Jumat, 05 Juli 2013

SEJARAH GEREJA GUNUNG HERMON TUMINTING (2)



OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
 
I.           AWAL  MULA 1996-2000

II.1. Berawal Dari Nazaret

Sebagai sebuah ketetapan yang tak dapat diubah, demikian terbentuknya Gunung Hermon dan alur sejarahnya. Mungkin banyak orang tak pernah berfikir pada suatu ketika di bukit itu akan ada suatu menara lonceng yang setia mendeting memanggil umat Tuhan beribadah di rumahNya yang kudus. Kini, sudah 17 tahun gereja GMIM Gunung Hermon sejak dirintis pada 1996 hingga berdiri tegak di puncak bukit dengan kisah pelayanan tersendiri.
Awalnya hanya sebuah  Kanisah yang dibangun dari ramuan kayu pada tahun 1997. Bangunan sederhana, sesederhana Salib Kristus di Golgota. Bangunan yang menuai cibir dan sengketa umat ketika itu. Ada pula yang datang mau meruntuhkannya.  Menebang tiang-tiang penyanggahnya, merobek atap-atapnya, dan mendorongnya hingga runtuh ke atas tanah. Bukankah keinginan meruntuhkan itu seperti pula niat banyak orang mau meruntuhkan makna tiang palang penebusan Sang Juru Selamat. Bukankah Kristus hadir ke dunia untuk keselamatan UmatNya? Demikian juga kehadiran gereja sebagai sebuah ketetapan yang tak bisa diubah sebagai petanda kehadiran dan keterbentukan  societies deo itu sendiri.

Di atas bangunan Kanisah pertama yang runtuh itu, dua tahun kemudian kembali dibangunan Kanisah yang sama sederhananya. Kanisah yang terletak di perbukitan Lingkungan IV Kelurahan Tuminting itu seakan mau bercerita sisi terindah sebuah kisah kehadiran Gereja bagi Umat Tuhan. Sebuah kehadiran yang tak bisa diubah meskipun oleh carut-marut persoalan.  Kanisah itu kini telah berganti bangunan permanen dengan tataan arsitektur modern dalam tahapan penyelesaian.
Sebuah jemaat telah melintasi 17 tahun pelayanan sejak masa perintisannya. Mereka yang dengan sikap kerendahan hati  sejati, yang dipancarkan  gereja dan jemaatnya itu terus tumbuh dan bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan dengan sabar perkembangan demi perkembangan diayomi oleh FirmanNya dalam keyakinan bahwa Kristus dapat membimbing gereja dan jemaat ke suatu kesadaran bersama yang kokoh. Sebuah jemaat yang terbentuk dari sederet konflik yang kini menjadi pelajaran berharga, juga di kumudian waktu.
Cikal bakal berdirinya jemaat ini tentu tak lepas dari sejarah besar Jemaat induknya Nazaret Tuminting. Sebuah jemaat yang sejarahnya lebih tua dari organisasi Sonode GMIM. Bahkan Nazaret disebut sebagai salah satu jemaat yang ikut menyepakati berdirinya GMIM itu sendiri pada 1934.
Sejarah Jemaat Nazaret, dan buku Sejarah Wilayah Manado Utara II secara detail mengungkap dimana  lintasan panjang jemaat Nazaret Tuminting itu bermula pada pertengahan abad XIX. Tuminting ketika itu adalah kawasan rimba berawa dengan kali kecil yang dialiri mata air hidup yang berhulu di kaki-kaki  bukit dan bermuara di pantai kampung  Bitung Kecil (Keluarahan Karangria). Pohon-pohon kayu Mas mendominasi pemandangan rawa yang menggenangi cekukan lembah. Di baliknya, hutan lebat dan areal perkebunan palawija rakyat mengisi bukit-bukitnya yang membentang hingga ke kawasan Mayondi.
“Kawasan ini merupakan tanah-tanah adat Suku Bantik yang subur. Saat Bandar Manado di bangun pada tahun 1850, kebutuhan kayu dipasok dari areal hutan ini karena letaknya cukup dekat dengan Bandar. Para pekerja penebangan kayu dan tenaga tukang ketika itu adalah para pendatang dari Sangihe Talaud. Mereka diantaranya kemudian menjadi pemukim pertama di lembah yang banyak ditumbuhi kayu-kayu Mas ini, yang pada tahun 1916 mulai dihuni 20 kepala keluarga. Orang-orang Nusa Utara itu adalah keluarga-keluarga Kristen hasil misi pengginjilan para Misionaris Tukang dari Jerman di kepulauan Sangihe Talaud yang diutus gereja  Protestan Belanda Indische Staats Kerk  lewat organisasi misionaris Eropa (Nederlansche Zending Genoodschaap). Misi pelayanan para misionaris Eropa di Sangihe Talaud tidak saja membawa kekristenan tapi juga mendidik masyarakat akan teknik pertukangan, arsitektur modern, cara bercocok tanam, serta memperkenalkan dunia pendidikan modern. Ini sebabnya, sejak pertengahan abad XIX, untuk kebutuhan pembangunan kawasan kewedanaan  Manado banyak mendatangkan para pekerja pertukangan dari Sangihe Talaud. Karena belum ada Gereja resmi berdiri di kawasan ini, para perantau itu mendirikan kerukunan Kristen bernama ‘Hosana Ambang Susah’ terbentuk sekitar pertengahan abad XIX, sebagai organisasi diakonis dan pelayanan ibadah saat orang mati. Organisasi ini tak saja melayani ibadat pemakaman masyarakat di tengah rimba Tuminting tapi juga orang-orang Nusa Utara yang mendiami kawasan Gunung Potong Singkil dan Sumompo. Dari organisi inilah cikal bakal terbentuknya Gereja Nazaret Tuminting di kemudian waktu”. (Kabar Baik dari Pesisir, Sejarah Wilayah Manado Utara II. Iverdixon Tinungki).

Pada 17 Maret 1933, jemaat Protestan Tuminting akhirnya terbentuk dari buah kerja keras perintis jemaat Paulus Kawangung dan orang-orang tua lainnya di kampung Tuminting. Pada saat sinode GMIM dibentuk pada tahun 1934, jemaat Protestan Tuminting mengirim utusan pada pembentukan  Sinode GMIM dan menyatakan bergabung dengan GMIM.
Dalam usia 79 tahun, Jemaat Nazaret Tumiting  tak saja mengalami perkembangan dan kemajuan yang manarik ditelisik, tapi juga menjadi tonggak bagi berdirinya jemaat-jemaat lain di kawasan wilayah Pelayanan Manado Utara.
Jemaat Nazaret Tumiting sendiri berikwal hanya dengan 20 kepala keluarga yang melakukan ibadah dari rumah ke rumah, kemudian berkembang dengan berdirinya suatu jemaat otonom dengan bangunan gereja darurat pertama di tahun 1935. Pembangunan gedung gereja darurat pertama itu merupakan hasil kesepakatan dari rapat kampung Tuminting yang diadakan pada tahun 1932. Gedung gereja darurat pertama itu bertahan selama 21 tahun. Kemudian diganti selama dua kali periode pembangunan masih dalam bentuk darurat hingga masa berdirinya bangunan gedung gereja semi permanen di tahun 1961.
Pada tahun 1942 masa kepemimpinan Guru Jemaat Pertama Estefanus Takonselang, Jemaat Nazaret Tuminting di bagi menjadi 3 kolom (Jaga) pelayanan yakni; Kolom Tuminting, Kolom Tumumpa, Kolom Sumompo. Kemudian pada tahun 1946  Kolom yang ada di Tumumpa dimekarkan menjadi Jemaat Torsina Tumumpa yang otonom.
Pada tahun 1962, saat kepemimpinan Pedenta M. L. Wangkai Jemaat Tuminting yang awalnya hanya bernama Jemaat GMIM Tuminting diberikan nama Nazaret sehingga menjadi Jemaat GMIM Nazaret Tuminting.
Dalam periode kepemimpinan Pedeta Wangkai Jemaat Nazaret  yang sebelumnya telah berkembang menjadi 3 kolom kembali pasca pemisahan Jemaat Torsina Tumumpa menjadi otonom, dimekarkan menjadi 7 kolom yang beranggotakan 401 Kepala Keluarga yang terdiri dari 6 kolom di Tuminting dan 1 kolom di Sumompo.
Pada tahun 1984 pada masa kepemimpinan Ketua BPMJ Pnt. Drs. E. Lahope terjadi lagi pemekaran menjadi 14 kolom di Tuminting, sementara kolom di Sumompo dimekarkan menjadi jemaat otonom yakni Jemaat GMIM Getsemani Sumompo. Pada tahun yang sama, jemaat Nazaret Tuminting berhasil bangunan gedung Gereja permanen tahap 1 yang diresmikan Gubernur Sulut H. V. Worang.
Teritorial pelayan Jemaat Nazaret Tuminting hingga tahun 1986 masih meliputi anggota jemaat yang tinggal di kawasan Kilo Lima Sumompo.  Pada 1990 jumlah kolom kembali berkembang menjadi 23 kolom, yakni 19 kolom di Tuminting dan 4 kolom di Kilo Lima.
Pada 20 September 1995 kolom-kolom yang ada di Kilo Lima dimekarkan menjadi Jemaat GMIM Bukit Zaitun Sumompo.
Pasca masa rintisan dikisaran awal tahun 1996, akhirnya 1 kolom dari Jemaat Nazaret  yaitu kolom 19 yang oleh suatu kemelut pertentangan pendapat tentang pendirian Kanisah di atas bukit dilepas menjadi Cikal Bakal berdirinya Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting.
Dari sisi kedudukan dan tempat, Jemaat Gunung Hermon ini dari namanya mengesankan sebuah bukit atau puncak , dan memang terletak di atas bukit yang memagari kawasan Tuminting. Di lembah bagian selatan Jemaat ini berbatasan dengan Jemaat Tunggul Isai. Sejak tahun 1996, kawasan lembah selatan ini terus mengalami kepadatan jumlah penduduk. Bangunan-bangunan pergudangan dan pabrik menghimpit areal pemukiman. Kalau dulu satu-satunya akses ke jemaat ini adalah melalui tangga di tebing selatan dalam kondisi yang relatif curam dan tinggi, kini sebuh jalan aspal telah dibangun di bagian ujung dari sisi bukit yang bermula di tikungan jalan Dua Saudara. Pembangunan jalan ini tentu menjadi jawaban terhadap kekhawatiran masa lalu yang menjadi akar persoalan hingga dalam sejarahnya jemaat ini terdepak dari pelayanan Jemaat Induknya Nazaret. Tak ada lagi kesulitan aksesibilitas ke atas lokasi gereja  ini, karena sudah ada jalan yang baik yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
Di sebelah Utara, adalah kawasan pelayanan jemaat Getsemani Sumompo. Jemaat yang sempat menjadi tumpangan sementara dimasa 33 Kepala Keluarga di Kanisah atas bukit memisahkan diri dari pelayanan Jemaat Nazaret Tuminting. Di sebelah Barat, kompleks Lembaga Pemasyarakatan Manado (LP Manado). Di dalam LP Manado itu ada sebuah gereja bagi para Narapidana. Di sebelah timur adalah kawasan perumahan dan pekuburan tua.

II.2. Sebidang Tanah, Sebidang Sengketa

Sudah 17 tahun berlalu, tapi kisah yang melatari berdirinya Kanisah di atas bukit Tuminting Lingkungan IV yang kini menjelma menjadi Jemaat GMIM Gunung Hermon, seperti baru kemarin terjadi. Kanisah pertama yang runtuh, lalu dibangun kembali, kini pun telah berganti baru.  Setengah anggota kolom 19 dan beberapa anggota Kolom 18 Jemaat Nazaret Tuminting yang dulu terpaksa memisahkan diri dari pelayanan Jemaat Nazaret dan menjadi 1 kolom saat digabungkan ke dalam pelayanan Jemaat GMIM Getsemani Sumompo, pun telah berkembang menjadi 3 kolom di Gunung Hermon masa kini. Sebanyak 5 ketua jemaat telah mewarnai periode kepemimpinan di jemaat itu. Jemaat yang terbentuk dari kemelut  saat pemekaran 4 kolom di Jemaat Nazaret Tuminting untuk menjadi sebuah jemaat Otonom, tapi berujung pada terbentuknya dua jemaat otonom.
Bagaimakah kisah awal menarik itu? Bila dimetaforkan, “bagaikan sebidang tanah buat sebidang sengketa” begitulah mula jemaat ini terbentuk.  Diawali pada tahun 1996 atau di penghujung masa pelayanan Pendeta Ny. D. Montolalu-Pelleng, STh selaku Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) Nazaret Tuminting.  Ketika itu, para tua-tua Jemaat Nazaret Tuminting yang dipelopori antara lain Pnt. Rafles Sidangoli, Pnt. Arnold Tuwonaung, Ir. Hanny Sompie. Pnt. Marhaen Esmorit Mulalinda, Pnt. Hoker Kamea,SH, Letkol Pol Petrus Rualemba,SH mewacanakan pemekaran 4 kolom di Nazaret yakni: Kolom 16,17,18,19 untuk menjadi jemaat otonom. Wacana itu sesungguhnya sebagai respons atas surat  edaran dari Sinode GMIM,  mengenai pengembangan jemaat GMIM lewat pendirian Kanisah bagi jemaat yang jauh dari lokasi gereja induk. Maka pada tanggal 5 Februari 1996 diadakanlah rapat sidi jemaat di gedung gereja Jemaat Nazaret guna menampung berbagai aspirasi dan pemikiran di seputar wacana pemekaran tersebut. Pada saat itu beberapa warga di kolom yang diwacanakan untuk dimekarkan  di antaranya Matheos Sasambi dan Pnt.  Welly Areros memberikan usulan kongkrit  mengenai lokasi tanah untuk lahan Kanisah yakni yang terletak di atas bukit kolom 19. Menurut mereka, lokasih lahan untuk Kanisah itu sangat pas karena selain terletak di perbatasan Jemaat Nazaret,   juga strategis bagi  pengembangan jemaat di kemudian hari agar bisa menjangkau kawasan  Sinfoni Sumompo yang merupakan kawasan pemukiman baru yang dan sedang mengalami pertumbuhan penduduk yang begitu pesat.
Menindak lanjuti hasil rapat sidi jemaat itu, BPMJ Nazaret Tuminting kemudian melakukan peninjauan ke lokasi  tanah yang diusulkan yang terletak di atas bukit  kolom 19. Guna mendapatkan persetujuan pengadaan lahan untuk lokasi Kanisah tersebut, BPMJ kemudian membawa rencana tersebut dalam Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting. Dalam sidang, ternyata terjadi perdebatan sengit yang dipicu perbedaan pendapat antar Pelsus (Pelayan Khusus) mengenai lokasi tanah kanisah di atas bukit itu. Sebagian Pelsus tidak menyetujui lokasi di atas bukit dengan alasan, lokasi itu terlalu tinggi dan tidak ada akses jalan yang representatif untuk menjangkau lokasi tersebut. Mereka mengusulkan lahan tanah terletak di lembah di sekitar jemaat kolom 16. Sebagian lagi tetap bertahan agar Kanisah di bangun di lahan tanah di  atas bukit. Rapat pleno ketika  itu berakhir tanpa membuahkan hasil.
 Guna mencari kata sepakat,  digelarlah lagi Rapat Sidi Jemaat pada tanggal 21 April 1996 di rumah keluarga Tamungku Kalapis, dengan menghadirkan Sidi Jemaat dari  kolom 16,17,18 dan 19 , dan juga BPMJ Nasareth Tuminting. Lagi-lagi  terjadi perdebatan karena sebagian mengusulkan dilokasi kolom 19 dan yang lainnya berkeras di lokasi kolom 16.  Rapat saat itu kembali buntu tidak membuahkan hasil karena kedua kubu mempertahankan usulan masing-masing.
Pada 10 Juli 1996 diadakan kembali Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting  untuk menentukan tempat pembangunan kanisah, dan keputusan yang diambil saat itu adalah voting suara yang dimenangkan oleh sebagian besar Pelsus yang menyetujui lokasi Kanisah di atas bukit di kolom 19.
Sebagaimana file Keputusan Pleno Jemaat Nazaret tertanggal 10 Juli 1996, dimana saat itu Pdt. Ny. D. Montolalu- Peleng selaku Ketua Jemaat, dan Pnt. E. V.  Kapal selaku sekretaris Jemaat secara resmi menanda tangani hasil Keputusan Sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret Tuminting, tertanggal 10 Juli 1996, yang pada poin 2, dari 9 poin keputusan secara tegas menetapkan lokasi yang akan digunakan sebagai lahan Kanisah adalah Tanah milik keluarga Singko yang luasnya 600 meter bujur sangkar terletak di atas bukit Kolom 19. Dan pada poin ke 3 keputusan pleno itu memerintahkan BPMJ dan Komisi Pembangunan Jemaat melakukan pendekatan kepada pemilik tanah. Untuk masalah harga dan luas tanah diserahkan kepada Komisi Pembangunan untuk pengnegosiasiannya.
Sebagai implementasi hasil keputusan Sidang pleno pada  10 Juli 1996, Sym. Ny. Lutia Madelu sebagai bendahara Jemaat Nasaret Tuminting waktu itu bersama Komisi Pembangunan ternyata membayar tanah milik keluarga Wellem Rubai seluas 15 x 20 meter yang terletak di atas bukit kolom 19 yang bersebelahan dengan lokasi tanah keluarga Singko  sebagai lokasi bangunan Kanisah bagi 4 kolom yang telah disiapkan untuk dimekarkan.
Pembelian tanah di lokasi kolom 19 itu ternyata kian memanaskan situasi dan mempertajam perbedaan pendapat di antara Pelsus dan anggota jemaat di 4 kolom yang direncanakan untuk dimekarkan.
Pasca pergantian pendeta pada tanggal 1 September 1996 dari Pdt. Ny. Montolalu Peleng, STh  ke Pdt. Augustinus  Antou,STh, persoalan lahan Kanisah ternyata kian runyam. Pasalnya, ketika Pdt. Agustinus  Antou, STh tiba di pos pelayananannya yang baru di Nazaret, saat dimana ia belum sempat mempelajari  duduk persoalan dan perkembangan masalah penetapan lahan tanah untuk lokasih Kanisah bagi 4 kolom persiapan pemekaran, ia telah didekati   kolompok Pelsus yang menginginkan pembangunan Kanisah di lokasi Kolom 16.  Pendekatan kelompok Pelsus yang kalah voting pada pleno  10 Juli 1996 itu ternyata berhasil membujuk Ketua Jemaat Nazaret yang baru ini.  Pdt. Agustinus  Antou, STh pada Sidang Pleno Majelis Nazaret awal tahun 1997 akhirnya mengetuk palu keputusan yang baru dimana lokasi Kanisah di pindahkan dari atas bukit kolom 19 dan ditetapkan di  lokasi yang baru di kolom 16.
Sorak sorai  kubu pendukung lokasi Kanisah di kolom 16 atas ketukan palu dari ketua jemaat yang baru itu ternyata menjadi perasaan pedih di kalangan pendukung lokasi Kanisah di atas bukit. Reaksi keras pun mencuat dari separoh  anggota jemaat kolom 19 dan sebagian kolom 18 yang memegang teguh keputusan awal pada 10 Juli 1996 yang mengesahkan lokasi Kanisah di atas bukit. Kelompok itu  menganggap keputusan pleno 1997 ini tidak adil dan direkayasa oleh sekelompok Pelsus tertentu yang memaksakan kehendak lokasi Kanisah dipindahkan ke lokasi di Kolom 16.
Suasana makin panas ketika BPMJ Nasaret dan Panitia Pembangunan membeli sebidang tanah di lokasi kolom 16 sebagai implementasi keputusan pleno yang baru dalam kepemimpinan Ketua Jemaat Nazaret yang baru. Kubu pendukung Kanisah di bukit pun bereaksi dengan mengadakan rapat di rumah keluarga Areros Tumbio yang dihadiri Sym. A.  Adrian, Pnt. Welly  Areros, M. Sasambi, F. Wadja, S. Katilik, guna membahas percepatan pembangunan Kanisah di atas bukit sebagai aksi perlawanan atas keputusan pleno yang baru itu. Kelompok ini memegang teguh hasil keputusan pleno  10 Juli 1996. Pada saat rapat itu dilakukan aksi pengumpulan dana untuk pengadaan bahan bangunan darurat Kanisah. Aksi spontan itu akhirnya berhasil  mengumpulkan dana sebesar Rp. 150.000. Terdiri dari sumbangan Sym.  A. Adrian Rp. 50.000, M. Sasambi Rp. 25.000,  F. Wadja Rp. 25.000, Pnt. Welly Areros Rp. 25.000, S. Katilik Rp. 25.000. Uang yang terkumpul itu kemudian digunakan untuk membayar ongkos sensow kayu di tanah pekuburan Nasaret Tuminting sebagai bahan pembangunan Kanisah di atas bukit.  
Tindakan penyensoran kayu di lahan pekuburan Jemaat Nazaret oleh kelompok pendukung Kanisah di atas Bukit pada waktu itu sebagaimana memori Sym. A. Adrian, dituding sebagai aksi pencurian. Tundingan oleh kubu lawan itu kata A. Adrian tidak membuat mereka urung. “Bagi kami jemaat di atas bukit, tanah dan kayu tersebut adalah milik jemaat Nasaret, dan itu berarti juga milik jemaat kolom 19 dan sebagian jemaat kolom 18 yang berniat membangun Kanisah di atas bukit,” ungkap A. Adrian dalam percakapan dengan Tim Penulis pada 3 Februari 2013 di rumah Kel. Tinungki –Damura di Tuminting.
Dikisahkan Adrian, pembuatan Kanisah di atas bukit dalam bentuk darurat  pun dilaksanakan dengan menggunakan bahan balok dan papan dari kayu yang disensow, di lokasi pekuran Jemaat Nazaret. Pembangunannya dimulai dengan peletakan batu pertama oleh anggota jemaat pada tanggal  12 Juni 1997 dalam sebuah ibadah yang dipimpin oleh guru sekolah minggu kolom 19 Sdr. Hutdam Manurat. Di atas sebidang tanah, yang mencuatkan sebidang sengketa itu pun kini berdiri Bagunan Kanisah darurat yang pertama.


II.3. Kanisah Pertama Yang Diruntuhkan

                 Kegiatan pembangunan Kanisah pertama di atas bukit  mendapat dukungan penuh Pelsus Kolom 19 ketika itu yakni Pnt. Welly Lahengking dan Sym. Abram Adrian—dan para pendukung Kanisah di atas bukit baik dari kolom 18, dan kolom lainnya di Nazaret . Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Jemaat  Nazaret Tuminting dan Sejarah Jemaat Tunggul Isai, pembangunan itu dilakukan secara spontan dengan mengerahkan anggota jemaatnya secara gotong-royong di lokasi yang telah disiapkan dari pembelian lahan tahun 1996 sebagaimana ketetapan keputusan pleno 10 Juli 1996.
Rafles Katilik kepada Tim Penulis juga mengatakan kesaksiannya dimana pada waktu itu ia diangkat menjadi bendahara pembangunan Kanisah. Setelah dibentuk panitia maka mereka mencari dana untuk pembebasan tanah, dan bahan bangunan. “Kami dikoordinir oleh Bpk Welly Areros dan selanjutnya kami membangun Kanisah dari situlah cobaan, rintangan dan pergumulan  silih berganti. Sampai gereja di rombak atau di rusak dan pada waktu itulah kami menghadap polisi,” tutur Katilik.
                 Tindakan spontan kolom 19 dan sebagian anggota jemaat Kolom 18 membangun kanisah ini ternyata mendapatkan protes keras dari sejumlah warga dan para Pelsus dari 4 kolom yang merupakan kolom persiapan pemekaran yang tidak setuju dengan Kanisah di atas bukit. Alasan yang berkembang ketika itu, karena letak Kanisah di atas bukit terlalu tinggi dan sulit diakses oleh anggota jemaat yang kebanyakan rumahnya di lembah. Satu-satunya akses terbaik ke Kanisah hanya melewati jalan setapak  yang tidak begitu lebar dan kemiringannya relatif curam. Kondisi ketinggian letak kanisah ini tentu menyulitkan bagi para anggota jemaat Lanjut Usia (Lansia), atau mereka yang kesehatannya sedikit terganggu. Kendati pengadaan lahan untuk Kanisah ini dilakukan oleh Badan Pekerja Jemaat Nazaret Tuminting lewat Panitia Pembangunan Jemaat, tapi kisruhnya, pembangunan Kanisah di atas bukit  tersebut dipandang inskonstitusi oleh sebagian kalangan, dengan alasan pembangunan Kanisah itu belum diputuskan dalam sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret. Sementara itu, hasil pleno 1997 telah menetapkan pengalihan lokasi kanisah ke lahan di kolom 16.  
                 Perbedaan visi dan pandangan tentang pembangunan itu akhirnya terus merebak hingga ke sidang-sidang BPMJ dan Pleno Majelis Nazaret berikutnya, atau sudah pada masa kepemimpinan Pdt. Agustinus Antou,STh. Keretakan kolom-kolom persiapan pemekaran kian menajam menuju perseteruan fisik. Pihak Pelsus dan para perintis pembangunan Kanisah di atas bukit  serta anggota kolom 19 dan sebagian anggota kolom 18 yang justru responsif terhadap program jemaat untuk pembangunan Kanisah itu disalahkan.
            Dua blok yang berseteru terus saja melakukan upaya pembangunan kanisah di dua lokasi yang tersedia dalam bentuk bangunan darurat. Persiapan pemekaran menjadi satu jemaat akhirnya terkoyak-koyak menjadi dua kelompok yang berkeinginan menjadi jemaat mandiri.  Bentrok fisik dan tindakan perusakkan bangunan Kanisah di kolom 19 pun tak terhindarkan.
Beberapa pelaku sejarah yang diwawancarai Tim penulis mengatakan, aksi kekerasan dan perusakan itu muncul sebagai akibat kemarahan sejumlah anggota jemaat dari kubu pendukung pembagunan Kanisah di lokasi kolom 16 atas pembangunan Kanisah yang di atas bukit . Aksi kemarahan yang cenderung anarkis itu diikwali oleh seorang anggota jemaat bernama Hendrik Tondondame    tepatnya hari Minggu tanggal 7 Desember 1997 pukul 20.30 mendatangi rumah keluarga Areros Tumbio dengan maksud memanggil Pnt. Welly Areros yang dianggapnya sebagai otak dari segala upaya pembangunan Kanisah di atas bukit untuk berkelahi. Aksi tersebut diikuti  oleh sekelompok orang yang dalam keadaan mabuk berteriak dengan ungkapan, “sapa yang mo tanggapi pa torang jadi ini malam” (siapa yang menanggapi kami, akan terjadi baku hantam malam ini). Setelah teriakan di rumah Pnt. Welly Areros tidak di tanggapi oleh Pnt. Welly Areros dan pendukungnya,  aksi anarkis dilanjutkan keesokkan harinya,  Senin, 8 Desember  1997 pukul 17.30 wita, sambil membawa sebuah parang Hendrik Tondondame    menuju lokasi Kanisah di atas bukit, dan langsung memotong 9 tiang penyangga gedung dan merobek 6 lembar seng sebagai atap gedung.
Tindakan ini membuat anggota jemaat pendukung pembangunan Kanisah di atas bukit melayangkan laporan pengaduan pada hari itu juga yakni pada tanggal 8 Desember  1997 ke pihak Danrem 131 Santigo yang ditanda-tangani 12 orang, masing-masing: Bpk. Matheos Sasambi, Yonex Lembo, Bpk Welly Areros, Ny. Lutia Kasehung, Bpk Fredik Wadja, Ny. R. Adrian, Bpk Otniel Malamtiga, Marlenida Lutia, Fentje Kumeka, Marfel Malamtiga, Bpk Sonny Katilik.
Laporan pengaduan tersebut selain ditujukan kepada pihak Danrem 131 Santiago, juga ditembuskan ke : Danramil Kecamatan Molas, BAKORWIL Manado Utara II, DANDIM 1309 Manado, BPMJ Nasaret Tuminting, Camat Molas, Kapolda Sulut, Lurah Tuminting, Kapolsekta Manado Utara, BPS Sinode GMIM Tomohon. Berikut salinan laporan pengaduan tersebut dari berkas aslinya:


                                                                               Manado,  08 Desember 1997
Kepada yang terhormat :
Bapak Danrem 131 Santiago
Di-Manado

Dengan hormat,
Dengan penuh kerendahan hati, kami sebagian masyarakat Tuminting Ling. IV RT V RW 02 datang ke hadapan Bapak dengan suatu permohonan sekaligus melaporkan peristiwa pengrusakan gedung ibadah/kanisah yang masih dalam tahap penyelesaian.

Adapun kronologis peristiwa tersebut adalah :
1.    Pada hari Minggu tanggal 07 Desember 1997 pukul 20.30, sekelompok orang yang dalam keadaan mabuk di rumah Kel. Himpong-Kansil berteriak-teriak dengan ungkapan “sapa mo tanggapi pa torang, jadi ini malam”.
Dari sekian banyak orang yang hadir disitu, ternyata hadir pula seorang Perwira ABRI yakni Mayor Rualemba (Kadispen Polda Sulut). Sayang sekali kehadiran seorang Perwira Polisi semakin menyemangati mereka untuk terus berteriak dan tidak ada tanda-tanda pengamanan dari Perwira Polisi tersebut, padahal situasi semakin memuncak. Dalam waktu yang sama di lokasi yang sama pula sedang berlangsung ibadah Kaum Bapak di rumah Kel. Makasala – Santiago dan ibadah ucapan syukur Hari Ulang Tahun  di rumah Kel. Malamtiga – Tinungki. Sementara ibadah berlangsung masih saja terdengar teriakan-teriakan dan ternyata yang berteriak adalah salah seorang Pelayan Khusus Jemaat Nazaret Tuminting yakni Pnt. W. Bintang.
Merasa tidak puas karena tidak ada orang yang menanggapi sebagaimana yang mereka harapkan, maka salah seorang dari antara mereka yakni Hendrik Tondondame menyerbu rumah Kel. Areros – Tumbio sambil memanggil nama Bapak Welly Areros dengan kata-kata yang kasar sekaligus mengajak untuk berkelahi. Meski demikian Bapak Welly Areros tidak memberikan tanggapan apa-apa sehingga keadaan agak reda sedikit. Situasi seperti ini berlangsung sampai sekitar pukul 01.00 (dini hari).

2.    Karena tidak berhasil pada usaha sebelumnya. Maka dengan penuh semangat Bapak Hendrik Tondondame pada pukul 07.30 hari Senin, 08 Desember 1997 sambil membawa sebilah parang menuju lokasi gedung ibadah/kanisah dan langsung memotong 9 (Sembilan) tiang penyangga gedung dan merobek 6 (Enam) lembar seng sebagai atap gedung.

Dengan kedua peristiwa yang terjadi ini kami merasa keberatan sebab tindakan yang dilakukan itu diluar batas sebagai manusia yang Pancasilais. Oleh karena itu kami memohon agar Bapak Danrem 131 Santiago dapat mengambil langkah yang tepat untuk menangani masalah ini mengingat sampai saat ini keadaan masih rawan. Selain itu kami pun berharap agar mereka-mereka yang menjadi dalang semua ini dapat ditelusuri kesetiaan mereka pada Pemerintah, Bangsa dan Negara. Demikian laporan ini terima kasih.


Hormat kami,

1.    Mateos Sasambi                                
2.    Welly Areros                                      
3.    Fredy Wadjah                                    
4.    Otniel Malamtiga                                
5.    Fence Kumeka                                  
6.    Marfel Malamtiga                                
7.    Sonny Katilik                                      
8.    Yonex Lemboh                                   
9.    Ny. L. Lutia Kasehung                       
10.  Ny. R. Adrian Tahulending                
11.  Marlenida Lutia                                   


Tembusan
1.    Bapak Dandim 1309 Manado
2.    Bapak Danramil Kec. Molas
3.    Bapak Camat Molas
4.    Lurah Tuminting
5.    Badan Pekerja Sinode GMIM di Tomohon
6.    Bakorwil Manado Utara II
7.    Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM Tuminting
8.    Kapolda Sulut
9.    Kapolsekta Manado Utara (sebagai laporan)
10.  Arsip

                 Bila mencermati isi surat pengaduan di atas maka dapat dibayangkan betapa mencekamnya situasi ketika itu. Dari kesaksian berbagai pihak yang diwawancarai Tim Penulis, membenarkan dimana saat itu suasana begitu menegangkan. Seandainya kubu pendukung kanisah di atas bukit memberikan reaksi atas aksi kubu pendukung Kanisah di lembah kolom 16, maka keadaan rusuh yang tergolong massif tak terhindarkan lagi. Untung saat itu kubu pendukung Kanisah di atas bukit memilih diam tak menanggapi. “Kami memilih diam tapi tetap berjaga-jaga,” ujar Sym. A. Adrian. Menurut pengakuan Adrian, kubu pendukung kanisah di atas bukit meski tidak melakukan aksi perlawanan tapi semuanya sudah siap menghadapi situasi paling buruk jika terjadi aksi anarkhis dari lawan. “Saya sudah siap dengan parang. Kalau ada yang masuk mengamuk ke rumah saya, pasti saya potong,” ujarnya. Sementara keluarga Pnt. Welly Areros kepada Tim Penulis mengatakan saat itu mereka juga sudah siap dengan berbagai senjata tajam bila ada yang masuk ke dalam rumah. “Ayah saya sudah siap dengan panah ikan di depan pintu ketika itu. Kalau ada yang masuk menyerbu pasti dipanahnya,” kenang salah seorang anak Pnt. W. Areros.
                 Menurut memori Adrian, ketika surat pengaduan dilayangkan, pihak keamanan terutama kepolisian pun turun tangan mengamankan situasi agar tidak berkembang lebih fatal lagi.
                 Ternyata kubu pendukung pembangunan kanisah di kolom 16 belum puas dengan aksi mereka yang pertama. Dimana pada dua pekan kemudian, bangunan kanisah yang sudah dipotong-potong itu ditemukan telah runtuh. “Ada beberapa saksi mengatakan bangunan itu di tarik dengan tali hingga roboh,” ungkap Adrian.
                 Di atas reruntuhan bangunan kanisah pertama yang dibangun pada 12 Juni 1997 dan dipotong-potong pada 8 Desember 1997, lalu dirobohkan dua pekan setelah itu, jelas terrefleksi dimana suatu  keputusan Sidang Pleno Majelis Jemaat di Nazaret Tuminting yang cenderung dijalankan  plin-plan dan tidak tegas telah mengakibatkan kerusakkan yang luar biasa dalam keesaan hidup berjemaat.
                 Konflik itu dari waktu ke waktu terus meluas, tidak saja melibatkan BPMJ Nazaret, tapi telah menyeret keterlibatan Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW) Manado Utara II yang ketika itu masih dipimpin Pendeta J. Wenas, STh, dan juga pihak BP Sinode GMIM. Upaya mendamaikan dan menyatukan kedua pihak sangat sulit dilakukan, bahkan situasi kian mencekam.  Peristiwa itu telah melebar hingga ke ranah hukum dari aksi lapor-melapor dari kedua kubu. Penangan di rana hukum pun membias lebih besar, karena dalam laporan pertama oleh kubu pendukung pembangunan kanisah di atas bukit menyebutkan keterlibatan seorang oknum perwira polisi. Merasa nama baiknya tercoreng karena dilibatkan dalam laporan tersebut, sang perwira polisi melakukan gugatan balik kepada pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Dari berbagai berkas yang dikumpulkan Tim Penulis memukan data dimana dalam kasus ini para pelapor berkali-kali diperiksa oleh pihak kepolisian hingga 22 Juli 1998.

II.4. Kebijakan Yang Tak Bijak

                 Bila menelisik akar persoalan yang merebak menjadi kisruh di Hermon, apakah dapat disimpulkan karena sebuah kebijakan yang tak bijak? Jelas terlihat dimana dua ketetapan berbeda tentang lokasi pembangunan Kanisah hasil sidang pleno telah  membuahkan terciptanya dua kubu yang saling berselisih. Ketetapan lokasi di atas bukit kolom 19 pada 1996, dan ketetapan lokasi di lembah kolom 16 pada 1997. Di sini kita bisa menarik simpul  dimana sebuah keputusan yang tidak dijalankan dengan tegas justru akan melahirkan suatu kekacauan yang serius dalam kehidupan berjemaat.
                 Lantas bagaimana upaya BPMJ Nazaret dalam mempersatukan warga jemaatnya di 4 kolom yang terlanjur retak itu? Pada 4 Februari 1997 Sidang BPMJ dan Majelis Nazaret mencoba mencairkan situasi tegang di dua kubu dengan mengeluarkan keputusan penangguhan sementara pembangunan kanisah di Kolom 16 sebagai upaya meredam bentrokkan fisik dan juga menurunkan Tim pengembalaan. Baru pada tanggal 10 Agustus 1997 rencana pembangunan kanisah di kolom 16 dilanjutkan lagi atas keputusan rapat Panitia Pembangunan Jemaat Nazaret Tuminting. Pada tanggal 6 November 1997 Sidang Majelis Jemaat Nazaret Tuminting menyetujui pengaktifan kembali pembangunan Kanisah di kolom 16.
                 Langkah-langkah BPMJ Nazaret di atas ternyata tak lebih dari upaya memperpanjang waktu perselisihan. Merasa aspirasi mereka untuk mempertahankan pembangunan kanisah seperti rencana semula di Kolom 19 di atas bukit tidak diperhatikan oleh sidang Majelis di Nazaret, tapi justru cenderung mendukung pembangunan Kanisah di Kolom 16, maka Pelsus kolom 19 Pnt. W Lahengking dan Sym. Abram Adrian beserta anggota keluarga kolom 19 dan para pendukung dari kolom 18 melakukan aksi spontan membangunan kanisah pertama pada 12 Juni 1997 kemudian dirobohkan pada 8 Desember 1997 oleh kubu pendukung Kanisah di kolom 16, yang memicu persoalan kian krusial. Pada fase ini, BPMJ Nazaret nyaris tidak lagi memiliki titik terang guna mempersatukan kembali warga jemaatnya di 4 kolom yang terlanjur berkubu itu.
                 Miris benar merefleksi carut-marut dari buah kebijakan gereja yang menyebabkan terlontar keluarnya sebagian anggotanya.             Konflik ini seakan tidak punya titik reda. Kewibawaan Gereja sebagai institusi religious seakan tak lagi punya kebijakan ampuh dalam menyelesaikan konflik dalam rumahnya sendiri. Kewibawaan kepemimpinan jemaat Nazaret pun terperosok ke titik nadir. Penanganan persoalan gereja justru telah lompat pagar ke instansi penegak hukum. Lagi-lagi keesaan gereja di uji di aras pelayanan ini. Mampukah gereja memberi jawaban atas pergumulannya sendiri?
                 Itu sebabnya pihak Sinode GMIM pada 26 Januari1998 dalam menanggapi persoalan runtuhnya kanisah di atas bukit kolom 19 beserta dampak ikutannya dalam kehidupan kerukunan jemaat di Nazaret telah melayangkan Surat ke BPMJ Nazaret bernomor: K.1463/Dep.IV/1-98. Sinode secara tegas memberikan usul dan saran  di seputar penanganan pembangunan Kanisah di Nazaret. Dalam kurun kurang lebih 4 bulan, ternyata penanganan masalah pembangunan Kanisah di 4 kolom yang berkonflik belum juga menunjukan kemajuan. Untuk itu, Sinode kembali mengirimkan surat susulan tertanggal 30 April 1998. Surat Pengembalaan No. K.122/Dep.IV.40/4-98 itu kembali menegaskan  tindak lanjut penanganan masalah pembangunan Kanisah tersebut yang ditanda tangani Wakil Ketua BPS Pendeta DR. RAD Siwu dan Sekretaris Umum Sinode Pdt. J. N. Gara, STh, MA.  Sinode meminta agar persoalan yang telah melebar ke rana hukum ditarik, dan diselesaikan di dalam gereja saja yakni lewat Sinode dengan mengacu pada Tata Gereja GMIM tahun 1990.
                 Berikut 6 poin penting yang mendapat penekanan Sinode dalam surat nomor  K.122/Dep.IV.40/4-98 itu:

1.    Bahwa pelayanan Gereja adalah diatas segala-galanya. Jika ada perbedaan paham dikalangan Pelayan Khusus atau Warga Jemaat supaya digumuli dan diupayakan secara bersama-sama untuk mencari jalan keluar secara arif dan bijaksana. Keutuhan Jemaat adalah perjuangan kita sesuai pesan Filipi 2: 1 – 11. Didalam pelayanan demi keutuhan tidak ada istilah kalah dan menang, karena yang harus dimenangkan adalah pelayanan Gereja itu sendiri dalam tuntutan Tema dan Subtema pelayanan GMIM tahun 1995-2000
2.    Bahwa masalah perbedaan paham itu telah mengakibatkan konflik dan laporannya sudah disampaikan kepada Instansi diluar lingkungan Gereja, maka melalui surat ini di anjurkan agar laporan tersebut ditarik kembali karena masalah ini sedang ditangani oleh Gereja dalam hal ini Badan Pekerja Sinode sesuai Tata Gereja GMIM 1990 dan peraturan-peraturannya
3.    Bahwa adanya keputusan Majelis jemaat tentang 2 (dua) lokasi pembangunan Kanisah maka diatur pemanfaatannya, sebagai berikut :
3.1.  Pembangunan Kanisah dilokasi Kolom 19 sesuai keputusan Majelis Jemaat September 1996 disempurnakan status dan fungsinya sebagai tempat Ibadat sementara
Badan Pekerja Majelis Jemaat ditugaskan untuk penyelesaian sarana fisik dan pelayanannya
3.2.  Pembangunan Kanisah dilokasi Kolom 16 sesuai keputusan Majelis Jemaat Maret 1997 disempurnakan status dan fungsinya menjadi Pembangunan gedung Gereja untuk calon Jemaat baru yang akan dimekarkan pada hari peresmiannya
4.    Bahwa pada waktu yang akan datang ketika Gedung Gereja baru rampung dan calon Jemaat baru tersebut akan dimekarkan maka semua pihak mentaati seluruh ketentuan yang berlaku
5.    Bahwa dengan adanya pedoman yang dibuat oleh BPS untuk seluruh Anggota Majelis Jemaat Nazaret Tuminting diharapkan dapat dipahami sebaik-baiknya oleh semua pihak dan demikian semua yang dianggap bermasalah selama ini dinyatakan sudah selesai Marilah kita secara bersama-sama mengerjakan pekerjaan yang baik yang dipersiapkan oleh Tuhan Allah sendiri
6.    Bahwa segala sesuatu yang saudara-saudara laksanakan sesuai pedoman ini supaya dilaporkan kepada kami secara berkala.

                 Surat Sinode yang berisi 6 poin penegasan itu ternyata tak cukup ampuh meredam situasi yang terlanjur panas di 4 kolom persiapan pemekaran di Nazaret. Surat tersebut dari isinya terkesan menunda-nunda persoalan, bahkan tersirat mendukung keputusan hasil Sidang Pleno Nazaret Maret 1997. Apakah warga jemaat pendukung Kanisah di atas bukit bisa menerima saran dimana Kanisah mereka hanya menjadi tempat ibadah sementara? Dalam memori A. Adrian, ia mengatakan kubu di atas bukit menolak kalau Kanisah mereka hanya menjadi tempat ibadah sementara. Mereka tetap berkeras agar BPMJ Nazaret dan Sinode menegakkan kembali keputusan Sidang Pleno tahun 1996 yang telah menetapkan secara resmi pembangunan kanisah persiapan menjadi lokasi gereja bagi jemaat pemekaran  terletak di atas bukit kolom 19 itu.
                 Langkah-langkah memperdamaikan kedua kubu yang dilakukan BPMJ Nazaret dan Sinode pun kandas di tengah jalan. Penolakan terhadap surat pengembalaan Sinode dan aksi-aksi pengembalaan yang dilakukan oleh BPMJ Nazaret itu memang tak mungkin terespons dengan baik, karena inti dan subtansinya selalu memaksa agar pihak kubu Kanisah di atas bukit tunduk terhadap keputusan pleno 1997 yakni pengalihan kanisah ke kolom 16. Dalam suasana hati yang merasa dipermainkan dan diperseterukan oleh hasil keputusan sidang pleno yang mendua itu, membuat mereka mimilih untuk bersikeras agar keputusan 1996 di tegakkan. Apalagi, serangan-serangan dari kelompok kubu kanisah di lembah kolom 16 begitu sengit terhadap mereka, membuat situasi ketersinggungan mencapai tensinya yang tertinggi. Seakan tak ada jalan lain bagi lintasan perdamaian di kedua kubu. Persoalan hukum terus berproses sebagaimana laporan yang di sampaikan atas aksi perusakan Kanisah kepada pidak yang berwajib. Saran pihak Sinode agar laporan tersebut dicabut oleh pelapor tidak dilakukan.
                 Menanggapi aksi dingin terhadap surat Sinode itu, pihak BP Sinode akhirnya melakukan aksi potong kompas dengan melayangkan surat tertanggal 6 Mei 1998 kepada DANREM 131 Santiago untuk mencabut laporan aksi perusakkan kanisah di bukit kolom 19.  Berikut salinan Surat Sinode dimaksud:

Nomor      : K.151/DEP.IV/5-98.                                                                                  6 Mei 1998
Lamp        : Satu
Hal           : Masalah Pembangunan Kanisah
                   Di Jemaat Nasaret Tuminting

                 Kepada yang terhormat
                 BAPAK DANREM 131 Santiago
                 Di –
                        Manado

                 Dengan hormat,
Berdasarkan surat kami Nomor K.122/DEP.IV.40/4-98, tanggal 30 April 1998, yang kami tujukan kepada seluruh anggota Majelis Jemaat Nazaret Tuminting tentang tindak lanjut penanganan dan penyelesaian masalah pembangunan kanisah (suratnya kami lampirkan), maka dengan ini perkenankan kami mengusulkan agar masalah ini dijadikan masalah intern Gereja dan karena itu kami nyatakan menarik kembali surat yang telah dikirimkan pada tanggal 8 Desember 1997 oleh 11 (sebelas) orang anggota Jemaat GMIM yang berdomisili di Tuminting lingkungan IV RT V RW 2 yang dialamatkan kepada Instansi Bapak. Dan penyelesaian selanjutnya tentang pembangunan kanisah ini akan ditangani oleh Majelis Jemaat.
Demikian penyampaian kami dan atas kerjasama yang baik sebelumnya diucapkan terima kasih.

Hormat kami,

BADAN PEKERJA SINODE
GEREJA MASEHI INJILI di MINAHASA
Wakil Ketua, Sekretaris Umum,



Pendeta Dr. R. A. D. Siwu                     Pendeta J. N. Gara, S.Th, MA
(Selaku Pejabat Ketua)

Tembusan :
1.    Seluruh Anggota Majelis Jemaat Nasaret Tuminting
2.    Korwil Manado Utara II
3.    Sekretaris Departemen Teritorial Sinode GMIM
4.    Bapak Dandim 1309 Manado
5.    Bapak Danramil Molas
6.    Bapak Camat Molas
7.    Bapak Lurah Tuminting
8.    Bapak Kapolda Sulawesi Utara
9.    Bapak Kapolsek Manado Utara
                
                 Dengan dicabutnya laporan perkara perusakkan Kanisah oleh pihak Sinode GMIM lewat surat Nomor: K.151/DEP.IV/5-98 tertanggal 6 Mei 1998, maka persoalan di rana  hukum pun berakhir. Tapi apakah esensi persoalan di 4 kolom di Nazaret ikut berakhir? Ternyata tidak. Persoalan justru kian meruncing. Pencabutan laporan di Korem oleh pihak Sinode justru menjadi tanda keberpihakkan terhadap kubu pendukung Kanisah di kolom 16. Pihak kubu kanisah di atas bukit merasa kian tersudut oleh penyudutan itu. Lagi-lagi kita melihat sebuah lekuk sejarah menuju berdirinya sebuah jemaat dalam bimbingan kasih Tuhan di tengah kemelut yang mencengangkan ini.
                 Sementara pembangunan Kanisah di kolom 16 telah tuntas dan diresmikan penggunaannya menjadi Gereja Kecil pada 29 November 1998. Sedang Kanisah di atas bukit dengan anggota jemaat yang setia beribadat di kolomnya, terbiar bagai anak ayam ditinggal induknya. Matikah aktivitas peribadatan di tengah kelompok pendukung pendirian Kanisah kecil di atas bukit itu? Tidak. Tuhan menyertai mereka, atas kesetiaan mereka terhadap Tuhan. Tuhan menolong mereka untuk tetap bertahan meski dilupakan induknya. Tahun-tahun lewat dalam kegetiran sekaligus kegembiraan melayani. Tuhan senantiasa dimuliakan di puncak bukit kecil itu.
Pnt. Frederik Wajah kepada Tim Penulis ia memaparkan kesannya di sekitar proses terbentuknya jemaat gereja Gunung Hermon di kurun awal itu merupakan sesuatu yang sangat bersejarah karena di dalamnnya menuntut perjuangan yang tidak gampang, menyita waktu, perhatian dan pikiran karena harus melewati berbagai peristiwa yang tidak inginkan. Didalamnya ada tindakan brutal dari orang yang tidak ingin jemaat Gunung Hermon terbentuk sehingga terjadi kejadian-kejadian yang tidak diingini terjadi yaitu pemotongan, perusakkan bahkan sampai merobohkan gereja.
Sebenarnya katanya,  perusakkan sampai pada perobohan gereja ini, tidak akan terjadi kalau kedua pihak menyadari benar-benar sebagai orang yang percaya dan pengikut Kristus tentu segala sesuatu tindakan harus didasari kasih di dalamnya. Dengan duduk musyawarah maka ini akan melahirkan suatu keputusan sesuai dengan yang kita ingin. “Pada saat itu orang-orang yang tidak senang dengan kami berpikir dengan emosi, untungnya kami dari pihak yang dirugikan masih dapat mengendalikan emosi berpikir secara waras, kalau kita juga berpikir secara emosi melayani mereka, maka sudah pasti akan terjadi pertumbahan darah,” ujarnya.

II.5. Induk Yang Kehilangan Anak

                 Pada bulan Februari 1999 BPMJ Nazaret Tuminting mengirim surat  No. 119/BP – JT/II-99 kepada Pelsus Kolom 19 Pn. W Lahengking dan Sym. A. Adrian. Isi surat tersebut menyampaikan  tindak lanjut keputusan sidang pleno majelis Jemaat mengenai permintaan sikap pelayan khusus kolom 19, sekaligus keputusan sementara menonaktikan pelayan khusus kolom 19. Oleh sidang Majelis Jemaat Nazaret diputuskan pula penempatan caretaker Pnt. A. M. Tuwonaung sebagai Pelsus untuk melayani anggota jemaat kolom 19.
                 Reaksi atas surat berdasarkan keputusan sidang pleno Nazaret ini ternyata tak saja memicu kekecewaan yang berat bagi kubu pendukung Kanisah di atas bukit, juga kian memperjelas peta retakkan di kolom 19 menjadi dua kelompok yakni kolom 19a dan kolom 19b. Kolom 19a adalah kelompok yang tetap mendukung Pelsus lama, sedangkan kolom 19b adalah mereka yang mendukung Pnt. A. M. Tuwonaung sebagai caretaker Pelsus kolom 19 versi Nazaret.
                 Merasa kian tersudut oleh berbagai keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan BPMJ Nazaret Tuminting, Kubu kolom 19a yang terdiri dari 32 Kepala Keluarga pun menyepakati sebuah sikap untuk keluar dari jemaat Nazaret Tuminting. Berikut salinan surat pernyataan mereka:  

Manado,   17 April 1999

Yang terhormat,
Badan Pekerja Majelis Jemaat
Nasaret Tuminting
Di –
                 Tuminting

Syaloom!
Menjawab surat BPMJ Nasaret Tuminting No. 119/BP – JT/II-99 tentang penyampaian tindak lanjut keputusan sidang majelis Jemaat mengenai permintaan sikap pelayan khusus. Setelah dipelajari surat tersebut khususnya point 2 tentang keputusan sementara menonaktifkan pelayan khusus hal ini sangat fantastis, namun sebagai pelayan tetap melaksanakan tugas walaupun dalam lingkungan kolom.
Sebagaimana tercantum pada surat tersebut bahwa kami dimintakan sikap hal ini sangat didukung oleh anggota Jemaat, dan mendapat respon sehingga mereka datang kepada kami untuk menyatakan sikap yaitu menginginkan Jemaat Mandiri.
Hal ini kami sampaikan ke hadapan BPMJ Nasaret Tuminting untuk mengantisipasi agar domba yang ada tidak melompat kandang lain di luar GMIM, akan tetapi terpelihara didalam kandang semula. Sebagai wujud kebersamaan maka kami keluarga yang bertanda tangan dibawah ini (Daftar terlampir) tidak hanya menyatakan sikap dihadapan pelayan khusus, tetapi datang kehadapan BPMJ Nasaret Tuminting dengan suatu kerinduan suatu harapan kiranya keinginan untuk berdiri sendiri sebagai satu Jemaat mendapat realisasi.
Kami berharap kiranya kerinduan ini mendapat respon positif oleh BPMJ Nasaret Tuminting.
Kiranya Tuhan Yesus sebagai kepala Gereja dan gembala Agung senantiasa memberikan kekuatan iman kepada kami serta menganugerahkan hikmat kepada BPMJ Nasaret Tuminting.

I M A N U E L

Pelsus Kolom XIX

W. Lahengking

A.  Adrian                                                                                                        

                 Sikap melepaskan diri dari induk pelayanan di Nazaret ternyata sudah begitu mengkristal pasca pergumulan-demi pergumulan yang menimpa mereka. Apalagi secara dejure kolom 19a telah berstatus kelompok anggota jemaat kolom tanpa Pelsus.  Dengan ditempatkannya caretaker Pelsus ke kolom 19 dalam hal ini kolom 19b, maka kubu pendukung kanisah di atas bukit menjadi tidak jelas statusnya dalam jemaat Nazaret. Di lain sisi kebijakan-kebijakan Nazaret yang keluar belakangan dinilai sudah melenceng dari pentunjuk penyelesaian masalah sebagaimana yang ditegaskan oleh pihak Sinode GMIM.  Sebanyak 32 Kepala Keluarga yang mendukung Kanisah di atas bukit telah menjadi korban dan dipermainkan oleh sebuah keputusan Jemaat Nazaret Tuminting yang tidak ditegakkan secara tegas oleh kepemimpinan jemaat itu. Ini sebabnya pada tanggal 20 April 1999, 32 Kepala Keluarga di atas bukit kembali melayangkan surat Ke BPMJ Nazaret untuk meminta sebuah rekomendasi menjadi jemaat mandiri. Berikut salinan surat dimaksud:

Manado, 20 April 1999

Perihal     : Permohonan Rekomendasi
Lampiran  : 1 (Satu) Lembar                                                                    

Kepada Yth :
Badan Pekerja Majelis Jemaat
GMIM “Nazaret Tuminting”
Di –
                 Tempat

Salam sejahtera di dalam Yesus Kristus!
                 Melihat situasi kami anggota Jemaat yang merindukan berdirinya tempat Ibadah di lokasi Kolom 19 hingga saat ini tidak ada penyelesaianya, maka dengan ini kami menyatakan dengan jujur bahwa kami menginginkan agar BPMJ memberikan rekomendasi sehingga kami boleh berdiri sendiri sebagai satu Jemaat di lingkungan pelayanan GMIM. Hal ini kami harus sampaikan agar keutuhan warga GMIM tetap terpelihara mengingat kami yang mendukung pembangunan tempat ibadah di lokasi Kolom 19 telah berupaya secara sukarela, sehingga saat ini kami telah memiliki sebidang tanah. Dengan adanya kepemilikan sebidang tanah tersebut secara tidak langsung kami memiliki peluang untuk mendirikan bangunan tempat ibadah sesuai keinginan kami, namun kami sangat menyadari bahwa program “Panca Sadar” khususnya sadar institusi masih menjadi bagian kehidupan kami dalam berjemaat.
                 Oleh karena itu, melalui surat ini kami mengharapkan agar permohonan rekomendasi ini dapat diterima oleh BPMJ sehingga permasalahan yang mengakibatkan Pelsus di Kolom 19 yang dinonaktifkan dapat terselesaikan dengan tidak meninggalkan kesan buruk baik bagi kami warga Jemaat maupun bagi BPMJ.
                 Akhirnya kiranya Yesus sang Kepala Gereja memberi hikmat dalam kelanjutan pelayanan kita semua

Hormat kami,
                                                                                
(Terlampir)

DAFTAR KELUARGA YANG BERTANDA TANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
KEL. MANDAK – GAHINSA
KEL. GOLOSE – TINUNGKI
KEL. SASELA – MALENEHE
KEL. MAKASALA – SANTIAGO
KEL. SINGAL – BAWOLE
KEL. PAPARANG. A
KEL. ALUNGUNUSA - KAHIKING
KEL. MALAMTIGA – TINUNGKI
KEL. KUDAMPA – TATUIL
KEL. SANTIAGO – MUTIARA
KEL. SASAMBI – TEMPONE
KEL. SAKEMPE – TATANGINDATU
KEL. SADA – SAHEMPA
KEL. MALAMTIGA – MAKASALA
KEL. DILI – MALAMTIGA
KEL. LEMBOH – DORONGGALO
KEL. TAKAPULUNGAN – BOGAR
KEL. WADJOH – MUTIARA
KEL. KATILIK – TAMASALA
KEL. MANURAT
KEL. AREROS – TUMBIO
KEL. MAHENGKENG – MANTIRI
KEL. LUTIA – KASEHUNG
KEL. GOLOSE – PAMEBARENG
KEL. GOLOSE – KAIDA
KEL. LAMPUS – RUMBAYAN
KEL. NAYOAN – LUTIA
KEL. ADRIAN – TAHULENDING
KEL. SELA – ABBAS
KEL. VENTJE KUMEKA
KEL. ARAMBAU – SANDANG
KEL. LAHENGKING - ARAMBAU

                 Sikap jelas yang dilontarkan 32 Kepala Keluarga untuk berpisah dengan Jemaat Nazaret ini apakah menjadi tohokan yang kuat dalam menghempas semua kebijkan Nazaret yang menyudutkan mereka yang di atas bukit? Pdt. A. Antou, STh, sebagaimana di tuturkannya dalam Buku Sejarah Jemaat Nazaret, menerima dengan lapang dada semua kritik yang diarahkan padanya sehubungan dengan konflik dua Kanisah di Nazaret. Kendati di lain sisi ia berkilah dimana keputusan dan kebijakan-kebijakan penyelesaian konflik itu merupakan produk dari sidang pleno Majelis yang dipimpinya bukan kebijakannya pribadi selaku Ketua Jemaat Nazaret.

II.5.1. Kelemahan Pdt. A. Antou, STh   
                 Menurut Pdt. A. Antou, STh sebagai Ketua Majelis Jemaat ketika itu, ia tersandung berbagai kendala seperti; Pertama, secara mendasar ia tidak tahu persis tentang persoalan di kolom 19 dari awal peristiwa. Kedua, ia harus bertanggungjawab apapun resikonya. Ketiga, dari sisi cultural ia melihat pengaruh budaya Sangihe Talaud yang keras tampak dalam temperamen orang-orang yang berada di sekitar konflik tersebut, dimana ada orang yang meskipun ia sadar berada dalam posisi salah tetapi bersikap keras, dan tak mau mengalah demi gengsi pribadi.
                 Namun kata Antou, bila kita merefleksi konflik di masa lalu ke kenyataan masa kini, barangkali isyarat profetis Allah memang harus dinyatakan kembali di atas Bukit Tuminting itu, sebuah kolom harus pecah, dan di tengah perpecahan itulah Gereja Tuhan harus dibangun kembali.
                 Kesaksian beberapa pelaku sejarah di Hermon kepada Tim Penulis mengatakan, pergumulan pembangunan Gereja kecil di kolom 19 (atas bukit), yang menjelma serentetan persoalan krusial dalam Jemaat Nazaret sejak Juni 1996, yang berujung pada perpecahan, bagi sebagian orang dipandang sebagai kelemahan kepemimpinan periode Pendeta Antou. Sikap Pdt. A. Antou, STh dalam penyelesaian kasus ini terlalu hati-hati. Ia memilih upaya perdamaian silang pendapat itu, bukannya menegakkan keputusan yang sudah dibuat. Beberapa langkah yang diambil sebagai keputusan sidang pleno Majelis terhadap kasus kolom 19 adalah: Pengembalaan oleh Tim Pengembalaan yang terdiri dari Pnt. M. E. Mulalinda, Sym. F. Rongkonusa dan Guru L. Gosal. Ternyata upaya itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Konflik yang telah membentang sejak masa Pendeta Montolalu Pelleng ini terus memanas dan mengantar kolom 19 pecah menjadi dua kelompok yakni kolom 19a, dan kolom 19b. Getah pelayanan dan penyelesaian konflik kolom 19 ini harus diterima oleh Pdt. A. Antou, STh kini dengan lapang dada.
                 Lepas dari itu semua, saat ini semua orang bisa melihat bagaimana konflik-konflik itu telah berlangsung laiknya sebuah khotbah di atas bukit Tuminting. Khotbah  yang dikumandangkan lewat serentetan konflik, dan di sana telah tumbuh satu Jemaat Tuhan yang baru. Semua orang pun bisa bercermin  dari rentangan sungai sejarah Gereja di tengah bangsa-bangsa, sebuah simpulan sederhana dapat ditarik bahwa, friksi-friksi di tengah Jemaat Nazaret ini hanyalah sebuah anasir dari lakon besar karya penyelamatan dalam Yesus Kristus. Sebab sebagian besar Gereja di Indonesia justru dibangun di atas darah para martir. Dan bukan tidak mungkin, perpisahan Jemaat Nazaret dengan sebagian warga kolom 19 yang kini memilih berpisah dengan jemaat induknya merupakan khotbah di atas bukit itu sendiri. Inilah sisi mengharukan yang menjadi keunikan dari masa kepemimpinan Pdt. A. Antou, STh. Di Jemaat Nazaret Tuminting. Keunikan itu dikarenakan ia harus melanjutkan tanggung jawab pelayanan dan penyelesaian masalah kolom 19. Masalah kolom 19 yang berawal dari agenda Sidang Majelis Jemaat tentang pendirian gedung Kanisah (Gereja kecil) di lokasi kolom 16 – 19, yang notabene akhirnya memiliki dua tempat yang berbeda secara topografis. Yang satu di atas bukit sedang yang lainnya di dataran sekitar kolom16.
                 Pasca pernyataan sikap 32 Kepala Keluarga untuk memilih berpisah dengan Nazaret, ketika itu sejumlah wacana bermunculan di seputar status dari 32 Kepala Keluarga Kristiani ini. Ada pihak yang melontarkan ide agar mereka mendirikan saja GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud) di atas bukit itu, karena mereka menganggap GMIM telah mengecewakan mereka. Namun sebagian merasa harus bertahan di GMIM. Dalam waktu dan situasi yang cukup genting itu, peribadatan tetap saja berlangsung secara biasa di tengah 32 Kepala Keluarga yang sudah mempolopori berdirinya jemaat mandiri itu.
                 Baru pada saat Pendeta J.Lontoh, STh tiba di pos pelayanannya pada 1999 sebagai Ketua BPMW Manado Utara II menggantikan Pendeta Wenas, kemelut di Tunggul Isai dan Gunung Hermon ini menjadi tantangan tersediri baginya untuk diselesaikan. Ketika ditemui  di ruang kantor Ketua BPMJ Betesda Ranotana Manado pada Rabu, 6 Juni 2012 Pendeta J. Lontoh, STh memaparkan, persoalan Jemaat Tunggul Isai dan Gunung Hermon yang dimekarkan dari beberapa kolom Jemaat Nazaret Tuminting memang merupakan prioritasnya ketika itu. Untuk meredam situasi panas di kedua jemaat itu, BPMW yang dipimpinnya menempuh kebijakan dimana keluarga-keluarga  yang ingin berdiri sendiri menjadi jemaat itu untuk sementara waktu digabung dengan Jemaat Getsemani Sumompo.  Sejak diluncurkan kebijakan Majelis Wilayah itu, akhirnya Jemaat dari Kanisah kecil di atas bukit mendapatkan tumpangan di Jemaat Getsemani Sumompo. Kebijakan ini berhasil memutuskan rantai masalah yang menjerat  warga Kanisah Kecil dengan induknya Jemaat Nazaret Tuminting.
                 Jemaat Nazaret sendiri dalam Sidang Pleno pada 21 April 1999 telah menelorkan sebuah keputusan merestui berdirinya suatu jemaat otonom bagi 33 Kepala Keluarga yang menyatakan keluar dari Nazaret.
                 Meski Pelsus kolom 19a berada dalam status dinonaktifkan, tapi pada tanggal 6 Juni 1999, Sym A, Adrian melaksanakan tanggung jawabnya selaku pemegang keuangan kolom 19a dengan menyetor uang persembahan periode bulan Januari hingga Mei 1999 kepada Bagian Keuangan/ Perbendaharaan Jemaat Nazaret Tuminting  H. Siudu sebesar Rp. 116.750. Setoran itu merupakan penutup sekaligus babak akhir dari hubungan administrasi antara mereka yang di bukit dengan induknya Nazaret.

II.6. Eksodus Ke Sumompo

Bagaimana pun krusialnya sejarah terbentuknya,  Jemaat Gunung Hermon telah berdiri dari semangat umat Kristiani yang senantiasa merindukan perjumpaan yang indah dengan Yesus Kristus Tuhan. Mereka adalah anggota jemaat Nazaret Tuminting yang dengan terpaksa harus mengihklaskan hati memisahkan diri dari jemaat Induk Nazaret, karena mereka merasa terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan di Jemaat induknya tersebut.
Sejak kisruh yang terpicu pada masa perintisan pembelian tanah di atas bukit pada 10 Juli 1996 hingga masa peletakan batu pertama pada 12 Juni 1997, jumlah anggota jemaat yang mendukung kedudukan lokasi Kanisah bagi 4 kolom ( Kolom, 16, 17, 18,19) yang dipersiapakan untuk dimekarkan dari Nazaret terus menyusut. Bila bercermin dari hasil Sidang Pleno di Nazaret pada 10 Juli 1996 untuk menentukan tempat pembangunan kanisah, yang keputusannya diambil lewat voting suara yang dimenangkan oleh sebagian besar Pelsus yang menyetujui lokasi Kanisah di atas bukit di kolom 19, maka seharusnya pendukung pembangunan Kanisah di atas bukit adalah lebih dari separoh jemaat Nazaret. Namun pasca sidang pleno Majelis Nazaret awal tahun 1997 masa kepemimpinan Pdt. Agustinus  Antou, STh yang menelorkan keputusan dimana lokasi Kanisah di pindahkan dari atas bukit kolom 19 dan ditetapkan di  lokasi yang baru di kolom 16, maka jumlah pendukung dan simpatisan terus mengecil. Di kolom 19 sendiri, warga kolom telah pecah menjadi 2 yakni Kolom 19a dan Kolom 19b akibat persoalan tersebut. Jumlah yang mendukung tinggal 17 Kepala Keluarga yang merupakan anggota kolom 19a. Sementara di kolom 18 tinggal beberapa Kepala-Keluarga saja yang tetap konsisten dengan rencana semula yakni pembangunan Kanisah untuk jemaat pesiapan pemekaran di atas bukit. 
Di tengah kebijakan Nazaret yang miris itu, warga kolom 19a bersama kedua Pelsus tetap bertahan melakukan peribadatan di kolom, meski BPMJ Nazaret sendiri telah menunjuk seorang Pelsus untuk melayani kolom 19b. Selang waktu kurang lebih 2 tahun dalam keadaan memprihatinkan tanpa status yang jelas di lingkungan pelayanan GMIM (1997-1999), baru muncul sebuah kebijakan Sinode lewat Bandan Pimpinan Majelis Wilayah (BPMW) Manado Utara II tentang penggabungan Para pendukung Kanisah di atas bukit dengan pelayanan Jemaat GMIM Getsemani Sumompo sambil mempersiapkan diri menuju berdirinya sebuah jemaat otonom .
Saat digabungkan ke pelayanan jemaat Getsemani Sumompo, jumlah Kepala Keluarga di Kolom 19a kembali naik menjadi 23 KK masing-masing:
Kel. Mandak – Gahinsa                              Kel. Golose – Tinungki
Kel. Kel. Sasela – Malenehe                     Kel. Makasala – Santiago
Kel. Singal – Bawole                                   Kel. Santiago – Mutiara
Kel. Areros – Tumbio                                  Kel. Paparang – Alungnusa
Kel. Alungnusa – Kahiking                                   Kel. Wajah – Mutiara
Kel. Lampus – Rumbayan                                     Kel. Mahengkeng – Mantiri
Kel. Sela – Abas                                          Kel. Katilik – Tamasala
Kel. Malamtiga – Tinungki                                     Kel. Kudampa – Tatuil
Kel. Huddam – Manurat                             Kel. Esuru – Adilang
Kel. Lemboh Dorongalo – Pontoh            Kel. Takapulungan – Bogar
Kel. Lahengking – Arambau                     Kel. Adian – Tahulending
Kel. Arambau – Landang

Sementara para pendungkung Kanisah di atas bukit dari kolom 18 yang konsisten ikut dalam eksodus ke Getsemani Sumompo sebanyak 10 Kepala keluarga.
 Kel. Sasambi – Tempone                           Kel. Sahempa – Tatangindatu
 Kel. Seda – Sahempa                                 Kel. Malamtiga – Tamasala
 Kel. Dili – Malamtiga                                   Kel. Kumeka – Supit
 Kel. Lutia – Kasehung                                Kel. Golose – Panebaren
 Kel. Golose – Kaida                                     Kel. Nayoan - Lutia

            Menurut memori A. Adrian, perpindahan mereka ke Sumompo, merupakan inisiatif murni dari 33 Kepala Keluarga yang telah menyatakan keluar dari keanggotaan Jemaat Nazaret Tuminting. “Kami yang pergi ke BPMJ Sumompo untuk minta bergabung dengan pelayanan jemaat itu sambil terus mempersiapkan diri menjadi jemaat otonom. Dan kami diterima baik oleh jemaat Sumompo yang dipimpin Ketua jemaat Pdt. Stefen Julius Sapulete, STh. Jika berkembang belakangan dimana perpindahan ke Sumompo itu merupakan inisiatif pihak Badan Pekerja Wilayah, itu sama sekali tak kami ketahui,” ujar Adian. Hanya saja Adrian mengakui dimana sikap penerimaan yang baik oleh pihak Jemaat Sumompo sangat terasa seperti telah ada pra kondisi sebelumnya. “Mungkin pra kondisi penerimaan kami berpindah ke Sumompo itulah yang dilakukan oleh pihak BP Wilayah Manado Utara II,” katanya. Kendati begitu  Adrian mengatakan perhatian pihak Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II dan BPMJ Getsemani Sumompo dalam menyiapkan jemaat ini menjadi otonom begitu konsisten. Sejumlah rapat persiapan digelar, semangat membangun kembali Kanisah yang runtuh dikobarkan. 12 orang yang menandatangani laporan perusakan kanisah selalu mengadakan rapat berpikir dan mencari jalan keluar setiap permasalahan yang dihadapi jemaat itu. Bpk. penatua A. Pontoh secara tidak langsung juga ikut dalam rapat. Atas perbincangan yang terus berlangsung dari waktu ke waktu di atas, mereka pergi lagi berkonsultasi ke Sinode dan hasilnya adalah jemaat diusulkan untuk pindah ke Jemaat Getsemani Sumompo agar nanti dimekarkan dari sana.
Setelah permohonan disampaikan, hasil sidang majelis jemaat Getsemani Sumompo adalah menerima jemaat sebagian kolom 19 dan sebagian kolom 18 menjadi kolom 14 jemaat Getsemani Sumompo, jemaat eksodus masuk ke Getsemani Sumompo akhir Mei 1999.
Sebelum berintegrasi ke Getsemani Sumompo keberadaan kepemilikkan tanah dipertanyakan karena tanah yang dipakai untuk membangun Kanisah adalah tanah milik jemaat Nasaret. Pada saat itu warga jemaat secara spontan mengumpulkan uang untuk membeli tanah seluas 301 M2  tanggal 8 Agustus 1998 pada Bpk Hani Singkho (Bersebelahan dengan tanah yang dibeli oleh jemaat Nasaret).
Pembelian tanah ini atas pertisipasi dari :
Kel. Lahengking Arambau             Rp. 600.000,-
Kel. Adrian Tahulending                Rp. 905.000,-
Kel. Fence Kumeka                                    Rp. 250.000,-
Kel. Najoan Lutia                             Rp. 250.000,-
Kel. Sasambi Tempone                  Rp.   60.000,-
Kel. Malamtiga Tamasala               Rp.   50.000,-
Kel. Lampus Rumbayan                Rp.   30.000,-
Kel.Sela Abast                                  Rp.      5.000,-
Kel. Katilik Tamasala                      Rp. 300.000,-
Kel. Golose Tinungki                      Rp.      5.000,-
Kel. Areros Tumbio                          Rp.   10.000,-
Jumlah                                              Rp. 2.500.000,-
Pada tanggal 12 Juni 2000 sertifikat nomor 773 Sinode dalam lampiran surat yang diterima bahwa lokasi tanah yang dibeli jemaat Nasaret Tuminting yang digunakan untuk pembangunan kanisah kolom 19 adalah milik GMIM dan diserahkan pada jemaat Gunung Hermon. Keputusan disambut dengan penuh sukacita.
            Pasca diterima menjadi bagian dari pelayanan jemaat GMIM Getsemani Sumompo, 33 Kepala Keluarga eksodus dari Nazaret ini ditetapkan menjadi 1 kolom yakni kolom 14 Jemaat Getsemani Sumompo dengan Pelsus yang masih sama yakni: Pnt. W. Lahengking – Sym. A. Adrian. Pada tanggal 30 Juni 1999, Sym. A. Adrian pun melakukan penyetoran Uang Persembahan kolom 14  yang pertama kali ke Bendahara Jemaat Getsemani Sumompo sebesar Rp. 34.350.
            Sekitar 4 bulan  bergabung dengan Getsemani Sumompo, jemaat eksodus di kolom 14 ini pada Oktober 1999 dimekarkan menjadi 2 kolom yakni menjadi kolom 14 dan kolom 15.  Pelsus di Kolom 14 Pnt. Alfinus Pontoh - Sym. A Adrian. Sedangkan Pelsus di kolom 15 Pnt. W. Lahengking – Sym. Roy Malamtiga.
            Selang 8 bulan kemudian, tepatnya pada 12 Maret 2000, dua kolom jemaat eksodus dari Nazaret itu ditetapkan dan diresmikan menjadi jemaat otonom dengan nama Jemaat GMIM Gunung Hermon Tuminting.

II.6.1.  Pdt Stefen Julius Sapulete, STh
Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh, bagi jemaat Gunung Hermon dipandang sebagai salah satu pendiri jemaat Gunung Hermon. Tanpa beliau dan segenap BPMJ dan Pelsus  Jemaat Getsemani Sumompo yang menerima eksodus jemaat Gunung Hermon mungkin masalah jemaat ini belum dapat diselesaikan. Kelakar menarik yang sempat dilontarkan Pdt Stefen Julius Sapulete, STh seputar berdirinya jemaat Gunung Hermonyang patut disimak yakni: “Saya adalah bapak tiri dari jemaat Gunung Hermon”. Sebab, bagaimana pun bagi Sapulete, ayah kandung sesungguhnya dari Jemaat Gunung Hermon adalah Jemaat Nazaret Tuminting.
Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh dilahirkan di Ambon, 18 November 1963. Menikah dengan  Pendeta Desi Taner, STh dikaruniai dua orang anak Sani Sapulete dan Tanisya Sapulete.
Sebagai sekretaris wilayah saat itu, Sapulete selalu membantu dan peduli dengan keadaan jemaat Gunung Hermon. Hasil sidang majelis jemaat Getsemani Sumompo diawal bulan Mei 1999 menerima jemaat GMIM Gunung Hermon sebagai jemaat kolom 14 dengan dukungan penuh dari beliau. Ia sosok seorang yang sangat humoris dan begitu dekat dengan jemaat maupun Pelsus. Menjawab kekuatiran jemaat Gunung Hermon dengan tidak adanya tanah pekuburan, jemaat Getsemani memberikan lahan pekuburan selama 1 periode jika ada daun jatuh.
Selama perjuangan pemekaran jemaat Gunung Hermon oleh para perintis ia ikut bekerjasama dalam usaha pemekaran jemaat tersebut. Setelah mandiri beliau rela mempersembahkan beberapa jemaatnya yang berada di sekitar Gunung Hermon untuk menjadi anggota jemaat Gunung Hermon, diantaranya :
Kel. Pontoh Pontolowokang
Kel Biringan Laihat
Kel Lowai Pontoh
Setelah jemaat Gunung Hermon  mandiri, Pendeta Stefen Julius Sapulete, STh  masih memberikan waktunya untuk menyelesaikan berbagai konflik dalam jemaat Gunung Hermon dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Wilayah Manado Utara II. Beliau juga yang memberkati pernikahan dari beberapa anggota jemaat di Gunung Hermon karena jemaat  itu masih belum memiliki Pendeta dan Ibu Kunia Talu, STh yang menjadi pendeta pelayanan di masa kepemimpinan Ketua Jemaat Pertama Pnt. Welly Areros, belum memiliki SK untuk pemberkatan nikah.
Kepada Tim Penulis ia memaparkan hal yang paling mengesankan di seputar masalah-masalah yang terjadi di Gunung Hermon yaitu ketika Bpk. Sym. A. Adrian menunjuk dengan jarinya      kepada Ibu Pendeta Kunia Talu,STh dalam konflik yang terjadi di dalam rapat majelis. Semua masalah-masalah yang terjadi itu merupakan kenangan yang menghidupkan pelayanan.
Pesannya semoga jemaat Gunung Hermon tetap menjadi berkat sesuai dengan namanya  dalam Mazmur 133. Sesuai dengan nama bisa memberikan embun yang menyejukkan itu bagi sesama jemaat dan dapat mengalirkan berkat ke bawah (Jemaat Tunggul Isai) dan ke perumahan Simphoni (jemaat Non Kristiani) dan kepada semua orang. Memberikan cahaya bagi jemaat agar jemaat bisa memberikan sinar bagi semua orang.
Adapun susunan BPMJ  Getsemani Sumompo ketika jemaat Gunung Hermon berintegrasi :
Ketua : Pdt. Stefen Julius Sapulete, STh
Sekretaris: Bpk. Pnt Mulaki
Bendahara: Sym. Kudalin
Anggota: - Pnt. Ibu Gagansa
Pnt.  Bapak Tumeno
Pnt.  Pemuda Leni Nikolas
Pnt. Remaja Ibu Pinontoan
Pnt. Anak Ibu Tumeno

II.7. Pembangunan Kanisah Kedua
           
Tanggal 12 bulan Juni adalah waktu yang cukup unik bagi jemaat Gunung Hermon, karena di tanggal dan bulan yang sama dua peristiwa yang sama terjadi seperti tanpa sengaja. Pada 12 Juni 1997 jemaat ini membangun kanisah yang pertama dalam sebuah ibadat yang dipimpin oleh seorang guru Sekolah Minggu. Kanisah pertama ini kemudian tiang-tiangnya dipotong-potong pada 8 Desember 1997, lalu dirobohkan dua pekan kemudian oleh kelompok yang menolak pendirian kanisah tersebut. Tepat dua tahun kemudian yakni 12 Juni 1999, Kanisah kedua di bangun di atas bekas reruntuhan Kanisah pertama , dengan peletakkan batu dasar dalam sebuah ibadah yang dipimpin Pdt. J.Lontoh, STh selaku Ketua BPMW Manado Utara II.
            Bila kanisah pertama yang menghadap arah Barat runtuh semasa jemaat ini masih dengan induknya Nazaret, maka kanisah kedua dibangun menghadap arah Timur di masa jemaat ini telah bergabung dengan Getsemani Sumompo.
Upaya membangun kanisah kedua ini selain mendapatkan dukungan dari Badan Pekerja Wilayah Manado Utara II, juga mendapatkan support penuh dari warga jemaat Getsemani Sumompo. Sejumlah tokoh jemaat Getsemani Sumompo yang kedudukan rumahnya langsung bertetangga dengan lokasi kanisah ini benar-benar memberikan dukungan penuh. Bahkan empati dan simpati warga jemaat tetangga yang kini menjadi induk kedua dari 33 Kepala Keluarga yang melakukan eksodus ini telah berlangsung jauh sebelum jemaat ini bergabung ke Getsemani. Salah seorang tokoh jemaat Getsemani Sumompo yang terbilang paling aktif memperhatikan dan membantu 33 Kepala Keluarga sejak masa-masa konflik dan terombang-ambing di Nazaret adalah Pnt. A. Pontoh.
Ini sebabnya pada saat pembentukan Panitia Pembangunan Kanisah kedua dalam bentuk representatif bagi berdirinya sebuah jemaat Gunung Hermon yang otonom, Pnt. A. Pontoh langsung dinobatkan sebagai Ketua Panitia Pembangunan dan didampingi sekretarisnya Bpk. F. Wadjah. Panitia pembangunan ini melakukan aksi penggalangan dana pembangunan sejak 17 Mei 1999, atau sejak diterbitkannya sebuah proposal pembangunan nomor: 01/Pan/JGHT/V/1999 dengan total estimasi anggaran pembangunan sebesar Rp. 87.442.000.

II.8. Nama Gunung Hermon
Nama Gunung Hermon awalnya diusulkan oleh Bpk. Fentje Kumeka  dalam sebuah rapat para perintis jemaat pada tahun 1999. Pada rapat tersebut sejumlah pilihan nama sempat mencuat yakni:    Ararat, Exodus, Senggi Gilang, Gunung Hermon, Gunung Sunai, Via Dolorosa, Kalvari.
Menurut Bpk. Fentje Kumeka pengusulan nama Gunung Hermon didasarkannya pada bacaan Mazmur 133 : 1-3 dengan Perikop “Persaudaraa Yang Rukun”. Dengan demikian Jemaat di Gunung Hermon boleh mengalirkan berkatnya seperti embun. Walau terjadi konflik, jemaat Gunung Hermon tidak pernah membalas walau dihina, dicerca, bahkan bangunan dirobohkan . Karena jika hidup penuh persaudaraan yang rukun Gunung Hermon akan menerima berkat dan mengalirkan berkat bagi semua orang dan membawa kesejukkan.
Nama tersebut kemudian kian mengkristal dari sebuah peristiwa pembangunan 133 anak tangga sebagai akses jalan menuju kanisah di atas bukit itu. Secara tidak sengaja, ketika para perintis jemaat ini masih sedang mempertimbangkan sebuah nama bagi jemaat yang akan mereka bangun, maka dari 133 jumlah anak tangga itu mereka coba membaca apa isi Mazmur 133:

                 “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.” (Mazmur 133:1-3)

                 Dari bacaan Mazmur 133:1-3 inilah kemudian disepakati nama bakal jemaat yang akan berdiri di atas bukit itu: “Gunung Hermon” sebagaimana usulan Bpk. Fentje Kumeka. Gunung Hermon dalam metafora Mazmur Daud sebagai puncak persaudaraan yang rukun. Di puncak itulah 33 Kepala keluarga yang sehati sekata tetap rukun dan utuh merintis berdirinya sebuah jemaat bagi Tuhan. Kesetiaan beribadah, sabar, dan tabah menghadapi guncangan demi guncangan dalam serentetan konflik semasa di Nazaret, telah berpuncak dengan indah dengan berdirinya Jemaat GMIM Gunung Hermon saat ini.  
                 Meski Jemaat Gunung Hermon nanti diresmikan  sebagai jemaat otonom pada 12 Maret 2000, tapi penggunaan nama Jemaat Gunung Hermon bagi kelompok Kanisah di atas bukit sudah digunakan sejak pertengahan 1999. Bahkan nama ini sudah ada sebelum 33 Kepala Keluarga melakukan eksodus ke Jemaat Getsemani Sumompo. Hal ini dapat terlihat ketika 33 Kepala Keluarga yang bergambung ke Getsemani menjadi kolom 14 di jemaat tersebut pada Juni 1999, sementara pada April 1999 nama Jemaat Gunung Hermon telah digunakan oleh Panitia Pembangunan Kanisah kedua.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Nice story om..
    Tidak sengaja menemukan tulisan ini.
    Kami yg muda-muda hanya pernah dengar sejarah konfliknya, tapi latar belakang terbentuknya jemaat G.hermon, perjuangannya kami minim informasi.

    Thanks sharingnya

    BalasHapus