Jumat, 12 Juli 2013

Pendeta Lientje Mientje Sumolang Dapu (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Pendeta Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu adalah Ketua Badan Pimpinan Wilayah Manado Utara II yang pertama yang resmi mengemban tugas sejak tanggal 1 September 1982 sebagaimana ditetapkan dalam Beslit Nomor 126 tertanggal 6 Agustus 1982 oleh Badan Pekerja Sinode GMIM.   

Lahir pada 17 September 1941 di Tincep Sonder. Sekolah Dasar diselesaikannya di Tincep. Sekolah Menengah Pertama di El Fattah Manado, lalu ke SGA Rex Mundi Manado sampai kelas II, kemudian pindah ke Akademi Theologia Kuranga Tomohon untuk 6 tahun. Lulus pada tahun 1963 dan langsung ditempatkan di jemaat Sonder. Bertugas di Sonder selama 7 tahun selain sebagai Ketua Jemaat, juga Ketua Wilayah Sonder (1963-1970).
            Sebagai pendeta yang masih muda dan berstatus nona, ia terbilang berhasil membangun jemaat yang dipimpinnya dan memekarkan Jemaat GMIM Sonder menjadi 4 jemaat baru yang tersebar di empat desa di kurun itu. Dari buah kerjanya tersebut,   oleh Keputusan Badan Pimpinan Sonode GMIM, kanisah-kanisah yang dibangun di kurun kepemimpinannya ditetapkan menjadi gereja-gereja otonom.
            Keberhasilan di Sonder mengantar Pendeta Nona Lientje Sumolang Dapu STh  ke padang tugas yang baru yang lebih berat dan menantang. Pada tahun 1970, ia ditugaskan ke Jakarta selama 4 tahun (1970-1974) sebagai pendeta Tentara (Rawatan Rohani Protestan Angkatan Darat) dengan pangkat Letnan. Tugasnya melayani anggota TNI Angkatan Darat di Jakarta Raya.
Selain menjadi pendeta tentara di Angkatan Darat,  ia juga diserahi tugas sebagai konsulen jemaat-jemaat di Jakarta Raya. Pada saat penugasan di kota metropolitan ini, ia bertemu dengan  calon suaminya Freddy Sumolang, pria asal Sonder kelahiran 21 April 1937 lulusan IKIP Bandung yang menjadi asisten dosen untuk ilmu-ilmu eksakta di IKIP Rawamangun.
Mereka menikah pada 1973, dan  tahun 1974 kembali ke Manado. Oleh BP Sinode GMIM Pendeta Sumolang Dapu kemudian ditempatkan menjadi Ketua BPMJ GMIM Torsina Tumumpa.
            Kurun 14 tahun pengabdian sebagai pendeta baik di Sonder dan di Jakarta merupakan bekal yang kuat bagi Pendeta Tentara Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu dalam menghadapi Jemaat Torsina yang terus disaput goncangan bertumpuk masalah.

Strategi Menyatukan Yang Porakporanda
5 Oktober 1975 Pendeta Ny. Lientje Mientje Sumolang Dapu menerima tugas yang baru di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa. Ia mengantikan Pendeta Gerald Sondakh.  Namun serah terima tugas itu tidak langsung dilakukan dari Pendeta Sondak kepadanya, tapi dari Ketua Jemaat transisi yakni Penatua Ferom Langkudi yang waktu itu Wakil Ketua BPMJ Torsina yang merangkap sebagai pejabat Ketua BPMJ sementara.
Mengapa demikian? Saat serah terima berlangsung, Pendeta Sondakh sudah 35 hari berada di pos pelayanannya yang baru. Jadi sebelum meninggalkan Torsina, Pendeta Sondakh telah melakukan serah terima tugas ke pejabat sementara yakni Pnt. Ferom Langkudi.
Mengapa harus ada kepemimpinan transisi di Torsina ketika itu? Pada bab-bab sebelumnya kita telah melihat serentetan konflik yang menyulut perpecahan di jemaat yang kini menjadi pusat wilayah itu, hingga pada masa tibanya periode pelayanan Pendeta Sumolang Dapu hal tersebut menjadi prioritas yang harus dicermati dan ditangani.
Seperti menyusun setiap butiran pasir menjadi menara pelayanan, begitulah prioritas awal Pendeta Sumolang Dapu di Torsina. Menyatukan anggota jemaat yang cerai berai akibat konflik berkepanjangan dari waktu ke waktu. Ia harus menggeser  isu di tengah jemaat dari masalah-masalah organisasi dan kepemimpin yang kisruh ke isu pembangunan gedung gereja baru yang sempat terbengkalai akibat konflik yang berkepanjangan dalam tubuh majelis dan anggota jemaatnya.
Saat tiba di Torsina, ia langsung disambut dengan suara-suara keras dan kritikan tajam sebagai dampak dari ekor masalah pasca pergantian kepemimpian Pendeta Sondakh ke dirinya yang awalnya tak dikehendaki. Menghadapi reaksi jemaat itu, ia memilih jurus diam dan menutup mulut namun terus menunjukkan kerja keras, dan terus  masuk ke dalam kancah jemaat guna membenahi dan menyatukannya. Sementara konsentrasi jemaat dalam membangun gereja baru yang sempat pudar dan terbengkalai  akibat masalah pergantian Pendeta Sondakh, di pacunya lagi.  Aksi diasm sambil terus melakukan pembehan itu akhirnya berhasil menyatukan jemaat yang porakporanda itu. Semangat membangun tumbuh kembali. Jemaat menerima kepemimpinanya sebagai tangan halus yang telah berhasil menisik sobekan-sobekan dari konflik kurun sebelumnya menjadi jemaat yang utuh.
Pada tanggal 16 April 1977 Menteri Perdagangan DR. Radius Prawiro datang mengresmikan gedung  Gereja GMIM Torsina yang baru. Dan pada 17 April 1977 Ketua BP Sinode DS Luntungan menahbiskan Gedung gereja tersebut.
Sem Narande, secara detil menarasikan proses pembangunan gedung Gereja Torsina tahap 1 itu, seakan menara pelayanan yang terus tumbuh dalam bimbingan Kristus, tak terbendung meski dilibas badai persoalan berjemaat. 
Sungguh dramatis memang menggerakkan semangat membangun di tengah jemaat yang nyaris porak-poranda.  Tingkat ekonomi anggota jemaat yang manyoritas berpendapatan kecil, yakni keluarga-keluarga dengan penghasilan yang hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Mereka adalah para nelayan tradisional yang meraup hidup dari hasil tangkapan ikan di teluk Manado dengan perahu-perahu Londe kecil di malam hari, yang harus berhadapan dengan hadangan cuaca yang berubah-ubah seiring perubahan pola arus dan angin yang menyaput dari laut bebas Fasifik. Mereka adalah para buruh bangunan, buruh kebun, para pemanjat kelapa serta pekerja kasar di gudang-gudang beras, bahan campuran, gudang besi, buruh pelabuhan. Pedagang kecil di pasar tradisional Tuminting. Pemilik warung-warung kecil. Petani palawija di kebun-kebun dari tanah pinjaman. Para tukang jahit dan pemangkas rambut.  Hanya sedikit mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, swasta, dan militer.  Lantas untuk membangun rumah Tuhan dalam kondisi serba terbatas dan terhimpit masalah oraganisasi pasca 2 babakan perpecahan dalam jemaat itu bagaimana? Dari mana pasir dan batu didatangkan. Bagimana mendapatkan dana untuk pembelian semen, atap Zink, dan kayu? Bagaimana upah pekerja? Gereja dengan 9 kolom ini mampukah mewujudkan bangunan gereja permanen yang kini menjadi pusat Wilayah?
Di sini, di tengah pergulatan ini, kita kembali melihat bagaimana campur tangan Tuhan yang ajaib menyertai gerejaNya. Yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Tuhan. Tuhan menghimpun jemaatnya untuk bersatu di hadiratNya dalam kerja pembangunan itu secara gotong royong. Dengan semangat bergelora, dari anak-anak sampai kakek-kakek mereka pergi mencari batu dasar dan batu kerikil hingga ke kali Buliling yang jaraknya beberapa kilometer. Anggota jemaat dari 9 kolom yang terdiri dari kaum-kaum sederhana itu kemudian membentuk armada semut yang terdiri dari perahu-perahu nelayan dan perahu tambangan untuk mengngkut batu tersebut lewat jalur Kali Bailang lalu masuk ke perairan tuluk Manado hingga tiba di Pantai Tumumpa. Hal ini harus dilakukan karena tidak tersedianya akses jalan darat yang cukup dilalui kendaraan pengangkut. Mereka juga termasuk ibu-ibu beramai-ramai mengangkut pasir dari kali Bailang dan pantai. Ramuan kayu di tebang di hutan-hutan dan kebun milik anggota jemaat tetangga seperti Bailang, Molas, Meras. Batu bata datang lewat berbagai sumbangan warga, serta diupayakan pengadaan lewat pembuatan batu bata oleh anggota jemaat. Lalu bagaimana mengadakan atap Zink? 9 kolom menyepakati pengadaan atap itu lewat sumbangan dari Kolom. Jemaat-jemaat kolom menggelar berbagai kegiatan pengumpulan dana hingga terhimpun 538 lembar Zink termasuk Zink Plat. Dari mana semen dan biaya lainnya dalam pelaksanaan pembangunan? Aksi jual Taart, Nasi Jaha dan RW dilakukan. Kegiatan lomba kesenian digelar untuk penggalangan dana. Tenaga tukang bekerja secara sukarela tanpa upah. Sambil bekerja, bersaksi, bernyanyi Tuhan dipermuliakan. Dalam kerja penuh kebersamaan bangunan gereja akhirnya berhasil diwujudkan. Dan menara pelayanan itu tegak berdiri menjadi saksi, dimana Tuhan senantiasa menyertai jemaatnya, sebagaimana disitir perjajian baru: “Aku akan menyertai kamu hingga kesudahan alam”.
Sejak peletakan batu pertama pada 12 Juni 1972 pada masa kepemimpinan Pendeta Sondakh, lalu terhenti sejenak menjelang pergantian kepemimpinan jemaat ke Pendeta Sumolang Dapu, kemudian dipacu lagi hingga masa peresmian pada 1977. Pembangunan itu  berlangsung selama 4 tahun 9 bulan dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 12.960.000. 
Kemudian pada Januari 1978 terjadi pemekaran kolom hingga menjadi 11 kolom. Seiring pemekaran tersebut terjadi pergantian struktur  BPMJ yang baru yaitu BPMJ periode  kepemimpinan Pendeta Sumolang Dapu tahun 1978-1982.
Kebijakan pemekaran kolom tersebut ternyata lagi-lagi meletupkan konflik baru akibat persoalan pemetaan kolom. Konflik tersebut berujung pada perpindahan sejumlah anggota jemaat Kolom 11 bersama pelsusnya ke Gesba. Perpindahan ke Gesba ini merupakan exodus ke III dalam sejarah jemaat GMIM Torsina.
Di kurun kepemimpinan inilah Pendeta Sumolang Dapu kemudian menerima tugas sebagai Ketua Wilayah Manado Utara II sebagai hasil dari pemekaran Wilayah Manado Utara menjadi Wilayah Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar