Minggu, 07 Juli 2013

ORANG-ORANG MANADO UTARA, TRADISI DAN KEPERCAYAAN


OLEH: IVERDIXON TINUNGKI

Bau kemenyan, goraka, kinsule (Bataka), dan bunga patuku (melati) dari upacara-upacara paganis masyarakat alifuru dan para penganut agama suku di kawasan ini,  saat ini tak lagi mampu mengalahkan berbagai wangi parfum produk modern seperti Estelouder, Axe dengan iklan malaikat jatuh di televisi itu, atau bau makanan dari jejeran restaurant di pusat kota Manado saat ini.

Mantra-mantra magis telah menjadi sastra dalam kearifan lokal yang mulai setara dengan keindahan penulisan status  dalam jejaring sosial internet seperti facebook dan twitter. Opoisme telah ditafsir sebagai jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan dalam pandangan gereja samawi. Tradisi masyarakat komunal seperti Mapalus telah berganti individualisme, eksklusifisme yang lengkap dengan assesoris berhala baru materialisme dan hedonism. Mall-mall dan pusat perbenlanjaan lain telah menghisap dan membentuk perangai baru dalam kultur masyarakat kawasan ini, saat ini. Pandangan-pandangan kesederhanaan hidup nyaris menumui ajalnya dalam kurun waktu empat abad sejarah gereja di sini. Dan ini menjadi tantangan dan pergumulan gereja kini dan di masa depan. Gereja yang harus mampu menjaga keesaan umat dalam persekutuan yang kuat dengan Kristus. Gereja yang terus membangun dalam kebersamaan. Gereja yang terus bersaksi tentang kabar baik keselamatan. Gereja yang terpanggil dan berada di tengah pergumulan sosial umat dan masyarakat pada umumnya.
Banyak yang telah berubah dan mengalami kebaruan dalam kurun waktu empat abad dari awal mula kekristenan di pesisir ini, hingga masa gereja saat ini. Meski praktek syamanisme masih saja menjadi alternatif pilihan segelintir orang dari masyarakat suku-suku  dalam hal pengobatan dan sebagai fetis menuju raihan peruntungan dalam bidang ekonomi. Dalam kenyataan-kenyataan inilah aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II berkembang.
Teritorial pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini terdiri dari 7 jemaat, masing-masing; Jemaat Petra Karangria, sebagai Pusat Wilayah. Jemaat ini terdiri dari 21 kolom. Terletak di tepi pantai teluk Manado. Kawasan pantai itu dulunya adalah area penangkapan ikan yang menggunakan pukat dampar (Soma). Sebuah kultur perikanan tradisional masyarakat pesisir Manado yang telah hidup berabad-abad sebagai tuas ekonomi masyarakat nelayan tradisional yang kini tergerus pasca pemerintah Kota Manado menggelontorkan kebijakan pembangunan boulevard sepanjang pesisir Manado. Pantai yang lebar dengan hamparan pasir yang indah kini lenyap bersama lenyapnya mata pencaharian para nelayan tradisional.
Teritorial pelayanan jemaat Petra Karangria di sebelah selatan langsung berbatasan dengan Jemaat GMIM Sindulang yang merupakan batas teritorial wilayah Manado Utara I, di Utara berbatasan dengan Jemaat Torsina Tumumpa yang merupakan teritorial pelayanan Manado Utara III. Sebelah barat  adalah perairan teluk Manado, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan jemaat Nazaret Tuminting yang merupakan salah satu jemaat di Wilayah Manado Utara II.  Area pelayanan Jemaat Petra meliputi seluruh wilayah kelurahan Karangria, kecamatan Tuminting.
Berbeda dengan jemaat Petra Karangria sebagai pusat Wilayah Manado Utara II yang terletak di tepi pantai, sementara Jemaat anggota Wilayah Manado Utara II lainnya yang sambung menyambung adalah Jemaat Nazaret Tuminting dengan 25 kolom,  Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting,  Jemaat Getsemani Sumompo dengan 27 kolom,  Jemaat Bukit Zaitun Sumompo,  Jemaat Firdaus Mayondi.  6 jemaat ini terletak di area perbukitan di sekitar pesisir pantai Manado Utara. Bagian selatan berbatasan dengan Jemaat GMIM Jarden Kampung Islam yang merupakan anggota wilayah Manado Utara I, dan di Utara berbatasan dengan Jemaat GMIM Ararat sebagai anggota Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu). Sebelah Barat berbatasan dengan Wilayah Manado Utara III, dan sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Mawako (Manado Wawonasa Kombos).
Tujuh Jemaat anggota Wilayah ini berada di 4 kelurahan, masing-masing; 1 Jemaat di kelurahan Karangria, 3 jemaat di Kelurahan Tuminting, 2 jemaat di kelurahan Sumompo, 1 Jemaat di kelurahan Singkil, atau berada di 2 wilayah Kecamatan yaitu 6 Jemaat berada di wilayah kecamatan Tuminting, dan 1 jemaat di Kecamatan Singkil.
Mayoritas anggota jemaat di 7 jemaat ini adalah masyarakat asal etnik Sangihe Talaud. Kemudian disusul etnik Bantik dan Minahasa, Tionghoa,  serta etnik campuran lainnya. Mata pencaharian mayoritas masyarakat adalah pekerja kasar berupa buruh dan tukang, Pegawai pemerintah dan swasta, petani, pedagang, pengusaha kecil dan menengah.
Dengan mencermati keadaan masyarakat di teritorial Wilayah saat ini, lantas muncul pertanyaan yang lebih dalam dan menggelitik, bagaimanakah perkembangan masyarakat di kawasan ini sebelumnya? Dan bagaimanakah adat istiadat dan kepercayaan mereka?
Tentang masa lalu kawasan ini, sebuah artikel yang diposkan uBlog berjudul “Manado Dalam Peta dunia” memaparkan betapa pentingnya kedudukan pesisir Utara Manado dan muara Kali Tondado di pantai Sindulang sejak abad XVI.  Kapal-kapal Spanyol dan Portugis memasuki kawasan ini sejak tahun 1521, dalam perjalanan dagang sekaligus penguasaan wilayah sentra-sentra ekonomi.
Musafir Barat itu awalnya datang untuk kepentingan perdagangan barter berupa beras, dammar,  ikan, garam, dan hasil hutan lainnya, tapi kemudian memacak kekuasaan di daerah yang baru mereka tumukan ini.
 Mereka mengambarkan penduduk kawasan ini adalah kaum “alifuru’ dari pedalaman Minahasa yang tanahnya subur dan pandai bercocok tanam, serta orang-orang dari kepulauan Singihe Talaud yang animis, dan  pedagang Cina yang telah membaur dan berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Sebuah penegasan tentang pentingnya kedudukan dan pengaruh  kawasan ini dalam percaturan ekonomi dunia waktu itu, dilakukan oleh seorang ahli peta dunia Nicolas Desliens pada tahun 1541 yang mencantumkan nama Manado dalam peta dunia. Ia mengambarkan  masyarakat yang mendiami pesisir Manado yang pluralistik selain para pribumi dari Minahasa dan Sangihe Talaud, orang-orang Ternate,  juga terjadi asimilasi dengan para pendatang hingga ditemukan  selain orang-orang Cina dan keturunananya, juga masyarakat turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Manado dengan kedudukan Bandar di Pantai Sindulang disebut sebagai pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan Kopi ke daratan Cina. Mata pencaharian penduduk setempat ketika itu mayoritas  adalah bertani dan nelayan.
Sultan Hairun dari kesultanan Ternate telah mengklaim dimana Manado adalah fazal ekonomi kesultanannya sejak lama bersama-sama dengan beberapa kerajaan di Sangihe Talaud, karena berlimpahnya kekayaan hasil bumi daerah ini.
Sebelum masuknya Spanyol dan Portugis, gelombang urbanisasi kekawasan ini diperkirakan  cukup pesat dan intensif sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu terutama pada masa kerajaan Majapahit 1364 (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,11). Keadaan penduduk terus berkembang pada abad-abad berikutnya sebagai dampak dari kian ramainya aktivitas perdangan  di Manado.
Menurut catatan N. Graafland, gelombang urbanisasi besar-besaran orang-orang Sangihe Talaud ke kawasan kewedanaan Manado terjadi hingga awal abad  XIX. Perahu Kora-kora dan Tumbilung yang berasal dari kepulauan Sangihe Talaud terlihat datang dan pergi sepanjang waktu dan menambat di muara sungai Manado (Muara Kali Tondano). Ada yang juga berlabuh di dermaga utama kewedanaan Manado yang selesai dibangun tahun 1859 ( N. Graafland, 1991,16).
Sementara, Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen dalam buku mereka yang berjudul “Silsilas/Tarsilas (Genealogies) and Historical Narratives in Saranggani Bay and Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, and Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia”, memaparkan dimana sejak tahun 800-san orang-orang Sangihe Talaud telah mendiami daratan pulau Sulawesi bagian Utara termasuk pesisir Manado Utara. Bangsa Sangihe di kawasan ini adalah keturunan dari leluhur orang Sangihe yakni seorang Kulano dari Cotabato Mindanauw yang sekarang termasuk dalam wilayah negara  Filipina. Ketika itu kawasan Filipina Selatan adalah tanah-tanah suku bangsa Sangihe.
Selain data-data empiris rasional yang ditampilkan dalam buku tersebut  tentang orang-orang Sangihe di Sulawesi Utara, juga dikisahkan  dalam mite dimana sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano (raja) diserang oleh suku bangsa Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansadulage beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memeliki papehe (ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe.
Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap di hutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/ Bowontehu. Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano (Datu/Raja) dan Tenden Sehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage dan Tenden Sehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodaluduh atau Mokoduludud Versi Bolmong. Mokodaluduh yang artinya Pangeran dari khayangan. Mokodaluduh menikah dengan Bania/Baunia yang keluar dari buluh tipis kuning ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu dipelihara.
Pada suatu ketika tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang di sana-sini sehingga Mokodaluduh beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan. Bentenan berasal dari kata Bentengang, bahasa sangir yang berarti “angkat bersama, perjuangan bersama,membawah beban berat oleh beberapa orang". Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori utara teluk Tomini, Laloda dan Mangindanouw. Kemudian Mokodaludhu dan rombongan mengungsi lalu tiba di Pulisang. Pulisang berasal dari bahasa sangir yaitu kata Pelisang yang bearti terhindar dari musuh, tidak ketemu musuh. Rombongan membentuk sebuah formasi barisan pasukan berangkat menuju ke arah sebuah gunung, mereka berjalan mengintari (belitan) gunung lalu tempat itu diberi nama Gunung Lokong berarti (mengintari, mengelilingi, mengerumuni, menutupi) sekarang disebut Lokon. Mokodaluduh dan Baunia serta rombongan tinggal ditempat ini dan Baunia melahirkan seorang anak laki-laki lalu diberi nama Lokongbanua. Kemudian Mokodaluduh ingin mencari tempat seperti pasang Bentenan yaitu tempat berangkatnya perahu-perahu lalu tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh.
Mokodaluduh bersama rombongannya membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/ bercahaya/ bersinar (suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah atau menyingkir.
Dari sisi kewaktuan, mite di atas perlu di telusuri lagi sebab bila melihat data empiris yang ada dimana periode Kerajaan Bowontehu berlasung dari tahun 1400 sampai dengan 1500, di lajutkan dengan Periode Kerajaan Manado  (1500-1678),  sedangkan periode kerajaan – kerajaan Sangihe dan Talaud dimulai pada tahun 1425  sampai dengan pudarnya kerajaan – kerajaan itu pada tahun 1950 – 1951 dengan munculnya sistem pemerintahan daerah dalam era Republik Indonesia sesuai Konferensi Meja Bundar yang membawakan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
 Sementara Suku Bantik yang mendiami pesisir ini, meski saat ini cenderung telah diklaim sebagai salah satu sub suku dari etnik Minahasa namun menurut Ernst Kausen, Etnik Bantik berasal dari Sangihe yakni dari Kerajaan Kendahe. Dikisahkan,  pada tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangihe yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin Raja Sahmensi Arang (Syam Syach Alam), dengan wilayah bagian barat pulau Sangihe, pulau Kaluwurang, Maluku Utara bahkan hingga sampai ke Mindano Selatan. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit). Sebagian masyarakat yang selamat  terdampar di tempat yang bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa itu adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu.
Dari peristiwa tersebut selah seorang yang selamat adalah seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao, ke Beo, ke kema, ke Belang, ke Manaraw, Leok-Buol, sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow.
Bahasa suku Bantik, menurut Ernst Kausen, termasuk dalam AUSTRONESISCH, MALAYO-POLYNESISCH [1123, † 18; 295.3 Mio] WEST-MALAYO-POLYNESISCH PHILIPPINEN [6, † 0; 600 Tsd] kelompok Sangir (280 T)(D Tahulangdan, Lembeh, Siau, Karikitang, Tamako, Manganitu, Tahuna, Kandar, Tabukang, Sangil)Talaud (60 T) (D Kaburuang, Lirang, Karakelong, Beo, Awit, Dapalan,Arangka'a, Essang, Miangas) Ratahan (30 T), (D Ratahan, Bentenan, Pasan), Bantik (10 T), Tondano (100 T) (D Remboken, Ka'kas),Tonsea (90 T) (D Kalabat-Atas, Maumbi, Airmadidi, Likupang, Kauditan). Jadi Etnis Bantik merupakan anak suku Sangir Talaud.
Ini sebabnya gubernur VOC di Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir tualah  penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332. Bahkan Manado disebut bukan Minahasa, (lihat sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679, hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga kini orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw  (Manado) adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud.

Tradisi dan Kepercayaan
Kedatangan bangsa asing ke kawasan ini dimasa lalu telah  mengikwali terjadinya alkulturasi begitu dasyat dalam sistem nilai budaya dan kepercayaan orang-orang Minahasa (Bantik) dan Sangihe Talaud yang mayoritas mendiami pesisir ini.
Telah terpapar dalam senarai awal dimana sebelum masuknya  pandangan-pandangan agama semitik (Abrahamic Religion), Kristen dan Islam, masyarakat di sini digambarkan sebagai golongan orang-orang alifuru yang hidup dalam kepercayaan animisme yang melakukan praktek-prakten syamanisme. Setiap ladang, pohon-pohon yang rimbun berbuah lebat, laut yang berlimpah ikan, semuanya mengisahkan cerita magi masyarakatnya. Kemiskinan, kemelaratan, bencana dan malapetakan adalah tuaian dari benih dosa, kelalaian dan kealpaan. Dosa dan kealpaan itu harus disucikan lewat upacara  ritual magi.
Kepercayaan masyarakat yang telah berlangsung dalam kurun ribuan tahun sebelum persentuhan dengan kekristenan itu bahkan hingga kini relatif tetap dilangsungkan baik di Minahasa dan di Sangihe Talaud.
Para missionery Zendling Inggeris Codrington menyebut kepercayaan masyarakat itu sebagai budaya magi dari kepercayaan “Mana” (bahasa Melanesia untuk menyatakan suatu tenaga sakti penuh rahasia). Masyarakat purba (primitip) dan hingga kini masih meyakini   adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia yang berada dalam seluruh alam, sesuatu yang bisa mengerjakan atau menimbulkan kebahagiaan maupun pemusnahan. Oleh karena keyakinan ini, segala aspek pikiran dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan tenaga sakti dalam alam ini.
Lebih jauh membahas tradisi dan kepercayaan masyarakat yang mendiami kawasan ini tak lepas dari  asal usul mereka. Seperti juga orang-orang Sangihe Talaud,  orang Minahasa berasal dari utara. Bertalian erat dengan Mongolia, Tiongkok, dan Jepang. Hal itu didasarkan pada analisis antropologis seperti ciri-ciri fisik, gaya arsitektur, senjata tradisional, pakaian, sistim religi, serta bahasa.
A.L.C. Beekman,  ahli ilmu bumi ini berpendapat bahwa secara antropologis warna kulit orang Minahasa lebih terang dari bangsa Melayu lainnya, bermata hitam dan coklat serta berambut hitam lurus. Di sudut dalam matanya terdapat apa yang disebutnya Mongolschopil atau lipit Mongol yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang Jepang.
            F.S. Watuseke, seorang peneliti sekaligus budayawan Minahasa berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri fisik, jika menelisik gaya arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga, senjata tradisional [tombak, parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu, serta penghormatan terhadap arwah para leluhur, maka semua ini memiliki kesamaan dengan suku-suku Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di propinsi Yunan dan Tibet Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku Thai, Vietnam, dan Filipina.
Pdt. Tendean seorang ahli aksara Cina dan Mongol Kuno. Pada bulan Mei 1997, ia pernah berkunjung ke Watu Pinawetengan. Dari segi bahasa, ia meneliti dan menemukan satu coretan kuno yaitu ”Min nan tou” Olehnya, dalam bahasa Mongol Kuno, coretan ini memiliki arti ’Min’ artinya Raja yang bisa jadi menunjuk raja Ming, ’Nan’ artinya Pulau, dan ’Tou’ artinya Manusia atau Orang. Jadi ”MIN NAN TOU” artinya ”Orang turunan raja Ming dari pulau itu.” Pendapat ini diperkuat oleh C. Manoppo, seorang diplomat yang lama bertugas di Mongolia. Ia mengatakan bahwa baik nama marga mapun kepercayaan dan unsur-unsur budaya Minahasa dan Mongolia keduanya memiliki banyak kemiripan, ia mencontohkan misalnya marga Sondakh, Sandag dan Tendean ada juga di Mongolia.
Mengungkap konsep metafisis abstrak masyarakat purba dapat ditelisik melalui simbol, mitos, ritus, syair, sebab dengan semua cara itu pengungkapan mereka akan hal itu. Syair doa agama asli orang Minahasa  seperti dicatat J.G.F Riedel tahun 1870, pernah diteliti  oleh J. Hikson tahun 1889.  Berdasarkan syair doa dan nyanyian agama asli Orang Minahasa menurut penelitian tersebut, Tuhan bagi orang (tou) Minahasa pra-Kristen disebut Empung.
Tuhan atau Empung ini diatributkan secara superlatif yaitu Empung Wailan Wangko artinya Tuhan Maha Mulia dan Besar, Empung Renga-Rengan artinya Tuhan Maha Abadi/ Asal Keturunan. Corak superlatif-Nya sebagai Satu Yang Maha mengkarakterkan sifat monoteistiknya karena itu eksistensi diri-Nya adalah kemahaan-Nya, sekaligus kemahaan-Nya adalah esensi-Nya. Konsekwensinya, Ia dipahami dapat mempresentasikan diri-Nya dalam corak antroposentrik yaitu makan-minum seperti manusia sekaligus men-subordinasi-kan diri-Nya kepada si Lokon telu katua’an.
            N. Graafland, awalnya  berpandangan bahwa, ciri monotheistik ini dipengaruhi oleh kekristenan. Tapi setelah ia mempelajari secara lebih mendalam cara berdoa dan isi doa-doa asli orang Minahasa di berbagai tempat yang ia kunjungi, ia berkesimpulan bahwa orang Minahasa sebelum kedatangan kekristenan sudah mengenal satu nama. Dia menyebutnya ”aku akan ada, dan aku ada” [Ik zal zijn, die ik zijn zal].
Kruyt dan Schwarz mengatakan bahwa sementara mereka menyembah banyak dewa, ada satu nama yang sebenarnya bukan nama dalam arti yang biasa, yang mereka sebut “Empung Wailan Wangko”. Yang di bagian selatan disebut Si ni mema’ in tana [Yang membuat bumi] atau Si opo ni mema’in tana [dalam bentuk tunggal] yang juga mereka sembah. Jadi bercorak henoteistik.
J. C. Neurdenberg, bertolak dari teori evolusionistik, ia mengatakan bahwa awal dari penyembahan ilah manusia Minahasa bersifat monotheistik, mereka mengakui adanya Satu Yang Tertinggi [Si Empung], kemudian berangsur-angsur menjadi ‘polytheistik’ tapi bukan polydemonistik [banyak Iblis].
Opo bagi orang Minahasa adalah leluhur tapi tidak semua leluhur adalah Opo. Terminolgi Opo bersinggungan erat dengan persekutuan keluarga serta keturunan. Karena itu, ia diberi isi dan arti menurut fungsi, peran, dan tanggungjawab sang bapak sebagai penunjuk jalan, pemelihara, penjaga, pelindung, penolong, pembela, pelaku dan pemberi teladan hidup sekaligus simbol dari moral bapak, moral pemimpin yang menuntun dan mengarahkan manusia pada kehidupan yang sejahtera di dunia dan di alam berikutnya.
Karena itu, ia bersifat spiritual. Sesuai hakekatnya itu, mereka ia dihargai, dihormati sebagaimana pada waktu mereka masih hidup, karena mati dipandang sebagai berpindah tempat saja. Sehingga peran dan fungsi-fungsi, tanggung jawab dan wewenang, sifat-sifat dan kedudukan/status dan derajat mereka tetap diakui melekat pada mereka. Karenanya Tou Minahasa tetap berkorelasi dengannya di dalam seluruh segi kehidupannya. Dalam Zazanian ni Karema disebutkan ”Niaku tumao kariamio” ’aku akan hidup bersamamu.’ Namun tetap diingat bahwa baik esensi maupun eksistensinya dipahami bersifat subordinatif dari Empung Wailan Wangko.
Kematian dipandang sebagai pindah tempat saja dan karena itu kehidupan tetap berlanjut. Kehidupan sesudah kematian dilihat sebagai tempat yang penuh dengan kesempurnaan, keindahan dan kemewahan, terlepas dari segala kesulitan. Tempat tujuan mereka disebut Kasendukan. Mereka yang layak ke sana adalah mereka yang selama hidupnya memenuhi tuntutan dan ajaran para Opo. Sebaliknya mereka yang hidup tidak taat, mereka tetap berada di bumi dan berkelana dan kadangkala jiwa mereka dipahami berdiam dalam satu tempat tertentu dan menakut-nakuti orang yang masih hidup, kadangkala mereka masuk dalam tubuh binatang tertentu seperti babi atau ular atau juga pergi ke bawah bumi tapi bukan daam arti reinkarnasi atau dilahirkan kembali.
Salah satu bentuk ritual orang Minahasa adalah Poso. Poso adalah ritual perdamaian antara manusia dengan Opo yang dimediasi oleh seorang Wailan. Poso terjadi ketika manusia bersalah melanggar pantangan atau larangan yang diberikan oleh Opo. Orang yang melanggar pantangan atau larangan dari Opo itu biasanya akan menderita sakit, namun sakitnya tidak dapat dideteksi oleh orang biasanya bahkan pada zaman sekarang oleh ahli medis sekalipun. Maka untuk dapat mengetahui kejadian sebenarnya sebagai penyebab dari sakitnya, seseorang dapat meminta tolong seorang Wailan. Melaluinya si sakit dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Opo, dan akhirnya ketika diketahui apa yang dikehendaki oleh si Opo dan diketahui pula secara pasti apa kesalahannya terhadap si Opo itu maka diadakan perdamaian antara manusia dan Opo melalui Wailan, si sakit memenuhi apa yang diminta dari si Opo dan penyakitnya sembuh.
Relasi manusia dengan alam semesta, dipahami dalam konsep bahwa alam semesta sebagai tempat tinggal Opo-Opo yang dihargai oleh manusia. Penghargaan terhadap alam adalah penghargaan pula terhadap pribadi Opo-Opo itu. Misalnya sebuah pohon besar, hutan, atau binatang tertentu tidak akan diganggu gugat kelestariannya sejauh mereka itu dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Maka, musnahnya mereka berarti musnah pula perjumpaan simbolik antara manusia dan para leluhur.
Paham yang sifatnya teologis-paradoksal itu, seperti dijelaskan di atas, mendapatkan implikasi kristianinya yaitu penjelasan paham monoteistik tentang Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah dan pada konsep Empung Wailan Wangko sebagai ’Satu Yang Maha.’ Konsep inilah yang kemudian secara inkulturatif diberi makna kristiani yaitu Allah sebagai tujuan hidup manusia. Maka untuk mencapainya, Tou Minahasa kristen memerlukan peran eksternal yaitu nilai-nilai kekristenan dan terutama dalam diri Kristus sendiri sebagai Allah.
Opo-Opo dapat disejajarkan dengan para kudus yang memiliki kwalitas moral yang baik karena mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana juga Opo-opo yang menjadi ideal virtue bagi Tou karena mengikuti kehendak Empung Wailan Wangko. Mereka layak dihormati karena menampakkan sifat-sifat Allah namun mereka bukan Allah.
Menganai tradisi penguburan menggunakan waruga di Minahasa mulai ditinggalkan pada sekitar pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem penguburan dalam tanah yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan diperkenalkan dan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Namun, harus dicatat bahwa sampai menjelang berakhirnya kepercayaan terhadap roh leluhur dan makin kuatnya penganut agama Kristen, waruga masih tetap digunakan. Pada tahapan ini, penggunaan waruga bukan lagi dimaksudkan sebagai bentuk pengkultusan terhadap roh para arwah leluhur/nenek moyang, tetapi penggunaan waruga pada saat itu lebih merupakan sebagai bentuk apresiasi orang Minahasa terhadap budaya lamanya.
Dari proses perubahan yang telah dikemukakan di bagian terdahulu, jelas bahwa kepentingan missionaris untuk menyebarkan pesan Injil di daerah Minahasa merupakan faktor utama penyebab hilangnya tradisi penguburan menggunakan waruga. Cara yang dipakai untuk melakukan penginjilan kepada masyarakat Minahasa memang dilakukan secara tidak langsung. Penyebaran Injil dilakukan melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Missionaris mengajarkan ketrampilan bertukang, menjahit, dan jenis ketrampilan praktis lain yang sangat dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat ketika itu.
Di samping itu, missionaris juga mengajar anak-anak untuk mengerti membaca dan menulis. Peserta didik banyak yang kemudian tinggal di tempat missionaris untuk dididik, bahkan diberi uang saku dan pakaian. Melalui cara-cara seperti itu, agama Kristen mulai disebarkan dan ditanamkan kepada generasi muda Minahasa. Dengan demikian, ketika generasi tua semakin kurang perannya dalam masyarakat, dan generasi muda yang telah di-kristen-kan menjadi berperan, maka agama Kristen pun menjadi lebih dominan dibanding dengan kepercayaan asli Minahasa. Sebagai akibatnya, penguburan dalam waruga juga makin lama tidak lagi digunakan.
Selain itu, daerah Minahasa yang sering kali dilanda wabah penyakit menjadi peluang yang baik bagi para missionaris untuk memasukkan agama Kristen, melalui bidang kesehatan. Para missionaris dari NZG memperkenalkan pengobatan modern, di samping pemahaman akan lingkungan yang bersih. Pengobatan yang selama ini dilakukan secara tradisional, disertai dengan ritual-ritual penyembuhan yang dipimpin oleh seorang walian, perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan beralih ke pengobatan modern, karena tingkat keberhasilan penyembuhannya yang tinggi. Melalui cara seperti ini, kepercayaan terhadap walian menjadi berkurang, dan beralih menuruti pesan-pesan yang disampaikan oleh missionaris terhadap mereka.
Perubahan unsur budaya Minahasa juga terwujud dalam bentuk perubahan tradisi penguburan. Tradisi penguburan menggunakan waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Alifuru lambat laun berubah dan beralih ke tradisi penguburan dalam tanah yang dilatarbelakangi konsep kepercayaan dalam agama Kristen. Perubahan seperti itu memang tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap. Pada awal masuk dan berkembangnya agama Kristen, waruga masih digunakan. Penguburan dengan waruga ditinggalkan sama sekali pada awal abad ke-20.
Proses perubahan bertahap seperti itu tercermin dari perubahan pola hias waruga menjelang masa akhir penggunaannya. Hiasan-hiasan motif manusia pada waruga tradisional yang dibuat pada masa sebelum kedatangan pengaruh Eropa cenderung dihias dengan motif-motif yang mengandung makna magis, termasuk motif manusia kangkang dengan penonjolan genitalia.
Pada masa peralihan atau awal masuknya bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, dan Belanda), waruga dihias dengan motif manusia juga tetapi tidak lagi ditonjolkan genitalianya. Motif manusia seringkali digambarkan dengan menggunakan penutup genitalia sederhana atau ditutup daun-daunan. Pada tahap berikutnya, ketika pengaruh Eropa makin kuat, waruga dihias dengan motif manusia dengan pakaian Eropa.
Sementara itu, perkembangan akhir penguburan dengan waruga terjadi ketika pengaruh agama Kristen semakin kuat, dan tradisi tulisan menjadi bagian dari pengetahuan baru masyarakat. Tradisi tulisan ini juga menghiasi kubur waruga. Waruga dipahat dengan tulisan nama, waktu kelahiran dan waktu kematian orang yang meninggal. Nama-nama itu menunjukkan bahwa orang yang meninggal telah beragama Kristen. Karena itu, dapat ditunjukkan bahwa perubahan kepercayaan orang Minahasa dari kepercayaan Alifuru ke agama Kristen tercermin pula dalam budaya materinya, baik itu berupa perubahan pola hias waruga, maupun perubahan dari tradisi penguburan menggunakan waruga ke tradisi penguburan dalam tanah.
Sementara, masyarakat Sangihe Talaud di kawasan pesisir ini, seperti juga masyarakat di tempat asal mereka  sejak masa purba meyakini pentingnya persekutuan antara kehidupan manusia dengan kekuatan alam semesta. Dari persekutuan itulah kemudian diambil kesimpulan dalam aspek berpikir dan bertindak dalam kehidupan keseharian.  Kekuatan semesta itu berasal dari para Opo (roh orang suci atau orang perkasa yang telah mati), Ompung (roh dewa-dewi lautan) atau Taghaloang (Tagaroa), Ingang (peri-peri), Ghenggonalangi (Sang Maha Kekuatan pencipta semesta= Tuhan dalam pengertian agama-agama semitik), serta roh-roh penyebab petaka, diantaranya : Pehang, Mongang, Lahoe, Kabanasa, Setang, Ratoen Setang. Sedang roh-roh yang bersifat baik seperti : Saritana, Ading dan Ghenggona.
Dalam pelaksanaannya di masa kini ritual-ritual itu sudah dipengaruhi oleh berbagai ajaran etika agama-agama semitik terutama ajaran trinitas Kristen yang sudah berpengaruh sejak abad ke XVI dengan masuknya bangsa Eropa 1524 yang ditandai dengan berlabuhnya perahu para pelaut Spanyol di daratan ini.
Pangaruh ajaran Kristen dalam syair Sasambo dalam tradisi Sangihe sebagai misal dapat terlihat sebagai contoh pada sebuah lagung Kakumbaeda yang judulnya “ Mesubah” (menyembah) yang dalam satu lariknya mengatakan : Ia mesubah su Ghenggona Ruata Amang Kasuluang (aku bersujud kepada Allah Bapa pencipta semesta). Bagian dari larik ini mengambarkan bahwa Kakumbaeda (syair pengantar tidur anak) ini sudah berisikan ajaran Kekristenan, atau terjadinya singkretisme budaya. Syair Mesubah dalam jenis lagung Kakumbaede ini lengkapnya mengisahkan ikwal mula terciptanya kepulauan Sangihe Talaud yang berasal dari percikan keringat Malaikat yang kasihan dan ibah melihat Wawu, seorang peremuan, dengan perahunya yang tersesat di tengah samudera. Dari keringat malaikat itulah pulau-pulau Sangihe Talaud tercipta. Mengapa singkretisme? Ini disebabkan, meski Sasambo telah dirasuki ajaran kekristenan seperti masuknya pengertian Tuhan dari perpektif agama Samawi, tapi pengaruh itu tidak mengubah keyakinan dasar akan kepercayaan pra-animisme atau yang lebih tepat disebut sebagai dinamisme masa matriachat dalam Sasambo.
Pengaruh (alkulturasi)  ajaran agama-agama-agama semitik seperti ajaran Islam sangat banyak ditemua pada Sasambo Lagung Sesonda. Hampir semua lagung Sesonda dikunci dengan larik: Bismillah Bisah. Atau pada larik yang lain digunakan kata : Kum Paya Kum atau ual pata ual.
Namun bagaimanapun terjadi proses alkulturasi dengan ajaran-ajaran semitik, Sasambo tetap merupakan ritual yang dimaksudkan untuk suatu upaya pelibatan kekuatan-kekuatan rahasia dalam alam untuk menghidarkan manusia dari bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh roh-roh yang murka, atau membujuk roh-roh mekanis dalam alam untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Masyarakat Sangihe Talaud meski telah mengalami alkulturasi dalam peri budayanya, tapi tetap memelihara sistem nilai yang jelas dari budaya aslinya. Kultur Sasahara (kultur laut) dan Sasalili (kultur darat) yang menjadi jantung dari peri kehidupan keseharian masyarakat terus terpelihara sebagai sistem nilai yang agung hingga hari ini.  Dalam budaya sasahara misalnya : kita diajarkan untuk tidak menggaruk belanga nasi sampai mengeluarkan bunyi, karena nantinya, tanaman kita di kebun akan dimakan hama. Padahal, ajaran ini bermakna sifat menggaruk belanga nasi sampai kedengaran itu kurang sopan jika di dengar tamu atau tetangga. Atau jangan membiarkan kulit kelapa muda yang setelah kita ambil dagingnya terbuka begitu saja menghadap ke atas, karena jika sisa daging di kulit kelapa muda itu dimakan binatang, kita akan sakit. Padahal, larangan itu dimaksud agar kulit kelapa muda itu harus ditutup menghadap tanah agar jika datang hujan air tidak tergenang di dalamnya dan menjadi tempat berkembang biak nyamuk yang kemudian menebar penyakit bagi manusia.
Di laut, dilarang membuang sampah sembarangan atau mengeluarkan kata-kata sembarangan, karena akan menimbulkan kemarahan Ompung (dewa Laut). Padahal, ajaran ini mengisyaratkan ajaran pelestarian alam dan ketenangan dalam pelayaran.  Lewat syair-syair Sasambo semua hal ikwal perikehidupan itu diajarkan.
Namun demikian, banyak orang Sangihe Talaud saat ini mulai meninggalkan ajaran-ajaran  ritual itu karena dianggap berbenturan dengan ajaran Samawi. Sementara di pihak lain, meski orang Sangihe Talaud  sudah hidup dalam keyakinan semitik, dalam kesehariannya mereka tidak bisa meninggalkan kepercayaan lama yang telah mengakar dan terbukti ke-ada-annya. Hal ini dapat dibuktikan: Kalau ada bunyi cecak di depan pintu, orang Sangihe Talaud  sangat yakin akan segera ada tamu. Kalau waktu keluar rumah kemudian cecak berbunyi, maka yang akan keluar rumah membatalkan niatannya keluar untuk sementara waktu, sebab suara cecak itu diyakini sebagai peringatan roh dalam alam akan adanya bahaya yang menanti di luar rumah. Maka upaya menunda perjalanan itu sebagai tindakan menghidar malapetaka itu.  Orang Sangihe Talaud  sangat senang menanam bunga di depan rumah karena sari bunga itu menjadi minuman para peri. Dan peri-peri itu akan menganugerahkan ketentraman dan berkat bagi rumah yang dimaksud. Bagi kebanyakan orang Sangihe Talaud saat ini, ajaran-ajaran budaya itu tak mungkin ditinggalkan karena sudah menjadi identitas manusia Sangihe Talaud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar