Sabtu, 06 Juli 2013

Pdt.Robert Nicolas Rogahang 1933-1947 (Seri Tokoh Gereja Manado Utara)


Oleh: Iverdixon Tinungki
   
Setelah masa pelayanan Pendeta Hendrik Sinaulan berakhir di tahun 1933, Paroki Singkil  dipimpin Pendeta Robert Nicolas Rogahang. Kepala Paroki  kedua ini bertugas hingga tahun 1947. Setahun setelah Pendeta Rogahang di tempatkan di Paroki Singkil system pelayanan telah diatur Sinode GMIM di Tomohon yang dipimpin oleh Ketua Sinode pertama Ds De Vreede. Karena setahun setelah pensiunnya Pendeta Hendrik Sinaulan sebagai Pendeta NZG, Gereja Masehi Injili Minahasa resmi berdiri yaitu pada 30 September 1934.
 Kurun waktu antara tahun 1933 hingga 1947  diwarnai oleh suasana panas pergolakan politik dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di tengah perang untuk mengakhiri kekuasaan Belanda di tanah air, serta masa-masa pendudukan Jepang, hingga perang kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan kurun waktu pelayanan pendeta Rogahang di Paroki Singkil.

Sementara itu ada pergolakan politik dalam tubuh organisasi gereja di kurun waktu tahun 1933-1934. Organisasi Pelayanan Gereja Protestan Belanda (Indische Staats Kerk) di tanah Minahasa sebagai akar GMIM, mendapatkan saingan baru saat berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada 21 April 1933 oleh DR. Sam Ratulangi.
KGPM sebagai gereja yang bernafaskan semangat kebangkitan nasional yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia ketika itu, tentu sangat merisaukan Pemerintah Belanda. Ini sebabnya raja Belanda kemudian mengistruksikan pendirian GMIM pada 30 September 1934. Dua organisasi Gereja Protestan pun berdiri di tanah Minahasa. KGPM dengan semangat Pelayanan dan Nasionalisme, sedangkan GMIM murni bertumpu pada misi pelayanan dan kesaksian semata, tanpa mencampuri urusan politik.
Kembali ke Paroki Singkil, teritorial pelayanan di kurun Pendeta Rogahang masih sama dengan waktu kepemimpinan Pendeta Hendrik Sinaulan. Hanya saja beberapa jemaat baru telah resmi berdiri di antaranya Jemaat GMIM Bengkol yang pada tahun 1935 telah dilayani oleh tenaga Pendeta lulusan Stovil tahun 1930 yang ditugaskan Sinode GMIM yaitu Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan. Jemaat Nazaret Tuminting dan Jemaat GMIM Bailang yang pimpinan Majelis Jemaatnya (BPMJ) di tangan para Guru jemaat.
Pada masa pendeta Rogahang, seperti juga pada masa Pendeta Hendrik Sinaulan, aras kepemimpinan Paroki tidak memiliki Badan Pekerja Paroki (BPP) yang seperti saat ini adanya BPW (Badan Pekerja Wilayah) yang kemudian berubah menjadi Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW). Seorang Kepala Paroki ketika itu adalah pimpinan tunggal untuk sebuah aras pelayanan Paroki.
Penempatan resmi Pendeta Robert Nicolas Rogahang di Paroki Singkil sebenarnya tidak begitu diketahui, tapi menurut beberapa literatur, tugas dan pelayanannya selaku ketua Jemaat Singkil sekaligus sebagai pimpinan Paroki  Singkil berakhir pada tahun1947. Melihat tahun penempatan pendeta Rogahang yang belum terungkap secara jelas lewat dukungan bukti-bukti formal itu, tampak adanya kekosongan beberapa tahun kepemimpinan Paroki Singkil sejak tahun 1933. Apakah karena tahun 1933 ke 1934 merupakan tahun transisi dari peralihan pelayanan oleh Gereja Protestan Belanda ke GMIM maka masalah penempatan tenaga pelayan menjadi kurang terfokus? Siapakah yang menjadi pimpinan Paroki dalam beberapa tahun kekosongan  di kurun 14 tahun yang diwarnai revolusi itu?  Belum ada data-data faktual formal yang mampu memberi jawaban hingga saat ini tentang kondisi itu. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menjawabnya.
Sebuah kasus menarik yang bisa dipakai sebagai data pembanding untuk kondisi tersebut adalah catatan yang dimuat  Sem Narande dalam bukunya ‘Valdu La paskah‘ Jilid II tentang penyelesaian sengketa kepemimpinan Jemaat GMIM Bailang di tahun 1934, dimana Guru Jemaat pertama Matheos Kasiaha didakwa oleh beberapa orang anggota masyarakat Bailang dalam sebuah perkara Pidana. Dalam konteks ini, bukan perkara pidananya yang menarik untuk ditelisik tapi dalam catatan tersebut dikemukakan  pada tanggal 1 November 1934 atau 1 bulan 1 hari setelah GMIM berdiri dan berpusat di Tomohon, Pendeta Mulengen datang memimpin Ibadah di Gereja Bailang, sekaligus memimpin pemilihan Guru Jemaat yang baru di jemaat itu dimana Estefanus Takongselang terpilih menggantikan Matheos Kasiaha.
Fakta tentang kedatangan Pendeta Mulengen dalam rangka menyudahi sengketa di Gereja GMIM Bailang di atas menegaskan dimana jemaat Bailang sebagai sebuah jemaat di aras Paroki Singkil harus mendatangkan seorang pendeta dari Sinode Tomohon untuk menyelesaikan persoalan kepemimpinan jemaatnya. Apakah dengan kehadiran pendeta dari Sinode ini menyatakan dimana sesudah periode pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil yang berakhir pada 1933, NZG atau GMIM tidak langsung menempatkan pendeta lagi sebagai Pimpinan Paroki di kawasan Pesisir ini?
Beberapa data formal dan informal yang juga dapat dijadikan rujukan guna memperkirakan kurun waktu penempatan Kepala Paroki kedua ini antara lain catatan John Rahasia yang mengukapkan dimana Pendeta Nicolas Rogahang telah bertugas di Manado Utara sebelum tahun 1945 di Paroki Singkil. Hal tersebut dikarenakan kondisi Bangsa dan Negara dalam keadaan perang.
Ketika terbentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia  yang berfungsi sebagai TKR di Sulawesi Utara  pada bulan September 1945, dimana John Rahasia sebagai Hulubalang, yang juga anggota jemaat Paroki Singkil, menyebutkan pendeta Rogahan  telah menjadi pelayan di Paroki Singkil, sekaligus melayani tahanan-tahanan pemberontak di penjara Manado oleh Pemerintah Kolonial Belanda.  
Sementara dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret Tuminting ditulis, pada tanggal 17 Maret 1940, Pendeta Nicolas Rogahang selaku Kepala Paroki Singkil memimpin ibadah peneguhan sidi jemaat bagi 9 orang angkatan sidi di gereja Nazaret Tuminting (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting,1999).
Di sisi lain, dalam sejarah Jemaat Bengkol, sebagai salah satu jemaat di aras pelayanan Paroki Singkil  dimana pada tahun 1935 Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan telah ditempatkan Sinode GMIM untuk menjadi ketua jemaat di sana. Apakah Pendeta Pangemanan mengisi kekosongan kepemimpinan di Paroki Singkil ketika itu? Belum ada bukti formal dan informal yang mendukung.
Ketika menempati pos pelayanannya di Paroki Singkil, salah satu catatan penting dalam tugas pelayanan dan penggembalaan jemaat yang tersebar di teritorial yang luas itu, Pendeta Rogahang menugaskan tenaga-tenaga guru, untuk menjadi guru jemaat di desa-desa terpencil  yang telah memiliki jemaat sendiri atau yang sedang merintis berdirinya sebuah jemaat. Sebuah data menyebutkan, pada tahun 1935, Pendeta Rogahang menugaskan Guru Makpal untuk membantu pendiri jemaat Tuminting Paulus Kawangung melayani peribadatan  pada hari-hari minggu di Jemaat Nazaret Tuminting hingga tahun 1942.
Kebijakan dan ketekunan seorang gembala dalam memimpin aras pelayanannya di tengah keadaan masyarakat yang bergolak karena perang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pendeta Nicolas Rogahang. Kecuali di Jemaat Bengkol telah ditempatkan  Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan pada tahun 1935 oleh Sinode GMIM untuk menjadi ketua jemaat di sana, Pendeta Rogahang adalah satu-satunya tenaga pendeta yang ditempatkan di sebuah aras pelayanan Paroki yang terdiri dari beberapa jemaat. Sebab, dalam kurun kepemimpinannya, kelompok-kelompok masyarakat Kristen di setiap desa dalam wilayah pelayananya mulai merintis berdirinya jemaat-jemaat baru. Ini sebabnya, guna merespons keinginan masyarakat untuk membangun jemaat sendiri harus diimbangi oleh sebuah kebijkan penempatan tenaga-tenaga guru jemaat untuk melayani ladang pelayanan Tuhan yang sedang tumbuh ini.

Sosok Pendeta Nasionalis  
Pendeta Rogahang dilahirkan di Ratahan, Minahasa pada  6 Oktober 1883. Ijazah kependetaannya dikeluarkan  Perhimpoenan Commissie Segala Pandita di Tanah Minahasa di negeri Manado pada 13 Oktober 1911, atau 23 tahun sebelum GMIM lahir.
Pada masa perang kemerdekaan, ia digelar sebagai Pendeta Merah Putih karena khotbah-khotbahnya yang selalu membakar semangat juang para pemuda untuk membela tanah air Indonesia dari cengkraman penjajahan.
Ia tidak seperti rekan pendeta NZG lainnya yang ketika itu selalu berdoa untuk keselamatan dan kelestarian kekuasaan Ratu dari pemerintahan Kolonial Belanda. Di tengah para pemuda pejuang  yang ditahan pemerintah kolonial di penjara Manado, ia berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan, ketabahan dan semangat juang bagi para pejuang untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Pendeta Rogahang dalam  khotbah-khotbahnya menekankan kesetaraan hidup umat manusia di dunia dan pentingnya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ia menolak semua upaya kekerasan dan penjajahan oleh manusia terhadap manusia, dan oleh bangsa terhadap bangsa. Bagi Rogahang, kehidupan adalah anugerah terindah dari Tuhan yang tak bisa dirampas oleh siapa pun dari seseorang.
Kesaksian D.C David yang dikutip Sem Narande di tahun 1980 mengemukakan, khotbah pendeta Rogahang sangat tajam dan tanpa tendeng aling-aling. Ia dengan tegas menegur setiap kesalahan dan tindakan buruk anggota jemaatnya. Ia juga sosok yang rajin sebagaimana diceritakan  penatua tua Frits Carel Commettie. Tanpa mengenal lelah ia mendatangi setiap pelosok Paroki pelayanannya untuk menunaikan tugas pengembalaannya. Ia juga melakukan tugas-tugas penginjilan ke daerah-daerah lain di luar Paroki Singkil, termasuk ke pulau-pulau di depan pesisir Manado hingga ke pulau-pulau depan Likupang serti Talise, Gangga dan Bangka.
Apa sebenarnya yang menjadi visi Pendeta Nicolas Rogahang yang tampak kontroversial di tengah zamannya? Dari beberapa kesaksian disebutkan ia benar-benar sosok yang meneladani sikap kepemimpinan Yesus Kristus. Model kepemimpinan yang melayani. Secara sungguh-sungguh masuk ke dalam pergumulan jemaat-jemaat dan merasakan apa yang dirasakan jemaat. Ia tidak hanya berdoa dari tempat tertutup untuk menjaga kekudusannya, tapi langsung masuk ke tengah persoalan jemaat dan masyarakat. Ia mendukung upaya-upaya perjuangan kemerdekaan agar masyarakat tidak tertindas. Ia menegur sikap hidup masyarakat yang malas bekerja agar mereka tekun hingga mendapatkan penghidupan yang layak. Ia datang memberikan semangat dan pengharapan yang teguh kepada mereka yang terpenjarah oleh karena memperjuangkan hal-hal yang benar.  Ia mengajarkan semangat yang sungguh-sungguh kepada setiap orang agar selalu berserah pada kemurahan Tuhan dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Sebab penyerahan totol kepada Allah untuk menuntun hidup setiap orang adalah penting dan utama dilakukan semua kaum Kristiani. Penindasan, kelaparan, penyakit, putus asa di tengah bangsa  tak berterima baginya. Sebab dianggapnya tak sesuai dengan maksud asali Allah. Itu sebabnya hatinya iba melihat korban-korban dari semua itu. Amarah dan iba hati merupakan suatu kombinasi yang kuat dalam dirinya. Tentang sikap ini seorang penulis bernama Robert Greeleaf pernah memaparkan penekannya dimana ‘orang harus menentang hal-hal yang dianggap tidak benar’. Kondisi sosial masyarakat yang menjadi arena pelayanannya ketika itu benar-benar menuntut luapan amarah dan kemurkaan yang sejati atas kejahatan-kejahan yang merupakan penghinaan bagi Allah. Penjajahan yang menyulut kemiskinan dan  penindasan atas hak-hak hidup seorang anak manusia adalah juga penghinaan bagi Allah. Maka kemarahan moral yang diletupkan Pendeta Rogahang saat itu mentransformasikan suatu sikap keteladanan seorang pemimpin Kristiani.
Pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Kepemimpinan Kristiani adalah panggilan untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan untuk menjadi hamba dan bukan menjadi raja di raja. Otoritas kepemimpinan yang dijalankan dengan kasih dan kerendahan hati. Bukan kekerasan tapi keteladanan, bukan paksaan tapi persuasi.
Tentang sikap kepemimpinan seperti ini, teolog John Stott  memberi penekanan pada satu frase tulisannya yang menawan dimana ‘sesuatu yang besar tak mungkin tercapai, kalau dibaliknya tak ada suatu impian yang besar, suatu visi yang besar’. Demikian sikap dan visi pelayanan Pendeta Rogahan di tengah jemaatnya.
Bila sejenak bercermin pada kondisi masa kini, visi kepemimpinan Kristiani yang diemban Pendeta Rogahang nyaris sulit ditemui lagi di tengah kepemimpinan Kristiani saat ini. Pada saat ini jabatan-jabatan gerejani sering hanya dijadikan alat legitimasi dan batu loncatan guna menerobos ke tujuan-tujuan politis, bahkan dijadikan alat untuk melangkah ke panggung politik praktis. Tak bisa dipungkiri dimana saat ini tidak sedikit mereka yang mengantongi atribut jabatan gerejani yang mendekam dalam penjara akibat tindak kejahatan mereka.
Ada juga kecenderungan dari segelintir pemimpin Kristiani yang melakukan politik ‘dagang sapi’ untuk mencapai tujuan praktis yang ingin disasarnya.  Bila sebuah jemaat sedang membangun gedung gereja, maka lobi-lobi  yang jauh dari makna transenden dipraktekan. Mereka mendatangi para pemimpin partai politik untuk membicarakan transaksi kontraktual yang bernuansa politis dalam meloloskan proposal bantuan dana bagi pembangunan. Lebih miris lagi ketika gol-gol itu harus ditebus dengan janji-janji palsu dimana anggota jemaat akan mendukung partai yang dimaksud dalam sebuah arena politik praktis. Ada juga yang serta merta menjaminkan peresmian sebuah gedung gereja kepada seorang pemimpin politik. Ini sebuah fakta dari sekian banyak fakta kemelencengan visi dalam kepemimpinan Kristiani saat ini yang perlu mendapatkan permenungan lagi.
Kembali ke masa kepemimpinan Pendeta Rogahang, dari hasil kerja keras dan keteladanannya, di kurun kepemimpinanya jemaat-jemaat baru terus tumbuh dan terhimpun di aras Paroki Singkil. Sistim pelayanan di jemaat-jemaat mulai terurus dengan baik. Penempatan resmi pendeta dan guru-guru jemaat lewat SK Sinode GMIM dilakukan, terutama jemaat-jemaat yang telah memiliki bagunan gereja sendiri. Hal tersebut terbukti dengan penempatan Guru Jemaat Estefanus Takonselang ke jemaat Nazaret Tuminting melalui SK BPS GMIM angka 60 tertanggal 31 Desember 1942 (2602, Syoowa), dan penempatan Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan tahun 1935 di Jemaat GMIM Bengkol.
Pendeta Rogahang ternyata sosok yang juga esentrik. Ia sangat hobi nonton film dan minum beralkohol. Menurut Penatua Commettie, Pendeta Rogahang sangat menikmati hobinya nonton film dan minum sampai mabuk.
Tentang keesentrikannya ini, kita mungkin boleh mengutip apa yang dikatakan Peter Drucker adalah benar,’orang kuat, kelemahannya kuat juga’. Sebuah iklan motor yang sering ditayangkan di televisi di negara kita mengutip sebuah dagelan menarik yang menyebutkan,’Motor juga Manusia’. Arti yang dimaksudkan dalam iklan ini adalah sedang manusia punya kekurangan apalagi motor. Demikian juga pemimpin, mereka hanya terdiri dari darah dan daging bukan dari batu atau metal.
Pemimpin-pemimpin besar yang disaksikan Alkitab juga memiliki cacat yang fatal. Dalam cerita Alkitab, Nuh yang taat kepada hukum, adalah peminum. Musa adalah seorang pemarah. Daud melanggar lima hukum Allah, yaitu berzinah, membunuh, mencuri, mengucapkan saksi dusta dan menginginkan istri orang. Masih banyak lagi pemimpin-pemimpin dalam kisahan Alkitab yang diwarnai kelemahan-kelemahan. Dan ini sesuatu yang tak dapat dipungkiri dan mesti dikoreksi. Dan kini kita bisa mengenag Pendeta Rogahang dengan segala sisi hitam putihnya  sebagaimana sitiran 2 Timotius 4:7 sebagai “sosok (aku) yang telah mengakhiri pertandingan yang baik, sosok (aku) yang telah mencapai garis akhir, dan sosok (aku) yang telah memelihara iman. Ia telah bertekun sampai akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar