Kamis, 11 Juli 2013

Pendeta Dumanauw MV Kandijoh (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki

Aras pelayanan Wilayah Manado Utara baru digunakan mendekati masa-masa akhir dari 22 tahun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel di Bethanie Singkil Sindulang. Penggantinya adalah Pendeta Dumanauw  Musa Victor Kandijoh. Di tempatkan di Jemaat Singkil Sindulang sejak 1973.
Pendeta Kandijoh Dilahirkan di Manembo-nembo Tonsea 11 Juni 1926. Istrinya Zus Alwina Rampengan. Ia adalah lulusan sekolah Theologia di Tomohon; lanjutan dari STOVIL. Disitu ia merasakan sampai 3 orang direktur berganti-ganti yaitu pertama Ds MUNDUNG, kedua Ds R.M Luntungan dan ketiga Ds. Manuel Sondak. Setelah lulus ia ditempatkan di jemaat GMIM Bitung dari 1952 sampai 1953. Sesudah itu ke Jemaat Airmadidi (1953-1955), Jemaat Tatelu (1955-1965), Kemudian 14 tahun bertugas di daerah “asalnya” Tonsea.  Oleh BP Sinode GMIM sudah dianggap mantap untuk pergi melayani daerah lain, maka dikirimkanlah pendeta Musa Kandijoh keluar dari Wilayah GMIM dan masuk ke Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dan menjadi Ketua Sinode GPDI di sana.

Dalam catatan Sem Narande dipapar dimana Jemaat Bethanie Singkil Sindulang begitu juga Wilayah Manado Utara saat itu ikut merasa kabagian “akibat” dari seorang pendeta yang sudah pernah memimpin satu Sinode lantas kembali memimpin satu Jemaat atau hanya beberapa Jemaat.
GPDI yang dipimpin Pendeta Kandijoh meliputi tidak kurang 30 jemaat di waktu itu. Bandingkan saja ketika di Singkil untuk memimpin Wilayah Manado Utara hanya meliputi 14 Jemaat.  Di Donggala selaku ketua Sinode GPDI Pendeta Musa Kandijoh bertugas sampai tahun 1968, jadi selama 3 tahun. Sesudah itu ditarik kembali ke Bitung.
Ketika kembali ke Sulawesi Utara, jabatan Ketua BP Sinode  GPDI  diserah terimakan pada pendeta Maurits Lagimpu. Di tahun 1970 ke Jemaat Girian. Setahun kemudian yaitu di tahun 1971 masuklah Musa Kandijoh di bilangan pojok Utara Kota Manado yaitu di Jemaat GMIM Pniel Tuna dan kemudian ditugaskan ke Jemaat Singkil Sindulang pada tahun 1973.
Waktu di Jemaat Tuna itulah pada saat pendeta Hendrik Daandel sakit maka untuk mencegah kevacuman pimpinan wilayah, ia di tunjuk oleh BP Sinode untuk menjabat sementara sebagai ketua Wilayah. Kenapa bukan pendeta-pendeta lain yang menjadi Konsulen di Jemaat Bethanie Singkil/Sindulang yang di tunjuk tetapi ia yang berada di Tuna yang dipilih BP Sinode untuk merangkapnya; tentu BP Sinode GMIM cukup meng-reference pada latar kariernya yang pernah menjadi ketua Sinode GPDI. Di jemaat Tuna ia sempat mengambil  bagian membangun Pastori.
            Sejak dipindahkan dari jemaat Tuna, Pendeta Kandijoh  hanya bertugas selama 3 tahun sebagai ketua BPMJ Singkil Sindulang dan sekaligus Ketua Wilayah Manado Utara, hingga pada tahun 1976 ia ditugaskan ke Jemaat  GMIM Paulus Titiwungen.

Tantangan di Nazaret, Pergolakan di Torsina
Pergumulan dan tantangan Gereja menuju jemaat-jemaat yang dewasa di aras pelayan Wilayah Manado Utara merupakan ornamentasi yang menarik ditelisik pasca masuknya Pendeta Kandijoh ke wilayah pesisir ini. Belajar pada anasir laut yang senantiasa bergelombang demikian pula kehidupan jemaat-jemaat di wilayah ini. Setiap kurun waktu seakan memiliki deburan tersendiri. Hempasan dan terjangan yang senantiasa bermakna profetis bila diurai menuju pemahaman pembentukan gereja Tuhan yang Esa dan Kudus. Teritorial pelayanan jemaat-jemaat kian luas dengan pertumbuhan kolom-kolom yang baru di 14 jemaat yang terbentang dari Singkil Hingga Kombos, Dari Singkil hingga Meras, Dari Singkil hingga Pandu. Penyiapan pemekaran jemaat-jemaat otonom yang baru terus berlangsung dan tak terbendung, seakan “Sido” Tuhan terus dinyalakan pada setiap etape dan kurun waktu di wilayah ini.
Di Jemaat Bethanie Singkil Sindulang sebagai poros utama pelayanan aras Wilayah, jumlah kolom telah membengkak menjadi 26 kolom. Penyiapan pemekaran 2 jemaat otonom sedang disiapkan melalui pembangunan kanisah-kanisah baru. Di Nazaret, jemaat yang terletak di rimba pesisir Manado Utara yang awalnya hanya terdiri dari 3 kolom pada 1933, pada masa Ketua BPW Pendeta Kandijoh telah berkembang menjadi 7 kolom. Bahkan Nazaret telah melepaskan 1 kolomnya di kawasan onderneming Tumumpa menjadi Jemaat Torsina yang otonom. Ketika diresmikan menjadi jemaat Otonom pada 1949, Torsina telah dimekakarkan menjadi 4 kolom dan terus berkembang menjadi 8 kolom pada masa Pendeta Kandijoh sebagai Ketua Wilayah. Perlu digaris bawahi dimana, jumlah anggota Kepala Keluarga dalam sebuah kolom ketika itu bisa mencapai 60 KK lebih. Berbeda tentu dengan aturan Sinode GMIM yang saat ini membatasi jumlah KK dalam sebuah kolom hanya dikisaran 30 KK.
Namun di tengah kemajuan dan perkembangan area pelayanan  saat itu, berbagai persoalan di tubuh organisasi pelayanan di jemaat-jemaat ikut pula berkembang. Friksi demi friksi dalam Badan Pimpinan Majelis Jemaat (BPMJ) di tengah organisasi yang tengah berkembang itu menjadi tantangan yang baru di era kepemimpinan baru ini. Inilah realitas ladang pengabdian Pendeta Kandijoh pasca akhir tugas pendenta Daandel.
Ketika Pendeta Kandijoh tiba di Benthanie Singkil Sindulang pada 1973, pada tahun yang sama Pendeta M.L. Wangkai yang sudah 11 tahun menjadi Ketua Jemaat GMIM Nazaret Tuminting mengundurkan diri dari posisinya di Nazaret akibat friksi di tubuh BPMJ Nazaret yang tidak sejalan lagi dengan kepemimpinan Pendeta Wangkai, yang dinilai mulai lalai dalam menunaikan tugas-tugasnya.
Di lain sisi, sebagaimana dipapar dalam Buku Sejarah Jemaat Nazaret, dimana anggota jemaat telah mengalami kejenuhan dengan kepemimpinan Pendeta Wangkai yang dinilai lebih banyak mengkonsentrasikan pekerjaannya pada kebun bunga Anggrek miliknya dari pada memperhatikan pelayanan jemaat.
Kendati begitu, dalam catatan Sejarah Nazaret, Pendeta ML. Wangkai disebut sebagai pendeta pertama di jemaat itu pasca kepemimpinan Jemaat di pegang oleh para Guru-guru Jemaat. Kurun kepemimpinannya juga dinilai berhasil membangun jemaat tersebut, bahkan pelayanannya di aras wilayah dinilai berhasil.
Puncak dari dinamika berjemaat di Nazaret, adalah tindakan penutupan gereja pada saat jadwal pelayan oleh Pendeta M.L. Wangkai. Situasi pun memanas dari dua kubu yang berfriksi yakni pihak pendukung pendeta dan kelompok yang antipati terhadap pendeta. Situasi panas di Nazaret pun harus dicarikan jalan keluar oleh DPW Manado Utara yang dikendalikan Pendeta Kandijoh.
Akhirnya Pendeta M.L. Wangkai mengundurkan diri dari jabatannya akibat tekanan yang kuat dari dalam jemaat yang dipimpinnya, dan posisi Ketua Jemaat oleh Sidang Majelis yang didampingi DPW, diisi oleh Wakil Ketua BPMJ waktu itu yaitu Penatua Jacob Himpong. Pengisian lowong oleh Pnt. J. Himpong hingga masa periode kepemimpinan berakhir tersebut oleh DPW  dimaksudkan untuk menetralisir situasi panas di jemaat tersebut. Masa transisi kepemimpinan di Nazaret akhirnya berakhir pada 1974, dan posisi ketua jemaat digantikan oleh  Penatua Drs. E. Lahope.
Lain tantangan di Nazaret, lain pula pergolakan di Torsina. Belum lama berselang konflik antara BPMJ dengan Ketua DPW Pendeta Daandel yang sudah dipapar sebelumnya, berujung pada perpecahan di Torsina dan beralihnya sebagian Majelis dan anggota jemaat ke GMPU (Gereja Masehi Protestan Umum).   Lalu babakan kedua perpecahan menuju terbentuknya Gereja KGPM Tumumpa. Kemudian disusul persoalan  adanya dua BPMJ di Torsina pada masa kepemimpinan Pendeta Pangemanan sebagai bagian dari kisah pelayanan di kurun kepemimpinan Pendeta Daandel sebagai Kepala Paroki Singkil Sindulang. Tiga peristiwa itu benar-benar merobek keutuhan jemaat, hingga kondisi Jemaat terpecah dan tak  berhasil diselesaikan di aras Jemaat, Paroki dan Sinode, tapi melebar ke rana hukum yang juga tak mendapatkan penyelesaian. Meski diujung waktu yang lain, Tuhan selalu punya cara tersendiri menyelesaikan setiap persoalan dan pergumulan suatu jemaat menjadi gereja yang esa, utuh dan kuat sebagaimana fakta sejarah jemaat itu saat ini.
Kembali ke pasca peralihan kepemimpinan Wilayah dari Pendeta Daandel ke Pendeta Kandijoh (1973), jemaat Torsina terkejut lagi akibat kebijakan pergantian Pendeta di jemaat tersebut oleh Sinode GMIM. Pendeta Gerald Sondakh yang masuk sejak  16 Agustus 1971 menggantikan Pendeta Pangemanan, kini akan digantikan oleh pendeta yang baru. Kebijakan Sinode tersebut kontan disambut reaksi keras dari dalam jemaat. Keadaan jemaat yang terus bergolak ini seakan tak mendapatkan ketenangan akibat pergantian kepemimpinan yang terus-menerus oleh pihak Sinode. Sinode, sebagaimana dikisahkan dalam catatan Sem Narande, dinilai sewenang-wenang dan tidak memperhatikan keutuhan dan kepentingan jemaat.
Di lain sisi, jemaat Torsina baru merasakan sesaat ketenangan dari kemelut berjemaat yang mengakibatkan tercabik-cabiknya keutuhan jemaat itu dengan adanya 2 BPMJ yang nyaris berujung pada konflik fisik. Pasca kepemimpinan Pendeta Sondakh suasana damai baru tercipta. Di tangan pendeta Sondakh pun Jemaat Torsina sedang diperhadapkan oleh program pembangunan gedung gereja permanen pertama yang peletakan batu dasarnya dilakukan pada 12 Juni 1972.
Kebijakan penarikan pendeta Sondakh oleh BP Sinode GMIM yang terkesan mendadak itu pun membuyarkan konsentrasi jemaat dalam membangun gereja. Gelombang protes yang di arahkan ke Sinode pun berlangsung dengan cara mengirimkan delegasi jemaat Torsina ke Sinode. Persoalan Jemaat Torsina ini lagi-lagi menjadi konsentrasi utama yang harus dihadapi DPW Manado Utara Yang dipimpin Pendeta Kandijoh.
Akibat protes keras yang dilancarkan jemaat dan BPMJ Torsina, keberadaan Pendeta Sondakh pun terkatung-katung. Pertama, penempatannya ke Jemaat Tuna gagal dilaksanakan. Kedua, penempatannya ke Jemaat Malalayang juga gagal akibat gelombang protes tersebut. Ketiga, penempatannya ke Amurang pun gagal, karena jemaat Torsina tetap mempertahankan kepemimpinannya di BPMJ Torsina.
Puncak reaksi terhadap kebijakan Sinode tersebut, pada rapat BPMJ Torsina tanggal 5 Agustus 1975 yang ikut dihadiri Ketua BPW Manado Utara Pendeta Kandijoh, Sidang majelis memutuskan: Pertama, Kepemimpinan organisasi di jemaat Torsina di pegang oleh Majelis. Kedua, Pendeta cukup berstatus pelayan.
Kebijakan di atas ditempu jemaat Torsina sebagai upaya menghadapi kesewenangan dari pihak Sinode dalam penempatan pendeta yang tanpa memperhitungkan kondisi jemaat. Artinya pendeta bisa saja ditempatkan semaunya sinode, tapi pendeta hanya berstatus pelayan bukan ketua jemaat. Sebab bila pendeta berposisi sebagai ketua jemaat atau pimpinan organisasi jemaat, maka bila pergantian pendeta tanpa memperhitungkan kondisi jemaat akan mengganggu keutuhan berjemaat. Dan hal tersebut terbukti ketika Pendeta Sumolang Dapu di tempatkan di Torsina, acara serah terima jabatan Ketua Jemaat Torsina dari Pendeta Gerald Sondakh diserahterimakan kepada Penatua Ferom P. Langkudi yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat, bukan kepada Pendeta Sumolang Dapu.
Menghadapi sikap Jemaat Torsina tersebut, Ketua BPW Manado Utara pun melakukan sejumlah pertemuan, kunjungan dan dialog terbuka tak resmi dengan BPMJ, membujuk mereka agar tidak mengeluarkan kebijakan yang bertabrakan dengan kebijakan Sinode.  Di lain sisi Ketua BPW menilai isi pikiran dan gagasan yang ditelorkan jemaat Torsina itu sangat prinsipil dan mendasar. Hanya saja dalam posisi BPW, ia mengkhawatirkan terjadinya tabrakan dengan sinode. Akhirnya pada  5 Oktober 1975, jabatan Ketua BPMJ Torsina kembali diserahterimakan dari Penatua Ferom P. Langkudi kepada Pendeta Sumolang Dapu.
Dalam penyelesaian masalah kepemimpinan di Jemaat Torsina, sangat terlihat peran dan fungsi pendeta Kandijoh selaku Ketua Badan Pimpinan Wilayah (BPW) Manado Utara. Kepemimpinan wilayah sebagai perpanjangan tangan Sinode di aras Wilayah mempu menjadi jembatan bagi penyelesaian persoalan di aras pelayanannya.

Menjala Para Penjala
Sem Narande dalam bukunya “Valdu La Paskah” membeberkan anasir yang indah atas keberhasilan tugas pelayanan yang diemban pendeta Kandijoh selama menjadi Ketua BPMJ Bethanie Singkil Sindulang sekaligus Ketua Wilayah Manado Utara dengan menerapkan tiga konsep yaitu: a). Pelayanan. b). Keuangan. c). Pengangkatan sidi bagi orang-orang tua.
Ia memberlakukan metode sentralisasi dalam hal  pelayanan dan keuangan untuk memudahkan kontrol atas hasil dan efektifitasnya. Sejak kepemimpinanya sistim sentralisasi keuangan di jemaat-jemaat berjalan baik dengan penetapan hanya ada 1 orang bendahara jemaat, demikian juga dengan sentralisasi pelayanan hingga ke kelom-kolom.
            Sosok pendeta yang terkenal bersifat tegas ini juga berhasil meluncurkan program pengangkatan sidi atas orang-orang tua di jemaat dan wilayah yang dipimpinnya dengan pendekatan khusus yaitu menugaskan para penatua dan syamas ke rumah-rumah para orang tua untuk mengajar calon sidi jemaat. Pendekatan khusus untuk mengajar calon sidi jemaat ini harus dilakukan mengingat ketika itu tidak sedikit orang-orang tua yang belum menjadi sidi jemaat karena kesibukan mereka sebagai nelayan yang harus melaut pada malam hari.
Orang-orang tua di jemaat-jemaat yang terletak di pesisir Manado Utara berprofesi nelayan hampir tidak punya waktu untuk mengikuti pendidikan sidi (katesasi) yang dilakukan di gereja masing-masing yang rata-rata dilakukan pada malam hari. Dengan kebijakan mengdrop para penatua dan syamas untuk mengajar di rumah para orang tua itu pada saat-saat senggang dengan pola pengajaran yang santai, akhirnya membuahkan hasil dimana para orang-orang tua di kawasan pesisir pun akhirnya bisa diteguhkan sebagai anggota sidi jemaat dan berhak mengikuti sakramen perjamuan kudus. Program khusus ini oleh banyak pihak disebut sebagai upaya menjala para penjala ikan menjadi umat Tuhan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar