Jumat, 12 Juli 2013

Pendeta DJ. L. Bato, STh (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
 
Ketua BPMW ke delapan adalah Pendeta DJ. L. Bato STh. Ia sosok pribadi yang  tegas dan disiplin. Sikapnya itu jelas terlihat dalam kemimpinannya selaku Ketua BPMW di era dimana jemaat-jemaat se Manado Utara dalam kegairahan membangun yang pesat. Tantangan-tantangan eksternal seiring kian maraknya pertumbuhan denominasi kekristenan di Manado menjadi perhatiaannya, sebab adanya gejala perpindahan yang cukup merisaukan dari anggota jemaat GMIM ke denominasi gereja lainnya. Dampak modernism dan pengaruh nilai-nilai asing non gerejani yang begitu kuat marasuk dan mempengaruhi ke kehidupan berjemaat ikut menjadi konsennya. Sikap tegas dan disiplin yang diterapkan dalam kepemimpinannya itu menurut dia, sebagai upaya menjaga keutuhan dan kewibawaan gereja. Gereja harus tampil sebagai pemenang di tengah persoalan-persoalan pelik yang dihadapinya. Ini menuntut sikap kepemimpinan gereja yang penuh integritas, dan pendalaman ajaran yang benar dan alkitabiah.

Ini sebabnya, pada setiap rapat wilayah ia secara terbuka memberikan penilaian terhadap kinerja ketua-ketua jemaat di aras yang dipimpinnya. Ia pun tak segan menegur para pimpinan jemaat  terutama para pendeta Jemaat yang punya kecenderungan melalaikan tugas, apalagi menjadikan jemaat yang dilayaninya sebagai obyek meraih keuntungan material semata. “Kalau suka jadi kaya berhenti menjadi pendeta. Karena tugas kependetaan adalah murni melayani jemaat,” tegas dia kepada para pendeta se wilayah Manado Utara II.
Baginya kerja pelayanan bukan sarana mencari keuntungan materi, tapi pengabdian yang sungguh-sungguh bagi kemuliaan Allah. Keterpanggilan untuk menderita bersama Yesus Kristus untuk kerja keselamatan dunia. Bahkan ia menegaskan penerapan sangsi-sangsi disiplin gereja bagi para Pendeta yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan GMIM menyangkut pelayanan di jemaat-jemaat.
Pendeta DJ. L Bato, STh juga seorang teolog yang kristis menilai persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi gereja masa kini. Menurutnya tantangan internal organisatoris serta serbuan persoalan eksternal yaitu pengaruh-pengaruh perkembangan global bukan saja menuntut kepemimpina gereja yang arif bijaksana yang meneladankan sikap kepemimpinan Kristus, tapi juga menuntut peningkatan kapabilitas yang tinggi dari para pimpinan jemaat agar mampu menepis nilai-nilai non gerejani yang masuk mempengaruhi kehidupan jemaat, terutama menghancurkan persekutuan umat Tuhan.
 Khotbah-khotbahnya menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami jemaat, namun tajam dan menggelitik. Menurutnya khotbah-khotbah yang menggunakan bahasa dan istilah yang tinggi-tinggi dan rumit akan sulit dimerngerti jemaat.  Kritiknya terhadap keseharian hidup anggota jemaat dilontarkannya secara terbuka namun dengan bahasa yang santun diselingi kejenakaan. Style khotbahnya itu, membuat jemaat betah mengikuti ibadah. Dalam memimpin ibadah pun khotbahnya tidak panjang-panjang dan bertele-tele. Khotbahnya terstruktur dengan baik dengan pijakan aspek teologis yang kuat meski diantar dengan bahasa sederhana  yang diwarnai  metaphor serta kisah-kisah reflektif. Suaranya yang terdengar datar dan patah-patah merupakan ciri khasnya.
Meski posisinya sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis Wilayah, ia tetap akrab dengan semua anggota jemaat dari gereja-gereja di Manado Utara II. Ia selalu meluangkan waktu untuk menyapa  anggota jemaat di wilayahnya. Setiap saat ia melakukan kunjungan ke jemaat-jemaat, baik dalam kunjungan kekerabatan dan kunjungan pelayanan ibadat. Ia selalu berada di tengah jemaat yang sedang menggumuli pekerjaan pembangunan gedung gereja, pastori dan fasilitas lainnya. Ia membaur dan berdialog serta memberikan  support kepada panitia-panitia pembangunan gereja di jemaat-jemaat agar tetap optimis dan bersemangat dalam melakukan pekerjaan pelebaran kerajaan surga di bumi. Semangat pendampingan seperti itu kata Bato, harus dilakukan para pemimpin gereja agar ada rasa kebersamaan dan merupakan spirit tersendiri bagi panitia-panitia, atau tim-tim kerja dalam mengemban tugas-tugas pelayanan pembangunan fisik tersebut. Pemimpin-pemimpin gereja tidak boleh malas, dan berat langkahnya, apalagi menutup pintu pastorinya bagi persoalan-persoalan yang digumuli jemaat. Ia harus jadi yang pertama dan berada di depan jemaat untuk menyelesaikan pergumulan-pergumulan itu. Baik itu pergumulan pelayanan ibadat, pergumulan organisatoris, pergumulan social, pribadi, rumah tangga, dan kelompok masyarakat. Pergumulan pembangunan fisik gereja dan kelengkapan fasilitas fisik lainnya. “Pendeta bukan penonton yang kerjanya hanya berkhotbah. Tapi figur sentral dalam kehidupan berjemaat dalam memberikan penguatan, pengharapan, dan tindakan nyata dalam menyelesaikan pergumulan jemaat.
Guna merekatkan hubungan antar anggota-anggota jemaat se Wilayah Manado Utara II, ia tidak hanya bertumpuh pada persekutuan ibadat tingkat BIPRA wilayah, tapi setiap tahunnya dilakukan festival kesenian dan lomba olah raga antar jemaat dan kolom se wilayah. Kesempatan-kesempatan seperti ini menurutnya, utamanya memang memuji kebesaran dan kemuliaan Tuhan, tapi selain itu, membuat angota-anggota jemaat se wilayah bisa bertemu, berdialog dalam suasana kekeluargaan yang santai dan gembira. Festival Anak Sekolah Minggu serta pawai Paskah dan taman Paskah juga digelar menambahkan kemeriahan pelayanan di aras yang dipimpinnya. Dalam hal penggalangan dana guna menopang kegiatan-kegiatan tingkat wilayah ia melakukan aksi turun langsung. Ia bukan tipikal pemimpin yang berdiam diri sambil berpeluk tangan, tapi langsung berada bersama-sema di depan dalam melakukan pelayanan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pelayanan.
Hal lain yang menarik dari sikap hidup Pendeta DJ. L. Batoh, adalah menolak menerima sampul dari anggota jemaat saat ia memimpin ibadah di rumah anggota jemaat. “Sudah cukup apa yang diberikan Tuhan bagiku. Bagianku adalah bersyukur,” begitu ujarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar