Sabtu, 06 Juli 2013

Pendeta Hendrik Sinaulan 1903-1933 (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki


Paroki Singkil berdiri pada tahun 1903. Berdirinya aras pelayanan Paroki ini ditandai dengan penempatan Pendeta pertama yang ditugaskan menjadi Kepala Paroki Singkil yakni Pendeta  Hendrik Sinaulan. Ia bertugas sebagai pimpinan Paroki Singkil dari 1903  hingga tahun 1933, atau menjalani masa pelayanan selama 30 tahun. Sebuah record masa pelayanan di aras wilayah yang paling lama bila dibanding dengan masa penugasan seorang Ketua Wilayah sepanjang sejarah GMIM bersinode.
Teritorial pelayanan Paroki Singkil di kurun tahun 1903 hingga tahun 1933 membentang dari desa Singkil hingga desa Tongkaina dan meliputi daerah-daerah suku Bantik yakni dari Pancurang hingga perbatasan desa Wori (daerah gunung Tumpa). Di kurun tahun-tahun itu, lembah dan perbukitan kawasan ini masih diliputi hutan rimbah dengan beberapa areal perkebunan kelapa (ondorneming), serta perkebunan palawija dan ladang-ladang padi milik penduduk setempat. Tanaman buah-buahan seperti Mangga, Langsat, Manggustan, Durian juga sudah menjadi tanaman di kebun-kebun penduduk.

Muncul pertanyaan, apakah daerah pulau-pulau sekitar pesisir Manado Utara seperti Manado Tua, Bunaken, Siladen, Mantehage, termasuk dalam area pelayanan Paroki Singkil? Menjawab pertanyaan ini dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam. Sebab, belum ditemukan data-data akurat dan valid yang menegaskan penyatuan kawasan pulau-pulau itu dalam teritorial pelayanan Paroki Singkil. Sebelum GMIM berdiri pada 1934, kawasan pulau-pulau di depan pesisir Manado Utara tersebut telah memiliki gereja. Sebagai misal, pada tahun 1926 Pendeta Nigi telah berhasil membangun Gereja Protestan Bunaken di pulau Bunaken.
Bila dibandingan dengan kurun waktu pelayanan Pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil yang berlasung dari tahun 1903 hingga 1933, maka muncul pertanyaan pula apakah keberadaan Pendeta Nigi di Jemaat Bunaken yang telah bertugas sebelum tahun 1926 itu menjadi jawaban dimana daerah pulau-pulau merupakan sebuah teritorial pelayanan tersendiri dari perhimpunan zending di Minahasa? Diperlukan penelitian lanjutan kini atau dikemudian hari sebagai upaya mengungkap perjalanan Injil di jazirah pesisir dan pulau-pulau ini, sekaligus sebagai kesaksian perjalanan sebuah kabar baik yang datang menjumpai umat yang dikasihiNya.
Kembali ke Paroki Singkil, bila dibandingkan dengan saat ini, kawasan pelayanan Paroki Singkil ketika itu adalah teritorial pelayanan dari 5 Wilayah saat ini yakni; Wilayah Manado Utara I (Ma-Ut I), Wilayah Manado Utara II (Ma-Ut II),  Wilayah Manado Utara III (Ma-Ut III), Wilayah  Manado Wawonasa  Kombos (Mawako),  Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu).
Masyarakat yang mendidami kawasan ini ketika itu adalah suku Bantik-Minahasa (sub suku dari 9 sub suku Minahasa) serta orang-orang Sangihe Talaud, orang-orang Ternate, Gorontalo, keturunan Cina, Arab, dan Borgo (Keturunan Spangol-Portugis).
Di kurun itu, kawasan daerah tepi pantai yang membentang dari muara kali Tondano hingga muara kali Bailang, yang saat ini menjadi kelurahan Singkil, Sindulang, Karangria, Maasing, Tumumpa, Bailang dan Batusaiki  adalah area perkebunan kelapa.  Desa-desa di peisisr ini juga merupakan perkampungan para nelayan.
Di tengah bentangan perkebunan kelapa tersebut, ada 2 areal  onderneming  di kawasan ini yaitu: Pertama, ordeneming milik Sie Bun Ko yang terletak di Maasing, yang dikuasainya sejak tahun 1920 hingga 1957. Kedua, onderneming milik keluarga Kalengkongan yang terletak di Tumumpa, yang dikuasai sejak tahun 1921 hingga 1926. Kemudian kepemilikannya beralih ke tangan De Van Bode (1926-1928), selanjutnya beralih ke Ullers (1928-1933), kemudian beralih ke Kongsi Eng Goan Hien, Hiap Hong, Tek Hong (1933-1937). Kemudian dipegang Eng Goan Hien, sampai masa dinasionalisasikan pada tahun 1959.  
Sementara lebih ke utara, yakni daerah desa  Molas, Meras, Tongkaina, adalah areal hutan dan perkebunan yang merupakan tanah-tanah suku Bantik.  Kawasan perbukitan, Tuminting, Sumompo, Tuna, Kombos, merupakan hutan rimba dan perkebunan palawija rakyat.  
Daerah tepian utara daerah aliran sungai Tondano (Wawonasa dan sebagian besar Singkil Sindulang) merupakan wilayah pemukiman penduduk. Desa-desa seperti Buha, Bengkol, Pandu dan perbatasan Wori hingga gunung Tumpa adalah kawasan tanah-tanah suku Bantik yang juga merupakan areal perkebunan Kelapa, Palawija dan hutan rimba.
Di area pesisir, perkebunan dan hutan rimba inilah pendeta Hendrik Sinaulan berkarier selama 30 tahun. Tantangan yang tak ringan dipundakkan kepada seorang hamba Tuhan untuk bersaksi dan melayani aras pelayanan yang sedemikian luas. Masalah aksesibilitas yang terbatas kerena kurangnya, bahkan buruknya kondisi jalan yang menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya. Ruas jalan kecil dan tanah liat yang becek.  Belum adanya angkutan umum. Kecuali harus berjalan kaki, atau naik roda (kereta) yang ditarik seekor sapi. Bahkan untuk sampai ke desa di pesisir pantai harus menggunakan perahu. Perjalanan menggunakan perahu ini harus pula mempertimbangkan cuaca. Sebab pada musim angin selatan bertiup yang biasanya terjadi di bulan-bulan pertengahan tahun, atau terpaan angin Barat yang kencang pada bulan-bulan menjelang akhir tahun, kondisi perairan teluk Manado sangat sulit dilayari karena ombaknya besar disertai arus yang kuat.
Dari beberapa literatur dilukiskan dimana kondisi area pelayanan yang penuh tantangan dan rintangan ini tidak membuat semangat Pendeta Hendrik Sinaulan surut. Anggota jemaat yang tersebar di desa-desa pesisir dan areal-areal perkebunan harus di datangi dan dilayani. Masih banyak orang yang belum tersentuh Firman Tuhan. Masih banyak orang yang belum membaca dan mengenal Injil sebagai kabar baik keselamatan. Belum banyak orang hidup dalam pengharapan akan kasih Allah. Ia harus datang memberikan pertolongan, dan menuntun umat yang masih terjebak dalam kehidupan alifuru untuk keluar menemui kehidupan yang dikasihi Allah.
Selain itu, sebuah kondisi pekerjaan pelayanan yang amat berat di masa penjajahan Belanda yakni dimana tingkat pendidikan masyarakat masih begitu rendah. Bahkan sebagian besar anggota jemaat yang tidak mengenyam pendidikan formal, buta huruf, dan masih hidup dalam pengaruh-pengaruh kepercayaan (agama suku)  lama animisme dengan pola hidup yang masih mengandalkan praktek syamanisme. Belum lagi perilaku buruk dari tradisi mabuk-mabukan setelah menegak “Saguer” sejenis arak yang diambil dari pohon Nira. Juga minuman dengan tingkat kadar alkohol di atas 40 persen yakni Captikus, yang diambil dari hasil fermentasi minuman Sanguer.  
Keadaan ekonomi penduduk yang pas-pasan untuk untuk hidup sehari-hari, keadaan sanitasi yang buruk, rumah tempat tinggal yang sederhana dan gubuk. Tak ada sistim penerangan listrik.
Namun seperti dikisahkan para Rasul Tuhan dalam Kisah Para Rasul 20:28, dimana rasul Paulus meminta para tua-tua jemaat di Efesus untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri. Begitu pulalah Pendeta Hendrik Sinaulan bagi jemaat Paroki Singkil.
Guna memecahkan masalah di tengah tugas-tugas pelayannannya yang terbilang berat itu,  ia meminta para orang-orang tua di tengah persebaran desa-desa kecil di kawasan ini untuk ikut bersama mengembalakan umat Allah. Sebuah pekerjaan pekabaran Injil yang penuh tantangan di kurun awal aras pelayanan wilayah yang satu abad kemudian menjadi pondasi-pondasi pelayanan gereja yang kokoh di kawasan ini.

Membangun Gereja, Merintis Jemaat
Lantas siapakah sesungguhnya gembala pertama di tengah rimba pesisir ini? Seperti apakah sosok pelayan yang dengan teguh menggembalakan umat Tuhan hingga menjadi jemaat-jemaat yang kokoh dan utuh?
 Hendrik Sinaulan  adalah pendeta lulusan Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch Leeraren). Stovil berdiri pada tahun 1886. Ia dilahirkan di Manado, 9 Desember 1875, atau 25 tahun sesudah berdirinya organisasi Kerukunan Kristen Hosana Ambang Susah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Nazaret Tuminting(1850).  Meninggal dunia pada 8  November 1960, dalam usia 85 tahun. Menikah dengan Sophie Rintjap, dan dikarunia 2 orang anak: Engelbert Sinaulan dan Elfrida Sinaulan.
Sebelum menjalankan tugas pengembalaannya di Paroki Singkil, Sinaulan pernah menjadi Pendeta di Jemaat Suluun selama 10 tahun. Ketika diinagurasi di Stovil Tomohon, ia merupakan Inlandsche Leraar kelas 1 dari 9 lulusan waktu itu.
Sejak diangkat sebagai Kepala Paroki, Pendeta Hendrik Sinaulan langsung melakukan pembangunan gedung Gereja Singkil Sindulang yang merupakan pusat Paroki dimulai pada 1903. Gereja Singkil Sindulang merupakan bangunan  gereja pertama di kawasan pesisir Manado Utara sejak pelayanan Paroki Singkil ditetapkan oleh Komisi Perhimpunan Gereja Protestan Belanda di Tomohon.
Sementara, peribadatan di jemaat-jemaat terpencil di teritorial Paroki Singkil masih dilakukan di sejumlah bangunan gereja darurat atau menggunakan rumah penduduk yang diorganiser oleh orang-orang tua di tempat masing-masing.
Bila peribadatan dilakukan pada malam hari maka untuk penerangan dibuat lampu-lampu minyak tanah dari botol dan kaleng. Karena letak rumah-rumah penduduk berjauhan dipisahakan oleh areal kebun dan hutan, untuk mencapai rumah tempat peribadatan, setiap keluarga sejak siang akan mengumpulkan daun kelapa diikat rapi untuk dijadikan “Sido” (obor dari daun kelapa) dalam perjalanan menuju tempat ibadah.
Kata “Sido” ini begitu populer di kurun itu hingga tahun-tahun di bawah 1970 saat penerangan listrik belum jauh menjangkau daerah-daerah pedesaan di kawasan Manado Utara. Sido bagi masyarakat di kawasan ini sesungguhnya bukan saja bermakna obor, tapi sebuah tradisi bernuansa paganisme dimana kebiasaan membawa Sido saat berjalan di malam hari tidak saja berfungsi sebagai penerangan dalam perjalanan tapi juga sebagai tradisi mengusir gangguan makluk halus yang merintangi perjalanan di malam hari. Ada kepercayaan dalam masyarakat waktu itu dimana mahluk halus takut mendekati api. Maka fungsi sido bukan sebagai sarana mendatangkan cahaya saja tapi sebagai api yang mengusir mahluk halus.
Apakah kata Sido ini juga punya kaitan dengan dua angka dalam notasi yakni 7 (si) dan 1 (do atau du)? DR. Perry Rumengan seorang pakar musikologi menjelaskan dalam mistika bunyi nada 7 (si) disebut juga nada manusia, sedangkan nada 1 (do atau du) nada Tuhan (Ilahi).  Maka dari terminologi musikoligi kata Sido bisa bermakna terjalinnya hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini kita pun teringat metafora Yesus ‘Akulah Terang dunia’.  
Untuk penyelenggaraan Ibadah Perjamuan Asya yang selalu dipusatkan di gereja Singkil, maka jemaat-jemaat dari desa-desa terpencil yang jauh akan segera datang sejak subuh dengan membawa bekal agar bisa mengikuti perjamuan yang berlangsung hingga siang hari. Bekal makanan yang dibawah akan disantap agar mereka tidak lapar saat pulang ke desa masing-masing yang memakan waktu hingga malam hari dengan berjalan kaki. Di hari Minggu seperti itu pula di saat pulang gereja biasanya mereka akan mampir di rumah para sahabat dan kerabat dekat untuk bersilaturahmi, karena di hari-hari yang lain semuanya akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Pada saat Natal tiba, jemaat-jemaat akan segera memilih pohon-pohon muda yang bentuknya menyerupai pohon natal (pohon Den atau Cemara), untuk dihias terutama mengunakan kertas fuya, dan kapas yang menyimbolkan salju, lalu dilengkapi dengan gantungan lilin yang dibuat dari bambu. 
Suasana meriah dan khusyuk tampak di tempat ibadah baik yang masih mengunakan rumah penduduk sebagai gereja atau bangunan gereja darurat yang dibuat dari tiang dan dinding bambu dan campuran batang-batang kayu dengan atap katu (dibuat dari daun Rumbia dan batang bambu yang disebut Tori-tori, disusun dengan pola anyaman berderet hingga menjadi semacam bentangan atap). Orang-orang tua akan memimpin ibadah, anak-anak melafalkan ayat-ayat tentang kisah kelahiran Yesus Kristus dari kitab Injil. Para pemuda akan memainkan tonel (lakon/drama) tentang kisah kelahiran Yesus di Betlehem. Usai ibadah perayaan Natal suasana gembira segera tiba saat menyantap kue-kue terutama nasi jaha (nasi jahe) dan roti serta segelas kopi susu yang kental dan manis. Kopi susu adalah minuman istimewah ketika itu, sebab untuk mendapatkan susu begitu sulit. Masyarakat terkadang hanya bisa menikmati kopi susu setahun sekali yakni pada saat Natal atau Tahun Baru. Itu pun untung-untungan kalau ada.
Kegiatan peribadatan di gereja pusat Poriki Singkil sebelum berdiri gedung Gereja Singkil Sindulang dilakukan di serambi Hukum Besar Ticoalu yang  luasnya 4 X 10 meter. Dari Rumah keluarga Ticoalu,  kemudian dipindahkan lagi menggunakan Sekolah Manado IV.
Pendeta Sinaulan pada awal pelayanannya dibantu oleh 5 orang Penatua yaitu:  Penatua A Kapugu (ketika itu masih menjabat sebagai Hukum Tua Singkil Sindulang), Penatua Abraham Jacob Mohede, Penatua Ticoalu ( Ex Hukum Besar), Penatua  Gontha Simon Abuthan (Guru), Penatua Ferdinandus.  
Dalam masa 30 tahun pelayananya, Sinaulan tercatat berhasil mengorganiser anggota jemaat yang tersebesar diteritorial yang begitu luas, selain para nelayan, tukang dan pekerja ordeneming di kawasan Manado Utara, menjadi sidi-sidi jemaat di gereja Singkil. Ia mengangkat banyak Anak Sarani.
Dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret Tuminting dipapar dimana di kurun awal peritisan jemaat itu di tahun 1916-1933, pendeta Sinaulan memiliki lebih dari 200 anak sarani di kawasan rimba Tuminting itu. Selain itu, ia melakukan pendampingan pada upaya perintisan pembangunan sejumlah jemaat baru di  kawasan teritorial pelayanannya, seperti Jemaat Karangria, Jemaat Buha, Jemaat Bengkol, Jemaat Pandu, jemaat Tuna.
Salah satu karya terpenting dikurun kepemimpinanya adalah berdirinya Gereja Jemaat Nazaret Tuminting di Tahun 1933 yang dipimpin perintis jemaat Paulus Kawangung, dan berdirinya Gereja GMIM Bailang yang dipimpin guru jemaat Matheos Kasiaha.
Satu tahun kemudian, usai kepemimpinan Pendeta Sinaualan di Paroki Singkil, Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) disahkan pendirianya lewat keputusan Raja Belanda Wilhelm I pada 30 September 1934. Dengan berdirinya GMIM, pelayanan Indische Staats Kerk pun berakhir di Tanah Minahasa.
Dari Paroki Singkil dan setelah pensiun dari NZG, Pendeta Hendrik Sinaulan kemudian diangkat oleh Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sebagai anggota Majelis Gembala dalam Pucuk Pimpinan KGPM yang dipimpin A. Jacobus. KGPM berdiri pada 21 April 1933 atau 1 tahun lebih dulu dari GMIM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar