa pelayanan Pendeta J. Wenas STh Wilayah Manado Utara II  ketambahan 3 Jemaat hingga menjadi 12 Jemaat dan 3 Bakal Jemaat. Setelah masa akhir tugasnya sebagai Ketua wilayah, 3 bakal jemaat di atas dengan SK Sinode menjadi Jemaat mandiri yaitu; Jemaat Firdaus Mayondi, Jemaat Diaspora Buha dan Jemaat Tunggul Isai Tuminting sehingga Jemaat di Wilayah Manado Utara II kembali berkembang menjadi 15 Jemaat.

Ketika diwawacarai  Penulis pada Rabu, 13 juni 2012 Jam 13.05 Wita, ia mengatakan gejolak yang timbul pada masa kepemimpinannya yaitu tentang masalah Jemaat Pangiang dan masalah pemekaran 5 Kolom di Jemaat Nazaret Tuminting yang saat ini menjadi Jemaat Tunggul Isai dan jemaat Gunung Hermon. Menurut memorinya, khusus untuk Jemaat Pagiang dulunya merupakan satu kolom dari jemaat GMIM “Torsina” Tumumpa, atau dengan sebutan Jemaat Kobong, karena mereka adalah bagian dari jemaat GMIM “Torsina” yang membuka lahan baru di ‘Pangiang’.
Seiring berjalannya waktu, ada desakan-desakan dari beberapa tokoh jemaat di antaranya  Bapak Manoppo, yang meminta agar kolom di Pangiang boleh memisahkan diri dari jemaat GMIM “Torsina” Tumumpa, untuk menjadi sebuah jemaat yang mandiri. Ketika itu, Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM “Torsina” Tumumpa belum menyetujui untuk mendirikan sebuah jemaat atau kolom.  Badan Pekerja Majelis Jemaat mau supaya dipersiapkan betul, karena di Pangiang hanya ada 15 KK.
BPMJ mau untuk memilih pelayan khusus kolom harus dari mereka sendiri, tetapi Tata Gereja GMIM 1999 mengatakan ada peraturan kalau tidak ada di dalam lingkungan 15-25 KK boleh mengambil pelayan khusus dari luar, dan dipilihnya Bapak Manoppo dan Bapak Drs. Ruben Saerang sebagai Pelsus dalam masa persiapan untuk menjadi sebuah jemaat yang baru dengan tugas mempersiapkan secara matang baik dari segi administrasi maupun kelengkapan sebagai jemaat.
Menurut Pendeta Wenas, dimana Drs. Ruben Saerang sebagai motivator berperan besar dalam membantu Jemaat “Pangiang” sehingga boleh  menjadi satu jemaat. Ini dari segi kehidupan berjemaat.
Dalam masa kepemimpinan Pdt. J. Wenas berbagai tindakan  inovatif dilakukan untuk memajukan pertumbuhan jemaat baik dari segi ekonomi maupun dari segi iman kepercayaan kepada Tuhan. Selama kepemimpinannya sebagai Ketua Wilayah Manado Utara ada beberapa jemaat yang dipegangnya untuk dipersiapkan menjadi jemaat yang dewasa yaitu Jemaat GMIM “Kharisma” Buha, jemaat GMIM “Bukit Zaitun” Sumompo.
Welly Moendoeng, Sekretaris Wilayah Manado Utara II pada masa kepemiminan Pendeta J. Wenas mengatakan tidak ada masalah yang menonjol yang terjadi selama kepemimpinan Pendeta J. Wenas.
Ketika ditemui pada Jumat, 15 Juni 2012  Jam: 08.30 Wita, di rumahnya di Karagria, mantan sekretaris wilayah itu mengatakan, masalah yang cukup pelik dikurun itu hanya  masalah Jemaat Pangiang. Menurutnya, sebenarnya tidak ada efek negatif dalam pelayanan di Pangiang kalau tidak ada gejolak yang terjadi.
Pendeta J Wenas kata Moendoeng, adalah pribadi yang cepat tanggap. Ketika ada masalah langsung diredam. Ia melakukan kunjungan ke jemaat dan mendatangi keluarga-keluarga jemaat bahkan majelis serta melakukan pendekatan persuasif dan personal tidak menunggu rapat wilayah, tetapi langsung turun langsung ke jemaat.
Khusus dalam penangan konflik di Jemaat Pangiang,   ia dan Drs. Ruben Saerang bersinergi untuk mendirikan jemaat baru “Pangiang.
Dari segi pelayanan, Pendeta Wenas terus menerus melakukan pelayanan tanpa pandang bulu. Fungsi pengembalaan mejadi fokus penting baginya untuk memajukan kerja pelayanan. Ia pun sosok yang sangat tertib dan teliti dalam hal  administrasi.

Sablah Aer Yang Dipandang Sablah Mata
Sejarawan Sem Narande mengatakan kalau Gubernur HV. Worang di masa lalu tidak membangun kompleks perumahan pegawai Kantor gubernur, perumahan pegawai Bank, perumahan Polisi dan perumahan Angkatan Laut dan KPLP, maka Manado Utara merupakan kawasan paling marginal di Kota Manado.
Hingga kini pun aras ini adalah sebuah teritorial pelayanan yang unik. Orang-orang di kawasan Tengah dan Selatan kota Manado menyebut daerah ini dengan gaya satire yang cukup miris yaitu “sabalah aer” (sebelah air). Sebutan itu sesungguhnya bukan menegaskan dimana Wilayah Manado Utara terletak di Utara Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano alias kuala Jengki. Tapi dimaksudkan sebagai kawasan orang-orang miskin, sekaligus tempat pembuangan segala hal yang bermakna “buruk” dari kota Manado. Dalam konsep penataan kota Manado saat ini, daerah Utara ini merupakan kawasan pemukiman, pergudangan, dan pabrik. Artinya masyarakat di sini diperhadapkan dengan masalah polusi dari uap bahan-bahan kimia dan asap pabrik. Khusus untuk Wilayah Manado Utara II, dalam teritorial pelayananya ada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dari seluruh penjuru kota Manado. Di sini juga ditempatkan Lembaga Pemasyarakatan Manado (Penjara Manado). Tak sekedar itu, lokalisasi penderita kusta juga dipusatkan di kawasan ini. Seakan pandangan sablah mata (Sebelah Mata) terarah tepat ke kawasan ini.
Bila bicara tentang dampak dari sampah bagi Manusia dan Lingkungan di Kota Manado, maka kawasan Manado Utara adalah wilayah yang paling dirugikan. Kita sadari bahwa pencemaran lingkungan akibat sampah dan limbah perindustrian sangat merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah penyakit diare, kolera, tifus menyebar  dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat. Penyakit jamur dapat juga menyebar. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita. Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan dan sampah.
Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas dalam konsentrasi tinggi dapat meledak. Tentang bau sampah ini sudah pada tahapan yang sangat mengganggu kenyamanan hidup. Pada pukul 16.00 wita saat mulai terjadinya perubahan arah angin menuju laut, maka bauh sampah yang amat menyengat akan terbawah angin dan menyebar ke radius 4 km hingga pagi hari. Dalam radius itulah teritorial jemaat-jemaat Manado Utara II. Di tengah bau tak sedap inilah setiap harinya jemaat-jemaat di sini melakukan peribadatan atau berdoa di tengah malam dan pagi hari.
Sementara bahaya kesehatan lainnya mengacam dari pabrik-pabrik busa yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Asap pabrik dan limbah industry minuman. Industri meubel dengan bahan mengecatan yang berbau tajam. Lingkungan pergudangan besi, tegel, beras, yang menjadi sarang tikus.
Di sini, polusi udara dapat terjadi melebihi baku mutu lingkungan. Udara yang telah tercemar oleh polutan tertentu dapat menyebabkan turunnya mutu udara di lingkungan. Udara yang telah tercemar dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya secara langsung. Tetapi udara yang tercemar juga dapat berdampak yang cukup luas seperti pemanasan global dan hujan asam. Hujan asam adalah meningkatnya konsentrasi asam di udara seperti peningkatan jumlah SO2 (sulfur dioksida) diudara sebagai hasil dari pembuangan asap kendaraan bermotor dan industri atau hasil pembakaran bahan bakar fosil yaitu bahan bakar minyak dan batubara.
Di sini aktifitas penggunaan industri yang padat, kkonsentrasi gas CO dapat mencapai 10 – 15ppm. Gas CO di dalam paru-paru bereaksi dengan hemoglobin pada sel darah merah yang dapat menghalangi pengangkutan oksigen ke seluruh bagian tubuh. Dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat di sini adalah:        Pusing/sakit kepala, Rasa mual, Pingsan (ketidak sadaran), Kerusakan jaringan otak, Sesak nafas, Kematian, Gangguan pada kulit, Gangguan penglihatan (efek jangka panjang). Iritasi mata, Radang saluran pernafasan,  Gangguan pernafasan kronis (bronkitis, emfisema dan asma).
Acaman dari pabrik meubel dan pergudangan juga tidak sedikit berupa materi partikulat, atau partikel-partikel yang berukuran kecil seperti serbuk kayu, serbuk batu, serbuk pasir, serbuk kapas, serbuk kwarsa, serbuk asbes. Materi partikulat ini banyak terdapat di daerah ini.Dampak yang ditimbulkan adalah penyakit paru mulai dari peradangan hingga kangker paru-paru.
 Inilah semua yang membentuk mindset masyarakat Tengah dan Selatan dalam cemohan mereka; “Sabla aer”. Tragis memang! Tapi inilah padang pelayanan para klerus Tuhan untuk mengubah sable aer menjadi rumah Tuhan yang penuh pengharapan. Apakah kemiskinan membuat wajah umat di sini hina di mata Tuhan. Bukankah Tuhan selalu ada di tengah kaum miskin untuk membuat mereka tak berkekurangan. Tuhan pula yang datang meraba mereka yang menderita sakit agar tersembuhkan dan mereka yang terpenjara untuk terbebaskan.
Ini sebabnya tugas-tugas pelanan di wilayah ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Butuh totalitas dan keterlibatan yang sungguh-sungguh untuk masuk ke dalam pergumulan jemaat.
Ketika Pendeta J. Wenas, STh menapaki pelayanannya di aras ini, kesadaran totalitas itulah yang menjadi visi pelayanannya. ia adalah sosok cepat tanggap, tidak saja tentang pesoalan-persoalan kejemaatan tapi juga masalah-masalah social ekonomi masyarakat. Untuk mengantisipasi serangan berbagai penyakit akibat dampak polusi dan pencemaran, dalam era kepemimpinanya ia mengerahkan pengadaan balai pengobatan di tiap jemaat dengan melibatkan tenaga dokter yang merupakan anggota jemaat di masing-masing gereja. Program ini diadakan supaya anggota jemaat bisa melakukan pengobatan secara murah dan baik lewat kartu-kartu kesehatan yang diprogramkan jemaat. Apalagi saat itu Puskemas Tuminting belum beroperasi penuh seperti sekarang. Program gereja untuk kesehatan jemaat ini tercatat sangat membantu menolong mereka yang berkekurangan.

Memasarkan Hasil Pertanian Penderita Kusta
 Desa Pandu sebagai basis lokalisasi penderita kusta, tentu menjadi persoalan tersendiri yang menuntut perhatian gereja. Melokalisir para penderita kusta dari berbagai tempat ke kawasan Pandu memang merupakan kebijakan pemerintah kota. Lantas cukupkah beban penderitaan para penderita hanya di tanggung oleh mereka sendiri. Bagaimana kehidupan rohani mereka? Bagaimana keadaan sosial ekonomi mereka? Haruskah gereja menutup mata pada tugas panggilannya? Bagaimanapun, lokalisasi dalam pandangan ekstrimnya adalah penjara tanpa dinding dan terali. Tempat orang-orang yang terhukum secara sosial dan psykologis. Mereka yang hidup dalam lingkungan lokalisasi adalah orang-orang yang dialienasi dari kehidupan masyarakat umum. Orang-orang luar enggan menjumpai mereka. Hasil karya dan kerja mereka tidak memiliki harga. Itu semua deraan yang mereka alami. Sebuah kenyataan yang menuntut semangat imanensi gereja. Maukah gereja datang merabah detak hati kaum terbuang dan terhukum ini?
Di masa pendeta J. Wenas, STh, sebuah gereja dibangun untuk para penderita kusta yakni jemaat GMIM Efrata Pandu. Tapi cukupkah dengan hanya membangun gereja bagi mereka yang didera penderitaan penyakit dan diisolasi dari masyarakat umum itu? Bagi Wenas, pelayanan terbuka ke jemaat Efrata harus dilakukan. Jemaat GMIM Efrata di perlakukan sama dengan jemaat-jemaat GMIM di Wilayah Manado Utara II. Bahkan beberapa kali kegiatan tingkat wilayah justru dipusatkan di Jemaat Efrata. Kunjungan ibadah BIPRA tingkat wilayah juga dilakukan di Efrata, meski para penderita kusta itu canggung bila melakukan kunjungan ke jemaat lain bila ada kegiatan ibadah wilayah. Bagi Wenas, gereja harus hadir di tengah pergumulan jemaat Efrata untuk membawa pengharapan bagi mereka. Bahwa penyakit kusta bukan kutukan, dan penyakit itu bisa disembuhkan kalau tekun berobat dan hidup penuh pengharapan dalam kasih Tuhan Yesus Kristus. Hasil dari pelayanan dan perhatian serius ini tidak sedikit para penderita berangsur sembuh dan bisa beraktivitas kembali dengan baik dan normal.
 Lantas bagaimana penanganan masalah ekonomi warga jemaat Efrata? Bagaimana memasarkan hasil pertanian mereka? Para pedagang di pasar-pasar tradisional ketika itu menolak membeli hasil produksi pertanian dari kawasan lokalisasi ini. Padahal kegiatan pertanian dilokalisasi hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar telah sembuh. Jadi tidak ada masalah dengan hasil produksi pertanian mereka. Namun keengganan masyarakat membeli hasil pertanian mereka  menyebabkan tidak hanya hasil jual yang kecil, tapi harga jual juga sangat rendah. Lagi-lagi dituntut tolehan gereja untuk menangani masalah ini.  Untuk memecahkan kebuntuan tersebut, Pendeta. J. Wenas mencari solusi dengan melibatkan agen pemasaran atau pembeli sehingga harga jual hasil pertanian warga Jemaat Efrata boleh meningkat baik. Program pendampingan gereja ini cukup berhasil. Warga jemaat Efrata bisa menikmati hasil dari perdagangan panenan mereka. Sebuah tindakan nyata di tengah umat yang membutuhkan pertolongan ini, benar-benar menjadi kesaksian yang luar biasa di tengah kehidupan gereja di wilayah ini di kurun itu. Semua inovasi di kurun kepemimpinan Pendeta Wenas, seperti juga pada periode sebelumnya atau sesudahnya tak lain menyuguhkan fakta peran gereja, dimana gereja secara teologis berada seimbang antara dua kebenaran ilahi yang paling hakiki yakni transendensi dan imanensi. Pada satu tangan, Allah terhubung dengan dunia secara transenden. Karena itu, Dia bukan bagian dari dunia dan melebihi alam semesta (Pkh 5:1). Sementara itu di tangan yang lain, Allah tampil sebagai pribadi yang imanen, yang artinya hadir di dalam ciptaan-Nya. Dia ada di dalam sejarah manusia, mengatur dan mengontrol alam semesta dan berada di dalam setiap proses yang berlangsung dalam dunia ini.

Susunan BPMW Periode 1994-1999
1.            Ketua             : Bpk. Pdt. J. Wenas
2.            Wakil Ketua : Bpk. Manoppo
3.            Sekretaris      : Bpk. W. Moendoeng
4.            Bendahara    : Ibu Pnt. Lutia-Madellu
5.            Anggota         : Bpk. Pnt. A. tuwonaung
6.            Anggota         : Bpk. Pnt. Kapal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar