Jumat, 12 Juli 2013

Pendeta J. Lontoh, STh 1999-2005 (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Usai Pendeta J. Wenas di pos pelayanan aras Wilayah Manado Utara II, posisi Ketua Badan Pekerja Majelis Wilayah digantikan Pendeta  Joppy Lontoh, STh. Ia bertugas sejak 1999 hingga 2005 sebagai Ketua periode keenam. Tentang kondisi Wilayah Manado Utara II saat dipimpinnya, ia mengatakan ada beberapa masalah penting menyangkut berdirinya beberapa jemaat baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus terutama masalah Jemaat Gunung Hermon Tuminting, Jemaat Firdaus Mayondi, Jemaat Tunggul Isai Tuminting.

Masa kepemimpinan Pendeta Lontoh, merupakan periode dimana jemaat-jemaat di aras Wilayah Manado Utara II mengalami sejumlah gejolak dan permasalahan yang diantaranya merupakan masalah yang belum terselesaikan dari periode kepemimpinan sebelumnya, terutama masalah pemekaran jemaat yang menyulut konflik. Keinginan sejumlah kolom untuk memisahkan diri dari jemaat induk untuk menjadi jemaat mandiri, serta persoalan organisatoris kepelayanan lainnya. Surutkah Lontoh dalam menghadapi gejolak tersebut? Tidak! Kebijakan-kebijakan wilayah yang tegas dan akurat merumuskan solusi pemecahan membuat masalah-masalah tersebut mampu diselesaikan. Bahkah periode kepemimpinan Pendeta Lontoh pun mencatat sejumlah sukses berdirinya beberapa kanisah dan jemaat baru di Manado Utara II.

Kemelut Tunggul Isai dan Gunung Hermon
Patahan-patahan menarik dalam periode ini adalah kemelut menuju terbentuknya Jemaat Tunggul Isai Tuminting dan Jemaat Gunung Hermon Tuminting. Apakah telisikan kita pada kemelut ini sebagai upaya mengungkap kekeliruan orang per orang atau kelemahan organisatoris di kurun itu? Tidak! Tapi sebagai upaya menemukan ruang refleksi atas kisah-kisah berharga di masa lalu yang bisa dijadikan catatan pembelajaran yang indah di kurun pelayanan di kemudian hari. Belajar dari sejarah gereja mula-mula, hingga melewati masa seribu tahun awal dan di masa seribu tahun kedua tak lepas dari friksi dan kemelut. Di kurun itu, rentetan peristiwa telah menampilkan sejumlah kisah tragis yang dialami gereja. Ribuan hamba Tuhan mati sebagai martir menuju tegaknya Gereja Tuhan di bumi. Sebuah viadolorosa menuju kemenangan Kristiani yang berasal dari pertarungan tiada henti.
Di sini, di Wilayah Manado Utara II tak sedikit pula energi kepemimpinan Wilayah di periode ke enam ini yang terhisap dalam menyelesaikan kemelut yang diantaranya melanda cikal bakal berdirinya dua jemaat yakni Jemaat Gunung Hermon dan Jemaat Tunggul Isai. Perisitwa-peristiwa ini menegaskan lagi dimana persoalan-persoalan krusial itu adalah bagian dari pernik-pernik yang menghiasi alur sejarah pelayanan di pesisir ini.
Cikal bakal menuju berdirinya dua jemaat otonom tersebut sebenarnya muncul sejak tahun 1996 ketika itu kepemimpinan wilayah masih di tangan Pendeta J. Wenas, STh. Ketika itu para tua-tua Jemaat Nazaret Tuminting yang dipelopori antara lain Pnt. Rafles Sidangoli, Pnt. Arnold Tuwonaung, Ir. Hanny Sompie. Pnt. Marhaen Esmorit Mulalinda, Pnt. Hoker Kamea,SH, Letkol Pol Petrus Rualemba,SH mewacanakan pemekaran kolom 15,16,17,18,19 untuk menjadi jemaat otonom. Wacana itu kemudian ditindaklanjuti oleh BPMJ Nazaret dengan membeli sebidang tanah yang terletak di atas bukit, tepatnya di kolom 19. Lokasi itu rencananya akan menjadi lokasi bangunan kanisah bagi 5 kolom yang telah disiapkan untuk dimekarkan. Tanpa menunggu lama, Pelsus Kolom 19 Pnt. Welly Lahengking dan Sym Abram Adrian, sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Jemaat Tunggul isai, secara spontan langsung mengerahkan anggota jemaatnya untuk membangun sebuah kanisah di lokasi yang telah disiapkan tersebut.
Tindakan spontan kolom 19 membangun kanisah itu ternyata mendapatkan protes keras dari sejumlah warga dan para Pelsus dari 4 kolom yang merupakan kolom persiapan pemekaran. Pembangunan Kanisah tersebut dipandang inskonstitusi karena belum diputuskan dalam sidang Pleno Majelis Jemaat Nazaret. Perbedaan visi dan pandangan tentang pembangunan itu akhirnya merebak hingga ke sidang-sidang BPMJ dan Pleno Majelis Nazaret berikutnya. Kolom-kolom persiapan pemekaran itu kontan retak menjadi dua kelompok yang berseteru.
BPMJ pun menggelar pertemuan dengar pendapat dengan anggota jemaat di 5 kolom pesiapan pemekaran bertempat di rumah Kel. Tamungku-Kalapis guna mencari solusi. Dalam pertemuan, sebanyak 95 persen anggota yang hadir menolak pendirian Kanisah di atas bukit kolom 19. Kondisi pun memanas antara dua kubu yang berselisih pandangan dan keinginan itu.
Pada awal September 1996, Komisi Pembangunan Jemaat Nazaret Tuminting akhirnya kembali membeli sebidang lahan kosong di kompleks kolom 16 yang letaknya agak di lembah untuk pembangunan kanisah pengganti sebagaimana keinginan mayoritas jemaat.  
Pada bulan Oktober 1996, guna meredam suasana yang terus meruncing di kedua belah pihak, Sidang Pleno Majelis Nazaret menetapkan keputusan  membatalkan pembangunan kanisah di atas Bukit kolom 19. Keputusan itu ternyata tak mampu meredam situasi. Dua blok yang berseteru terus saja melakukan upaya pembangunan kanisah di dua lokasi yang tersedia dalam bentuk bangunan darurat. Persiapan pemekaran menjadi satu jemaat akhirnya terkoyak-koyak menjadi dua kelompok yang berkeinginan menjadi jemaat mandiri.  Bentrok fisik dan tindakan perusakkan bangunan kanisah di kolom 19 pun tak terhindarkan. Pihak kepolisian harus turun tangan mengamankan situasi agar tidak berkembang lebih fatal lagi.
Konflik yang berkepanjangan ini tidak saja melibatkan BPMJ Nazaret, tapi ikut melibatkan BPMW yang ketika itu masih dipimpin Pendeta J. Wenas, STh . Upaya mendamaikan dan menyatukan kedua pihak sangat sulit dilakukan. Peristiwa ini telah melebar hingga ke ranah hukum dari aksi lapor-melapor dari kedua kubu.
Pada 4 Februari 1997 Sidang BPMJ dan Majelis Nazaret mengeluarkan keputusan penangguhan sementara pembangunan kanisah di Kolom 16 sebagai upaya meredam bentrokkan fisik itu berkelanjutan. Baru pada tanggal 10 Agustus 1997 rencana pembangunan kanisah di kolom 16 dilajutkan lagi atas keputusan rapat Panitia Pembangunan Jemaat Nazaret Tuminting. Pada tanggal 6 November 1997 Sidang Majelis Jemaat Nazaret Tuminting menyetujui pengaktifan kembali pembangunan Kanisah di kolom 16.
Merasa aspirasi mereka untuk mempertahankan pembangunan kanisah seperti rencana semula di Kolom 19 di atas bukit tidak diperhatikan oleh sidang Majelis di Nazaret, tapi justru cenderung mendukung pembangunan Kanisah di Kolom 16, maka Pelsus kolom 19 Pnt. W Lahengking dan Sym. Abram Adrian beserta 17 anggota keluarga kolom 19 menyatakan keluar dari Jemaat Nazaret Tuminting  pada akhir November 1997. Tindakan ini merupakan sebuah kulminasi dari kemelut yang menegangkan itu.
Sementara beberaka kepala keluarga di kolom 19 yang bertahan tetap dengan jemaat Nazaret Tuminting ketika itu menjadi jemaat kolom tanpa pelsus. Oleh sidang Majelis Jemaat Nazaret diputuskan penempatan caretaker Pnt. A. M. Tuwonaung sebagai Pelsus untuk melayani anggota jemaat kolom 19 yang tersisa. Sementara 17 kepala keluarga bersama Pelsus yang telah menyatakan keluar dari Nazaret tetap melakukan peribadatan di Kanisah yang mereka bangun di atas bukit kolom 19.
Konflik ini seakan tidak punya titik reda. Kewibawaan Gereja sebagai institusi seakan tak lagi punya kebijakan ampuh dalam menyelesaikan konflik dalam rumahnya sendiri. Penanganan persoalan gereja justru telah lompat pagar ke instansi penegak hukum. Lagi-lagi keesaan gereja di uji di aras pelayanan ini. Mampukah gereja memberi jawaban atas pergumulannya sendiri?
 Itu sebabnya pihak Sinode GMIM pada 30 April 1988 harus mengirim Surat Pengembalaan No. K.122/Dep.IV.40/4-98 mengenai tindak lanjut penanganan masalah pembangunan Kanisah tersebut yang ditanda tangani Wakil Ketua BPS Pendeta DR. RAD Siwu dan Sekretaris Umum Sinode Pdt. J. N. Gara, STh, MA.  Sinode meminta agar persoalan yang telah melebar ke rana hukum itu ditarik, dan diselesaikan di dalam gereja saja yakni lewat Sinode dengan mengacu pada Tata Gereja GMIM tahun 1990.
Tuntaskah persoalan tersebut pasca turunnya surat pengembalaan dari Sinode. Kenyataannya tidak. Pelsus kolom 19 bersama 17 Kepala Keluarga tetap bertahan untuk melepaskan diri dari Nazaret. Sementara pembangunan Kanisah di kolom 16 telah tuntas dan diresmikan menjadi Gereja Kecil pada 29 November 1998.
Saat Pendeta J.Lontoh, STh tiba di pos pelayanannya pada 1999 sebagai Ketua BPMW Manado Utara II menggantikan Pendeta Wenas, kemelut di Tunggul Isai dan Gunung Hermon ini menjadi tantangan tersediri baginya untuk diselesaikan.
Ketika ditemui  di ruang kantor Ketua BPMJ Betesda Ranotana Manado pada Rabu, 6 Juni 2012 Jam 09.40 – 11.45 Wita  Pendeta J. Lontoh, STh memaparkan, persoalan Jemaat Tunggul Isai dan Gunung Hermon yang dimekarkan dari beberapa kolom Jemaat Nazaret Tuminting memang merupakan prioritasnya ketika itu.
Untuk meredam situasi panas di kedua jemaat itu, BPMW yang dipimpinnya menempuh kebijakan dimana keluarga-keluarga  yang ingin berdiri sendiri menjadi jemaat Gunung Hermon untuk sementara waktu digabung dengan Jemaat Getsemani Sumompo. Baru sekitar 6 bulan kemudian jemaat Gunung Hermon disahkan oleh BP Sinode GMIM melalui Pdt. H. Mosal, STh, sebagai salah satu jemaat di lingkungan Wilayah Manado Utara II dan Sinode GMIM. Sementara  Jemaat Tunggul Isai baru disahkan secara resmi oleh BPS GMIM sebagai jemaat otonom pada 19 Desember 2004 sekaligus dengan penempatan Pendeta pertama H. C. Manitik, STh.  
Dengan ditetapkannya kedua jemaat itu sebagai jemaat otonom maka konflik babak pertama pun selesai. Kini kedua jemaat terus tumbuh dan berkembang menuju jemaat-jemaat yang dewasa. Pembangunan fisik di kedua jemaat meningkat pesat. Kolom-kolom di Jemaat Tunggul isai yang awalnya hanya 4 Kolom kini berkemang menjadi 7 kolom. Sedang di Jemaat Gunung Hermon yang awalnya hanya terdiri dari 17 KK kini berkembang menjadi 3 kolom. Bangunan Kanisah darurat tak ada lagi, tapi berganti bangunan pemanen yang megah dalam tahap penyelesaian.
Di sini kita melihat dimana pada setiap kelokan sejarahnya, Tuhan senantiasa mempunyai rencana indah menuju keesaan umatNya dan berdirinya gereja. Kemelut sekuat apa pun ternyata tak lebih dari sekadar jalan menuju indahnya pelayanan lain yang lebih lebar dan menakjubkan. Dan dua jemaat kini telah berdiri kokoh sebagai saksiNya baik bagi mereka yang di lembah, dan jemaatnya di puncak bukit sana.

Menuntun Orang Tergusur Menuju Firdaus
Drama pelayanan lain yang harus dilakoni Pendeta J. Lontoh, STh bersama BPMW yang dipimpinnya di kurun itu adalah bagaimana menuntun orang-orang tergusur menuju Firdaus. Mereka adalah umat Kristiani yang tersingkir dari habitat hidupnya yang lama ke pinggiran kota. Jemaat yang tertolak yang harus dirangkul.
Kisahnya bermula pada 12 Maret 2002, sebuah benih gereja tumbuh di perkebunan Mayondi dari 9 Kepala Keluarga yang merindukan perjumpaan yang indah denga Yesus Kristus Tuhan. Mereka adalah Kel. Hamid – Takumansang, Kel. Hengkelare – Tampanatu, Kel. Bambulu – Katiandagho, Kel. Budiman – Lombo, Kel. Lombo – Manaping, Kel. Soldado – Haribae, Kel. Soldado – Kaelung, Kel. Tarima – Mahabir, Kel. Antahari – Tingihe.
Mayondi ketika itu adalah kawasan pemindahan orang-orang yang rumahnya tergusur di Kelurahan Calaca. Awalnya mereka adalah anggota Jemaat Centrum Manado. Kawasan ini merupakan wilayah kelurahan Kombos dan Singkil. Sebagai kawasan yang terletak di belakang perkampungan pesisir Manado Utara, tanah-tanah di sekitarnya juga di manfaatkan oleh sejumlah gereja di perkotaan untuk dijadikan Lahan Pemakaman (Pekuburan).
Selain menempati lahan milik pribadi,  di antara 9 Kepala Keluarga ada yang telah   menempati kapling Pemerintah Daerah Kota Manado, seiring program  pelebaran Kota Manado, oleh pemerintah kota. Sebagai kawasan hunian baru, pemerintah Kota Manado  menyediakan lahan yang diberikan  untuk pembangunan gedung gereja bagi masyarakat yang menempati kawasan pengembangan kota itu.
Kerena belum ada tempat ibadah (gedung gereja) yang permanen, maka ibadah untuk sementara pelaksanaannya seperti ibadah kolom, dilaksanakan setiap hari Kamis. Sehubungan dengan bertambahnya anggota jemaat dari 9 kepala keluarga menjadi 26 kepala keluarga, maka dibuatlah tempat ibadah darurat dengan konstriksi tiang bambu yang ditanam, dinding gamaca beratap seng dengan ukuran bangunan panjang 6 m, lebar 5 m dan tinggi 3.5 m.
Guna memantapkan pelayanan dan mengantisipasi berbagai gangguan sebagai sebuah organisasi pelayanan, para perintis jemaat menyepakati sistim pelayanan peribadatannya sebagaimana tata cara GMIM. 
Pada tanggal 6 Desember 2002  beberapa anggota jemaat membawa persyaratan administrasi untuk diusulkan menjadi jemaat mandiri ke Sinode GMIM. Permohonan Jemaat Mayondi diterima oleh Badan Pekerja Sinode GMIM.
Sesuai dengan kedudukan jemaat, awalnya anggota jemaat Mayondi  meminta agar jemaatnya dapat menjadi bagian dari pelayanan Wilayah Manado Utara I (satu), namun ditolak oleh Badan Pimpinan Wilayah Manado Utara I.
Pada tanggal 18 Desember 2002 dengan bantuan Ketua Wilayah Manado Utara II (Dua)  Bapak. Pdt. J. J. Lontoh, STh, jemaat Mayondi diterima sebagai bagian dari aras pelayanan Wilayah Manado Utara II. BPMW Manado Utara II yang dipimpin Pdt. J. J. Lontoh, STh langsung  mengadakan program  penggembalaan bagi calon pelayan Tuhan dan membentuk perangkat jemaat di dalamnya BPMJ, para pelayan khusus dan BIPRA. Sebagai ketua jemaat pertama ditetapkanlah  Pnt. Ventje W. Kumeka.
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan kita Yesus Kristus atas pertolongan dan penyertaannya, maka pada tanggal 23 Desember 2002 Jemaat Firdaus Mayondi diresmikan oleh Badan Pekerja Sinode GMIM oleh Pdt. M. L. Mosal, STh sebagai jemaat GMIM yang ke-784 dalam lingkup palayanan Wilayah Manado Utara II.

Konflik Lain Yang Menguras Energi
Konflik di Jemaat Bukit Zaitun Sumompo ikut memberi warna dalam periode pelayanan di kurun ini, yang menuntut perhatian BPMW Pendeta J. Lontoh STh untuk penyelesaiannya.  Bermula dari keingin sejumlah warga jemaat untuk memisahkan diri Jemaat Bukit Zaitun Sumompo untuk berdiri menjadi Jemaat sendiri yang saat ini telah ditahbiskan menjadi  Jemaat Bukit Ararat Buha yang berpisah dengan Jemaat indauknya Bukit Zaitun.
     Gesekan di kedua Jemaat ini akhirnya bisa diredam Pendeta  Lontoh dan Pendeta  Samahati dengan jalan memisahkan kedua jemaat menjadi jemaat-jemaat mandiri. Jemaat Bukit Ararat yang baru terbentuk ketuanya dijabat oleh Pnt. Rompas.
     Di Pandu BPMW yang dipimpin Pendeta J. Lontoh juga megusahakan berdirinya Jemaat Efrata Pandu bagi pengungsi Ternate, Halmahera dan penduduk asli (Suku Bantik). Di kurun ini juga BPMW berhasil mendorong berdirinya Kanisah di  Bengkol  dan   Pandu
     Di Jemaat Kharisma Buha juga terjadi gejolak sehubungan dengan ketua jemaat, dimana keinginan Pendeta Judge Walo, STh menjadi ketua, tetapi umumnya anggota jemaat mendukung kepemimpinan jemaat itu agar dipimpin Pdt. Ny. Pongohan-Wangania.
Di tengah periode penuh gejolak, konflik, dan tantangan pembangunan jemaat-jemaat baru ini Pendeta J. Lontoh diperhadapkan. Banyak pengalaman pelayanan yang dihadapinya yang perlu menjadi bahan pembelajaran bagi generasi pelayan berikutnya yakni sebagaimana dipesankannya yakni seorang pemimpin pelayanan haruslah selalu bermohon kepada Yesus Kristus akan tuntunan dan kekuatan. Seorang pemimpin Kristiani juga harus rendah hati. Dalam mengahadapi masalah dalam pelayanan para pelayan atau pemimpin kristiani itu harus menjumpai para tokoh jemaat untuk bertukar fikiran dalam mencari pemecahan masalah.
     Pendeta  Sapulete, STh mantan Sekretaris Badan Pekerja Majelis Wilayah Manado II membenarkan dimana periode kepemimpinan Pendeta J Lontoh banyak gejolak dan tantangan yang terjadi tapi semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Ketika di wawancarai pada Minggu, 10 Juni 2012 Pendeta  Sapulete, STh yang kebetulan  menghadiri acara syukur anggota jemaat Getsemani Sumompo mengatakan sebagai  Sekretaris Wilayah Manado Utara II ketika itu, ia ditugaskan untuk menyelesaikan  masalah Jemaat Gunung Hermon yang saat itu telah berada dalam satu persekutuan dengan Jemaat Getsemani Sumompo. Masalah pelik dalam kehidupan berjemaat itu akhirnya bisa diselesaikan tuntas.

Sturktur BPW Manado Utara Dua yaitu :
K e t u a         : Pdt. J. Lontoh, STh
Wkl. Ketua     : Pdt. A. Antow, STh (Nazaret Tuminting)
Sekretaris     : Pdt. Zapulete, STh (Getsemani Sumompo)        
Bendahara    : Sym. Lutia – Medellu (Nazaret Tuminting)
Ketua W/KI    : Pnt. Dra. R. Lahope – Bogar (Nazaret Tuminting)
Ketua P/KB   : Pnt. Maringka (Petra Bitung Karang Ria)
                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar